“Jadi, ini adalah tempatmu?” Alan memarkir mobilnya di basemen sebuah gedung apartemen mewah di pinggir kota yang terkenal dengan griya tawangnya.
“Jangan bicara. Aku benci laki-laki yang banyak bicara seperti wanita!” Freya melangkah meninggalkan lelaki itu dengan wajah sinis. Ia menuju ke lift yang ada di seberang mobil Alan yang terparkir.Setelah memacu jantung di jalan tol beberapa jam lalu, saat ini perempuan itu merasa kembali tenang karena sudah sampai di tempatnya. Ia juga meminta kepada asisten pribadinya untuk jangan ke unit griya tawangnya dulu. Ia butuh memperjelas keperluan lelaki aneh yang tiba-tiba datang mengaku sebagai orang suruhan ayahnya.Alan pun mengikuti perempuan itu untuk masuk ke dalam lift. Tidak ada pembicaraan. Keduanya saling menjaga jarak. Tampak di pantulan dinding lift yang terbuat dari cermin, keduanya saling mencuri pandang. Tapi mereka ragu untuk memulai pembicaraan.Lelaki itu takut mengganggu kenyamanan perempuan di dekatnya. Akhirnya yang ia lakukan hanyalah diam. Tapi tampaknya Freya agak berbeda. Sesekali ia mencuri pandang lewat pantulan cermin. Gagah, perkasa, pria sejati, tampan, dan berotot. Kesan pertama yang dilihat Freya dari lelaki itu sangat menggoda batinnya. Apalagi wajah Alan yang mirip dengan seorang aktor terkenal.Tapi semua itu hanya berada dipikirannya. Ia enggan membicarakannya.“Ikuti aku.” Setelah pintu terbuka, Freya memandu lelaki itu untuk menuju ke unit apartemen mewahnya yang ada satu-satunya di lantai paling atas di gedung itu.Ketika pintu terbuka, Alan terkejut dengan luas dan desain interior dari unit griya tawangnya. Ia tidak mengira bila bisa menginjakkan kakinya di salah satu tipe apartemen yang selalu diimpikan oleh banyak orang.“Apa yang kau bawa itu?” Freya baru sadar kalau lelaki itu sedari tadi menarik koper hitam besar.“Oh, ini hanya pakaianku saja,” ungkap Alan.“Terserah kau saja.” Freya duduk di sofa miliknya.Ia melihat Alan mengeluarkan selembar kertas dan beberapa foto yang bergambar Alexander Hood. Lelaki itu meletakkan semuanya di meja marmer kecil yang menjadi satu paket dengan interior sofa.“Ayahmu meninggal karena ulah dari geng yang mengejarmu tadi. Mungkin lebih tepatnya saudara dari geng yang mengejarmu tadi. Tapi mereka hanyalah tikus-tikus kecil saja. Kami baru mendapatkan kabar kalau biang keroknya justru berasal dari kota ini.” Alan menatap perempuan yang masih tampak hati-hati padanya.Perlahan Freya duduk di seberang Alan sambil melihat secarik kertas dan beberapa foto yang tergeletak di atas meja. Kertas itu ternyata berisi tentang wasiat dari Alexander Hood yang telah dirangkum.Dokumen aslinya berada di tangan notaris dan di dalam brankas rahasia milik kelompok Falsehood. Tertulis jelas bahwa semua putrinya yang berasal dari enam istrinya akan mendapatkan warisan. Termasuk dengan hak kepemilikan terhadap kelompok Falsehood.Lalu wanita itu mengambil beberapa foto yang ternyata adalah gambar para putri Hood saat masih kecil. Totalnya ada enam foto. Setiap foto berisi potret Hood bersama istri dan anaknya. Mulai dari istri pertama hingga keenam di foto olehnya sebagai kenang-kenangan yang berharga.“Apa maksudnya ini? Apa dia memiliki lima istri lagi selain ibuku?” Freya bertanya.“Bisa dibilang begitu. Dia menikahi enam istrinya hampir bersamaan dalam jangka waktu satu bulan. Jadi, anak-anaknya pun kemungkinan seumuran denganmu semua,” pikir Alan Dominic.“Ibu tidak pernah cerita padaku. Dia hanya bilang ayah adalah orang bodoh yang selalu menyelesaikan masalahnya dengan pistol. Aku tidak tahu itu adalah pernyataan secara harfiah.” Perempuan itu menyinggung sosok Hood.“Ya, begitulah dia. Selalu menggunakan cara nyentrik untuk menyelesaikan masalahnya. Dia adalah guru bagiku, dan aku sangat berterima kasih padanya. Aku berutang budi dengan ayahmu,” ungkap Alan.“Lalu? Apa hubungannya dengan kami?” Freya mengacu kepada putri-putri Hood yang lain.“Saat ayahmu tiada. Maka gangster lain akan berusaha mengambil alih wilayah kekuasaannya. Saat ini mereka pasti sedang bersiap-siap untuk menyerang Raven City. Target mereka saat ini mungkin adalah pamanmu; Pablo Hood.” Alan memperjelas keadaan mereka sekarang.“Paman Pablo? Kukira dia sudah mati. Apa dia juga membentuk geng bodoh seperti ayah?” Freya mengingat pria itu. Ia datang saat ulang tahunnya yang ke-2.“Saat ini dia berada Rhodes City yang berada di barat Raven City. Jangan khawatirkan pamanmu. Dia pasti baik-baik saja .” Alan tersenyum.“Terserah kau saja. Jujur, aku sudah tidak peduli dengan keluarga besar ayahku. Lalu, apa keperluanmu? Apa kau datang cuma untuk menyelamatkanku tadi? tanya Freya.“Aku datang untuk menyampaikan berita kematian ayahmu. Bila kau mau, aku bisa mengantarmu untuk ke makamnya. Lebih dari itu, aku diminta untuk mengumpulkan kalian,” ungkap Alan.“Apa? Kau ingin mengumpulkan seluruh saudari tiriku yang belum pernah aku kenal? Untuk apa?” Mata Freya membulat besar. Ia tidak menyangka rencana orang suruhan ini sangatlah out of the box.“Itu benar. Mungkin sudah saatnya kalian saling berkenalan?” Alan tampak senang menatap raut wajah perempuan itu.“Maaf, tapi aku tidak ikut dengan rencana reuni para putri Hood. Aku memiliki segudang jadwal hingga akhir tahun. Jangan coba-coba menuntutku untuk pergi mencari mereka dan meninggalkan kota ini!” Freya mengancam.“Tenang dulu. Tidak semudah itu menemukan mereka. Untuk sekarang, aku hanya akan berada di sampingmu saja” ungkap Alan.“Di sampingku? Kau akan tinggal denganku untuk sementara waktu?” Freya penasaran.“Bisa dibilang begitu. Anggap saja aku orang luar yang menginap beberapa hari bersamamu. Aku bisa tidur di mana saja. Bahkan di lantai,” ungkap lelaki itu dengan santainya.“Terserah kau saja! Tapi awas kalau kau berani macam-macam! Aku mengizinkanmu karena kau sudah menolongku, bukan karena kau orang suruhan ayah!” Freya menunjuk Alan dengan satu telunjuknya.Alan Dominic telah dilatih untuk menjadi pembunuh berdarah dingin. Hood mengajarkannya beberapa keterampilan bela diri dari segala jenis bidang ilmu. Ia juga dijuluki si jenius senjata api dan tajam. Ia juga sangat ahli membunuh dalam sunyi seperti seorang Assassin.Selain itu, Alan juga diajarkan cara menggunakan teknik pengobatan tradisional kuno dan teknik pengendalian energi diri atau bisa disebut sebagai ilmu tenaga dalam.