enjoy reading ...
Ketika tidak ada yang fokus pada ponsel Risty, aku segera menyambarnya begitu saja dari meja lalu menolak panggilan Richard. Dengan cepat, tanganku menekan power ponselnya dan kemudian mati begitu saja. Aku segera masuk ke dalam kamar khusus laki-laki lalu memasukkan ponsel Risty ke dalam tasku. Meletakkannya di bagian terdalam dan menumpukinya dengan pakaian-pakaianku. Persetan dengan Richard! Aku tidak akan membiarkan dia merebut perhatian Risty. Karena seperti janji Risty, dia akan memberikan perhatiannya padaku selama di Bogor sekaligus untuk membantuku pulih dari ketergantungan obat anti depresan yang biasa kuminum saat stres. "Ada yang tahu ponsel Risty nggak?! Tadi perasaan ada di atas meja." Aku yang tengah berdiri sambil menyanggakan tubuh di atas pagar bambu vila sederhana ini hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus pada pemandangan sore yang indah. Tidak lupa seulas senyum tipis tercipta di bibirku tanpa ada yang tahu kecuali Tuhan. Jika kemarin aku mencintai istri ka
Malam ruwat desa sungguh ramai dengan para warga memakan hasil masakan tadi bersama-sama disepanjang jalan desa yang sudah dipasang tikar. Anak-anak juga ikut melahap makanan itu. Aku dan kawan-kawan juga melahap masakan itu. Kebetulan Risty duduk di seberangku dengan penampilan yang segar memakai jas almamater. Bahkan pandanganku tidak beralih darinya jika bukan karena kepala desa kembali memberi sambutan. Usai acara malam itu, kami diizinkan kepala desa beristirahat di rumahnya sambil menikmati pemandangan malam yang indah dari samping rumahnya. Tampak kemerlip pemandangan dataran rendah disertai semilir sapuan angin malam dari kaki gunung. "Mana ponsel gue?" Pinta Risty. Ya, sesuai perjanjian, aku akan memberikan ponselnya ketika malam hari saja. Dia bergegas mengutak atik isi ponselnya dengan aku berada di depannya. Memandangi wajahnya diam-diam tanpa berbicara. Senyumnya terbit ketika membaca pesan entah dari siapa. Aku tidak begitu berminat untuk mengetahuinya asal bukan da
"Kian ada di bawah. Dia pengen ketemu lo, Do," ucapan Kak Alfonso langsung membuat tubuhku panas dingin. "Ngapain lo bawa Mas Kian kemari sih, Mas Al?!" seru Risty setengah kesal. "Kian maksa, Ris. Dia khawatir sama Rado. Dia nggak yakin lo bisa jagain Rado." "Rado udah gede! Dia bisa jaga dirinya sendiri. Bahkan selama kita study lapangan disini tuh justru dia yang jagain gue!" Kak Alfonso menghela nafas pendek, "Gue bingung, Ris. Soalnya Kian mikirnya ke utara, lo mikirnya ke selatan. Nah, gue yang di tengah-tengah bingung mesti gimana." "Harusnya lo tanya dulu ke gue kalau mau kemari! Mas Kian jadi ngerti kan kalau Rado disini sama gue?!" "Itulah bingungnya gue. Satu sisi Kian nggak bisa jauh lama-lama dari Rado, tapi kenyataannya disini dia baik-baik aja." "Ya udah, lo tinggal bilang sama Mas Kian kalau Rado baik-baik aja. Jadi mending kalian pulang!" Risty justru mengusir sepupunya itu dengan kesal. "Ya ampun, Ris. Seenggaknya biarin Kian lihat Rado bentar. Biar mereka ket
"Jangan pernah ngajak Mas Kian kemari lagi! Rado itu sekarang jadi hak dan tanggung jawab gue, Mas Al! Gue nggak mau lo bawa dia nemui Rado tanpa persetujuan gue!"Risty memarahi Kak Alfonso, sepupunya, tanpa pandang bulu. Dia benar-benar tidak suka jika Mas Kian masih terus mencariku. Selain itu bisa menggoyahkan hatiku lalu membuatku meninggalkannya, Risty paham sekali jika kedatangan Mas Kian juga bisa membangkitkan kecemasanku. Padahal obat antidepresanku sudah Risty sita. "Astaga, Ris. Yang minta ketemu Rado tuh Kian. Kok lo jadi marah sama gue, sih?!""Apapun itu, kalau urusannya sama Rado, lo harus ijin sama gue dulu, Mas!""Lagian, kalau Rado butuh pengobatan harusnya lo relain dia diurus sama Kian, Ris. Bukan menyembunyikan dia kayak gini."Risty terkejut dengan pengakuan Kak Alfonso, "Jadi, Mas Kian cerita ke lo kalau Rado ... "Kepala Kak Alfonso mengangguk pelan sambil menatap kami berdua. Lalu tangan Risty menyugar rambut panjangnya dengan gaya kesal."Jadi, mending kemb
Salah satu apotek milik Risty yang dikelola secara pribadi, yang berada di kawasan Gambir, habis dilalap si jago merah. Kobaran api sudah tidak terlihat, namun petugas pemadam masih menyemprotkan air ke segala penjuru apotek itu. Bangunan tidak lagi utuh, hanya menyisakan tiang bangunan yang sudah menghitam. Banyak warga yang menyaksikan proses pemadaman kebakaran hingga membuat kemacetan di sepanjang jalan. Risty berjalan dari motorku menuju apoteknya dengan tatapan tidak percaya. Aku tahu betapa terpukulnya dia karena ini adalah apotek pertama yang ia bangun sebelum bertemu dengan teman-teman borjuisnya kemudian membangun bisnis apotek bersama-sama. "Jangan mendekat, Mbak! Jauh-jauh! Masih panas! Rawan hancur bangunannya!" Seorang petugas pemadam mendorong tubuh Risty agar menjauh dari lokasi. "Mbak, jangan maju! Bahaya!" "Itu apotek gue, bodoh!" "Iya tapi mundur dulu! Ini masih bahaya!" Risty yang tidak bisa menguasai emosi dan pikirannya, justru mendebat petugas pemadam ya
"Cepat!" Risty langsung melepaskan genggaman jemari kami lalu berlari sekencang mungkin. Lalu aku segera memukul dua preman yang paling dekat dengan kami agar tidak bisa mengeja Risty. Tapi naas, tiga preman yang lain mengejar Risty dengan cepat sedang aku masih berkutat dengan keempat preman yang menyerangku secara membabi buta. Walau bela diriku jauh lebih jago daripada mereka, namun aku jumlah. Satu pukulan tepat mengenai rahangku namun aku segera membalasnya dengan tak kalah emosional hingga punggungku ditendang preman yang lain lalu tersungkur ke tanah. Satu preman paling besar segera mengunci pergelangan tanganku dari belakang lalu yang lain menarikku kembali berdiri. Tidak mau membuang waktu, dua preman yang lain memukul perutku secara bergantian hingga aku mengaduh kesakitan. Namun mereka tidak berhenti lalu menarik rambutku dan menampar pipiku dengan keras. "Udah gue bilang, kan?! Mending lo serahin Risty daripada babak belur kayak gini." "Dasar sok jagoan! Bonyok tah
Setelah berjuang antara hidup dan mati, akhirnya aku siuman. Meski tubuhku masih terasa begitu berat untuk digerakkan, namun Mas Kian cukup bahagia mendapati aku telah membuka mata. Dia rela mengambil cuti emergensi untuk menemaniku. Mengesampingkan segala kesibukannya. Dan dia disini, TANPA ISTRINYA. Ya, Mas Kian sengaja tidak mengajak Mbak Sasha selama menjagaku di rumah sakit. Aku tahu, dia melakukan ini demi kebaikan perasaanku yang masih menaruh secuil cinta pada istrinya. Meski, lebih dari setengahnya telah diisi oleh Risty namun ada baiknya aku tidak bertemu kakak ipar yang dulu sangat kugilai itu. "Mau makan? Sarapannya baru datang," ucap Mas Kian lembut. Kakak kandungku yang masih saja tampan meski usianya lebih dari tiga puluh lima tahun itu, tampak sangat telaten merawatku. Maklum, sedari aku kecil, Mas Kian lah yang menjaga dan menghidupiku. "Mas ... maaf," ucapku lirih dengan mata mulai memanas. Mas Kian tersenyum tipis lalu tangannya mengusap rambutku perlahan.
"Aku ... kerja, Mas." Kening Mas Kian mengernyit kemudian, "Maksudnya?" Tangan kananku yang terpasang jarum infus meraih tangan Mas Kian lalu menggenggamnya. "Aku bakal cerita, tapi Mas Kian harus janji nggak bakal marah." Kondisiku sudah babak belur seperti ini. Ragaku tidak kuat jika digunakan untuk mencari Risty seorang diri. Maka jalan satu-satunya untuk membuatku bisa menemukan Risty adalah dengan membarter kejujuranku dengan kesediaan Mas Kian untuk mencarinya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Risty. "Ayo, Mas. Berjanji lah." Kepala Mas Kian mengangguk dengan pandangan lurus menatapku, "Janji." "Laki-laki pantang ingkar janji." "Mas nggak akan ingkar janji, Rado. Sekarang, bilang ada apa sebenarnya?" "Aku mau jujur, tapi Mas Kian harus kabulin satu keinginanku." "Jangan minta sesuatu yang Mas nggak bisa kabulin." "Mas bisa untuk satu hal ini." "Apa itu?" "Nanti aku akan bilang setelah ceritaku usai. Yang penting Mas udah janji bakal penuhi satu per
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut