enjoy reading ...
"Aku kecewa sama kamu, Mbak! Aku kira kamu adalah perempuan yang paling ngerti aku, ternyata kamu sama kayak Mas Kian! Pengen aku masuk rumah konseling!""Asal kamu tahu, Mbak. Aku nggak gila! Aku waras!""Kalau Mbak Sasha pengen aku pulang lalu aku dimasukin rumah konseling lagi, jangan pernah harap aku pulang! Aku yakin bisa hidup di luar sana tanpa bantuan Mas Kian atau Mbak Sasha!""Dan satu lagi, aku yakin bisa nyembuhin gangguanku dan menghilangkan cintaku ke kamu, Mbak! Meski aku berhutang luka di hati kalian berdua dan akan kubayar dengan berjauhan dari kalian!""Aku pergi! Dan jangan panggil aku kalau kalian lihat aku lagi. Abaikan aja, anggap aku udah mati!"Baru beberapa langkah, Mbak Sasha kembali membuka suara. "Mama mau kemari, Rado. Mama kangen kamu. Apa yang harus aku dan Mas Kian katakan kalau kamu nggak ada di rumah?"Aku menghentikan langkah lalu menoleh."Bilang aja, aku keluar rumah dan pengen mandiri."Selanjutnya meski suara Mbak Sasha kembali memanggil, aku mem
Nyatanya, fisikku melemah akibat meminum alkohol untuk pertama kalinya dengan jumlah tak terukur. Lambungku perih dan tidak ada makanan yang bisa diolah. Aku merintih pelan ketika merasa sakit lalu Risty meminta bantuan Kak Alfonso untuk memanggilkan dokter pribadi ke apartemennya untuk memeriksaku. "Gimana, Dok?" tanya Kak Alfonso. "Nanti kalau infusnya habis bisa telfon perawat saya untuk melepasnya. Sementara pasien saya kasih obat pereda rasa sakit dan untuk lambungnya. Kalau bisa makan yang lembek-lembek aja dulu." Mataku terpejam namun tidak tidur jadi aku bisa mendengar percakapan Kak Alfonso, Risty, dan dokter itu. Usai dokter pulang, keduanya kembali ke kamarku. Risty terlihat bersalah namun aku berusaha nampak baik-baik saja. Aku tidak mau membuat dia cemas atau tidak enak hati. Aku lebih suka dia tertawa dan membuat kegiatan konyol daripada tertunduk sedih seperti ini. Bukankah definisi mencintai itu harus bisa membuat orang yang dicintai selalu bahagia? "Gue udah
"Nggak usah takut. Ada gue." Aku gugup setengah mati ketika mobil Risty membelah jalanan ibu kota menuju tempat dimana kami akan bertemu dengan Mas Kian dan Mbak Sasha. Ya, Risty merealisasikan janjinya untuk menghubungi mereka berdua sebelum keberangkatan kami untuk study lapangan ke Bogor. Mengajak mereka melakukan kesepakatan bersama terkait pencarianku yang masih terus dilakukan Mas Kian. Risty hanya tidak mau aku dikejar-kejar Mas Kian dan kami hidup secara nomaden. "Gue takut, Ris. Ayo balik aja." "Rado, ada gue. Lo percaya sama gue. Oke?" ucapnya sambil mengemudi. Sedang aku duduk di bangku penumpang dengan menahan kecemasan. Menautkan kesepuluh jari tangan dan menggerakkan telapak kakiku yang terbungkus sepatu. "Ya ampun, gue rasanya pengen lari, Ris." Tangan kiri Risty menarik tangan kananku lalu menautkan jemari kami begitu saja. Sifat setia kawannya tidak pernah perhitungan layaknya perhatian seorang kekasih. Dan tanpa sepengetahuan Risty, sikapnya yang seperti ini
"Selain cantik, kaya, kamu juga pandai membantah ya, Ris?!" sindir Mas Kian. "Makasih untuk pujiannya, Mas. Aku cuma nggak mau kalau Mas Kian terlalu maksa Rado padahal dia jelas-jelas nggak mau balik pulang." "Apa kamu bakal tanggung jawab kalau Rado ada apa-apa, heh?! Dia itu adikku, Ris! Dan kamu nggak ada hak buat mengambil dia dariku! Karena aku lebih tahu pengobatan yang terbaik untuknya!" "Pembahasan kita nggak akan berkembang kalau belum minta pendapat Rado. Jadi, gimana kalau kita dengar pendapat dia dulu." "Percuma! Setelah kamu cuci otaknya!" "Mas Kian, aku ini selain mahasiswa juga punya kesibukan mengelola bisnis apotekku. Dari pada aku nyuci otaknya Rado, mending aku nyuci uang-uangku biar bisa nambah satu gerai apotek lagi. Bener, kan?!" Kemudian Risty terkekeh santai. Dia benar-benar sosok perempuan muda kuat dan pemberani. Dan aku bersembunyi dibalik keberaniannya. "Rado, gue tanya, lo mau kembali sama keluarga atau tetap sama gue?" Aku masih menunduk kemudian
"Mau minum?" Risty menyodorkan sekaleng minuman dingin padaku ketika kami sudah tiba di apartemen Kak Alfonso yang kami pinjam. "Thanks," aku menerimanya lalu Risty ikut duduk di sebelahku. "Masih mikirin Mas Kian?" Aku menghela nafas lalu mengangguk, "Semoga Mas Kian terima sama keputusanku." "Harus. Jangan sampai usaha lo untuk sembuh bakal sia-sia." "Asal lo juga tepat janji, Ris." "Gue tepat janji meski kadang agak molor," kemudian dia terkekeh. Aku tersenyum tipis tanpa sepengetahuannya lalu meminum soft drink pemberiannya. Tadi, ketika Mas Kian mencegahku pergi saat di parkiran mall, aku memberinya pilihan antara mempertahankan aku atau kehilangan istrinya. Karena Mas Kian tidak bisa memilih, akhirnya aku memutuskan pergi seperti keinginanku di awal. "Yang penting Mas Kian nggak nyewa orang lagi buat nyeret lo balik." "Thanks, Ris." "Welcome." Dan Risty menyodorkan kesepakatan pada Mas Kian untuk tidak mengusik kehidupanku dalam beberapa bulan perjanjian. Dia ju
Ketika tidak ada yang fokus pada ponsel Risty, aku segera menyambarnya begitu saja dari meja lalu menolak panggilan Richard. Dengan cepat, tanganku menekan power ponselnya dan kemudian mati begitu saja. Aku segera masuk ke dalam kamar khusus laki-laki lalu memasukkan ponsel Risty ke dalam tasku. Meletakkannya di bagian terdalam dan menumpukinya dengan pakaian-pakaianku. Persetan dengan Richard! Aku tidak akan membiarkan dia merebut perhatian Risty. Karena seperti janji Risty, dia akan memberikan perhatiannya padaku selama di Bogor sekaligus untuk membantuku pulih dari ketergantungan obat anti depresan yang biasa kuminum saat stres. "Ada yang tahu ponsel Risty nggak?! Tadi perasaan ada di atas meja." Aku yang tengah berdiri sambil menyanggakan tubuh di atas pagar bambu vila sederhana ini hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus pada pemandangan sore yang indah. Tidak lupa seulas senyum tipis tercipta di bibirku tanpa ada yang tahu kecuali Tuhan. Jika kemarin aku mencintai istri ka
Malam ruwat desa sungguh ramai dengan para warga memakan hasil masakan tadi bersama-sama disepanjang jalan desa yang sudah dipasang tikar. Anak-anak juga ikut melahap makanan itu. Aku dan kawan-kawan juga melahap masakan itu. Kebetulan Risty duduk di seberangku dengan penampilan yang segar memakai jas almamater. Bahkan pandanganku tidak beralih darinya jika bukan karena kepala desa kembali memberi sambutan. Usai acara malam itu, kami diizinkan kepala desa beristirahat di rumahnya sambil menikmati pemandangan malam yang indah dari samping rumahnya. Tampak kemerlip pemandangan dataran rendah disertai semilir sapuan angin malam dari kaki gunung. "Mana ponsel gue?" Pinta Risty. Ya, sesuai perjanjian, aku akan memberikan ponselnya ketika malam hari saja. Dia bergegas mengutak atik isi ponselnya dengan aku berada di depannya. Memandangi wajahnya diam-diam tanpa berbicara. Senyumnya terbit ketika membaca pesan entah dari siapa. Aku tidak begitu berminat untuk mengetahuinya asal bukan da
"Kian ada di bawah. Dia pengen ketemu lo, Do," ucapan Kak Alfonso langsung membuat tubuhku panas dingin. "Ngapain lo bawa Mas Kian kemari sih, Mas Al?!" seru Risty setengah kesal. "Kian maksa, Ris. Dia khawatir sama Rado. Dia nggak yakin lo bisa jagain Rado." "Rado udah gede! Dia bisa jaga dirinya sendiri. Bahkan selama kita study lapangan disini tuh justru dia yang jagain gue!" Kak Alfonso menghela nafas pendek, "Gue bingung, Ris. Soalnya Kian mikirnya ke utara, lo mikirnya ke selatan. Nah, gue yang di tengah-tengah bingung mesti gimana." "Harusnya lo tanya dulu ke gue kalau mau kemari! Mas Kian jadi ngerti kan kalau Rado disini sama gue?!" "Itulah bingungnya gue. Satu sisi Kian nggak bisa jauh lama-lama dari Rado, tapi kenyataannya disini dia baik-baik aja." "Ya udah, lo tinggal bilang sama Mas Kian kalau Rado baik-baik aja. Jadi mending kalian pulang!" Risty justru mengusir sepupunya itu dengan kesal. "Ya ampun, Ris. Seenggaknya biarin Kian lihat Rado bentar. Biar mereka ket