“Sudah semua?” tanya Anggun memastikan, ketika semua berkas yang ditandatanganinya telah selesai. “Atau masih ada lagi?” tanyanya pada staf legal wanita yang duduk di sampingnya siang itu.Tentu saja ada Wahyu di ruang yang sama, tetapi pria itu duduk diam berseberangan dengan Anggun. Tidak berkomentar banyak, hanya seperlunya saja.“Sudah semua, Bu,” ucap staf tersebut sembari memilah dan merapikan berkas yang akan dibawa Anggun dan berkas yang akan menjadi arsip perusahaan.“Setelah ini, apa sudah selesai semua?” tanya Anggun pada Wahyu.“Sudah semua,” jawab Wahyu tanpa melepas tatapannya pada Anggun sejak tadi. Meskipun intensitas pertemuan mereka bisa dibilang jarang, atau hampir tidak pernah, tetapi perasaan penasaran itu masih saja menyelimuti. “Kamu sudah sah jadi bagian dari Kalingga Corporation.”“Terima kasih,” ucap Anggun sembari menerima berkas miliknya dari staf wanita yang mulai berdiri.“Sama-sama, Bu. Saya permisi.”“Silakan,” jawab Anggun singkat dan kembali melihat b
“Pasti kamu pelakunya, kan!” Regan membentak ketika baru sampai di depan kamar yang ditempati April. Menunjuk Anggun dengan geram dan tidak peduli dengan situasi di sekitarnya. “Kamu sengaja bikin April jatuh dari tangga.”Saat ini, Anggun menunggu di luar seorang diri. Sementara di dalam, sudah ada Wahyu yang menemani April. Mereka bertiga pergi ke rumah sakit bersama-sama, karena Wahyu saat ini masih berada di Kalingga Tower.“Kalau aku bilang nggak, apa Om percaya?” Anggun bersedekap dan bersandar pada kursi tunggu menatap Regan. Sebentar lagi, keluarga lainnya pasti akan datang dan mereka pasti memiliki opini seperti Regan.Namun, Anggun sudah tidak peduli dengan semua itu.“Kalau sampai April kenapa-napa, kamu—” Kalimat Regan terputus ketika mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Ia melihat Wahyu keluar bersama seorang dokter dan perawat, lalu segera menghampiri. “Bagaimana anak saya, Dok?”“Pasien mengalami cedera ringan akibat jatuh, dan kondisi kandungannya lemah,” jelas do
Anggun tersenyum tipis ketika membaca pesan yang dikirimkan Kimmy padanya. Ternyata, Kimmy dengan cepat mencari informasi mengenai jatuhnya April di salah satu kafe di Kalingga Tower dan memberitakannya. Yang tidak Anggun sangka-sangka ialah, berita tersebut naik malam itu juga.Namun, Kimmy tidak menyertakan nama Anggun sebagai penyebab jatuhnya April karena belum mendapatkan informasi lebih lanjut. Saat ini, Anggun tinggal menunggu keterangan dari keluarga Regan yang pastinya akan diburu media terkait kejadian tersebut.“Sepagi ini, tapi kamu sudah mau pergi?” Sabda baru keluar kamar, tetapi sudah menjumpai sang istri berpakaian rapi dengan membawa tas ransel.Semalam, Anggun tidur di kamar yang dulu ditempatinya dan wanita itu menguncinya dari dalam. Karena itulah, ketika Sabda kembali pulang ke apartemen di malam hari, ia tidak bisa menemui istrinya sendiri.“Aku ada urusan,” ujar Anggun buru-buru berjalan menuju foyer dan menekan tombol lift. “Sarapan sudah aku siapin. Tinggal ma
Tanpa mengetuk lebih dulu, Anggun membuka pintu kamar VVIP yang ditempati oleh April. Di dalam sana, Wahyu yang sedang menunggu April dan langsung memberinya tatapan datar.“Nggak usah pura-pura simpati dan berempati,” ucap Wahyu datar, ketika melihat Anggun masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa memberi ekspresi apa pun.“Aku nggak bersimpati sama sekali,” ucap Anggun tenang, menghampiri ranjang pasien dan berhenti di sudut yang berseberangan dengan Wahyu. “Apalagi berempati. Nggak akan.”“Tunggu sampai kamu ada di posisiku!” April mendesis, suaranya bergetar menahan emosi yang mulai meluap. Matanya membara, seiring dengan napasnya yang semakin cepat.“Aku juga menunggumu ada di posisiku,” balas Anggun dingin saat memotong ucapan April dan menatap tajam. “Apa bisa kamu bertahan, saat semua yang kamu miliki dirampas dan dibuang tanpa perasaan.”“Sialan!” maki April. Tangannya mencengkeram selimut, berusaha meredam amarah dan kesedihan yang menghancurkannya dari dalam. Wanita itu seolah
“Apa diperbolehkan menjenguk orang sakit sampai sebanyak ini?” Syifa terkejut ketika baru memasuki ruang rawat inap April, setelah berbicara dengan menantunya. Di dalam kamar VVIP tersebut, ternyata sudah ada Budiman dan Darwin yang sepertinya datang ketika Syifa sedang berada di kafetaria.“Nggak papa,” jawab Darwin yang duduk pada sofa panjang di samping jendela kaca bersama Budiman. “Kita juga cuma sebentar, mumpung ada waktu.”“Tapi ke mana Elsa?” tanya Syifa terus melangkah menghampiri ranjang pasien, lalu duduk di sebelah kaki April. Di ujung tempat tidur.“Mama sakit kepala,” ujar April berbaring lemah ditemani Desty yang duduk di sampingnya. “Nanti kalau mendingan baru ke sini, karena tadi pagi sempat nggak bisa bangun.”“Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit sekalian, Pak Regan?” Syifa menatap regan yang berada di ujung sofa L di dekat pintu. Pria itu duduk bersama Wahyu, yang berada di tengah-tengah. “Biar diperiksa dokter.”“Dokternya sudah ke rumah,” terang Regan. “Mamanya Ap
“Pagi, Sayangku,” sapa Sabda segera menghampiri Anggun yang sudah berada di dapur. Memeluknya dari belakang, lalu memberi ciuman berkali-kali pada sisi leher sang istri.Sabda berharap, hubungan mereka akan selalu hangat seperti sekarang dan Anggun bisa terus melunak seperti tadi malam.Karena setelah bicara dengan Syifa, Sabda ternyata harus mengubah gaya bicaranya pada Anggun. Istrinya itu, sepertinya memang tidak bisa disudutkan dan Sabda harus pintar-pintar mencari kalimat yang tepat, serta menjaga intonasi bicaranya.“Pagi,” balas Anggun tidak protes dengan sikap Sabda, yang sebenarnya sudah membuat tubuhnya meremang. Anggun tidak berniat memberi respons, karena tidak ingin berakhir di kamar mandi karena ia sudah mandi sejak subuh tadi. “Sarapan dulu.”“Sarapan kamu.”“Nggak.”Sabda semakin mengeratkan pelukannya dan terkekeh mendengar penolakan tegas sang istri. “Mau ke Puncak minggu depan? Kita berangkat sabtu siang, pulangnya minggu malam atau senin pagi juga nggak papa.”“Berd
“Sab, kita serah terima jabatan senin depan,” ujar Budiman setelah memasuki ruangan Sabda. “Pagi, jam sembilan dan setelah itu kamu sah jadi CEO Warta.”“Ahh!” Sabda menepuk pelan kepalanya. “Berarti aku harus pulang hari minggu.”“Mau ke mana?” tanya Budiman menarik kursi di hadapan meja putranya.“Mau ke Puncak,” jawabnya segera men-sleep komputernya. “Rencana berangkat sabtu pagi atau siang, terus pulang senin pagi.”“Pergilah jumat sore.”“Macet, Pa.” Sabda melirik ponselnya yang menyala dan melihat notifikasi pesan yang dikirimkan oleh sang istri. “Anggun di bawah. Aku mau ngopi di atas bentar.”“April keluar besok,” celetuk Budiman ketika Sabda menyebut nama istrinya. “Dan dia tetap bilang kalau Anggun yang dorong dia dari tangga. Ahh, anak itu.”“Papa percaya?”Budiman menggaruk pelipisnya sebentar, sembari tertawa remeh. “Kalau Anggun mau mencelakakan April, dia nggak akan melakukannya secara frontal,” terang Budiman. “Itu riskan, Sab, karena nama baiknya pasti jadi taruhan.”
“Sudah lihat pesan yang aku kirim?” April menatap berang pada Wahyu yang baru memasuki kamar. Pria itu berpamitan pergi ke kafetaria dan baru kembali 30 menit kemudian.“Pesan?” Wahyu langsung merebahkan tubuh pada sofa di samping pintu dengan perlahan, sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ponselnya memang kerap bergetar karena urusan pekerjaan. Namun, jika hanya getaran singkat maka Wahyu akan mengeceknya belakangan, karena hal tersebut menurutnya tidaklah urgen.“Sudah buka?” tanya April tidak sabar.“Sebentar.” Setelah berbaring, barulah Wahyu membuka pesan yang dikirimkan sang istri. Wahyu menatap beberapa foto yang dikirim April ke ponselnya, tanpa memberi reaksi yang berarti. Ternyata, reporter yang mengambil fotonya dengan Anggun, langsung mengirimkan hasil gambarnya pada April. “Memang kenapa dengan foto-foto ini? Nggak ada yang salah. Aku duduk di kafetaria dengan sepupumu. Ada meja di antara kami dan bukan duduk—”“Jadi kamu keluar nemui dia!”“Iya.”“Mau apa!” Kedu
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk