“Apa kau punya nomor telepon si putri keenam?”
[Aku akan mengirimkannya.]Alan tampak khawatir. Sepertinya ia tidak bisa sampai tepat waktu ke lokasi ‘Gala Dinner’. Dengan sedikit improvisasi, ia mengirimkan pesan kepada Freya Hood untuk tetap di dalam gedung.[Hei, maaf mengganggu. Tapi aku adalah kenalan ayahmu. Apa boleh aku meminta kepadamu? Tolong tetaplah di dalam gedung sampai aku tiba. Jangan sekali-kali keluar atau bercengkrama dengan orang asing. Kenapa? Karena kau dalam bahaya sekarang.]Pesan itu sampai ke layar smartphone milik Freya. Perempuan itu membukanya di tengah-tengah keadaannya yang tidak kondusif.Ia berpikir kalau orang yang mengirimkan pesan kepadanya adalah orang bodoh yang tidak tahu diri. Seenaknya saja orang asing yang tidak ia kenal menyuruhnya untuk tetap berada di dalam gedung.“Menyebalkan! Sudah mengganggu, ditambah lagi dia telat datang dan menyuruhku untuk tetap di dalam gedung?! Maa saja, tapi aku bukanlah anak kecil yang bisa seenaknya diperintah!”Mencoba untuk menenangkan diri, Freya tampak mengembuskan napas. Ia pun melanjutkan fokusnya pada supir mini Van yang mengajaknya jalan-jalan. Ia berpikir kalau dirinya sedang diculik. Supir yang berada di belakang kemudi adalah orang asing.Tapi untungnya ia bukanlah perempuan cengeng yang berteriak ketika sedang diculik. Freya bergegas mengirimkan lokasi aktualnya ke asisten pribadinya. Ia meminta Rose, asisten pribadinya, untuk melapor ke pihak berwajib.“Bukankah kita seharusnya berhenti di perempatan jalan tadi?” tanya Freya mengernyitkan dahinya.Ia mencoba menahan emosinya. Tapi di tangan kanannya sudah ada botol air mineral ukuran satu liter yang baru diambil di kotak pendingin. Ia tampak bersiap-siap untuk memukul supir itu.“Oh, maaf. Aku harus isi bensin dulu. Kita pasti akan kembali ke sana,” ungkap si supir.“Pom bensin berada di pinggir jalan tadi. Saat ini kita sedang berada di jalan tol. Apa kau tidak bisa berbohong lebih baik lagi?” Freya mulai kesal.“Oh, jadi kau sudah tahu. Maaf, tapi aku harus menculikmu; Freya Hood.” Supir itu tampak tersenyum.Tapi Freya tidak tinggal diam. Ia mengayunkan botol air mineral itu ke kepala si supir. Tapi sebelum sempat melakukannya, supir itu sudah mengintip dari kaca dashboard. Ia membanting setir mobil untuk mengacaukan keseimbangan Freya. Dan itu pun berhasil! Freya goyah dan botol itu terjatuh.“Brengsek!” Freya langsung mencekik supir itu dari belakang untuk menghilangkan fokus menyetirnya.“Ku–kurang ajar! Lepaskan!” Supir terpaksa membanting setir ke kiri dan membuat mobil masuk ke area hijau di pinggir tol.Perlahan mobil menabrak pepohonan dan membuat supir itu terbentur gagang setir mobil. Untungnya Freya bisa menahan benturan yang lumayan keras itu.“Si–sial….” Ia berusaha menarik pintu samping dan keluar dari dalam mobil. Jalannya tampak sempoyongan.Dari kejauhan tampak ada satu mobil mini Van berwarna hitam yang berhenti di pinggir tol. Ada beberapa orang berjas hitam yang turun dan menggenggam senjata api. Mereka mengerubungi Freya yang masih belum fokus.“Freya Hood; putri dari Alexander Hood. Kau akan membayar apa yang dilakukan oleh ayahmu terhadap adik kandung bos kami!” Pria itu tampak bicara dengan nada tinggi.