“Baiklah, sudah diputuskan. Aku akan menginap disini untuk sementara waktu.” Ia sangat senang. Ternyata perempuan di depannya itu begitu baik, meski wajahnya tampak selalu sinis.Ditengah-tengah obrolan yang kian membuat mereka kikuk, tiba-tiba smartphone milik Freya berdering. Perempuan itu mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari asisten pribadinya.“Halo?”[Freya Hood?]Terdengar suara pria yang begitu berat diujung telepon.“Siapa ini?! Di mana asistenku?!”[Aku suka wanita yang menyebalkan.]“Jangan banyak bicara! Cepat katakan di mana dia?!”[Ha-ha-ha! Dasar tidak sabaran!]“Kau ingin mati, hah?!”[Gedung tua di selatan kota Midway City. Jangan bawa polisi atau siapa pun yang kau kenal. Datanglah sendiri. Aku tunggu sebelum matahari terbenam. Bila kau tidak datang, mayatnya akan berada di berita pagi besok.]Pria asing itu menutup panggilan teleponnya. Freya tampak cemas. Rahangnya mengeras. Ia ingin sekali memaki para manusia bajingan itu.“Ada apa?” tanya Alan.“Mereka menangkap asistenku.” Freya akhirnya bicara dengan lelaki itu.“Di mana? Kapan batas waktunya?” tanya Alan lagi.“Gedung tua di selatan kota. Aku harus datang sendiri sebelum matahari terbenam,” ungkap perempuan itu.“Kalau begitu datanglah sendiri. Aku akan memilih jalan lain untuk menyelamatkan asistenmu,” jelas Alan.“Tu–tunggu dulu! Kukira kau akan membantuku?” Freya agak kesal.“Aku hanya orang suruhan ayahmu. Tidak ada yang penting dariku. Lagipula, aku tidak mau berurusan dengan mereka lagi,” ucap Alan.“Tolong! Tolong bantu aku menyelamatkannya! K–Kau bisa memilih salah satu kamar. Kau tidak perlu tidur di sofa malam ini.” Freya memohon sambil memegang salah satu lengan Alan. Wajahnya tampak suram dan ketakutan.“Hemm… bagaimana, yah? Bila aku membantumu, apa kau mau mengikuti permintaanku?” tanya Alan. Ia membuat perjanjian.“Terserah kau saja. Aku akan mengikutinya,” jawab Freya cepat.“Baiklah, kalau begitu ayo kita selamatkan asistenmu.” Alan mengambil koper besar yang ia bawa tadi. Ia membukanya di depan Freya. Tampak beberapa senjata tajam dan api tertata rapi di dalamnya.“Apa kau ingin membantai satu kota dengan senjata itu?” sindir Freya. Ia terkejut bukan main.“Aku bisa meladeni seratus orang hingga pagi. Tapi tidak dengan wanita,” ungkap Alan dengan wajah serius. Ia mempersiapkan semua senjata yang harus dibawanya.“Ini adalah tempatnya.” Dengan mengenakan earphone di telinga, Freya menghubungi lelaki yang sudah berada di belakang gedung tua. Ia pun juga baru tiba di seberang gedung itu. Dengan mobil Alan, ia mendekati pintu masuk gedung yang sudah dijaga oleh para pria berjas hitam. Mereka tampak kaku dan berbadan kekar. Tapi itu bukan masalah. Freya tetap masuk tanpa rasa takut. “Freya Hood… akhirnya kau datang juga.” Seorang pria agak lebih tua menyambutnya tepat di depan lobi gedung. Saat Freya turun dari mobil, ia melihat ke seluruh penjuru gedung. Tampaknya kacamata yang ia kenakan adalah milik Alan. Di setiap sisi sudut kacamata terdapat kamera kecil yang merekam dan melihat keadaan yang dilihat oleh Freya. “Aku akan masuk ke dalam gedung.” Setelah Freya memberitahu jumlah para mafia busuk itu, ia pun diajak masuk oleh si pria yang menyambutnya. Di sisi belakang gedung, Alan menyelinap menggunakan rompi anti peluru dan perlengkapan bersenjata lengkap. Ia seperti pemburu yang ingin me
