“Kita harus menghentikan acara ini sekarang!” pikir Alan. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Bila ia memaksa ke kru talk show, maka anak buah Jerome Legolas pasti tidak akan membiarkannya. “Dengan cara apa? Kita sedang siaran langsung di televisi. Bila kita hentikan, orang-orang yang menonton di luar sana pasti akan bertanya-tanya,” jawab Rose. Perempuan itu melihat mata bosnya yang seakan mengatakan ‘tolong hentikan acaranya!’ dengan begitu jelas. Freya tidak bisa lagi bersabar dan berusaha tenang setelah mendengar ocehan dari pria sok kenal di sampingnya. “Tolong matikan jaringan listrik gedung ini. Kita harus menghentikan acaranya.”[Baik, Bos.]Alan meminta kepada para anak buahnya. Tapi saat mereka ingin mengerjakan perintah Alan, tiba-tiba jaringan listrik di ruangan itu mati total. Alhasil, kamera, lampu, dan semua yang bersumber dari listrik tidak bisa menyala. Anehnya, siaran langsung yang sedang berlangsung di televisi tetap berjalan. Sebuah siaran pendek menggantikan
“Kita sedang dibuntuti.” Alan membanting setir dan menuju ke sisi lain kota Midway City. “Apa kita tidak bisa langsung ke rumah mama saja?” Freya tampak khawatir. “Jarak mereka sangat dekat. Sepertinya ada mata-mata mereka di sepanjang jalan Midway City. Kita harus mengelabui dan membuat mereka kebingungan dengan tujuan kita,” pikir Alan. Mobil Van terus melaju ke disi barat kota Midway City. Ini adalah daerah yang asing bagi Alan, tapi ia tidak punya pilihan lain selain membawa para perempuan itu pergi menjauh. Tidak lama berselang, beberapa mobil yang membuntuti mereka terlihat di kaca spion. Alan memacu lebih cepat mobilnya agar jarak mereka dengan para pengejar tetaplah jauh. Rose yang duduk di samping bosnya terus bicara kecil sambil menggenggam secarik kertas yang ia remas. Perempuan itu sangat panik hingga tatapan matanya kosong melotot ke arah jok depan. “A–apa kali ini kita akan mati?” Rose tidak berani menatap yang lain. “Rose, tenangkan dirimu. Bila kita mati, aku aka
“Sepertinya mereka berhasil melacak ibumu. Mungkin aku bisa melacak mereka di mana sekarang,” pikir Elizabeth. “Apa dia memberitahu tempatnya? Atau ancaman lainnya?” tanya Alan.“Dia hanya bilang Mama ada ditangan mereka. Setelah itu, teleponnya dimatikan.” Perempuan itu tampak khawatir. Ia duduk di kursi lipat berwarna hitam sambil diselimuti oleh jaket berbulu. Rose, asistennya, tepat ada di sampingnya untuk menjaga perempuan yang sedang rapuh itu. “Baiklah. Sebaiknya kau ganti bajumu dulu. Elizabeth, apa kau punya baju ganti untuknya?” Alan bertanya. “Aku punya. Tapi aku tak tahu apa bajuku sesuai seleramu atau tidak.” Hacker urakan itu beranjak dari depan komputernya. Ia memandu Rose untuk menuju ke lemari pakaian. Wajah Freya tampak termenung dan menunduk. Pikirannya seakan berputar-putar melewati labirin yang tiada ujungnya. Ia ragu untuk bilang kepada lelaki yang tampak serius menjaga dirinya. Sebelum telepon dari Jerome terputus, pria itu mengatakan bahwa Fanny berada di s