“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali.” Freya tidak paham dengan ucapan pria aneh yang mengenakan kacamata hitam itu.“Kau akan mengerti setelah ikut dengan kami!” Ia memerintahkan beberapa orang lagi untuk menyeret paksa perempuan itu.Tapi…Ketika Freya hendak diseret, tiba-tiba sebuah mobil berwarna silver masuk menerobos area hijau di pinggir jalan tol. Mobil terus melaju hingga menabrak sebagian orang berjas hitam. Saat pintu mobil bagian depan terbuka, Freya melihat sosok lelaki yang tampak asing.“Hei, masuklah.” Alan Dominic berhasil tepat waktu.“Siapa kau?!” Freya enggan masuk ke dalam mobil.“Masuk saja! Atau kau ingin mati di sini?!” Alan berteriak. Ia memaksa perempuan itu.“Oke, fine!” Akhirnya Freya menurut.Alan memacu mobilnya dengan cepat tanpa pedulikan para pria berjas hitam yang mencegat jalannya. Ia tidak segan-segan menabrak mereka. Mobil sport itu pun kembali ke jalan tol. Alan menancap dalam-dalam pedal gas agar bisa kabur dari kejaran para pria berjas hitam itu.“Oke! Aku mulai kesal! Siapa kau? Dan siapa mereka?!” Freya membentak lelaki di sampingnya.“Aku adalah orang yang mengirimkanmu pesan tadi.” Alan menoleh ke arah perempuan yang tampak sedang gusar.“Oh, jadi kau orangnya! Tanpa adanya salam kenal atau menyisipkan nama, kau berani menyuruhku untuk tetap tinggal di dalam gedung?! Kau pikir aku apa? Anak sekolah dasar?!” Freya mengamuk.Alan tampak terkejut. Ia menjadi pelampiasan perempuan itu. “Tenanglah dulu. Kita fokus dulu ke mereka.”“Memangnya siapa mereka?” tanya Freya.“Mereka hanyalah geng jalanan bernama Wolf Gang. Kami baru saja bentrok tadi malam dengan mereka. Mungkin karena alasan itu mereka marah,” ungkap Alan. Sesekali ia melihat kaca di atap tengah untuk melihat ke belakang.“Wolf Gang? Maksudmu geng preman jalanan?” Freya asal menebak.“Bisa dibilang begitu.” Alan menyalip beberapa mobil di depannya dan terus menjaga jarak lebih jauh dengan mobil Van hitam yang tadi berhenti di pinggir jalan.“Apa kau suruhan ayah? Asistenku bilang bakal ada orang suruhan ayah yang datang menemuiku.” Freya asal menebak lagi.“Kau benar. Aku suruhan ayahmu. Aku adalah Alan Dominic. Salam kenal,” jawab Alan.Freya mulai sungkan untuk memulai pembicaraan. Ia lebih memilih mengabaikan Alan dengan tatapan dingin sambil melipat kedua tangannyanya di depan dada.“Kita harus bicara dengan serius.” Tiba-tiba mobil berhenti setelah keluar lumayan jauh dari gerbang tol.“Kau ingin bicara apa? Ingat statusmu! Kau hanya orang suruhan!” Freya menunjuk lelaki itu dengan telunjuknya.“Ayahmu baru saja meninggal. Dia tewas malam tadi. Aku yakin kalau dia diracun oleh seseorang. Dan aku yakin itu bukan berasal dari anggota Wolf Gang yang kami bantai semalam. Ada konspirasi yang jauh lebih besar. Dan bila kau peduli, kau bisa ikut denganku untuk pulang.” Alan menceritakan semuanya.“Pulang ke mana?” tanya Freya. Ia lebih peduli dengan tujuan ‘pulang’ yang dibicarakan Alan daripada berita ayahnya yang tewas.“Ke tempatmu. Karena aku tidak punya tempat tinggal di kota ini,” ungkap Alan. Ia menatap perempuan di sampingnya dengan serius.“Sebaiknya kau punya alasan yang bagus untuk dijelaskan di rumahku! Bila tidak, aku akan membunuhmu!” Freya mengancam.“Bila aku tidak punya, aku tidak mungkin menyelamatkanmu,” sahut Alan kembali menyetir mobilnya.“Cih! Kenapa jadi dia yang jutek?!” Freya bergumam dalam hati. Kedua matanya diputar sambil memalingkan wajahnya.“Jadi, ini adalah tempatmu?” Alan memarkir mobilnya di basemen sebuah gedung apartemen mewah di pinggir kota yang terkenal dengan griya tawangnya. “Jangan bicara. Aku benci laki-laki yang banyak bicara seperti wanita!” Freya melangkah meninggalkan lelaki itu dengan wajah sinis. Ia menuju ke lift yang ada di seberang mobil Alan yang terparkir. Setelah memacu jantung di jalan tol beberapa jam lalu, saat ini perempuan itu merasa kembali tenang karena sudah sampai di tempatnya. Ia juga meminta kepada asisten pribadinya untuk jangan ke unit griya tawangnya dulu. Ia butuh memperjelas keperluan lelaki aneh yang tiba-tiba datang mengaku sebagai orang suruhan ayahnya. Alan pun mengikuti perempuan itu untuk masuk ke dalam lift. Tidak ada pembicaraan. Keduanya saling menjaga jarak. Tampak di pantulan dinding lift yang terbuat dari cermin, keduanya saling mencuri pandang. Tapi mereka ragu untuk memulai pembicaraan.Lelaki itu takut mengganggu kenyamanan perempuan di dekatnya. Akhirnya yang ia
“Ini adalah tempatnya.” Dengan mengenakan earphone di telinga, Freya menghubungi lelaki yang sudah berada di belakang gedung tua. Ia pun juga baru tiba di seberang gedung itu. Dengan mobil Alan, ia mendekati pintu masuk gedung yang sudah dijaga oleh para pria berjas hitam. Mereka tampak kaku dan berbadan kekar. Tapi itu bukan masalah. Freya tetap masuk tanpa rasa takut. “Freya Hood… akhirnya kau datang juga.” Seorang pria agak lebih tua menyambutnya tepat di depan lobi gedung. Saat Freya turun dari mobil, ia melihat ke seluruh penjuru gedung. Tampaknya kacamata yang ia kenakan adalah milik Alan. Di setiap sisi sudut kacamata terdapat kamera kecil yang merekam dan melihat keadaan yang dilihat oleh Freya. “Aku akan masuk ke dalam gedung.” Setelah Freya memberitahu jumlah para mafia busuk itu, ia pun diajak masuk oleh si pria yang menyambutnya. Di sisi belakang gedung, Alan menyelinap menggunakan rompi anti peluru dan perlengkapan bersenjata lengkap. Ia seperti pemburu yang ingin me
“Ini rumah ibumu?” Alan terkejut dengan luasnya rumah ibu seorang artis. Mungkin luasnya bisa disamakan dengan luas lapangan bola. “Dia sangat suka berkebun dan membuat beberapa pendopo. Tidak mungkin, ‘kan aku memberikannya apartemen. Dia mungkin akan menggantung setiap tanaman di setiap sudut ruangan dan di balkon apartemen.” Freya teringat dengan awal pertama kali ia mengajak ibunya menginap di griya tawangnya. Banyak sekali tanaman yang diletakkan di setiap sudut unitnya. Perempuan itu mengajak Rose dan Alan masuk ke dalam. Tidak ada penjaga di gerbang masuk. Tidak ada bodyguard yang berjaga di setiap sudut rumah. Lelaki itu merasa Freya terlalu santai. Bahkan sebagai seorang artis, ia tidak memiliki bodyguard untuk mengawalnya. Klek!“Freya?” Fanny; ibu di artis menyambut mereka.Alan menelan ludah, namun cepat-cepat ia membuang pandangannya dari sosok perempuan paruh baya yang cantik itu.Bagaimana tidak, di usianya yang sudah menginjak kepala 5, wajahnya masih begitu cantik.
“Freya, to–tolong hentikan.” Alan menelan salivanya. Denyut jantung yang semula berirama santai tiba-tiba berpacu cepat. Perempuan itu melepaskan genggaman Alan pada tangannya dan kembali meraba dada lelaki itu yang hanya berbalut kaos tipis saja. Gerak tangan perempuan itu sungguh meninggalkan jejak yang membuat Alan terus menatap bibir Freya yang terus terbuka kecil. Tanpa peringatan, Freya berjinjit untuk menyamai tinggi Alan yang jauh diatasnya. Ia terus melihat bibir Alan yang tampak mungil dan tenang. Sambil melingkarkan kedua tangannya ke belakang pundak lelaki itu, Freya mencoba mengendus sedikit harumnya leher Alan. Saat ia ingin menuju ke bibir mungil itu, dengan sigap Alan memalingkan kepalanya. Mata Freya membesar sambil menghentikan aksinya. Ia melihat ekspresi Alan yang tampak tidak peduli padanya. “Sebaiknya kau segera tidur. Aku juga akan kembali ke kamarku.” Lelaki itu melepaskan genggaman tangan Freya yang masih memeluk erat dirinya dengan perlahan. “Apa aku tid
“Kau akan menyesal telah menodongkan pistol itu,” ungkap Alan. “Aku tahu kau berasal dari gangster Falsehood.” Pria itu mendekatkan dirinya ke Alan. Ujung pistol semakin mendesak punggung lelaki yang tampak tenang. “Baiklah, terserah kau saja.” Alan membuang napas panjang. Lelaki itu mulai berbalik dengan cepat dan menepis lengan pria yang menodongkan pistol dengan begitu cepat. Gerakan mengelak Alan disertai dengan serangan cepat ke arah leher pria yang mulai kehilangan keseimbangannya. Belum sempat ia menekan pelatuk, pria itu telah tergeletak tidak sadarkan diri di lantai lift. Alan segera mengatur posisi pria itu seakan-akan ia pingsan secara natural sebelum pintu lift terbuka. Lelaki itu pun mengambil beberapa barang di dalam saku jaket yang dikenakan pria yang menyerangnya, setelah itu ia keluar dari lift. Untungnya tidak ada orang yang menunggunya di luar. “Ada penyusup. Tolong patroli di dalam gedung.”Alan memberi perintah ke anak buahnya. Ia bergegas menuju ke studio tal
“Kita harus menghentikan acara ini sekarang!” pikir Alan. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Bila ia memaksa ke kru talk show, maka anak buah Jerome Legolas pasti tidak akan membiarkannya. “Dengan cara apa? Kita sedang siaran langsung di televisi. Bila kita hentikan, orang-orang yang menonton di luar sana pasti akan bertanya-tanya,” jawab Rose. Perempuan itu melihat mata bosnya yang seakan mengatakan ‘tolong hentikan acaranya!’ dengan begitu jelas. Freya tidak bisa lagi bersabar dan berusaha tenang setelah mendengar ocehan dari pria sok kenal di sampingnya. “Tolong matikan jaringan listrik gedung ini. Kita harus menghentikan acaranya.”[Baik, Bos.]Alan meminta kepada para anak buahnya. Tapi saat mereka ingin mengerjakan perintah Alan, tiba-tiba jaringan listrik di ruangan itu mati total. Alhasil, kamera, lampu, dan semua yang bersumber dari listrik tidak bisa menyala. Anehnya, siaran langsung yang sedang berlangsung di televisi tetap berjalan. Sebuah siaran pendek menggantikan
“Kita sedang dibuntuti.” Alan membanting setir dan menuju ke sisi lain kota Midway City. “Apa kita tidak bisa langsung ke rumah mama saja?” Freya tampak khawatir. “Jarak mereka sangat dekat. Sepertinya ada mata-mata mereka di sepanjang jalan Midway City. Kita harus mengelabui dan membuat mereka kebingungan dengan tujuan kita,” pikir Alan. Mobil Van terus melaju ke disi barat kota Midway City. Ini adalah daerah yang asing bagi Alan, tapi ia tidak punya pilihan lain selain membawa para perempuan itu pergi menjauh. Tidak lama berselang, beberapa mobil yang membuntuti mereka terlihat di kaca spion. Alan memacu lebih cepat mobilnya agar jarak mereka dengan para pengejar tetaplah jauh. Rose yang duduk di samping bosnya terus bicara kecil sambil menggenggam secarik kertas yang ia remas. Perempuan itu sangat panik hingga tatapan matanya kosong melotot ke arah jok depan. “A–apa kali ini kita akan mati?” Rose tidak berani menatap yang lain. “Rose, tenangkan dirimu. Bila kita mati, aku aka
“Sepertinya mereka berhasil melacak ibumu. Mungkin aku bisa melacak mereka di mana sekarang,” pikir Elizabeth. “Apa dia memberitahu tempatnya? Atau ancaman lainnya?” tanya Alan.“Dia hanya bilang Mama ada ditangan mereka. Setelah itu, teleponnya dimatikan.” Perempuan itu tampak khawatir. Ia duduk di kursi lipat berwarna hitam sambil diselimuti oleh jaket berbulu. Rose, asistennya, tepat ada di sampingnya untuk menjaga perempuan yang sedang rapuh itu. “Baiklah. Sebaiknya kau ganti bajumu dulu. Elizabeth, apa kau punya baju ganti untuknya?” Alan bertanya. “Aku punya. Tapi aku tak tahu apa bajuku sesuai seleramu atau tidak.” Hacker urakan itu beranjak dari depan komputernya. Ia memandu Rose untuk menuju ke lemari pakaian. Wajah Freya tampak termenung dan menunduk. Pikirannya seakan berputar-putar melewati labirin yang tiada ujungnya. Ia ragu untuk bilang kepada lelaki yang tampak serius menjaga dirinya. Sebelum telepon dari Jerome terputus, pria itu mengatakan bahwa Fanny berada di s
“Sampai jumpa di neraka, Kak.” Senyuman tipis dan tatapan membulat ke arah tubuh Draco tampak membuat David seperti iblis yang meracau setelah berhasil menangkap mangsa. Lalu ia mempersilahkan kepada anak buahnya untuk membawa tubuh kakaknya dari restoran. Sebuah pemakaman yang sudah ia tentukan akan menjadi peristirahatan terakhir Draco. “Apa kapalnya sudah siap? Barang siap dikirim.”[Semua sudah siaga, Bos.]“Bagus. Tenggelamkan dia di laut lepas.”Lelaki itu menutup teleponnya. Perlahan ia duduk kembali dan memutar gelas kaca berisikan wine merah sambil mengendus sedikit harumnya. Tubuh Draco yang ada di depannya pun dimasukkan ke kantong mayat yang berasal dari plastik. Mereka segera membawanya pergi dari hadapan David. Sebuah mobil Van hitam ternyata telah terparkir di belakang restoran. Ada sekitar lima orang yang membantu memasukkan mayat Draco ke dalam Van melalui pintu belakang. Tapi hanya dua orang yang mengirim paket itu menuju ke lokasi. Supir dan penjaga yang duduk di
Alan bersandar di sandaran kursi mobil sport putih milik Diana. Kali ini, wanita itu tidak membiarkan Alan menjadi dominan. Ia yang menyetir, yang menentukan tujuan, dan akhir perjalanan di hari ini. Alan tidak tahu dirinya akan dibawa ke mana. Sepanjang perjalanan ia hanya melihat smartphone miliknya tanpa sekali pun mengobrol dengan wanita yang sedang fokus menyetir. Beberapa pesan singkat dari anak buahnya tampak meliputi rasa cemasnya. Saat Johnny memberitahu ke grup tertutup tentang dana gelap dan apa yang ia temukan di gudang terbengkalai, Alan merasa Beelzebub sengaja ingin mengincar dana itu dan dirinya. Tapi itu baru persepsinya saja. “Apa kau sedang chat dengan dua wanita itu?” Tiba-tiba Diana berkomentar. “Wanita? Oh, maksudmu kedua adikmu?” Alan menghentikan jemarinya mengetik pesan. Ia segera meletakkan kembali smartphone itu ke saku. “Apa mereka membuat onar lagi? Beritahu aku, biar aku yang membereskannya!” Diana melirik Alan dengan wajah gusar. “Mereka baik-baik s
Suara dari alarm smartphone membangunkan Freya yang kala itu terbangun. Perempuan itu tampak tertidur di ranjang rawat inap tempat Alan di rawat. Saat Freya berupaya mencari ke mana perginya lelaki yang ia temani semalaman, ternyata lelaki itu sudah tidak ada di sampingnya. “Alan? Dia ke mana?”“Kenapa aku yang malah tidur di ranjang ini?”Freya baru sadar kalau dirinya yang menempati ranjang milik Alan. Matanya yang masih sayup berupaya mencari Alan sambil memanggil namanya ke seluruh ruangan. Tapi sayangnya, kamar itu telah kosong. Freya bahkan mengecek kamar mandi, tapi tidak ada seorang pun disana. Ketika ia melihat jam di tangan kanannya, dirinya baru teringat kalau hari ini Alan akan menemui Diana. Tapi laki-laki itu belum pulih sebelumnya. Apa ia akan baik-baik saja? Apa lukanya akan terbuka? Apa ia akan bertemu dengan Beelzebub lagi? Semua pertanyaan itu tampak membuat Freya gila. Begitu cemasnya hingga membuat dirinya lari keluar kamar dan menuju ke kamar Johnny yang berada
[Aku sudah kirimkan undangan pernikahanku padamu. Awas saja bila kau tidak datang!]“Untuk adikku, aku pasti akan datang. Tapi apa kau yakin ingin menikahi pria itu?”[Apa maksudmu? A–Aku mencintainya.]“Benarkah? Baiklah, terserah kau saja kalau begitu.”[Ingat! Jangan lupa datang!]Pria asing itu menutup teleponnya. Senyuman kecil di bibirnya tampak meragukan Diana yang akan melakukan pernikahan itu dengan alasan karena mencintai Alan Dominic. Ia pun meminta kepada temannya untuk pergi ke tempat persembunyiannya. Ia ingin bersantai sejenak setelah menyapa musuhnya. ***Setelah beberapa jam berlalu Alan yang semula berada di pusat perbelanjaan saat ini sedang berada di ruang perawatan setelah dua butir peluru di keluarkan di tubuhnya. Ia terbaring di ranjang rumah sakit dan ditemani oleh Rahu yang baru kembali dari kamar Johnny. Perban menyelimuti beberapa area tubuhnya. Tapi yang menjadi kekhawatiran dari lelaki itu justru pria asing yang diduganya sebagai Beelzebub. Pikirannya ma
Pria asing itu tidak sekalipun menjawab pertanyaan Alan. Ia juga enggan membuka tudung dan kacamatanya. Jarak mereka yang agak jauh membuat Alan sulit mengenali wajahnya. Dan hal itu yang membuat Alan tampak gusar. “Hei, jawab pertanyaanku!” teriak lelaki itu. “Kenapa aku harus menjawabnya? Apa itu kewajiban?” sindirnya lagi. Kesabaran lelaki yang sedang mengkhawatirkan temannya itu setipis tisu. Ia tidak segan menodongkan pistol yang ia cabut dari belakang punggungnya. Ujung pistol tampak mengarah langsung ke wajah pria asing itu. “Oh, ternyata kau memiliki pistol. Ini menakjubkan. Baiklah, ayo kita berduel!” Ia tidak segan untuk menerima tantangan Alan yang telah menodongkan pistol ke arahnya. Dengan cekatan, pria itu melemparkan sebuah pisau kecil dengan cepat ke arah Alan. Sontak saja pelatuk pistol ditekan oleh Alan sambil menghindari pisau yang melesak ke arahnya. Dar!Suara
Freya segera menghentikan makannya. Kedua matanya tampak membulat. Ia tidak menyangka kalau orang brengsek yang ia temui tadi adalah orang yang dicari oleh mereka. Tapi Freya tidak merasa orang itu berasal dari keluarga kaya. Ia seperti biasa saja. “Apa kau tahu wajahnya? Kau melihatnya tadi?” Alan tampak bersemangat. Ia meminta Freya mengingat-ingat kembali perawakan orang itu. “A–Aku ingat. Tapi dia mengenakan kacamata. Tingginya juga lebih tinggi dariku. Sayangnya, aku tidak mengenalnya. Mungkin bila kau punya foto yang kau curigai sebagai Beelzebub, aku bisa mengenalnya dari situ. Apakah itu dia atau bukan,” jawab perempuan itu. Alan tersenyum tipis sambil mengembuskan napas. Ia merasa senang karena ada titik terang dari pencariannya. Dan ketika Freya melihat senyuman lelaki itu, ia meleleh dalam kaku. Lidahnya terasa kelu dan sulit untuk bicara. Pesona lelaki tampan dan berotot yang tiba-tiba senyum telah membuatnya senang dalam hati. “Kita mau ke mana lagi? Pulang ke apartem
Ucapan lelaki di depannya tidaklah mendasar. Tapi Freya melihat adanya ancaman yang seakan ingin melilitnya ketika melihat tatapan mata lelaki itu. Buas, haus darah, dan sangat tidak mudah ditebak. Ia belum pernah merasakan kengerian yang membuat benaknya takut sejenak. “Siapa kau?” tanyanya. Lelaki itu mendekat hingga wajahnya menghampiri telinga Freya. Dalam satu tarikan napas ia berkata, “Aku mimpi buruk kalian semua.” Setelah itu, lelaki itu pergi sambil melambaikan tangannya.Freya yang tidak mengerti maksudnya tidak mau ambil pusing dengan kelakuan pria psikopat yang datang tidak dijemput dan pergi semaunya seperti itu. “Apa dia iblis? Dia benar-benar psiko!” pikirnya dalam hati. Tapi ketika Freya hendak melanjutkan berkeliling, sesuatu tergeletak di jalan. Sebuah simbol yang tergambar di secarik kertas berukuran 5x5 cm itu tampak membentuk sebuah huruf ‘B’ besar yang diukir dengan detail dan ditambahkan ukiran gambar iblis. “Apa ini? Apa orang itu yang menjatuhkannya?” Fre
Reaksi Alan dan Rahu tampak terkejut. Keduanya saling memandang dan seakan berbicara dalam benak masing-masing. Apa yang sebelumnya diberitakan oleh Michael tampaknya merupakan informasi yang valid. Tapi sayangnya, Ferdinand Draco Gibbon adalah sosok yang belum pernah ditemui oleh Alan. Ia tidak tahu perawakannya seperti apa. “Siapa?” tanya Freya. Perempuan itu tidak tahu sama sekali tentang orang yang dibicarakan oleh si mata-mata. Namanya terdengar asing, tapi saat melihat raut wajah Alan yang serius, ia berpikir kalau dua lelaki di sampingnya mengenali pria itu. “Kenapa dia dicurigai? Dan kenapa hasil dari penyelidikan Gluttony bilang bahwa bukan dia si Beelzebub itu?” Alan penasaran. “Itu bermula pada pembunuhan sepuluh petinggi Gluttony dua tahun lalu. Mereka semua tewas dengan cap markah bergambar iblis Beelzebub. Cap itu sengaja ditinggalkan di tubuh korban untuk dikenali. Beberapa petinggi lainnya dan ketua telah mengadakan rapat besar kala itu. Dan sebuah nama menjadi ter
“Apa yang kau lakukan di situ?” Alan tidak menyangka bisa menemukan perempuan yang selalu gusar padanya. “Aku … aku hanya ingin menghirup udara segar. Ternyata temanmu ini sangat jago menyetir.” Alasan Freya tampak absurd. Alan merasa kesal dan heran. Ia menundukkan lehernya hingga sejajar dengan tinggi pintu mobil dan melirik ke arah wakil ketuanya yang bodoh. Tatapan Alan tampak mengancam pikiran Rahu yang kaku terdiam di posisinya. “Kenapa kau membawanya?” tanya Alan. “A–Aku … aku hanya … hanya tidak mau melihatnya membentakku terus!” Ucapan Rahu tampak aneh. Alasan yang dibuatnya tidaklah masuk akal. Wakil ketua gangster kalah dengan artis drama kemarin sore? Aneh, ‘kan?“Kau ingin bercanda denganku?” Alan tidaklah marah, tapi ia geram melihat tingkah konyol Rahu. “Lalu kenapa kalau aku mau ikut?! Nggak boleh?! Apa Diana sebegitu berharganya untukmu?” Tiba-tiba Freya meracau mengganggu percakapan antara Alan dan Rahu. Lelaki itu tahu bila watak perempuan di sampingnya sangat