enjoy reading ...
Aku memarkir mobil Risty di sebuah cafe and restaurant tempat Mas Kian menunggu dengan kenalannya yang berprofesi sebagai peretas. Dengan langkah lebar, aku menghampiri keduanya yang menunggu di meja paling pojok dengan intensitas pencahayaan minim. "Apa aku lama?" tanyaku begitu tiba. Mas Kian tersenyum lalu menarik kursi untukku di sebelahnya, "Nggak masalah. Duduk dulu. Waktu kita nggak banyak." Kepalaku menoleh ke Mas Kian, "Kenapa?" "Jam istirahat Mas tinggal dua puluh menit lagi." Aku menghela nafas panjang dan merasa kesal dengan kemacetan yang tadi menghadang. Tapi beruntung sekali Kaika begitu kooperatif. Dia tidak mengapa turun dari mobil lalu memesan taksi menuju rumah Kak Al untuk menemani Risty. Dan aku meminta Kaika tidak mengatakan maksud pertemuanku dengan Mas Kian pada Risty. "Silahkan, Mas Fais," Mas Kian mempersilahkan temannya berbicara. Tanpa banyak bicara, teman Mas Kian bernama Fais itu membuka ipad lebar miliknya lalu menunjukkan padaku tentang apa yang
Aku ingin sebelum pergi ke Norwegia, urusanku mencari tahu apa yang Richard sembunyikan sudah berada dalam genggaman. Dan untuk menemukan siapa perempuan yang mengaku sedang mengandung anak Richard, aku harus segera bergerak. Hari ini setelah berjibaku menemani Risty mengecek jumlah obat-obatan yang masuk ke apoteknya, aku segera menghubungi Kaika. Dia harus menemani Risty selagi aku keluar mencari tahu segalanya tanpa membuatnya curiga. "Lo pakai alasan apa, Do?" tanya Kaika waktu dia baru tiba di apotek. "Cewek yang gue taksir lagi butuh bantuan." Kaika menoleh ke arahku dengan menaikkan kedua alis. "Itu cuma modus. Sekarang lo temani Risty. Dia lagi di kamar mandi." "Lo nggak pamit?" "Ribet, Kai! Risty itu kayak polisi, suka menginterogasi." Kaika terkekeh lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai dua tempat Risty berada. Sedang aku berjalan cepat keluar apotek lalu mengendarai mobilnya menuju satu titik yang harus kutuju. Baru saja, Mas Fais mengabari titik dimana pere
Hari menuju ke Norwegia makin dekat. Visa dan paspor milik Risty, Kaika, dan aku diperkirakan akan selesai esok hari. Semuanya terasa cepat karena menggunakan jalur belakang super cepat melalui bantuan tangan kanan Kak Alfonso. Pengusaha kaya sepertinya wajar jika memiliki akses lebih dengan beberapa orang birokrasi. Risty pun melakukan kegiatannya seperti biasa, termasuk jadwal berkencannya dengan Richard. Namun ada yang berbeda dengan hari ini waktu Richard menghubunginya. “Rich, aku kemana-mana harus sama Rado. Dia itu bodyguardku. Kamu tahu itu.” “Aku tahu, Ris. Tapi ‘kan kamu mau ke Norwegia. Disana nggak ada Ziany yang bakal melukai kamu lagi ‘kan?!” “Please, Rich. Jangan bikin pikiranku tambah pusing. Biar Rado ikut sama aku. Lagian kenapa sih kamu melarang dia ikut? Apa kamu nggak senang lihat aku aman-aman aja dimanapun berada?” “Masalahnya … siapa tahu Rado mengambil kesempatan dalam kesempitan?” Risty menautkan kedua alisnya dengan wajah setengah tidak percaya lalu me
"Ya Tuhan, gue ngomong apaan sih?!" gumam Risty lalu berdiri dari duduknya. Sedang aku masih dibuat penasaran dengan ucapannya yang mengatakan 'andai memiliki jodoh seperti aku'. Apa maksudnya? Dan apa yang akan Risty lakukan jika tahu aku sebenarnya mencintai dirinya? Apakah dia akan menjauhiku? Atau justru menerimaku? Menerima? Tidak mungkin! Bukankah dia sendiri yang mengatakan sudah memilih Richard sebagai pendamping hidupnya kelak? Lalu mengapa aku masih saja besar rasa? *** Di depan kamar yang kusewa, terdapat private pool dan halaman dengan rerumputan hijau yang indah. Halaman itu bisa digunakan untuk mendirikan beberapa tenda bila ada pengunjung yang ingin bermalam di resort ini tanpa menyewa kamar. Kebetulan, ada dua tenda terpasang yang dihuni sepasang suami istri baru. Mereka ingin menikmati waktu bersama dengan bermalam di tenda yang menghadap ke laut. Romantis sekali. Risty yang dasarnya adalah perempuan yang supel, kini berteman dengan mereka dan saling beker
Aku masih memeluk erat tubuh Risty dari belakang. Rasanya terlalu enggan untuk melepasnya. Ini sebenarnya adalah hal yang sangat kuinginkan. Lalu dengan batas kendali diri yang mulai tidak bisa kukuasai, aku justru mendekatkan wajahku ke rambutnya. Sedang Risty hanya diam mematung tanpa menunjukkan reaksi apapun. Dia menikmati kah atau justru berpikiran yang tidak-tidak? Lalu satu teriakan dari hati nurani membuatku tersadar, bahwa Risty pernah mengalami kejadian pelecehan seksual. Dan aku tidak boleh membuatnya teringat kenangan buruk itu atau ia akan menganggap dirinya terlalu kotor hingga aku berani mempermainkannya seperti ini. Tidak, aku harus segera menjauhkan diri darinya. Karena berhadapan dengan manusia berjenis kelamin perempuan itu tidak mudah. Terkadang apa yang menurut laki-laki benar, bisa menjadi salah kaprah di matanya. "Gue keluar bentar, Ris.” Entah apa yang Risty pikirkan sekarang, yang jelas aku hanya ingin dia tahu bahwa aku berusaha menjaga martabatnya
Ini akan menjadi perjalanan yang sangat melelahkan, karena jarak tempuh dari Jakarta menuju Norwegia memakan waktu selama tujuh belas jam. Ini juga menjadi pengalaman pertamaku pergi ke provinsi terbahagia di benua Eropa itu. Memakai maskapai dari negeri petro dollar yang menyajikan fasilitas kelas wahid, aku, Kaika, Risty, dan penumpang lainnya berangkat dari bandara internasional di Jakarta. Mengenai kepergianku ke Norwegia, Mas Kian telah memberikan persetujuannya karena ia tahu jika ini bagian dari kewajibanku melayani Risty. Dia adalah majikanku dan sudah seharusnya aku menjaga dirinya agar selalu aman. "Ris?" panggilku setengah berbisik pada Risty yang duduk di sebelahku. Yang benar saja, aku bingung dengan model kursi pesawat kelas satu ini. Aku tidak tahu bagaimana membuatnya agar bisa digunakan untuk merebahkan badan setelah menempuh empat jam perjalanan. "Ris!" panggilku sedikit lebih keras namun tetap berbisik. Akhirnya dia yang sudah nyaman dengan kursinya, mendong
"Hello, Norwegia! Sebentar lagi bakal tamat riwayat lo, Zi!" Risty memekik senang begitu menjejakkan kakinya di lorong bandara Gardermoen, Oslo, Norwegia. Sekarang sedang musim semi di Norwegia. Sehingga cuaca tidak terlalu dingin karena saat musim dingin bisa mencapai minus tiga derajat. Salju yang ada di sekitar bandara Gardermoen masih tampak beberapa yang belum benar-benar meleleh di atap-atap dan daun pepohonan. "Ris, disini siang malamnya sama kayak di Indonesia nggak?" tanya Kaika sambil memandangi bandara Gardermoen yang indah ini. "Untuk saat ini lo masih bisa lihat matahari selama dua belas jam. Tapi beda cerita kalau bulan depan. Lo bisa lihat lebih lama. Lima belas jam dan suhu mulai ke musim panas." Mataku terus memandangi arsitek bandara yang megah ini. Desain bangunannya melengkung indah, bertingkat, dengan fasilitas canggih. Mungkin ukurannya mencapai dua kali bandara di Jakarta. Kemudian kami menuju pengambilan koper dan tas dengan kedua tanganku telah memegang
"Kali ini, bukan aku yang berulah, Nek. Tapi Ziany." Kedua bola mata neneknya Risty tidak menunjukkan keterkejutan atas ucapan Risty, dan kedua tangannya masih bersedekap di depan dada. "Bodyguard-ku adalah saksi ulah Ziany karena dia yang berhasil nemuin aku. Kalau nenek nggak percaya sama aku, silahkan tanya sama dia." Lalu kedua mata neneknya memandangku dan kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban. "Karena nenek biasanya nggak percaya sama mulutku, jadi aku bawa bodyguardku. Dia bukan lelaki yang pintar berbohong dan nenek bisa tanyain semua ke dia. Sampai akarnya kalau perlu." Usai berkata demikian, Risty menarik tangan Kaika lalu mereka berlalu ke dalam kamar yang sudah disiapkan. Sepertinya, Risty paham betul bagaimana perangai neneknya hingga memutuskan menyodorkanku untuk mengatakan semua yang kuketahui selama Risty diculik. Dan kini, di ruang tamu mewah ini hanya tersisa aku dan neneknya yang tidak menunjukkan ekspresi keterkejutan apapun tentang satu hal yang menimp