“Lepaskan!” Freya menendang selangkangan Jerome lumayan keras hingga pria itu berteriak dan jatuh ke sampingnya. Meski genggaman Jerome terlepas, tapi saat Freya ingin pergi dari ranjang dengan merangkak ke samping, lelaki itu kembali menarik kakinya hingga ia terjebak kembali dalam belenggu cengkeraman tangan Jerome. “Aku tidak akan melepaskanmu!” Candu dari harumnya tubuh Freya mulai mengganggu akal sehat Jerome. Ia terus mengendus nikmatnya harum tubuh perempuan yang tampak meronta-ronta itu. Begitu banyak teriakan yang sering dilontarkan Freya membuatnya sempat berpikir tidak ada orang lain yang akan menolongnya. Hingga ia berada di titik bahwa dirinya hanya sendirian. Dengan perasaan kecewa, akhirnya Freya berhenti memberontak. Perlahan ia melemaskan otot-otot tangannya dan mulai menerima cumbu yang menodainya. Jerome melingkarkan tangan kanannya ke belakang leher perempuan itu. Kecupan kecil tersemat lembut di leher Freya. Perempuan itu mulai menggeliat tidak berdaya ketika
[Bos, enam sniper telah siap di lokasi masing-masing.]“Oke! Bunuh mereka semua!”Ternyata Alan masih memiliki satu earphone lagi di telinga satunya. Setelah ia mematikan kontak dengan Elizabeth, lelaki itu menyalakan kontak dengan anak buahnya. Seluruh anggota yang semula mengikuti Alan ke studio talk show telah menyebar ke area di sekitar hotel milik Jerome. Enam sniper telah mengepung hotel itu. Lalu beberapa orang berpakaian preman menjumpai beberapa anak buah Jerome melalui pintu belakang di lantai dasar. Kedua gangster itu saling baku hantam dan menjadikan hotel penuh romantis menjadi arena duel maut. “Siapkan helikopter untukku. Aku akan menyusul para perempuan itu.”Alan menghabisi beberapa orang yang masih berusaha membunuhnya. Di dalam asap putih, sang Assassin memburu mereka seperti seekor kucing sedang memenggal kepala para tikus. [Helikopter akan datang lima menit lagi.]Salah satu anak buah Alan mengkonfirmasi kedatangan tumpangan bos mafia itu. Dengan melemparkan pi
Sontak saja Alan menoleh ke arah suara tembakan. Elizabeth yang tengah duduk dipangkuan lelaki itu pun tersentak dan turun dari kedua paha Alan. “Kau?!” Elizabeth melihat lurus dengan perasaan heran. “Aku ingin sekali menembak kepala kalian berdua saat ini!” teriak Freya. Ia tampak kesal saat melihat keduanya bercumbu mesra di bawah pohon rindang. Entah apa yang merasuki perempuan itu, tapi ia begitu kepanasan saat Alan mulai mencium bibir lembut saudara tak seibunya. “Aku bisa jelaskan,” ungkap Alan. “Apa yang ingin kau jelaskan? Kau bukan miliknya, ‘kan?” Elizabeth menyela. “Apa kau bisa diam dulu?” Alan menoleh ke perempuan di sampingnya. “Dia bukan kekasihmu! Dia hanya perempuan manja yang membutuhkan pengasuh sepertimu,” pikir Elizabeth. “Cukup!”Dar! Freya menembakkan pistolnya ke atas. Perempuan itu semakin kesal setelah mendengar perdebatan mereka. Ia meminta kepada Alan untuk menghampirinya. Tapi Elizabeth memegang salah satu lengan Alan untuk mencegah lelaki itu. “
“Kau tidak tidur semalam?” Freya bertanya. Ia sedang mengolesi roti dengan selai strawberry tepat di meja makan.“Aku tidur di teras. Bagaimana? Apa kau tidur nyenyak?” Lelaki itu duduk di seberang perempuan yang tampak gusar padanya. Ia hanya mengenakan kaos polos berwarna hitam dan celana denim yang penuh sobekan di bagian lututnya. Sambil mengoleskan roti tawar miliknya, Alan bertanya tentang rencana Freya setelah keluar atau menghilang dari dunia artis. Tampaknya pertanyaan lelaki itu menyinggung perempuan yang sudah jelas-jelas tidak menyukai keadaannya saat ini. Keadaan di mana ia menjadi buronan para gangster bodoh! “Jangan banyak basa-basi. Katakan saja apa maumu? Apa rencana selanjutnya? Dan kapan ini akan berakhir?” Freya menghentikan tangannya mengoles selai. Tatapannya memandang lurus ke arah lelaki di seberangnya. “Tidak akan berakhir. Sebelum kita yang mengakhirinya.” Ucapan Alan tampak ambigu. Freya dibuat bingung dengan sikap konyol dari lelaki di depannya. Tetap s
Tatapan mata Diana tampak kaku dan tajam. Ia tidak peduli kepada para perempuan yang berpenampilan kurang menarik di depannya. Ia hanya memandang seorang lelaki yang mengenakan jaket biru navy di dekatnya. Langkahnya perlahan maju ke arah Alan. Senyuman tipis merekah dari bibir mungilnya. “Siapa kau?” tanyanya. “Apa kau Diana Hood?” Alan bertanya balik. “Aku yang bertanya terlebih dulu. Kenakan jau malah bertanya balik? Apa kau tidak diajarkan sopan santun?” Diana menatap lelaki di depannya. Matanya tampak melirik ke bibir Alan yang sedikit basah. “Maaf, tapi tolong jawab pertanyaanku dulu.” Alan menjawab dengan tenang. “Aku memang Diana. Tapi aku sudah lama tidak menggunakan nama belakangku. Karena ‘Hood’ sangat menjijikkan!” bisiknya. Ketika perempuan itu mendekat ke telinganya, ia melirik sedikit ke arahnya. Harum dari tubuh Diana membuat pikirannya melayang sejenak. Tapi sikap angkuh perempuan itu mengingatkannya pada Freya ketika pertama kali jumpa. “Wah, kau sungguh beran
“Sampai jumpa di neraka, Kak.” Senyuman tipis dan tatapan membulat ke arah tubuh Draco tampak membuat David seperti iblis yang meracau setelah berhasil menangkap mangsa. Lalu ia mempersilahkan kepada anak buahnya untuk membawa tubuh kakaknya dari restoran. Sebuah pemakaman yang sudah ia tentukan akan menjadi peristirahatan terakhir Draco. “Apa kapalnya sudah siap? Barang siap dikirim.”[Semua sudah siaga, Bos.]“Bagus. Tenggelamkan dia di laut lepas.”Lelaki itu menutup teleponnya. Perlahan ia duduk kembali dan memutar gelas kaca berisikan wine merah sambil mengendus sedikit harumnya. Tubuh Draco yang ada di depannya pun dimasukkan ke kantong mayat yang berasal dari plastik. Mereka segera membawanya pergi dari hadapan David. Sebuah mobil Van hitam ternyata telah terparkir di belakang restoran. Ada sekitar lima orang yang membantu memasukkan mayat Draco ke dalam Van melalui pintu belakang. Tapi hanya dua orang yang mengirim paket itu menuju ke lokasi. Supir dan penjaga yang duduk di
Alan bersandar di sandaran kursi mobil sport putih milik Diana. Kali ini, wanita itu tidak membiarkan Alan menjadi dominan. Ia yang menyetir, yang menentukan tujuan, dan akhir perjalanan di hari ini. Alan tidak tahu dirinya akan dibawa ke mana. Sepanjang perjalanan ia hanya melihat smartphone miliknya tanpa sekali pun mengobrol dengan wanita yang sedang fokus menyetir. Beberapa pesan singkat dari anak buahnya tampak meliputi rasa cemasnya. Saat Johnny memberitahu ke grup tertutup tentang dana gelap dan apa yang ia temukan di gudang terbengkalai, Alan merasa Beelzebub sengaja ingin mengincar dana itu dan dirinya. Tapi itu baru persepsinya saja. “Apa kau sedang chat dengan dua wanita itu?” Tiba-tiba Diana berkomentar. “Wanita? Oh, maksudmu kedua adikmu?” Alan menghentikan jemarinya mengetik pesan. Ia segera meletakkan kembali smartphone itu ke saku. “Apa mereka membuat onar lagi? Beritahu aku, biar aku yang membereskannya!” Diana melirik Alan dengan wajah gusar. “Mereka baik-baik s
Suara dari alarm smartphone membangunkan Freya yang kala itu terbangun. Perempuan itu tampak tertidur di ranjang rawat inap tempat Alan di rawat. Saat Freya berupaya mencari ke mana perginya lelaki yang ia temani semalaman, ternyata lelaki itu sudah tidak ada di sampingnya. “Alan? Dia ke mana?”“Kenapa aku yang malah tidur di ranjang ini?”Freya baru sadar kalau dirinya yang menempati ranjang milik Alan. Matanya yang masih sayup berupaya mencari Alan sambil memanggil namanya ke seluruh ruangan. Tapi sayangnya, kamar itu telah kosong. Freya bahkan mengecek kamar mandi, tapi tidak ada seorang pun disana. Ketika ia melihat jam di tangan kanannya, dirinya baru teringat kalau hari ini Alan akan menemui Diana. Tapi laki-laki itu belum pulih sebelumnya. Apa ia akan baik-baik saja? Apa lukanya akan terbuka? Apa ia akan bertemu dengan Beelzebub lagi? Semua pertanyaan itu tampak membuat Freya gila. Begitu cemasnya hingga membuat dirinya lari keluar kamar dan menuju ke kamar Johnny yang berada
[Aku sudah kirimkan undangan pernikahanku padamu. Awas saja bila kau tidak datang!]“Untuk adikku, aku pasti akan datang. Tapi apa kau yakin ingin menikahi pria itu?”[Apa maksudmu? A–Aku mencintainya.]“Benarkah? Baiklah, terserah kau saja kalau begitu.”[Ingat! Jangan lupa datang!]Pria asing itu menutup teleponnya. Senyuman kecil di bibirnya tampak meragukan Diana yang akan melakukan pernikahan itu dengan alasan karena mencintai Alan Dominic. Ia pun meminta kepada temannya untuk pergi ke tempat persembunyiannya. Ia ingin bersantai sejenak setelah menyapa musuhnya. ***Setelah beberapa jam berlalu Alan yang semula berada di pusat perbelanjaan saat ini sedang berada di ruang perawatan setelah dua butir peluru di keluarkan di tubuhnya. Ia terbaring di ranjang rumah sakit dan ditemani oleh Rahu yang baru kembali dari kamar Johnny. Perban menyelimuti beberapa area tubuhnya. Tapi yang menjadi kekhawatiran dari lelaki itu justru pria asing yang diduganya sebagai Beelzebub. Pikirannya ma
Pria asing itu tidak sekalipun menjawab pertanyaan Alan. Ia juga enggan membuka tudung dan kacamatanya. Jarak mereka yang agak jauh membuat Alan sulit mengenali wajahnya. Dan hal itu yang membuat Alan tampak gusar. “Hei, jawab pertanyaanku!” teriak lelaki itu. “Kenapa aku harus menjawabnya? Apa itu kewajiban?” sindirnya lagi. Kesabaran lelaki yang sedang mengkhawatirkan temannya itu setipis tisu. Ia tidak segan menodongkan pistol yang ia cabut dari belakang punggungnya. Ujung pistol tampak mengarah langsung ke wajah pria asing itu. “Oh, ternyata kau memiliki pistol. Ini menakjubkan. Baiklah, ayo kita berduel!” Ia tidak segan untuk menerima tantangan Alan yang telah menodongkan pistol ke arahnya. Dengan cekatan, pria itu melemparkan sebuah pisau kecil dengan cepat ke arah Alan. Sontak saja pelatuk pistol ditekan oleh Alan sambil menghindari pisau yang melesak ke arahnya. Dar!Suara
Freya segera menghentikan makannya. Kedua matanya tampak membulat. Ia tidak menyangka kalau orang brengsek yang ia temui tadi adalah orang yang dicari oleh mereka. Tapi Freya tidak merasa orang itu berasal dari keluarga kaya. Ia seperti biasa saja. “Apa kau tahu wajahnya? Kau melihatnya tadi?” Alan tampak bersemangat. Ia meminta Freya mengingat-ingat kembali perawakan orang itu. “A–Aku ingat. Tapi dia mengenakan kacamata. Tingginya juga lebih tinggi dariku. Sayangnya, aku tidak mengenalnya. Mungkin bila kau punya foto yang kau curigai sebagai Beelzebub, aku bisa mengenalnya dari situ. Apakah itu dia atau bukan,” jawab perempuan itu. Alan tersenyum tipis sambil mengembuskan napas. Ia merasa senang karena ada titik terang dari pencariannya. Dan ketika Freya melihat senyuman lelaki itu, ia meleleh dalam kaku. Lidahnya terasa kelu dan sulit untuk bicara. Pesona lelaki tampan dan berotot yang tiba-tiba senyum telah membuatnya senang dalam hati. “Kita mau ke mana lagi? Pulang ke apartem
Ucapan lelaki di depannya tidaklah mendasar. Tapi Freya melihat adanya ancaman yang seakan ingin melilitnya ketika melihat tatapan mata lelaki itu. Buas, haus darah, dan sangat tidak mudah ditebak. Ia belum pernah merasakan kengerian yang membuat benaknya takut sejenak. “Siapa kau?” tanyanya. Lelaki itu mendekat hingga wajahnya menghampiri telinga Freya. Dalam satu tarikan napas ia berkata, “Aku mimpi buruk kalian semua.” Setelah itu, lelaki itu pergi sambil melambaikan tangannya.Freya yang tidak mengerti maksudnya tidak mau ambil pusing dengan kelakuan pria psikopat yang datang tidak dijemput dan pergi semaunya seperti itu. “Apa dia iblis? Dia benar-benar psiko!” pikirnya dalam hati. Tapi ketika Freya hendak melanjutkan berkeliling, sesuatu tergeletak di jalan. Sebuah simbol yang tergambar di secarik kertas berukuran 5x5 cm itu tampak membentuk sebuah huruf ‘B’ besar yang diukir dengan detail dan ditambahkan ukiran gambar iblis. “Apa ini? Apa orang itu yang menjatuhkannya?” Fre
Reaksi Alan dan Rahu tampak terkejut. Keduanya saling memandang dan seakan berbicara dalam benak masing-masing. Apa yang sebelumnya diberitakan oleh Michael tampaknya merupakan informasi yang valid. Tapi sayangnya, Ferdinand Draco Gibbon adalah sosok yang belum pernah ditemui oleh Alan. Ia tidak tahu perawakannya seperti apa. “Siapa?” tanya Freya. Perempuan itu tidak tahu sama sekali tentang orang yang dibicarakan oleh si mata-mata. Namanya terdengar asing, tapi saat melihat raut wajah Alan yang serius, ia berpikir kalau dua lelaki di sampingnya mengenali pria itu. “Kenapa dia dicurigai? Dan kenapa hasil dari penyelidikan Gluttony bilang bahwa bukan dia si Beelzebub itu?” Alan penasaran. “Itu bermula pada pembunuhan sepuluh petinggi Gluttony dua tahun lalu. Mereka semua tewas dengan cap markah bergambar iblis Beelzebub. Cap itu sengaja ditinggalkan di tubuh korban untuk dikenali. Beberapa petinggi lainnya dan ketua telah mengadakan rapat besar kala itu. Dan sebuah nama menjadi ter
“Apa yang kau lakukan di situ?” Alan tidak menyangka bisa menemukan perempuan yang selalu gusar padanya. “Aku … aku hanya ingin menghirup udara segar. Ternyata temanmu ini sangat jago menyetir.” Alasan Freya tampak absurd. Alan merasa kesal dan heran. Ia menundukkan lehernya hingga sejajar dengan tinggi pintu mobil dan melirik ke arah wakil ketuanya yang bodoh. Tatapan Alan tampak mengancam pikiran Rahu yang kaku terdiam di posisinya. “Kenapa kau membawanya?” tanya Alan. “A–Aku … aku hanya … hanya tidak mau melihatnya membentakku terus!” Ucapan Rahu tampak aneh. Alasan yang dibuatnya tidaklah masuk akal. Wakil ketua gangster kalah dengan artis drama kemarin sore? Aneh, ‘kan?“Kau ingin bercanda denganku?” Alan tidaklah marah, tapi ia geram melihat tingkah konyol Rahu. “Lalu kenapa kalau aku mau ikut?! Nggak boleh?! Apa Diana sebegitu berharganya untukmu?” Tiba-tiba Freya meracau mengganggu percakapan antara Alan dan Rahu. Lelaki itu tahu bila watak perempuan di sampingnya sangat