"Welcome to new life, Melodi," gumamku pelan sembari meraup udara dalam-dalam begitu aku dan Ian memasuki tempat tinggal kami yang baru.
Di sini aku merasa bebas sebebas-bebasnya. Apalagi kalau nanti aku bisa menyetir sendiri. Aku akan pergi ke mana pun ke tempat yang kuinginkan. Ian nggak akan bisa melarang karena dia sibuk mencari nafkah untuk kami berdua.Aku membayangkan hal-hal yang sudah lama nggak kulakukan. Hangout ke mal sambil cuci mata (baca: ngeliat cowok keren). Clubbing tipis-tipis atau nonton di bioskop. Selama ini pergerakanku tidak leluasa karena ada Ian. Gimana mau clubbing. Belum apa-apa dia sudah ceramah. Padahal aku nggak butuh nasihat sok bijaknya itu.Greya mengeong-ngeong sambil berputar-putar sendiri. Mungkin dia belum bisa beradaptasi dengan huniannya yang baru.Tiba-tiba terbesit di pikiranku, untuk apa Greya disteril? Toh di sini nggak ada kucing lain. Nggak ada si bastard Toro yang sering mencoba peruntungannya unMELODI"Lepasin aku, Ian ...," pintaku sambil terus memberontak dalam usaha membebaskan diri dari belenggu tangan dan juga kakinya yang kini sudah mengunciku."Kenapa aku harus melepaskan kamu?" tanyanya dengan kungkungan yang semakin erat."Aku nggak suka diginiin ... Iaaaaaan ..." suaraku melirih karena tiba-tiba saja tangan Ian yang besar sudah menyelip masuk ke dalam bajuku lalu menangkup sebelah payudaraku yang masih dibungkus bra. "Kamu jangan macam-macam. Kalau kamu terus begini lebih baik kita kembali ke rumah," kataku mengancamnya tapi aku tidak tahu apa benar-benar ingin mengancam karena setelah Ian mengangkat braku dan menyelipkan tangannya di sana aku menginginkan Ian melanjutkannya.Selagi tangannya meremas payudaraku Ian menjilat leherku seperti sedang menjilat es krim. Dalam sekejap aku lembab. Maksudku bukan leher.Aku akan memprotes tindakan Ian yang semakin semena-mena terhadapku. Tapi tubuhku berkhianat. Saat Ian membungkam aksi protesku dengan kecupan lembut di bib
MELODIAku terbangun dengan keadaan yang aneh dan belum pernah kurasakan sebelumnya. Sendi-sendi yang terasa linu, pegal di bagian paha, pinggul, serta perih di area bawah tubuhku ada hal yang paling mendominasi. Sengatan nyeri menjalar ke sekujur tubuh. Perasaan pedih seakan mengiris terasa tepat di bagian kewanitaanku. Ternyata sesakit ini rasanya.Aku terperanjat dan hampir saja berteriak ketika mendapati permukaan kasur di sebelahku diisi oleh Greya, bukan Ian. Si betina itu sedang santai di tempat yang seharusnya diisi oleh tuannya."Hus!" Aku memukul kasur mengusirnya pergi.Greya terkejut lalu dengan cepat meloncat dari tempat tidur dan lari terbirit-birit.Aku menahan senyum melihat tingkahnya. Pasti dia bakal ngadu ke Ian. Dan kali ini aduannya itu akan percuma karena tuannya itu nggak akan lagi membelanya karena sudah menjadi milikku. Tuannya sudah menjadi suamiku.Rasanya agak aneh menyebut Ian sebagai suami. Hidup macam apa ini? Bagaimana bisa aku menikah dengan lelaki
MELODIAku langsung mencubit tangannya kuat-kuat. Di saat yang sama aku ingat kejadian kemarin yang membuatku panik bukan kepalang."Kamu bilang mau beliin obat biar aku nggak hamil. Mana obatnya?""Ada kok. Nanti diminum setelah sarapan," jawab Ian tenang.Aku buru-buru ingin menyudahi mandi pagi kami agar segera bisa minum obat tersebut. Setelah kami selesai mandi Ian menggendongku ke kamar. Dia mendudukkanku di tepi ranjang serta mengambilkan bajuku."Ini udah Abang beliin obatnya," kata Ian setelah selesai berpakaian sembari memberikan Postinor padaku. "Obat ini obat keras dan sering disebut sebagai kontrasepsi darurat. Jadi belinya harus pake resep dokter," terang Ian lagi."Jadi tadi gimana caranya kamu bisa beli obat ini?" tanyaku bingung."Abang tadi udah ke apotik dan ditolak mentah-mentah. Lalu Abang ingat Kei. Dia punya teman dokter. Jadi tadi Kei yang nolongin."Detik itu juga tandu
IANPapi sedang menerima tamu saat aku tiba di rumah sehingga aku harus menantinya lebih dulu.Selagi menunggu aku melihat Toro bermain sendiri. Si jantan itu mengingatkanku pada Melodi. Aku tahu kalau Melodi nggak suka kucing. Tapi nggak pernah kusangka kalau dia akan sangat membenci Toro.Aku jongkok lalu mengelus-elus Toro. Dia terlihat senang dan menikmati elusanku. Entah bagian mananya dari kucing ini yang membuat Melodi sebal. Toro hampir nggak ada bedanya dengan Greya. Mereka sangat manis dan lucu."Ian ..." Suara merdu yang memanggil namaku membuatku menoleh.Lakeizia muncul dengan senyum manisnya. Begitu kontras dengan Melodi yang hampir selalu memberengut padaku. Untung aku sayang.Lakeizia ikut duduk di kursi di sebelahku. "Lagi nunggu Ayah ya?"Aku mengiakan. Tadi Lakeizia juga ada dan tahu bahwa Papi mengajakku main tenis."Melodi nggak ikut ke sini?""Capek katanya."Lakeizia
IAN"Oh iya, ada kabar bagus," ucapku."Kabar apa?" timpal Lakeizia antusias."Greya nggak jadi disteril.""Kok bisa? Dokternya lagi pergi?""Bukan, tapi Melodi berubah pikiran. Kasihan katanya."Lagi-lagi Lakeizia tertawa. "Moga dia nggak labil ya.""Nggak akan. Maklumi saja, dia lagi berada di fase quarter life crisis."Lakeizia mengangguk-angguk.Percakapan kami terjeda ketika ponselku berbunyi. Dari Melodi."Bentar ya, Kei. Dari Melodi.""Silakan."Aku menjawab panggilan dari Melodi tepat setelah deringan kedua."Hal—""Kamu di mana?" tanya Melodi sebelum aku selesai dengan sapaanku."Masih di rumah, lagi nunggu Papi.""Belum selesai juga? Dari tadi kan ya?" suara Melodi meninggi. Tadi saat aku baru tiba di rumah dia juga chat aku menanyakan keberadaanku."Belum. Kenapa? Kamu butuh sesuatu?""Heran aja sih. Kenapa Papi bisa nerima tamu sampai selama itu?""Abang nggak tahu, Princess. Mungkin tamu penting.""Terus posisi kamu sekarang lagi di mana?""Di depan rumah.""Sama siapa?"
MELODISudah berhari-hari aku dan Ian tinggal berdua. Berhari-hari pula aku dibangunkan oleh ciuman atau aroma masakannya. Buat aku Ian adalah paket lengkap. Dia bukan hanya sekadar suami. Tapi lebih dari itu. Dia juga penjagaku yang merangkap chef, montir dan hairstylist."Breakfast in bed ..." Ian muncul dengan membawa nampan besar berisi dua piring makanan, dua gelas tinggi air putih, satu gelas susu dan satu cangkir kopi.Aku memerhatikan makanan di dalam piring yang ternyata adalah nasi goreng. Walau hanya makanan sederhana tapi topping-nya berlimpah. Selain telur ceplok, ada irisan sosis, potongan bakso, daging suwir dan timun berbentuk mawar. Ian sampai seniat itu meng-garnish-nya untukku. Dia kemudian mengambil tanganku, menuntun untuk bangun."Ayo bangun, cuci muka sama sikat gigi terus sarapan," suruhnya.Aku menggeliat lalu dengan malas beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Sudah beberapa hari berlalu dari malam pertama kami, tapi caraku berjalan masih belum normal
IANAku mengendara menuju rumah mertuaku cukup kencang. Dari tadi Lakeizia menungguku. Hari ini aku berjanji mengajaknya nge-gym. Nanti di sana kami akan bertemu dengan Elang. Elang nggak tahu ada Lakeizia karena aku ingin semua berjalan natural. Namun perjalananku sedikit terganggu karena ingatan mengenai permintaan Melodi tadi.Melodi sudah terbiasa hidup senang sejak kecil. Apa pun permintaannya selalu dan harus terpenuhi saat itu juga. Hanya dengan bin salabim maka semua ada di depan mata.Masalahnya saat ini keuanganku juga tidak memadai. Saat sedang galau-galaunya hpku berbunyi. Ada pesan masuk dari Melodi.Princess Melodi: Ian, aku mau yang ini. Nggak pake lama 😏 Buktiin kalau kamu memang mencintaiku di setiap detik debaran jantung 😚Aku terperangah saat melihat foto mobil yang dikirimnya. Mazda CX 5 yang harganya berkisar 600 sampai 700 jutaan.Dia selalu menggunakan pernyataanku tentang tato untuk menyerangku. Aku nggak bohong. Aku bisa membuktikannya. Tapi haruskah dengan
IANElang sedang berada di atas treadmill saat aku dan Lakeizia tiba. Dia tidak sendiri. Masih banyak yang lainnya berolahraga yang sama seperti Elang."Ian, cowok semua ya di sini?" tanya Lakeizia padaku melihat hanya ada kaum Adam di sekeliling kami."Kadang ada cewek tapi jarang. Kamu takut?"Lakeizia tertawa. "Bukan takut sih. Tapi aneh aja aku cewek sendiri di sini.""Hitung-hitung latihan. Kalau nanti kamu jadi pacar Elang kencannya di sini, bukan di resto atau kafe. Biasanya malam minggu Elang suka di sini."Lakeizia tertawa kecil. Dia mengikuti langkahku saat aku mengajaknya ke arah Elang."El!""Hai, Ian. Kirain nggak jadi datang.""Tadi mampir ke rumah mertua dulu sebentar. Kenalin nih, Lakeizia, sepupunya Melodi."Elang menggeser matanya pada Lakeizia yang berdiri sedikit di belakangku. Dia juga turun dari treadmill lalu mengulurkan tangan pada Lakeizia."Elang."Elang mengenalkan diri dengan caranya yang khas. Aku sudah sangat hafal gayanya itu. Mengulurkan tangan, mengun
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka