enjoy reading ...
"Maaf, tidak ada pelanggan kamar kami yang menginap dua malam lalu atas nama Richard." Ucapan resepsionis itu membuat keterkejutan sekaligus rasa penasaran menggulung keingintahuanku untuk terus bertanya. "Tapi saya lihat dia masuk ke dalam hotel ini, Mbak." "Mungkin itu adalah salah satu tamu pelanggan kami, Mas." Aku menghela nafas kemudian memutuskan keluar dari hotel dengan perasaan kecewa. Karena dua malam lalu aku benar-benar telah memastikan jika mobil yang terparkir itu adalah milik Richard yang biasa ia bawa saat bekerja atau mengunjungi Risty. Karena tidak menemukan apa yang kucari, aku pun bergegas memasuki mobil Risty lalu kembali ke ruko apoteknya. Aku tidak mau Risty terlalu lama diluar penjagaanku agar tidak kembali disambangi kemalangan itu. Cukup sekali saja hingga membuatnya trauma. "Lo habis dari mana sih, Do?" tanya Risty begitu aku baru saja memasuki ruangan yang biasa ia pakai untuk merekap hasil penjualan bisnis apoteknya. Dia tengah menyandarkan tubuhn
"Do, gue pengen jalan-jalan," ucap Risty tiba-tiba. Kami sedang berada di ruko apoteknya, setelah ia menyelesaikan rekapan keuangan untuk hari ini. Aku yang sedang membaca koran pada kolom olahraga, kemudian sedikit menurunkannya hingga bisa melihat Risty. Dia tengah duduk di atas kursi kerja yang bisa berputar 360 derajat dengan kedua telapak tangan diletakkan di belakang kepala sambil mendongak ke atas. "Jalan-jalan kemana?" "Ke rumah nenek." "Dimana?" "Norwegia." Kedua alisku terangkat seketika mendengar ucapannya. Apa Risty sedang berbohong? Lalu aku melipat koran dan meletakkannya di atas meja kaca. "Lo bercandanya kelewatan, Ris." "Nenek nikah sama laki-laki blasteran Norwegia - Indonesia. Lalu mereka menetap disana. Tapi anak-anaknya nenek lebih senang balik ke Indonesia." Kepalaku mengangguk paham. Pantas saja Risty memiliki paras wajah yang cantik karena memiliki keturunan darah bule meski tidak terlalu kentara. Mungkin karena Papanya menikah dengan Mamanya yang a
Aku memarkir mobil Risty di sebuah cafe and restaurant tempat Mas Kian menunggu dengan kenalannya yang berprofesi sebagai peretas. Dengan langkah lebar, aku menghampiri keduanya yang menunggu di meja paling pojok dengan intensitas pencahayaan minim. "Apa aku lama?" tanyaku begitu tiba. Mas Kian tersenyum lalu menarik kursi untukku di sebelahnya, "Nggak masalah. Duduk dulu. Waktu kita nggak banyak." Kepalaku menoleh ke Mas Kian, "Kenapa?" "Jam istirahat Mas tinggal dua puluh menit lagi." Aku menghela nafas panjang dan merasa kesal dengan kemacetan yang tadi menghadang. Tapi beruntung sekali Kaika begitu kooperatif. Dia tidak mengapa turun dari mobil lalu memesan taksi menuju rumah Kak Al untuk menemani Risty. Dan aku meminta Kaika tidak mengatakan maksud pertemuanku dengan Mas Kian pada Risty. "Silahkan, Mas Fais," Mas Kian mempersilahkan temannya berbicara. Tanpa banyak bicara, teman Mas Kian bernama Fais itu membuka ipad lebar miliknya lalu menunjukkan padaku tentang apa yang
Aku ingin sebelum pergi ke Norwegia, urusanku mencari tahu apa yang Richard sembunyikan sudah berada dalam genggaman. Dan untuk menemukan siapa perempuan yang mengaku sedang mengandung anak Richard, aku harus segera bergerak. Hari ini setelah berjibaku menemani Risty mengecek jumlah obat-obatan yang masuk ke apoteknya, aku segera menghubungi Kaika. Dia harus menemani Risty selagi aku keluar mencari tahu segalanya tanpa membuatnya curiga. "Lo pakai alasan apa, Do?" tanya Kaika waktu dia baru tiba di apotek. "Cewek yang gue taksir lagi butuh bantuan." Kaika menoleh ke arahku dengan menaikkan kedua alis. "Itu cuma modus. Sekarang lo temani Risty. Dia lagi di kamar mandi." "Lo nggak pamit?" "Ribet, Kai! Risty itu kayak polisi, suka menginterogasi." Kaika terkekeh lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai dua tempat Risty berada. Sedang aku berjalan cepat keluar apotek lalu mengendarai mobilnya menuju satu titik yang harus kutuju. Baru saja, Mas Fais mengabari titik dimana pere
Hari menuju ke Norwegia makin dekat. Visa dan paspor milik Risty, Kaika, dan aku diperkirakan akan selesai esok hari. Semuanya terasa cepat karena menggunakan jalur belakang super cepat melalui bantuan tangan kanan Kak Alfonso. Pengusaha kaya sepertinya wajar jika memiliki akses lebih dengan beberapa orang birokrasi. Risty pun melakukan kegiatannya seperti biasa, termasuk jadwal berkencannya dengan Richard. Namun ada yang berbeda dengan hari ini waktu Richard menghubunginya. “Rich, aku kemana-mana harus sama Rado. Dia itu bodyguardku. Kamu tahu itu.” “Aku tahu, Ris. Tapi ‘kan kamu mau ke Norwegia. Disana nggak ada Ziany yang bakal melukai kamu lagi ‘kan?!” “Please, Rich. Jangan bikin pikiranku tambah pusing. Biar Rado ikut sama aku. Lagian kenapa sih kamu melarang dia ikut? Apa kamu nggak senang lihat aku aman-aman aja dimanapun berada?” “Masalahnya … siapa tahu Rado mengambil kesempatan dalam kesempitan?” Risty menautkan kedua alisnya dengan wajah setengah tidak percaya lalu me
"Ya Tuhan, gue ngomong apaan sih?!" gumam Risty lalu berdiri dari duduknya. Sedang aku masih dibuat penasaran dengan ucapannya yang mengatakan 'andai memiliki jodoh seperti aku'. Apa maksudnya? Dan apa yang akan Risty lakukan jika tahu aku sebenarnya mencintai dirinya? Apakah dia akan menjauhiku? Atau justru menerimaku? Menerima? Tidak mungkin! Bukankah dia sendiri yang mengatakan sudah memilih Richard sebagai pendamping hidupnya kelak? Lalu mengapa aku masih saja besar rasa? *** Di depan kamar yang kusewa, terdapat private pool dan halaman dengan rerumputan hijau yang indah. Halaman itu bisa digunakan untuk mendirikan beberapa tenda bila ada pengunjung yang ingin bermalam di resort ini tanpa menyewa kamar. Kebetulan, ada dua tenda terpasang yang dihuni sepasang suami istri baru. Mereka ingin menikmati waktu bersama dengan bermalam di tenda yang menghadap ke laut. Romantis sekali. Risty yang dasarnya adalah perempuan yang supel, kini berteman dengan mereka dan saling beker
Aku masih memeluk erat tubuh Risty dari belakang. Rasanya terlalu enggan untuk melepasnya. Ini sebenarnya adalah hal yang sangat kuinginkan. Lalu dengan batas kendali diri yang mulai tidak bisa kukuasai, aku justru mendekatkan wajahku ke rambutnya. Sedang Risty hanya diam mematung tanpa menunjukkan reaksi apapun. Dia menikmati kah atau justru berpikiran yang tidak-tidak? Lalu satu teriakan dari hati nurani membuatku tersadar, bahwa Risty pernah mengalami kejadian pelecehan seksual. Dan aku tidak boleh membuatnya teringat kenangan buruk itu atau ia akan menganggap dirinya terlalu kotor hingga aku berani mempermainkannya seperti ini. Tidak, aku harus segera menjauhkan diri darinya. Karena berhadapan dengan manusia berjenis kelamin perempuan itu tidak mudah. Terkadang apa yang menurut laki-laki benar, bisa menjadi salah kaprah di matanya. "Gue keluar bentar, Ris.” Entah apa yang Risty pikirkan sekarang, yang jelas aku hanya ingin dia tahu bahwa aku berusaha menjaga martabatnya
Ini akan menjadi perjalanan yang sangat melelahkan, karena jarak tempuh dari Jakarta menuju Norwegia memakan waktu selama tujuh belas jam. Ini juga menjadi pengalaman pertamaku pergi ke provinsi terbahagia di benua Eropa itu. Memakai maskapai dari negeri petro dollar yang menyajikan fasilitas kelas wahid, aku, Kaika, Risty, dan penumpang lainnya berangkat dari bandara internasional di Jakarta. Mengenai kepergianku ke Norwegia, Mas Kian telah memberikan persetujuannya karena ia tahu jika ini bagian dari kewajibanku melayani Risty. Dia adalah majikanku dan sudah seharusnya aku menjaga dirinya agar selalu aman. "Ris?" panggilku setengah berbisik pada Risty yang duduk di sebelahku. Yang benar saja, aku bingung dengan model kursi pesawat kelas satu ini. Aku tidak tahu bagaimana membuatnya agar bisa digunakan untuk merebahkan badan setelah menempuh empat jam perjalanan. "Ris!" panggilku sedikit lebih keras namun tetap berbisik. Akhirnya dia yang sudah nyaman dengan kursinya, mendong
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut