"Red Table nama tempat perdagangan manusia itu. Letaknya tidak jauh dari barat laut. Kemungkinan besar ada jembatan di sekitarnya. Aku belum pernah melihat secara langsung bangunan itu tapi harusnya bangunan perdagangan manusia tidak akan megah_mencolok. Pasti terletak tersembunyi, dan sulit diterima akal sehat kalau itu sebuah bangunan," terang Markus dari seberang gawai.
Jhon mengikuti penerangan Markus. Ia melewati sebuah jembatan. Lajunya agak dikencangkan. Di sini ia cukup familiar karena dulu ia juga melewati jalanan ini guna mengawal petinggi sebuah perusahaan mesin roket di kota Khimki.
Kemudian Jhon memasuki kawasan yang lebih ramai. Banyak bangunan di setiap sisinya. Jhon melihat-lihat mencari.
Sejauh ia melajukan mobil. Ia tidak menemukan bangunan seperti yang Markus sebut.
"Aku tidak menemukan bangunan dengan ciri-ciri yang kau sebut," kata Jhon.
Lembaran demi lembaran Markus bolak-balik. Gerakannya cepat. Suaranya sampai Jhon dengar.
Sedari Jhon masuk. Ia tidak melihat satupun penjaga. Tidak semacam club. Pasti ada penjaganya entah dua atau tiga."Kelihatannya di sini tidak ada penjaga. Sengaja begitu atau ada udang di balik batu?" tanya Jhon.Markus bergumam. "Jangan tertipu. Di setiap titik ada CCTV yang memantau semua kegiatan mereka. Bahkan kau pun sudah terekam di CCTV. Saat mereka menemukan kecurigaan, otomatis anak buah Haiden akan keluar secara tiba-tiba. Seperti saat kau di basement. Apa kau mengira ada orang di sana?"Oh, sial. Jhon baru ngeh."Artinya aku harus ekstra hati-hati karena Haiden dan Edwin sudah mengenal wajah ku.""Iya. Kalau bisa kau gunakan sesuatu untuk menutupi wajah mu. Misal topeng atau apalah tapi jangan sampai mengundang perhatian pemantau CCTV itu," saran Markus.Damn. Jhon mengumpat kesal. Datang ke tempat Haiden ternyata serumit ini. Tau begitu ia pasti bersiap-siap atau setidaknya meminta bantuan Romis juga."Jhon," panggil Mark
"Edwin!"Darah mengalir deras dari urat leher Edwin. Tampak segaris sayatan yang dalam hingga urat leher pria itu putus."Edwin!"Haiden berubah panik. Ia berjongkok kemudian memastikan Edwin masih hidup atau sudah pergi ke neraka.Tiba-tiba Haiden terduduk lemas. Baginya ini seperti mimpi. Baru saja ia melihat Edwin berdiri dengan gagahnya tapi sekarang pria itu sudah menjadi mayat.Semua pengunjung saling melihat satu sama lain. Wajah mereka tidak lagi tenang.Jhon menurunkan senapannya. Sudut bibir Jhon terangkat perlahan. Ia tau seorang wanita di balik tirai adalah si pelaku.Di balik tirai Aleta memandang lekat pisau cincin miliknya dari sang sahabat. Senyum Aleta mengembang. Darah mengalir, menghiasi punggung tangannya yang putih bagai salju.Jadi, saat Edwin menutup tirai. Sebenarnya obat pemberian Haiden telah berhenti bekerja. Namun, Aleta tidak bisa langsung bergerak karena tubuhnya telah beberapa jam tidak difungsika
"Argh!"Spontan sepupu Edwin itu melepas dagu Aleta. Darah segar mengalir dari pergelangan tangannya, tetapi luka yang Aleta berikan belum dalam. Tidak sampai memotong urat nadi laki-laki tersebut."Sayang sekali," gumam Aleta dapat laki-laki itu dengar."Setan cilik!"Aleta terkekeh-kekeh kecil. Netra indahnya mengarah pada tombak lelaki itu. Keinginan Aleta untuk memilikinya terlalu menggebu. Otaknya terus berpikir. Bagaimana caranya supaya tombak itu jatuh ke tangan Aleta.SaatttAlih-alih tengah memikirkan segudang rencana. Lelaki itu mengangkat tombaknya kemudian ia arahkan ke Aleta. Sigap Aleta menghindar."Aku peringatkan! Mengalah atau akan ku buat seluruh bagian tubuh mu terpisah!" ancam lelaki itu. "Ingat! Aku bukan Edwin yang bisa kau kelabui dan mudah kau kalahkan. Aku Tiger, Tiger yang sekali menginginkan mangsa pasti tercapai.""Tiger," ulang Aleta disusul tawa kecil terkesan mentertawakan, "apa kau tidak tau jika
Pandangan Aleta beralih ke samping. "Setan!"Lima meter di depannya ada mayat terbujur kaku dengan rambut awut-awutan serta wajah menghadap ke arah Aleta, dan wajah itu membusuk.Meskipun ruangan begitu gelap tapi Aleta mampu melihat dengan sedikit cahaya. Itu sangat menyeramkan. Ia berpaling cepat, dan mendapati Tiger tersenyum lebar dengan deretan gigi putih berkilau."Bajingan! Tempat apa ini?"Tiger terbahak-bahak. Ia senang melihat ekspresi takut dari wajah seorang Aleta. Baginya ini adalah sesuatu yang langka karena ekspresi takut Aleta sangat natural.Aleta tidak mengerti. Tempat yang ia datangi adalah satu-satunya tempat yang sangat menjijikan serta menakutkan.Tempat ini terletak paling belakang dari semua ruangan di gedung ini sendiri. Untuk mengambil nyawa para wanita pembangkang, yang Haiden miliki. Tiger, Edwin dan anak buahnya biasa menyiksa mereka di sini. Mereka berteriak kesakitan, meminta tolong, memohon ampunan hingga nyaw
Di tempat lain. Jhon berhasil melumpuhkan beberapa anak buah Haiden. Para penghalang itu terkapar kesakitan. Jhon buru-buru melanjutkan langkah kakinya sebelum anak buah Haiden yang lain berdatangan.Ia dibuat gusar. Semua tempat sudah ia telusuri. Sosok Aleta tidak ada di sana. Jhon berpikir Aleta mungkin telah sampai di garasi. Ia pun memutuskan keluar gedung.Selain kendaraan, Jhon tidak melihat apapun. Ia juga berlari ke mobilnya. Aleta tidak ada. Kepala Jhon terasa sangat panas. Rasa-rasanya ingin meledak membayangkan sesuatu buruk yang mungkin menimpa Aleta.Waktu terus berjalan cepat. Jhon hanya punya waktu setengah jam lagi. Sial. Ini benar-benar memuakkan. Jhon pikir, baru beberapa menit di dalam. Ternyata ia telah membuang waktu banyak untuk menyingkirkan para cecunguk itu."Markus?"Sayangnya panggilan telah selesai. Ponsel Jhon dalam keadaan lowbat. Mau tak mau, Jhon kembali masuk.Selang lima detik setelah Jhon masuk. Dua mobil
"Aleta!"Saat itulah, Jhon melihat wajah Aleta pucat pasi. Bibirnya yang merah terlihat membiru dan membeku. Darah kering menghiasi betisnya yang putih dan mulus. Serta beberapa kotoran yang melekat pada bagian lengan serta kaki miliknya. Bukan hanya itu saja. Lebam biru juga ada di beberapa titik. Seperti kening dan tulang rahangnya. Parahnya lagi ada satu pemandangan yang membuat celana Jhon sesak. Sial. Jhon melihat jelas bentuk segitiga bermuda hitam yang ia kenakan."Bajingan!"Meskipun begitu Jhon teramat kesal karena seseorang telah membuat Aleta kacau.Jhon sangat panik. Otaknya hampir tidak bisa bekerja. Ia menginjak pedal gas mobilnya. Ia pacu mobil itu dengan kecepatan tinggi.Seumur-umur. Setiap Aleta terluka. Entah kecil atau besar. Entah parah atau ringan. Gadis itu tidak pernah datang ke rumah sakit. Ia selalu dibawa ke lab praktek ayahnya. Namun, untuk membawa Aleta ke sana makan waktu cukup lama. Jhon tidak bisa mengambil keputusan
Langit hitam sempurna.Dokter cantik dan seksi itu akhirnya keluar ruangan diikuti perawatnya yang tak kalah seksi dengan balutan seragam nurse ketat seolah sengaja didesain untuk membentuk tubuh sintal miliknya.Jhon bergegas bangun. Ia menyeka buliran hangat diwajahnya. Lalu, bertanya pada sang dokter."Apa dia baik-baik saja?"Dokter cantik mengangguk sambil memperhatikan penampilan Jhon sekilas."Tindakan kriminal telah terjadi. Sebaiknya kau lapor polisi," saran si dokter.Ya meski Jhon tidak memberi dokter itu penjelasan. Dokter cantik itu sendiri pasti paham apa yang telah menimpa Jhon dan Aleta. Terlebih ada luka tembak di kaki Aleta. Mustahil sekali jika luka tembak itu disebabkan oleh security penjaga supermarket."Iya. Aku sudah membuat laporan," jawab Jhon, berbohong. "Kau belum menjawab pertanyaan ku. Keadaan Aleta bagaimana?""Hem, Aleta." Dokter itu malah bergumam. Kemudian tenggelam dalam pikirannya yang meneraw
Aleta tercengang. Bola matanya yang indah membulat sempurna. Tanpa sadar tangan gadis itu mencengkram kuat sprei rumah sakit.Ada kehangatan sekaligus rasa nyaman dalam satu waktu. Aleta tak mampu berkedip. Otaknya mendadak berhenti bekerja. Tapi hatinya banyak berkata-kata."Apa ini? Jhon menciumiku lagi dan lagi, tetapi aku enggan berontak. Kenapa aku malah diam? Bukankah harusnya aku menendang bajingan ini? Hey, ada apa dengan ku? Aku bahkan tidak rela jika Jhon melepaskan bibir ku. Ini sangat nikmat. Tubuh ku juga seolah-olah menjadi lebih bersemangat. Aku ingin sekali membalasnya. Bolehkah? Tidak! Tidak bisa begitu. Aku seorang Aleta Lousion. Tidak mungkin aku takluk oleh seorang Jhon Christy."Cengkraman tangan gadis itu kian erat tatkala tangan kanan Jhon melingkari pinggulnya sementara tangan kirinya merambat ke punggung dan menekan dada Aleta.Tidak ada satu senti pun sekat di antara tubuh keduanya. Mereka benar-benar menyatu.Ceklek