“Ini rumah ibumu?” Alan terkejut dengan luasnya rumah ibu seorang artis. Mungkin luasnya bisa disamakan dengan luas lapangan bola. “Dia sangat suka berkebun dan membuat beberapa pendopo. Tidak mungkin, ‘kan aku memberikannya apartemen. Dia mungkin akan menggantung setiap tanaman di setiap sudut ruangan dan di balkon apartemen.” Freya teringat dengan awal pertama kali ia mengajak ibunya menginap di griya tawangnya. Banyak sekali tanaman yang diletakkan di setiap sudut unitnya. Perempuan itu mengajak Rose dan Alan masuk ke dalam. Tidak ada penjaga di gerbang masuk. Tidak ada bodyguard yang berjaga di setiap sudut rumah. Lelaki itu merasa Freya terlalu santai. Bahkan sebagai seorang artis, ia tidak memiliki bodyguard untuk mengawalnya. Klek!“Freya?” Fanny; ibu di artis menyambut mereka.Alan menelan ludah, namun cepat-cepat ia membuang pandangannya dari sosok perempuan paruh baya yang cantik itu.Bagaimana tidak, di usianya yang sudah menginjak kepala 5, wajahnya masih begitu cantik.
“Freya, to–tolong hentikan.” Alan menelan salivanya. Denyut jantung yang semula berirama santai tiba-tiba berpacu cepat. Perempuan itu melepaskan genggaman Alan pada tangannya dan kembali meraba dada lelaki itu yang hanya berbalut kaos tipis saja. Gerak tangan perempuan itu sungguh meninggalkan jejak yang membuat Alan terus menatap bibir Freya yang terus terbuka kecil. Tanpa peringatan, Freya berjinjit untuk menyamai tinggi Alan yang jauh diatasnya. Ia terus melihat bibir Alan yang tampak mungil dan tenang. Sambil melingkarkan kedua tangannya ke belakang pundak lelaki itu, Freya mencoba mengendus sedikit harumnya leher Alan. Saat ia ingin menuju ke bibir mungil itu, dengan sigap Alan memalingkan kepalanya. Mata Freya membesar sambil menghentikan aksinya. Ia melihat ekspresi Alan yang tampak tidak peduli padanya. “Sebaiknya kau segera tidur. Aku juga akan kembali ke kamarku.” Lelaki itu melepaskan genggaman tangan Freya yang masih memeluk erat dirinya dengan perlahan. “Apa aku tid
“Kau akan menyesal telah menodongkan pistol itu,” ungkap Alan. “Aku tahu kau berasal dari gangster Falsehood.” Pria itu mendekatkan dirinya ke Alan. Ujung pistol semakin mendesak punggung lelaki yang tampak tenang. “Baiklah, terserah kau saja.” Alan membuang napas panjang. Lelaki itu mulai berbalik dengan cepat dan menepis lengan pria yang menodongkan pistol dengan begitu cepat. Gerakan mengelak Alan disertai dengan serangan cepat ke arah leher pria yang mulai kehilangan keseimbangannya. Belum sempat ia menekan pelatuk, pria itu telah tergeletak tidak sadarkan diri di lantai lift. Alan segera mengatur posisi pria itu seakan-akan ia pingsan secara natural sebelum pintu lift terbuka. Lelaki itu pun mengambil beberapa barang di dalam saku jaket yang dikenakan pria yang menyerangnya, setelah itu ia keluar dari lift. Untungnya tidak ada orang yang menunggunya di luar. “Ada penyusup. Tolong patroli di dalam gedung.”Alan memberi perintah ke anak buahnya. Ia bergegas menuju ke studio tal
“Kita harus menghentikan acara ini sekarang!” pikir Alan. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Bila ia memaksa ke kru talk show, maka anak buah Jerome Legolas pasti tidak akan membiarkannya. “Dengan cara apa? Kita sedang siaran langsung di televisi. Bila kita hentikan, orang-orang yang menonton di luar sana pasti akan bertanya-tanya,” jawab Rose. Perempuan itu melihat mata bosnya yang seakan mengatakan ‘tolong hentikan acaranya!’ dengan begitu jelas. Freya tidak bisa lagi bersabar dan berusaha tenang setelah mendengar ocehan dari pria sok kenal di sampingnya. “Tolong matikan jaringan listrik gedung ini. Kita harus menghentikan acaranya.”[Baik, Bos.]Alan meminta kepada para anak buahnya. Tapi saat mereka ingin mengerjakan perintah Alan, tiba-tiba jaringan listrik di ruangan itu mati total. Alhasil, kamera, lampu, dan semua yang bersumber dari listrik tidak bisa menyala. Anehnya, siaran langsung yang sedang berlangsung di televisi tetap berjalan. Sebuah siaran pendek menggantikan
“Kita sedang dibuntuti.” Alan membanting setir dan menuju ke sisi lain kota Midway City. “Apa kita tidak bisa langsung ke rumah mama saja?” Freya tampak khawatir. “Jarak mereka sangat dekat. Sepertinya ada mata-mata mereka di sepanjang jalan Midway City. Kita harus mengelabui dan membuat mereka kebingungan dengan tujuan kita,” pikir Alan. Mobil Van terus melaju ke disi barat kota Midway City. Ini adalah daerah yang asing bagi Alan, tapi ia tidak punya pilihan lain selain membawa para perempuan itu pergi menjauh. Tidak lama berselang, beberapa mobil yang membuntuti mereka terlihat di kaca spion. Alan memacu lebih cepat mobilnya agar jarak mereka dengan para pengejar tetaplah jauh. Rose yang duduk di samping bosnya terus bicara kecil sambil menggenggam secarik kertas yang ia remas. Perempuan itu sangat panik hingga tatapan matanya kosong melotot ke arah jok depan. “A–apa kali ini kita akan mati?” Rose tidak berani menatap yang lain. “Rose, tenangkan dirimu. Bila kita mati, aku aka
“Sepertinya mereka berhasil melacak ibumu. Mungkin aku bisa melacak mereka di mana sekarang,” pikir Elizabeth. “Apa dia memberitahu tempatnya? Atau ancaman lainnya?” tanya Alan.“Dia hanya bilang Mama ada ditangan mereka. Setelah itu, teleponnya dimatikan.” Perempuan itu tampak khawatir. Ia duduk di kursi lipat berwarna hitam sambil diselimuti oleh jaket berbulu. Rose, asistennya, tepat ada di sampingnya untuk menjaga perempuan yang sedang rapuh itu. “Baiklah. Sebaiknya kau ganti bajumu dulu. Elizabeth, apa kau punya baju ganti untuknya?” Alan bertanya. “Aku punya. Tapi aku tak tahu apa bajuku sesuai seleramu atau tidak.” Hacker urakan itu beranjak dari depan komputernya. Ia memandu Rose untuk menuju ke lemari pakaian. Wajah Freya tampak termenung dan menunduk. Pikirannya seakan berputar-putar melewati labirin yang tiada ujungnya. Ia ragu untuk bilang kepada lelaki yang tampak serius menjaga dirinya. Sebelum telepon dari Jerome terputus, pria itu mengatakan bahwa Fanny berada di s
“Lepaskan!” Freya menendang selangkangan Jerome lumayan keras hingga pria itu berteriak dan jatuh ke sampingnya. Meski genggaman Jerome terlepas, tapi saat Freya ingin pergi dari ranjang dengan merangkak ke samping, lelaki itu kembali menarik kakinya hingga ia terjebak kembali dalam belenggu cengkeraman tangan Jerome. “Aku tidak akan melepaskanmu!” Candu dari harumnya tubuh Freya mulai mengganggu akal sehat Jerome. Ia terus mengendus nikmatnya harum tubuh perempuan yang tampak meronta-ronta itu. Begitu banyak teriakan yang sering dilontarkan Freya membuatnya sempat berpikir tidak ada orang lain yang akan menolongnya. Hingga ia berada di titik bahwa dirinya hanya sendirian. Dengan perasaan kecewa, akhirnya Freya berhenti memberontak. Perlahan ia melemaskan otot-otot tangannya dan mulai menerima cumbu yang menodainya. Jerome melingkarkan tangan kanannya ke belakang leher perempuan itu. Kecupan kecil tersemat lembut di leher Freya. Perempuan itu mulai menggeliat tidak berdaya ketika
“Sampai jumpa di neraka, Kak.” Senyuman tipis dan tatapan membulat ke arah tubuh Draco tampak membuat David seperti iblis yang meracau setelah berhasil menangkap mangsa. Lalu ia mempersilahkan kepada anak buahnya untuk membawa tubuh kakaknya dari restoran. Sebuah pemakaman yang sudah ia tentukan akan menjadi peristirahatan terakhir Draco. “Apa kapalnya sudah siap? Barang siap dikirim.”[Semua sudah siaga, Bos.]“Bagus. Tenggelamkan dia di laut lepas.”Lelaki itu menutup teleponnya. Perlahan ia duduk kembali dan memutar gelas kaca berisikan wine merah sambil mengendus sedikit harumnya. Tubuh Draco yang ada di depannya pun dimasukkan ke kantong mayat yang berasal dari plastik. Mereka segera membawanya pergi dari hadapan David. Sebuah mobil Van hitam ternyata telah terparkir di belakang restoran. Ada sekitar lima orang yang membantu memasukkan mayat Draco ke dalam Van melalui pintu belakang. Tapi hanya dua orang yang mengirim paket itu menuju ke lokasi. Supir dan penjaga yang duduk di
Alan bersandar di sandaran kursi mobil sport putih milik Diana. Kali ini, wanita itu tidak membiarkan Alan menjadi dominan. Ia yang menyetir, yang menentukan tujuan, dan akhir perjalanan di hari ini. Alan tidak tahu dirinya akan dibawa ke mana. Sepanjang perjalanan ia hanya melihat smartphone miliknya tanpa sekali pun mengobrol dengan wanita yang sedang fokus menyetir. Beberapa pesan singkat dari anak buahnya tampak meliputi rasa cemasnya. Saat Johnny memberitahu ke grup tertutup tentang dana gelap dan apa yang ia temukan di gudang terbengkalai, Alan merasa Beelzebub sengaja ingin mengincar dana itu dan dirinya. Tapi itu baru persepsinya saja. “Apa kau sedang chat dengan dua wanita itu?” Tiba-tiba Diana berkomentar. “Wanita? Oh, maksudmu kedua adikmu?” Alan menghentikan jemarinya mengetik pesan. Ia segera meletakkan kembali smartphone itu ke saku. “Apa mereka membuat onar lagi? Beritahu aku, biar aku yang membereskannya!” Diana melirik Alan dengan wajah gusar. “Mereka baik-baik s
Suara dari alarm smartphone membangunkan Freya yang kala itu terbangun. Perempuan itu tampak tertidur di ranjang rawat inap tempat Alan di rawat. Saat Freya berupaya mencari ke mana perginya lelaki yang ia temani semalaman, ternyata lelaki itu sudah tidak ada di sampingnya. “Alan? Dia ke mana?”“Kenapa aku yang malah tidur di ranjang ini?”Freya baru sadar kalau dirinya yang menempati ranjang milik Alan. Matanya yang masih sayup berupaya mencari Alan sambil memanggil namanya ke seluruh ruangan. Tapi sayangnya, kamar itu telah kosong. Freya bahkan mengecek kamar mandi, tapi tidak ada seorang pun disana. Ketika ia melihat jam di tangan kanannya, dirinya baru teringat kalau hari ini Alan akan menemui Diana. Tapi laki-laki itu belum pulih sebelumnya. Apa ia akan baik-baik saja? Apa lukanya akan terbuka? Apa ia akan bertemu dengan Beelzebub lagi? Semua pertanyaan itu tampak membuat Freya gila. Begitu cemasnya hingga membuat dirinya lari keluar kamar dan menuju ke kamar Johnny yang berada
[Aku sudah kirimkan undangan pernikahanku padamu. Awas saja bila kau tidak datang!]“Untuk adikku, aku pasti akan datang. Tapi apa kau yakin ingin menikahi pria itu?”[Apa maksudmu? A–Aku mencintainya.]“Benarkah? Baiklah, terserah kau saja kalau begitu.”[Ingat! Jangan lupa datang!]Pria asing itu menutup teleponnya. Senyuman kecil di bibirnya tampak meragukan Diana yang akan melakukan pernikahan itu dengan alasan karena mencintai Alan Dominic. Ia pun meminta kepada temannya untuk pergi ke tempat persembunyiannya. Ia ingin bersantai sejenak setelah menyapa musuhnya. ***Setelah beberapa jam berlalu Alan yang semula berada di pusat perbelanjaan saat ini sedang berada di ruang perawatan setelah dua butir peluru di keluarkan di tubuhnya. Ia terbaring di ranjang rumah sakit dan ditemani oleh Rahu yang baru kembali dari kamar Johnny. Perban menyelimuti beberapa area tubuhnya. Tapi yang menjadi kekhawatiran dari lelaki itu justru pria asing yang diduganya sebagai Beelzebub. Pikirannya ma
Pria asing itu tidak sekalipun menjawab pertanyaan Alan. Ia juga enggan membuka tudung dan kacamatanya. Jarak mereka yang agak jauh membuat Alan sulit mengenali wajahnya. Dan hal itu yang membuat Alan tampak gusar. “Hei, jawab pertanyaanku!” teriak lelaki itu. “Kenapa aku harus menjawabnya? Apa itu kewajiban?” sindirnya lagi. Kesabaran lelaki yang sedang mengkhawatirkan temannya itu setipis tisu. Ia tidak segan menodongkan pistol yang ia cabut dari belakang punggungnya. Ujung pistol tampak mengarah langsung ke wajah pria asing itu. “Oh, ternyata kau memiliki pistol. Ini menakjubkan. Baiklah, ayo kita berduel!” Ia tidak segan untuk menerima tantangan Alan yang telah menodongkan pistol ke arahnya. Dengan cekatan, pria itu melemparkan sebuah pisau kecil dengan cepat ke arah Alan. Sontak saja pelatuk pistol ditekan oleh Alan sambil menghindari pisau yang melesak ke arahnya. Dar!Suara
Freya segera menghentikan makannya. Kedua matanya tampak membulat. Ia tidak menyangka kalau orang brengsek yang ia temui tadi adalah orang yang dicari oleh mereka. Tapi Freya tidak merasa orang itu berasal dari keluarga kaya. Ia seperti biasa saja. “Apa kau tahu wajahnya? Kau melihatnya tadi?” Alan tampak bersemangat. Ia meminta Freya mengingat-ingat kembali perawakan orang itu. “A–Aku ingat. Tapi dia mengenakan kacamata. Tingginya juga lebih tinggi dariku. Sayangnya, aku tidak mengenalnya. Mungkin bila kau punya foto yang kau curigai sebagai Beelzebub, aku bisa mengenalnya dari situ. Apakah itu dia atau bukan,” jawab perempuan itu. Alan tersenyum tipis sambil mengembuskan napas. Ia merasa senang karena ada titik terang dari pencariannya. Dan ketika Freya melihat senyuman lelaki itu, ia meleleh dalam kaku. Lidahnya terasa kelu dan sulit untuk bicara. Pesona lelaki tampan dan berotot yang tiba-tiba senyum telah membuatnya senang dalam hati. “Kita mau ke mana lagi? Pulang ke apartem
Ucapan lelaki di depannya tidaklah mendasar. Tapi Freya melihat adanya ancaman yang seakan ingin melilitnya ketika melihat tatapan mata lelaki itu. Buas, haus darah, dan sangat tidak mudah ditebak. Ia belum pernah merasakan kengerian yang membuat benaknya takut sejenak. “Siapa kau?” tanyanya. Lelaki itu mendekat hingga wajahnya menghampiri telinga Freya. Dalam satu tarikan napas ia berkata, “Aku mimpi buruk kalian semua.” Setelah itu, lelaki itu pergi sambil melambaikan tangannya.Freya yang tidak mengerti maksudnya tidak mau ambil pusing dengan kelakuan pria psikopat yang datang tidak dijemput dan pergi semaunya seperti itu. “Apa dia iblis? Dia benar-benar psiko!” pikirnya dalam hati. Tapi ketika Freya hendak melanjutkan berkeliling, sesuatu tergeletak di jalan. Sebuah simbol yang tergambar di secarik kertas berukuran 5x5 cm itu tampak membentuk sebuah huruf ‘B’ besar yang diukir dengan detail dan ditambahkan ukiran gambar iblis. “Apa ini? Apa orang itu yang menjatuhkannya?” Fre
Reaksi Alan dan Rahu tampak terkejut. Keduanya saling memandang dan seakan berbicara dalam benak masing-masing. Apa yang sebelumnya diberitakan oleh Michael tampaknya merupakan informasi yang valid. Tapi sayangnya, Ferdinand Draco Gibbon adalah sosok yang belum pernah ditemui oleh Alan. Ia tidak tahu perawakannya seperti apa. “Siapa?” tanya Freya. Perempuan itu tidak tahu sama sekali tentang orang yang dibicarakan oleh si mata-mata. Namanya terdengar asing, tapi saat melihat raut wajah Alan yang serius, ia berpikir kalau dua lelaki di sampingnya mengenali pria itu. “Kenapa dia dicurigai? Dan kenapa hasil dari penyelidikan Gluttony bilang bahwa bukan dia si Beelzebub itu?” Alan penasaran. “Itu bermula pada pembunuhan sepuluh petinggi Gluttony dua tahun lalu. Mereka semua tewas dengan cap markah bergambar iblis Beelzebub. Cap itu sengaja ditinggalkan di tubuh korban untuk dikenali. Beberapa petinggi lainnya dan ketua telah mengadakan rapat besar kala itu. Dan sebuah nama menjadi ter
“Apa yang kau lakukan di situ?” Alan tidak menyangka bisa menemukan perempuan yang selalu gusar padanya. “Aku … aku hanya ingin menghirup udara segar. Ternyata temanmu ini sangat jago menyetir.” Alasan Freya tampak absurd. Alan merasa kesal dan heran. Ia menundukkan lehernya hingga sejajar dengan tinggi pintu mobil dan melirik ke arah wakil ketuanya yang bodoh. Tatapan Alan tampak mengancam pikiran Rahu yang kaku terdiam di posisinya. “Kenapa kau membawanya?” tanya Alan. “A–Aku … aku hanya … hanya tidak mau melihatnya membentakku terus!” Ucapan Rahu tampak aneh. Alasan yang dibuatnya tidaklah masuk akal. Wakil ketua gangster kalah dengan artis drama kemarin sore? Aneh, ‘kan?“Kau ingin bercanda denganku?” Alan tidaklah marah, tapi ia geram melihat tingkah konyol Rahu. “Lalu kenapa kalau aku mau ikut?! Nggak boleh?! Apa Diana sebegitu berharganya untukmu?” Tiba-tiba Freya meracau mengganggu percakapan antara Alan dan Rahu. Lelaki itu tahu bila watak perempuan di sampingnya sangat