enjoy reading ...
“Sorry, Rado. Gue ingkar janji.” Aku bergeming ketika Risty tetap memelukku. Tanganku tidak membalas pelukannya dan hanya bisa mengepal dengan tatapan lurus ke depan. “Gue tahu lo pasti kecewa dan … kesel. Sorry, Rado. Mulai sekarang gue bakal --- .” Tanganku bergerak mengurai pelukan Risty. Karena aku tidak mau mendengar janjinya lagi yang kupikir akan menjadi angin lalu lagi. “Nggak usah ngasih gue janji. Cukup lepasin gue sebagai bodyguard lo, Ris.” Aku menatap kedua matanya dengan tatapan tegas meski aku tidak tega melukai hatinya atau menjauh darinya. Tapi, bukankah kata Kak Rafa aku harus menikmati sakitnya proses kehidupan ini agar mentalku sembuh? “Lo lupa kalau Richard cuma sebuah alat biar Ziany makin iri sama gue?” “Lo bilang dia cuma buat alat, tapi lo memperlakukan dia seakan-akan dia itu yang utama!” “Lo cemburu?” Pertanyaan apa itu? Sial! Aku terpancing emosi dan secara tidak langsung menunjukkan kecemburuanku padanya. Tidak! Risty tidak boleh tahu jika aku
"Ris, minggir! Jangan duduki perut gue kayak gini!" aku memperingatkannya.Risty tetap duduk di atas perutku tanpa tahu malu dengan aku yang masih terlentang di atas lantai dapur. Sebenarnya aku bisa menyingkirkan dia namun aku tidak setega itu melukai perempuan yang kucintai. Ditambah, Risty adalah majikanku. Dalam keadaan apapun aku harus memastikan dia tidak terluka sedikit pun."Gue minggir kalau lo mau janji sama gue.""Janji apa?"Risty menggunakan kedua telapak tangannya di atas dadaku untuk menopang tubuhnya. Sialan sekali majikanku ini. Pasalnya, karena posisi Risty yang seperti ini, ada gairah yang mulai mendominasi kewarasanku. Jika Risty tidak segera menyingkir, aku tidak bisa menjamin untuk tidak menyentuhnya."Janji jangan minum obat anti depresan lagi.""Asal lo harus ada sama gue. Melibatkan gue dalam segala urusan lo.""Well. Lo cemburu karena Richard sama gue?!""Gue cuma nagih janji. Kalau lo selalu sama Richard, kapan lo ada sama gue?""Oke. Tapi kalau malam hari,
"Biarin aja dia mau apa. Gue nggak peduli. Yang penting Richard udah kembali ke gue, Kai.""Kalau Ziany diam-diam nemuin Richard terus menghasut lo, gimana?" "Richard yang bakal rugi. Karena lebih milih bunga bangkai dari pada bunga tulip.""Satu lagi, Ris. Gimana kalau teman-teman kelas pada kompak gosipin lo sama Rado? Apa bener Richard ntar nggak marah?"Satu doaku untuk hubungan Risty dan Richard, bolehkah aku berharap mereka segera berakhir saja? Karena aku siap seminal Risty memintaku jadi pacar rahasianya. ***Seperti janjinya, Risty melibatkan aku dalam segala kegiatan beberapa hari ini. Aku menemaninya mulai dari berangkat kuliah, menemaninya menuju apotek-apotek miliknya, dan mengerjakan tugas kuliah bersama. Dan kami menggunakan taksi demi penyamaran bersama."Eh, Ris, mobil lo kemana? Kok lo belakangan ini naik taksi? Jalan kaki pula," celetuk Faina, teman satu kelas kami.Kami bersepuluh yang tengah mengerjakan tugas kuliah bersama pun menoleh ke Faina. "Gue lagi pen
"Sha ... Shakira?" gumamku. Keponakan kecil yang sangat kucintai itu berlari ke arahku dengan dua rambut indahnya dikuncir dua. Senyumnya mengembang ketika melihatku. Maklum, dia jauh lebih akrab denganku dari pada dengan ayahnya, Mas Kian, kakak kandungku. Dia langsung memeluk kakiku dan mendongak. Wajah lugu dan imutnya membuatku tidak bisa untuk tidak menyapanya lebih dulu. Aku menekuk kaki hingga sejajar dengannya lalu ia memelukku erat. Mencari kenyamanan dari tubuhku seperti yang ia lakukan ketika aku masih tinggal seatap dengannya juga dengan kedua orang tuanya. "Om Ado kemana? Aku kangen." Tanganku membelai lembut rambutnya lalu memberi satu kecupan dan memeluknya sama erat. "Om kuliah," ucapku tak sepenuhnya benar. "Tapi kenapa nggak pulang?" Aku menatap Mbak Sasha yang hanya bisa mematung melihatku memeluk Shakira. Pancaran matanya menyiratkan banyak tanya yang tidak ingin kujawab barang satu pun. Dia datang ke Plaza Senayan hanya dengan Shakira, tanpa Mas Kian.
"Aku kecewa sama kamu, Mbak! Aku kira kamu adalah perempuan yang paling ngerti aku, ternyata kamu sama kayak Mas Kian! Pengen aku masuk rumah konseling!""Asal kamu tahu, Mbak. Aku nggak gila! Aku waras!""Kalau Mbak Sasha pengen aku pulang lalu aku dimasukin rumah konseling lagi, jangan pernah harap aku pulang! Aku yakin bisa hidup di luar sana tanpa bantuan Mas Kian atau Mbak Sasha!""Dan satu lagi, aku yakin bisa nyembuhin gangguanku dan menghilangkan cintaku ke kamu, Mbak! Meski aku berhutang luka di hati kalian berdua dan akan kubayar dengan berjauhan dari kalian!""Aku pergi! Dan jangan panggil aku kalau kalian lihat aku lagi. Abaikan aja, anggap aku udah mati!"Baru beberapa langkah, Mbak Sasha kembali membuka suara. "Mama mau kemari, Rado. Mama kangen kamu. Apa yang harus aku dan Mas Kian katakan kalau kamu nggak ada di rumah?"Aku menghentikan langkah lalu menoleh."Bilang aja, aku keluar rumah dan pengen mandiri."Selanjutnya meski suara Mbak Sasha kembali memanggil, aku mem
Nyatanya, fisikku melemah akibat meminum alkohol untuk pertama kalinya dengan jumlah tak terukur. Lambungku perih dan tidak ada makanan yang bisa diolah. Aku merintih pelan ketika merasa sakit lalu Risty meminta bantuan Kak Alfonso untuk memanggilkan dokter pribadi ke apartemennya untuk memeriksaku. "Gimana, Dok?" tanya Kak Alfonso. "Nanti kalau infusnya habis bisa telfon perawat saya untuk melepasnya. Sementara pasien saya kasih obat pereda rasa sakit dan untuk lambungnya. Kalau bisa makan yang lembek-lembek aja dulu." Mataku terpejam namun tidak tidur jadi aku bisa mendengar percakapan Kak Alfonso, Risty, dan dokter itu. Usai dokter pulang, keduanya kembali ke kamarku. Risty terlihat bersalah namun aku berusaha nampak baik-baik saja. Aku tidak mau membuat dia cemas atau tidak enak hati. Aku lebih suka dia tertawa dan membuat kegiatan konyol daripada tertunduk sedih seperti ini. Bukankah definisi mencintai itu harus bisa membuat orang yang dicintai selalu bahagia? "Gue udah
"Nggak usah takut. Ada gue." Aku gugup setengah mati ketika mobil Risty membelah jalanan ibu kota menuju tempat dimana kami akan bertemu dengan Mas Kian dan Mbak Sasha. Ya, Risty merealisasikan janjinya untuk menghubungi mereka berdua sebelum keberangkatan kami untuk study lapangan ke Bogor. Mengajak mereka melakukan kesepakatan bersama terkait pencarianku yang masih terus dilakukan Mas Kian. Risty hanya tidak mau aku dikejar-kejar Mas Kian dan kami hidup secara nomaden. "Gue takut, Ris. Ayo balik aja." "Rado, ada gue. Lo percaya sama gue. Oke?" ucapnya sambil mengemudi. Sedang aku duduk di bangku penumpang dengan menahan kecemasan. Menautkan kesepuluh jari tangan dan menggerakkan telapak kakiku yang terbungkus sepatu. "Ya ampun, gue rasanya pengen lari, Ris." Tangan kiri Risty menarik tangan kananku lalu menautkan jemari kami begitu saja. Sifat setia kawannya tidak pernah perhitungan layaknya perhatian seorang kekasih. Dan tanpa sepengetahuan Risty, sikapnya yang seperti ini
"Selain cantik, kaya, kamu juga pandai membantah ya, Ris?!" sindir Mas Kian. "Makasih untuk pujiannya, Mas. Aku cuma nggak mau kalau Mas Kian terlalu maksa Rado padahal dia jelas-jelas nggak mau balik pulang." "Apa kamu bakal tanggung jawab kalau Rado ada apa-apa, heh?! Dia itu adikku, Ris! Dan kamu nggak ada hak buat mengambil dia dariku! Karena aku lebih tahu pengobatan yang terbaik untuknya!" "Pembahasan kita nggak akan berkembang kalau belum minta pendapat Rado. Jadi, gimana kalau kita dengar pendapat dia dulu." "Percuma! Setelah kamu cuci otaknya!" "Mas Kian, aku ini selain mahasiswa juga punya kesibukan mengelola bisnis apotekku. Dari pada aku nyuci otaknya Rado, mending aku nyuci uang-uangku biar bisa nambah satu gerai apotek lagi. Bener, kan?!" Kemudian Risty terkekeh santai. Dia benar-benar sosok perempuan muda kuat dan pemberani. Dan aku bersembunyi dibalik keberaniannya. "Rado, gue tanya, lo mau kembali sama keluarga atau tetap sama gue?" Aku masih menunduk kemudian