Suasana pagi di kota Baubau yang redup. Musim hujan di bulan Desember membuat suhu terasa lembab. Udara dingin menyapa kulit Ciara begitu dia membuka kaca mobil. Ciara sedikit mengeluarkan wajahnya dari kaca mobil sambil tersenyum.'Sebahagia itu kah Nona Cia ketika di luar rumah?' Bima membatin.Ciara memandangi orang-orang yang lalu lalang di sekitar area parkir. Mereka berjalan dengan cepat karena tidak ingin tertinggal kereta."Aku mau kayak mereka. Sibuk pagi-pagi ngejar waktu. Kayaknya sih seru!"Ciara berkata tanpa sadar. Dia juga terkagum-kagum dengan fasilitas stasiun yang belum pernah dijumpainya."Bim, ayo ke luar!"Tanpa terduga, Ciara membuka pintu mobil. Sopir yang menyadari langsung berteriak, "Non, mau ke mana? Jangan pergi sendirian!"Bima tersentak. Dia segera menarik tangan Ciara."Ah! Sakit, Bim!" Ciara protes. "Lepasin! Aku cuma mau ke luar doang."Bima menggeleng. "Nggak boleh, Non. Yang udah-udah kalo Nona di luar cepet hilangnya. Kamu jalan-jalan sendirian ngg
Sore hari di Hanindra Exclusive View kota Baubau.Kevan merasa sedikit lelah. Sejak pagi sampai sekarang, dia berada di kantor cabang K.C Tobacco. Dia dan beberapa orang menerima kedatangan tamu yang diutus oleh Derren dan Martinus Warlord untuk membahas kasus kebakaran rumah keluarga Darwin. "Makasih udah dateng dan bantu aku, Pak Robert."Kevan berdiri dan berjabat tangan dengan Robert OmbuーKapolda kota Baubau. Walaupun wajah Kevan terlihat lelah, tetapi jauh di dalam hati dia merasa puas. "Jangan sungkan begitu, Tuan Kevan! Saya dateng ke sini atas permintaan Pak Derren dan Pak Martinus," kata Robert. "Saya dan Pak Martinus sama-sama Kapolda. Kami tentu tau keresahan masyarakat."Kevan mengangguk. Dia menghela napas lega."Gimana pun juga, aku ucapin makasih atas kerja sama Anda, Pak Robert. Memang bener kata Pak Darren, Anda kompeten dan pantes menduduki jabatan Kapolda."Wajah Robert berubah masam. Orang lain yang tidak mengerti, pasti akan salah paham dengan kalimat pujian Kev
Beberapa hari terakhir, Kevan memikirkan salah satu rekaman video yang beredar di Internet. Ya, video tentang insiden kebakaran di rumah keluarga Darwin. Kevan merasakan resah yang luar biasa.Saat Kevan masih terbengong-bengong, suara Mahendra mengagetkannya."Tuan Kevan, siapapun bisa menjadi terduga. Kita boleh aja bersikap waspada terhadap mereka yang memang patut dicurigai."Tidak ada yang membantah ucapan Mahendra. Karena memang tidak ada seorangpun diantara mereka yang paham ilmu hukum. "Biasanya, para pelaku akan bersikap seolah-olah menjadi korban. Ya, istilahnya mereka playing victim gitulah," kata Mahendra selanjutnya. "Mereka akan ngelakuin apa aja demi nutupin aksinya.""Dokter Erisa emang nggak terluka parah sih," ujar Kevan. "Dia cuma lecet-lecet aja kan, Van?" tanya Angga. "Dari insiden kebakaran itu, Cia udah nggak mau lagi ada Dokter ataupun Suster pribadi."Akhirnya, Kevan menemukan titik terang. Ciara memang menolak keras saat Kevan hendak mencarikan dokter dan s
"Apa nggak sebaiknya tunggu Kevan aja, Nyonya?"Bima bertanya dengan bimbang. Pasalnya, dia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di pertambangan emas keluarga Darwin. "Kalo gitu, saya coba tanya Kevan dulu, Nyonya," kata Bima selanjutnya."Kamu kan tau, Kevan sibuk banget akhir-akhir ini, Bim. Nggak tau kapan dia ke sini." Felicia membalas membalasnya dengan sedih."Bisa jadi nggak ke sini sama sekali, Mi," timpal Ciara. Felicia dan Bima tidak menyahutinya lagi. Keduanya sama-sama tahu bahwa Ciara menyimpan kekecewaan pada Kevan yang hingga sekarang masih tidak ada kabar.***Ciara kembali ke kamarnya. Dia bersiap untuk tidur. "Eh?!"Ciara terkejut mendapati handphone-nya bergetar. Dia terpaksa duduk di atas ranjang. Lalu, meraih handphone yang berada di bawah bantal."Hmm? Papa Jhonny? Ngapain Papa Jhonny rajin banget telepon aku terus?"Lagi-lagi Jhonny menghubungi Ciara. Dia mencoba meluluhkan hati Ciara dengan perhatian.Ciara membiarkan getaran handphone hilang dengan send
Pukul 10 pagi di kota Perak.Felicia telah berada di pertambangan emas sejak 35 menit lalu. Dia pergi bersama Ciara, Bima dan Nurdin. Sekarang, mereka berdiri di area pertambangan yang luas dan panas. Karena matahari pagi di kota Perak lumayan terik.Tidak banyak karyawan yang mengenali Felicia dan Ciara. Karena saat Rudi masih hidup, Felicia dan Ciara tidak pernah terlibat urusan perusahaan.Dari kejauhan, seorang pria berlari menghampiri Ciara dan rombongannya. Dia menunjukkan rasa hormat kepada istri dan anak mendiang bosnya."Bu Feli, gimana kabar Anda dan Nona Ciara? Ada angin apa Ibu datang ke sini?" tanya seorang pria. "Maaf, saya terlambat menyambut Anda dan Nona Ciara. Saya baru aja keliling area pertambangan."Pria yang bertanya itu adalah kepala pertambangan emas keluarga DarwinーAgung Singgih. Berdasarkan data yang dibaca Felicia, Agung berusia 57 tahun dan baru diangkat menjadi kepala pertambangan satu bulan yang lalu oleh Kevan sendiri. Pengangkatan Agung bukan tanpa ala
Bruk! Seseorang mendorong Amsol. Dia tersungkur tepat di kaki Felicia. Seorang pria berteriak dari belakang Amsol. "Udah tau salah, masih nggak mau berlutut?!" Amsol dan semua orang mengarahkan pandangan kepada pria berpakaian serba hitam yang baru saja tiba. Pria itu tidak datang sendirian, tetapi bersama dua orang kepercayaannya dan beberapa anggota kepolisian setempat. Pria itu adalah Kevan, Angga dan Ziyad. "Kevan!" Felicia berseru memanggil Kevan. Sedangkan Ciara hanya diam memandang tunangannya. Felicia dan Ciara lega dengan kedatangan Kevan. Setidaknya, mereka tidak perlu cemas berlebihan karena tidak mengenali lokasi dan situasi pertambangan dengan baik Kevan sedikit mengangguk kepada Felicia. Kedua matanya tampak seolah sedang berbicara. 'Aku kangen kamu, Cia. Kamu pasti masih marah sama aku!' Tentu saja Kevan hanya mengatakannya di dalam hati. Bukan tidak berani, tetapi dia hanya ingin mengatakannya di saat yang tepat. "Polisi?! Kenapa ada polisi?!" "Iya, kenapa
Kevan baru akan menjawab pertanyaan Angga, tetapi sebuah suara pria berteriak dari arah belakangnya. "Nona Ciara, apa kamu yakin bisa ngelawan Pak Amsol? Kamu tau, siapa Pak Amsol di sini?" Semua mata memandangi si pria, terkecuali Ciara. Gadis cantik itu memang tidak mengenal Amsol. Karena dia sama sekali tidak pernah ikut campur urusan perusahaan. Namun sekarang, Ciara satu-satunya pewaris di keluarga Darwin, kan? Maka, dia harus peduli dengan Darwin Group. Amsol tersenyum dalam diam. 'Itu pasti Wono. Aku tau, dia pasti dateng dan ngancem Nona Ciara supaya nggak macem-macem sama aku.' Pria itu Wono Prayogi. Dia merupakan seorang warga pendatang baru di kota Perak. Namun, Wono sudah bekerja selama 6 tahun di Darwin Group. Menjadi kaki tangan Amsol bukanlah pilihan bagus untuk Wono. Dia terpaksa menyetujuinya karena Amsol mengancam akan memutuskan kontrak secara sepihak. Ciara menghela napas panjang. Kemudian, berbalik dan menatap si pria. Saat melihat wajah si pria, Ciara
Pagi menjelang siang di kota Perak.Perasaan haru dan penasaran bercampur aduk menjadi satu. Kevan tidak pernah menyangka akan membabat habis orang-orang Miguel dalam satu hari ini. Semua ini tidak lepas dari campur tangan keluarga Warlord. Namun, tentu saja tidak gratis. Ada harga yang harus dibayar. Begitulah ucapan Derren Warlord yang menancap di memori Kevan Hanindra."Pak Wono, ada lagi yang mau kamu omongin, nggak?!" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Aku dan keluarga Darwin udah muak banget liat kamu dan Pak Amsol yang sok berkuasa di Darwin Group."Wajah Wono masam. Dia tahu, dirinya sudah melakukan kesalahan. Namun, apakah niat baiknya tidak akan dihargai oleh Kevan, atau bahkan Ciara?Ada keraguan dari sorot mata kelamnya. Dengan sisa keberanian yang dimilikinya, Wono berkata, "Tentang rencana Pak Miguel ...."Wono menelan ludah saat Amsol menatapnya garang. Dia kembali ragu. Amsol menggertakkan gigi. Dia merutuki sikap Wono di dalam hati. 'Sialan! Jangan sampai Wono be