enjoy reading ...
Setelah berjuang antara hidup dan mati, akhirnya aku siuman. Meski tubuhku masih terasa begitu berat untuk digerakkan, namun Mas Kian cukup bahagia mendapati aku telah membuka mata. Dia rela mengambil cuti emergensi untuk menemaniku. Mengesampingkan segala kesibukannya. Dan dia disini, TANPA ISTRINYA. Ya, Mas Kian sengaja tidak mengajak Mbak Sasha selama menjagaku di rumah sakit. Aku tahu, dia melakukan ini demi kebaikan perasaanku yang masih menaruh secuil cinta pada istrinya. Meski, lebih dari setengahnya telah diisi oleh Risty namun ada baiknya aku tidak bertemu kakak ipar yang dulu sangat kugilai itu. "Mau makan? Sarapannya baru datang," ucap Mas Kian lembut. Kakak kandungku yang masih saja tampan meski usianya lebih dari tiga puluh lima tahun itu, tampak sangat telaten merawatku. Maklum, sedari aku kecil, Mas Kian lah yang menjaga dan menghidupiku. "Mas ... maaf," ucapku lirih dengan mata mulai memanas. Mas Kian tersenyum tipis lalu tangannya mengusap rambutku perlahan.
"Aku ... kerja, Mas." Kening Mas Kian mengernyit kemudian, "Maksudnya?" Tangan kananku yang terpasang jarum infus meraih tangan Mas Kian lalu menggenggamnya. "Aku bakal cerita, tapi Mas Kian harus janji nggak bakal marah." Kondisiku sudah babak belur seperti ini. Ragaku tidak kuat jika digunakan untuk mencari Risty seorang diri. Maka jalan satu-satunya untuk membuatku bisa menemukan Risty adalah dengan membarter kejujuranku dengan kesediaan Mas Kian untuk mencarinya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Risty. "Ayo, Mas. Berjanji lah." Kepala Mas Kian mengangguk dengan pandangan lurus menatapku, "Janji." "Laki-laki pantang ingkar janji." "Mas nggak akan ingkar janji, Rado. Sekarang, bilang ada apa sebenarnya?" "Aku mau jujur, tapi Mas Kian harus kabulin satu keinginanku." "Jangan minta sesuatu yang Mas nggak bisa kabulin." "Mas bisa untuk satu hal ini." "Apa itu?" "Nanti aku akan bilang setelah ceritaku usai. Yang penting Mas udah janji bakal penuhi satu per
“Aku mencintai Risty, Mas. Tapi aku milih diam karena sebenarnya dia udah punya kekasih.” “Cinta segitiga begitu kah maksudmu?” Kepalaku mengangguk dengan tetap terbaring di atas bantal dengan selang oksigen yang masih terpasang di kedua lubang hidungku. “Sejak kapan?” “Belum lama, Mas. Dan karena dia, perlahan-lahan aku bisa ngelupain Mbak Sasha.” Kepala Mas Kian mengangguk pelan. “Maafin aku, ya, Mas. Tapi aku janji, bakal hilangin rasa cintaku ke istrimu, Mas. Aku bakal jadi adik yang baik. Tapi, untuk ngelupain Mbak Sasha, aku harus mencintai perempuan lain.” Mas Kian hanya menatapku sambil mendengarkan semuanya. “Dan saat ini yang aku cintai itu Risty. Dia udah janji bakal bantu aku buat lupain Mbak Sasha dan bantu mentalku kembali sehat.” “Cinta diam-diam itu nggak enak, Do. Yang kalah tetap kamu.” “Aku nggak punya pilihan, Mas. Satu sisi aku harus segera lupain Mbak Sasha, tapi Risty sendiri udah punya pacar.” “Mas rasa itu bukan solusi terbaik untuk ngilangin perasa
Sesuai kesepakatan, setelah aku keluar dari rumah sakit, Mas Kian akan menjaga dan merawatku di masa cuti kerja yang telah diambil. Kami memutuskan untuk menempati apartemen Kak Alfonso sampai mendapat titik terang dimana keberadaan Risty. Sengaja aku tidak dirawat di rumah Mas Kian demi menjauhkan aku dari Mbak Sasha, istri Mas Kian yang masih kucintai itu. Hari demi hari, aku tidak henti-hentinya memikirkan Risty. Kadang tengah malam aku terjaga karena berimpi tentang dirinya. Selalu mimpi buruk dengan dia berteriak meminta tolong. Tapi aku tidak bisa berbuat apapun untuk menyelamatkannya. Ragaku masih belum pulih, apalagi luka bekas jahitan di kepalaku belum kering seutuhnya. Alhasil, aku lebih banyak mengurung diri di kamar dengan pandangan kosong. "Risty pasti baik-baik aja." Kedatangan Mas Kian membuatku sedikit terkejut karena asyik melamun. Ia membawa segelas air putih dan obat yang harus rajin kukonsumsi agar lukaku cepat mengering. "Hari ini Dokter Raphael mau datan
"Hati-hati. Gue udah hubungi mata-mata gue disana kalau lo bakal gabung nyari Risty," Kak Alfonso berucap sambil menepuk pundakku. Kini aku, Kak Alfonso, dan Mas Kian tengah berada di bandara. Mereka berdua mengantar kepergianku menuju Bali untuk mencari keberadaan Risty. Kak Alfonso hanya tahu jika aku berangkat ke Bali untuk menjalankan tugasku sebagai bodyguard Risty. Namun tidak dengan Mas Kian yang tahu lebih dari sekedar itu. Dia tahu aku mencintai Risty demi melupakan cintaku untuk istrinya. "Jaga diri baik-baik. Hubungi Mas kalau kamu udah nggak sanggup," Mas Kian berucap. Akhirnya dia bersedia melepasku yang terus memaksa untuk diizinkan pergi ke Bali demi mencari Risty. "Aku bakal pulang sama Risty. Doakan aku bisa nemuin dia, Mas." Mas Kian lalu memeluk dan menepuk punggungku. Aku tahu ini akan menjadi perpisahan pertama kami selama hidup bersama. Mas Kian harus tega melepaskanku dan aku harus memaksa diri ini untuk menjauh darinya dan istrinya. Aku melambaikan tang
Aku tidak sebodoh itu memberikan alamat tinggalku di Bali pada Mamanya Risty. Berjaga-jaga, siapa tahu beliau juga memiliki andil bersama Ziany untuk menculik Risty. Namun kata hatiku berkata jika beliau tidak mungkin berada di balik Ziany. Setidak cintanya beliau pada mendiang Papanya Risty, tapi Risty tetaplah putri yang lahir dari rahimnya. Dan bukankah itu cukup memunculkan ikatan batin diantara keduanya? "Apa kamu sudah menunggu lama?" Aku langsung bangkit dari duduk lalu berdiri di hadapannya sambil sedikit membuungkukkan badan sebagai tanda hormat. "Setengah jam, Nyonya." "Boleh aku duduk?" "Silahkan, Nyonya." Wanita dewasa yang masih cantik ini memiliki mata dan bibir yang indah, persis seperti Risty. Dan itu membuatku makin merindukan dirinya. "Langsung aja, apa yang sudah kamu ketahui?" "Maaf, Nyonya. Apa yang sudah saya ketahui hanya akan menjadi rahasia saya. Disini, saya meminta bantuan anda untuk membantu saya menemukan Risty." "Kamu takut aku mencuri informas
Melalui jalanan terjal, tinggi, dan berkelok kami tidak patah arang menuju lokasi tempat Risty berada. Kami berhenti agak jauh dari titik target untuk kembali merancang strategi dadakan namun harus tersusun dengan tepat. Tim baru yang beranggotan sepuluh orang bertubuh tegap layaknya angkatan bersenjata itu membuat rencana dengan menugaskan dua anggotanya untuk berpura-pura datang sebagai orang gila. Mereka berdua sudah bersiap dengan pakaian dan atribut yang mendukung. Ramut berantakan dan wajah hitam diberi serbuk arang yang dihaluskan. Kentara sekali jika mereka sering dituntut untuk profesional dalam pekerjaan ini. Empat orang lainnya bertugas mengawasi dari beberapa titik menggunakan senjata api masing-masing. Sedang aku dan keempat personil yang lain bertugas pada inti pergerakan apabila terjadi baku hantam. Dan kelima mata-mata akan berjaga di mobil dan terus mengecek pergerakan para komplotan manakala ada yang melarikan diri. "Siap!!!" Kami segera kembali ke mobil mas
Yang ada dihadapanku bukanlah Risty, melainkan perempuan yang tidak kukenal tengah meringkuk sendiri dengan kaki diikat ke rantai yang tertanam di dinding. Naluriku berbisik, meski itu bukan Risty setidaknya aku harus membantu perempuan itu melepaskan diri. Aku meraih tubuhnya yang lemas hingga dia membuka mata. Apa dia tidak pernah diberi makan atau minum hingga raganya selemah ini? Bau tubuhnya juga menyengat sekali. “To … long,” ucapnya lirih. Aku keluar dari kamar itu untuk mencari kunci borgol di kakinya. Tim sedang sibuk melumpuhkan dan mengikat kaki serta tangan para komplotan itu. Lalu pandanganku jatuh pada kumpulan kunci yang tergantung di dinding dekat kamar sebelah lalu aku memasukkan kunci itu satu demi satu hingga gembok rantai kakinya terbuka. Ketika aku akan menggendongnya keluar, perempuan itu berbisik. “Ada yang lain.” “Apa maksudnya?” “Di bawah,” tangannya menunjuk ke bawah lantai. “Ruang bawah tanah?” Kepalanya mengangguk. “Apa dia juga seorang perempua