enjoy reading ...
"Aku ... kerja, Mas." Kening Mas Kian mengernyit kemudian, "Maksudnya?" Tangan kananku yang terpasang jarum infus meraih tangan Mas Kian lalu menggenggamnya. "Aku bakal cerita, tapi Mas Kian harus janji nggak bakal marah." Kondisiku sudah babak belur seperti ini. Ragaku tidak kuat jika digunakan untuk mencari Risty seorang diri. Maka jalan satu-satunya untuk membuatku bisa menemukan Risty adalah dengan membarter kejujuranku dengan kesediaan Mas Kian untuk mencarinya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Risty. "Ayo, Mas. Berjanji lah." Kepala Mas Kian mengangguk dengan pandangan lurus menatapku, "Janji." "Laki-laki pantang ingkar janji." "Mas nggak akan ingkar janji, Rado. Sekarang, bilang ada apa sebenarnya?" "Aku mau jujur, tapi Mas Kian harus kabulin satu keinginanku." "Jangan minta sesuatu yang Mas nggak bisa kabulin." "Mas bisa untuk satu hal ini." "Apa itu?" "Nanti aku akan bilang setelah ceritaku usai. Yang penting Mas udah janji bakal penuhi satu per
“Aku mencintai Risty, Mas. Tapi aku milih diam karena sebenarnya dia udah punya kekasih.” “Cinta segitiga begitu kah maksudmu?” Kepalaku mengangguk dengan tetap terbaring di atas bantal dengan selang oksigen yang masih terpasang di kedua lubang hidungku. “Sejak kapan?” “Belum lama, Mas. Dan karena dia, perlahan-lahan aku bisa ngelupain Mbak Sasha.” Kepala Mas Kian mengangguk pelan. “Maafin aku, ya, Mas. Tapi aku janji, bakal hilangin rasa cintaku ke istrimu, Mas. Aku bakal jadi adik yang baik. Tapi, untuk ngelupain Mbak Sasha, aku harus mencintai perempuan lain.” Mas Kian hanya menatapku sambil mendengarkan semuanya. “Dan saat ini yang aku cintai itu Risty. Dia udah janji bakal bantu aku buat lupain Mbak Sasha dan bantu mentalku kembali sehat.” “Cinta diam-diam itu nggak enak, Do. Yang kalah tetap kamu.” “Aku nggak punya pilihan, Mas. Satu sisi aku harus segera lupain Mbak Sasha, tapi Risty sendiri udah punya pacar.” “Mas rasa itu bukan solusi terbaik untuk ngilangin perasa
Sesuai kesepakatan, setelah aku keluar dari rumah sakit, Mas Kian akan menjaga dan merawatku di masa cuti kerja yang telah diambil. Kami memutuskan untuk menempati apartemen Kak Alfonso sampai mendapat titik terang dimana keberadaan Risty. Sengaja aku tidak dirawat di rumah Mas Kian demi menjauhkan aku dari Mbak Sasha, istri Mas Kian yang masih kucintai itu. Hari demi hari, aku tidak henti-hentinya memikirkan Risty. Kadang tengah malam aku terjaga karena berimpi tentang dirinya. Selalu mimpi buruk dengan dia berteriak meminta tolong. Tapi aku tidak bisa berbuat apapun untuk menyelamatkannya. Ragaku masih belum pulih, apalagi luka bekas jahitan di kepalaku belum kering seutuhnya. Alhasil, aku lebih banyak mengurung diri di kamar dengan pandangan kosong. "Risty pasti baik-baik aja." Kedatangan Mas Kian membuatku sedikit terkejut karena asyik melamun. Ia membawa segelas air putih dan obat yang harus rajin kukonsumsi agar lukaku cepat mengering. "Hari ini Dokter Raphael mau datan
"Hati-hati. Gue udah hubungi mata-mata gue disana kalau lo bakal gabung nyari Risty," Kak Alfonso berucap sambil menepuk pundakku. Kini aku, Kak Alfonso, dan Mas Kian tengah berada di bandara. Mereka berdua mengantar kepergianku menuju Bali untuk mencari keberadaan Risty. Kak Alfonso hanya tahu jika aku berangkat ke Bali untuk menjalankan tugasku sebagai bodyguard Risty. Namun tidak dengan Mas Kian yang tahu lebih dari sekedar itu. Dia tahu aku mencintai Risty demi melupakan cintaku untuk istrinya. "Jaga diri baik-baik. Hubungi Mas kalau kamu udah nggak sanggup," Mas Kian berucap. Akhirnya dia bersedia melepasku yang terus memaksa untuk diizinkan pergi ke Bali demi mencari Risty. "Aku bakal pulang sama Risty. Doakan aku bisa nemuin dia, Mas." Mas Kian lalu memeluk dan menepuk punggungku. Aku tahu ini akan menjadi perpisahan pertama kami selama hidup bersama. Mas Kian harus tega melepaskanku dan aku harus memaksa diri ini untuk menjauh darinya dan istrinya. Aku melambaikan tang
Aku tidak sebodoh itu memberikan alamat tinggalku di Bali pada Mamanya Risty. Berjaga-jaga, siapa tahu beliau juga memiliki andil bersama Ziany untuk menculik Risty. Namun kata hatiku berkata jika beliau tidak mungkin berada di balik Ziany. Setidak cintanya beliau pada mendiang Papanya Risty, tapi Risty tetaplah putri yang lahir dari rahimnya. Dan bukankah itu cukup memunculkan ikatan batin diantara keduanya? "Apa kamu sudah menunggu lama?" Aku langsung bangkit dari duduk lalu berdiri di hadapannya sambil sedikit membuungkukkan badan sebagai tanda hormat. "Setengah jam, Nyonya." "Boleh aku duduk?" "Silahkan, Nyonya." Wanita dewasa yang masih cantik ini memiliki mata dan bibir yang indah, persis seperti Risty. Dan itu membuatku makin merindukan dirinya. "Langsung aja, apa yang sudah kamu ketahui?" "Maaf, Nyonya. Apa yang sudah saya ketahui hanya akan menjadi rahasia saya. Disini, saya meminta bantuan anda untuk membantu saya menemukan Risty." "Kamu takut aku mencuri informas
Melalui jalanan terjal, tinggi, dan berkelok kami tidak patah arang menuju lokasi tempat Risty berada. Kami berhenti agak jauh dari titik target untuk kembali merancang strategi dadakan namun harus tersusun dengan tepat. Tim baru yang beranggotan sepuluh orang bertubuh tegap layaknya angkatan bersenjata itu membuat rencana dengan menugaskan dua anggotanya untuk berpura-pura datang sebagai orang gila. Mereka berdua sudah bersiap dengan pakaian dan atribut yang mendukung. Ramut berantakan dan wajah hitam diberi serbuk arang yang dihaluskan. Kentara sekali jika mereka sering dituntut untuk profesional dalam pekerjaan ini. Empat orang lainnya bertugas mengawasi dari beberapa titik menggunakan senjata api masing-masing. Sedang aku dan keempat personil yang lain bertugas pada inti pergerakan apabila terjadi baku hantam. Dan kelima mata-mata akan berjaga di mobil dan terus mengecek pergerakan para komplotan manakala ada yang melarikan diri. "Siap!!!" Kami segera kembali ke mobil mas
Yang ada dihadapanku bukanlah Risty, melainkan perempuan yang tidak kukenal tengah meringkuk sendiri dengan kaki diikat ke rantai yang tertanam di dinding. Naluriku berbisik, meski itu bukan Risty setidaknya aku harus membantu perempuan itu melepaskan diri. Aku meraih tubuhnya yang lemas hingga dia membuka mata. Apa dia tidak pernah diberi makan atau minum hingga raganya selemah ini? Bau tubuhnya juga menyengat sekali. “To … long,” ucapnya lirih. Aku keluar dari kamar itu untuk mencari kunci borgol di kakinya. Tim sedang sibuk melumpuhkan dan mengikat kaki serta tangan para komplotan itu. Lalu pandanganku jatuh pada kumpulan kunci yang tergantung di dinding dekat kamar sebelah lalu aku memasukkan kunci itu satu demi satu hingga gembok rantai kakinya terbuka. Ketika aku akan menggendongnya keluar, perempuan itu berbisik. “Ada yang lain.” “Apa maksudnya?” “Di bawah,” tangannya menunjuk ke bawah lantai. “Ruang bawah tanah?” Kepalanya mengangguk. “Apa dia juga seorang perempua
"Apa para komplotan itu memiliki keluarga inti?" tanya Kak Alfonso sambil menatap kelima komplotan yang sudah diikat rapat. "Tidak, Bos. Mereka benar-benar manusia buangan dan keluarganya sudah tidak peduli." "Bawa mereka pergi dari Bali. Bila perlu bawa ke daerah yang terpencil di bagian timur." Usai memberi perintah demikian pada tim yang melumpuhkan komplotan itu, Kak Alfonso berlalu ke dalam mobil dengan aku mengikutinya dari belakang. Lalu aku membuka pintu bagian belakang dan duduk di sebelahnya. Sopir melajukan mobil ini menuju rumah sakit tempat Risty dirawat. Aku sudah tidak sabar ingin melihat perkembangannya usai mendaat pertolongan pertama. "Makasih, Kak Al. Udah nyewa tim terbaik untuk nemuin Risty," ucapku tulus. "Dia itu sepupu gue yang paling kasihan, Do. Sejak Papanya meninggal, Risty benar-benar berusaha mandiri. Dia mau nunjukin ke keluarga besar kami, terutama nenek dan nyokapnya," ucap Kak Alfonso sambil menatap keluar jendela mobil. Lelaki berperawakan p
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut