Kevan berjalan menuju rumah Ciara dengan kedua tangan di dalam saku jaket. Kedua matanya melirik ke segala sisi mencoba menemukan hal-hal janggal. Dia berjalan dengan santai. Dia juga meningkatkan kewaspadaan. Kevan memakai headset bluetooth di telinga kanan. Dia sedang berbicara dengan Adnan. "Van, saya standby di rumah gedong putih kanan kamu," kata Adnan di saluran telepon. "Nggak usah nengok ke sini, Van! Jangan sampai musuh kamu curiga!"Kevan tidak menoleh ke sisi kanannya seperti peringatan Adnan. Dia memiliki pemikiran yang sama seperti Adnan."Aku tau," jawab Kevan datar. "Saya di loteng, Van. Tenang aja! Kamu ada di bawah perlindungan saya."Kevan tidak membalas. Dia hanya berdeham.Sesampainya di depan gerbang, Kevan mendengar ribut-ribut dari dalam rumah. Namun, dia tidak berniat masuk ke rumah itu."Tuan Kevan!" Kevan menoleh ke arah pos penjaga. Terlihat dua penjaga pos sedang berdiri dengan raut wajah cemas.Kevan bertanya, "Di mana para polisi?" "Mereka semua di d
"Kevan!"Bima berteriak. Dia hendak pergi menolong Kevan dan menyelamatkan Ciara. Namun, seorang polisi menahannya. Bima tidak bisa memalingkan wajahnya dari Kevan dan Ciara. 'Semua ini salahku! Aku yang buat Kevan dan Cia berada di situasi berbahaya kayak gini.'Semua orang lari berhamburan menyelamatkan diri. Angga dan Ziyad tetap bersama Felicia sesuai perintah Kevan di mobil tadi. Ruslan dan Ismail berlindung di pos penjaga bersama kedua satpam. Sedangkan Kevan hanya berdua dengan Ciara.Seorang polisi menyeret Bima agar tidak tertembak. Namun, kedua kaki Bima seolah berat meninggalkan Kevan dan Ciara."Ayo ikut saya berlindung! Kamu nggak boleh mati. Kamu itu kunci masalah ini," kata polisi itu tegas.'Iya, aku juga nggak mau mati sia-sia. Aku mau nebus dosa ke Kevan dan Cia. Tapi, seseorang incar nyawaku dan Kevan. Aku tau siapa otak masalah ini!' seru Bima di dalam hati dengan kesal.Malam ini, pukul 11:59 waktu kota Baubau. Seorang Tuan Muda pertama keluarga Hanindra tertemba
Saat semua orang masih tercengang dengan penembakan Bima, Kevan berteriak, "Angga, jaga Cia!" Fokus orang-orang terpecah begitu mendengar suara Kevan. "Iya, Van," sahut Angga. "Ayo, Nyonya Feli?" Kevan menurunkan Ciara dengan perlahan. Lalu, menatapnya. "Masuk dan tunggu di dalam sama Angga! Apapun yang terjadi, jangan ke mana-mana!" Ciara menggeleng sambil menangis. "Aku mau ikut." Suaranya serak dan terdengar menyedihkan. "Nggak!" bantah Kevan tegas. "Tapi, Kakー" Suara Ciara tercekat. "Kamu kan kena tembak juga. Aku nggak mauー" "Ayo masuk, Nona!" ajak Angga begitu melihat Kevan sudah berlari menghampiri Bima. "Nggak usah khawatir sama Kevan! Dia bakalan baik-baik aja." Sebenarnya Angga sendiri tidak begitu yakin dengan ucapannya. Karena dia tidak tahu seberapa tahannya jaket anti peluru yang dipakai Kevan. Namun yang pasti Angga tahu, Kevan sedang menahan rasa sakit pada punggungnya dan dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Ciara. Ciara menatap mamanya. Felicia pun meng
"Sebenernya, siapa yang nyuruh Bima bunuh Tuan Rudi?! Terus, apa bener dugaanku kalo semua ini ada kaitannya sama si Robert sialan itu?!"Kevan mengendarai motornya di suasana malam yang sunyi. Meskipun petugas Hunian Exclusive Green Lake sudah mengamankan rumah Ciara, tetapi mereka belum tahu bahwa Kevan mengejar para pelaku penembakan hingga ke Blok G3. "Seinget aku, Blok G3 itu ada portal yang menuju ke jalan pintas perkampungan."Kevan tidak peduli dengan udara kota Baubau yang dingin. Dia hanya peduli pada pelaku yang sudah membuat keluarga Ciara menderita. Kevan melihat plang nama bertuliskan Blok G3 pada bagian sisi kanannya. Dia bersiap-siap untuk belok. Begitu dia membelokkan motornya, tiba-tiba saja bunyi hantaman keras terdengar.Bam!Kevan menghentikan motornya. Dia membuka kaca helm. Sepeda motor RX King dengan nomor polisi BAU1780ZOY telah menghantam sebuah mobil L300 pick up hitam yang entah datang dari mana!Mobil itu keluar dari rumah paling ujung di mana portal b
Kevan turun dari mobil L300 pick up tanpa membuka helm.Kevan bertanya, "Ada terpal hitam, kan?" "Ada, Bos."Kevan mengangguk. "Oke. Rebahin mereka! Terus, tutup pakai terpal! Abis itu ikutin aku!""Siap, Bos."Kevan berjalan ke motornya. Dia melihat ke kanan dan kirinya. Dia menghubungi Raymond."Ada masalah, Van?" tanya Raymond di ujung telepon. Dia cemas."Di Blok G3 ini banyak rumah terbengkalai. Kamu dapet izin gunain salah satu rumah?"Kevan berbicara sambil menghidupkan mesin motor. Setelah melihat pekerjaan anak buah Raymond selesai, Kevan segera melajukan motornya."Nggak. Suneo yang bawa motor pelaku tadi ngejar mereka dari rumah Cia. Terus, Suneo ngasih tau aku kalau mereka mengarah ke Blok G3. Akhirnya aku siapin perangkap buat mereka."Kevan melajukan motor melewati perkampungan sepi. Jalan bebatuan dan penerangan yang kurang baik tidak menghalangi dia untuk tiba di tujuan.Saat Raymond menjelaskan, Kevan menyadari ada yang janggal. Dia berbicara dengan Raymond sambil me
Tembakan membabi buta menargetkan Kevan di perkebunan milik warga yang jauh dari keramaian. Lokasi Hunian Exclusive Green Lake memang agak terpencil. Bakan sebagian blok masih dalam tahap pembangunan. Kevan tidak lagi mengendarai motornya di jalanan bebatuan. Namun, dia menerobos tanah di sela-sela pohon kayu jati. "Kayaknya aku salah pilih perumahan buat Cia," keluh Kevan. "Aku cuma mikirin suasana yang asri dan tenang. Tapi, aku nggak pernah mikirin bahaya kayak gini!" Kevan telah menyadari kesalahannya. Dia salah mengambil keputusan untuk tempat tinggal keluarga Darwin. Namun, tidak ada gunanya menyesal di saat-saat seperti ini, kan? "Aku udah pasrah sama takdir. Tapi aku harap, Cia punya takdir yang lebih bagus dari aku! Dia harus selamat. Dia dan Nyonya Feli harus selamat." Di situasi seperti ini, Kevan tetap memikirkan keselamatan Ciara dan keluarganya. Dia bahkan memiliki harapan baik untuk Ciara. Tiba-tiba saja, keegoisan Kevan muncul. "Gimana pun caranya, aku h
Kevan telah hidup di jalanan dalam kurun waktu yang lama. Kevan juga sudah berteman akrab dengan kejamnya dunia luar. Maka seharusnya, dia bisa mengatasi situasi berbahaya seperti ini. Ketiga lawan Kevan melepaskan helm dan melemparkannya ke sembarang tempat. Sekarang, Kevan bisa melihat wajah-wajah lawannya dengan sangat jelas di bawah sinar lampu jalan yang terang benderang.Kevan menyunggingkan senyum di balik helm. Dia membuka sedikit kaca helm. "Igoy, Tablo dan Musang."Kevan menyebutkan nama-nama musuhnya yang ternyata sudah dikenalnya. Ketiga orang tersebut menatap Kevan dengan angkuh."Dulu, kita patuh sama semua perintah kamu. Tapi sekarang, semua udah berubah. Kamu bukan lagi orang penting bagi kita bertiga."Pria beralis tebal dengan tampang pas-pasan berkata untuk pertama kalinya. Dia adalah Musang. Kevan bahkan tidak tahu nama aslinya.Musang berkata lagi, "Kevan Hanindra, di dunia ini nggak ada yang tulus. Jadi orang jangan terlalu munafik, Van! Iya nggak, Tablo? Igoy?
Dor!Igoy menembak kepala Musang tanpa ragu. Dalam sekejap, tubuh Musang ambruk ke tanah. Bruk!Darah tidak berhenti mengucur deras dari kening Musang. Dia meregang nyawa dengan kedua mata melotot. Wajah Kevan memucat. Sekarang, giliran dia. Bisa apa dia sekarang?Pilihan Kevan hanya ada dua. Lari atau mati!Lebih tepatnya, mati di tangan Igoy!Ketika Kevan masih shock memandangi wajah Musang, suara Igoy menyentaknya."Kamu mau mati pakai cara apa, Van?"Suara serak Igoy terdengar tegas. Ketika Kevan menatapnya, dia sedang menyunggingkan senyum licik. "Aku nggak ngerti, kenapa kamu habisin nyawa teman sendiri?" tanya Kevan menggebrak keheningan malam. "Tapi apapun alasannya, aku nggak mau tau. Itu bukan urusanku."Kevan telah mengenal Igoy sejak lama. Igoy adalah orang kepercayaan Raymond sehingga Kevan yakin alasan dia membunuh Tablo dan Musang atas perintah Raymond. Tapi, apa alasannya? Kevan mungkin penasaran dengan jawabannya. Karena bisa jadi, semua ini berkaitan dengan dirin
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te