“A-Anggun.” Dengan mengumpulkan keberaniannya, Elsa menghampiri Syifa dan Desty yang baru memasuki lobi pengadilan. Jika bukan karena penasaran dengan Anggun, Elsa pasti masih memilih menjauh karena sangat merasa bersalah akibat ulah suaminya. “Kamu ... hamil?”“Tujuh bulan,” jawab Desty masih bisa memberi senyum pada Elsa. Bagaimanapun juga, wanita itu pernah menjadi teman sekaligus besan yang baik bagi Desty.Sebenarnya, selama ini Regan pun selalu bersikap baik di depan semua orang. Namun, tidak ada yang pernah menduga jika pria itu menyimpan sisi gelapnya rapat-rapat demi bisa mendapatkan banyak hal.“April nggak ikut?” tanya Desty melirik pada Syifa yang hanya menatap datar.Ia memaklumi sikap iparnya itu, karena Sabda tidak lagi ada di dunia karena ulah suami Elsa. Jadi, wajar jika Syifa memendam luka dan belum bisa bersikap ramah seperti dahulu kala.“April lagi bicara sama papanya,” jawab Elsa masih memperhatikan Anggun. “Sehat, Nggun?”“Sehat, Tante.” Anggun mengangguk dan men
“Ke mana Anggun?” tanya Wahyu langsung pergi menuju dapur ketika datang ke kediaman Wisesa.Syifa menoleh sebentar pada Wahyu yang berdiri di sudut kitchen island. “Lagi jalan-jalan di samping sama mamamu.”Wahyu mendesah pelan. “Aku disuruh datang pagi-pagi, tapi dia masih—”“Sstt!” Syifa berbalik setelah melepas celemeknya. Meletakkan pada gantungan yang ada di samping lemari pendingin, lalu menghampiri Wahyu. “Jadwalnya bumil, kalau pagi itu harus jalan-jalan dulu. Oia, sarapan dulu sebelum pergi.” Syifa menoleh pada asisten rumah tangganya yang masih berada di depan kompor. “Bik, nanti tolong buatin kopi buat Wahyu, ya. Langsung taroh di meja makan.”“Baik, Bu.”Syifa lantas menarik Wahyu menuju teras dapur. “Tolong pastikan betul-betul keamanan Anggun waktu ketemu dengan Regan,” pinta Syifa masih saja khawatir. “Tante sebenarnya nggak setuju dia mau ketemu Regan, tapi, karena ada alasan personal dan Anggun bilang ini juga untuk yang terakhir kalinya, makanya Tante izinin. Tante t
“Ini ... pengharum ruangan.” Wahyu protes dengan kedua mata yang melebar. Menatap satu buah pengharum ruangan yang berbentuk standing pouch, yang sudah berada di tangannya. “Anggun—”“Enak itu, Mas.” Setelah menyerahkan satu buah pengharum ruangan di tangan Wahyu, Anggun segera bergeser menuju etalase khusus perlengkapan bayi. “Aroma teh yang lagi viral. Tadinya mau cari kopi, tapi nggak ada.”Wahyu menarik napas panjang. Menahanya sejenak, lalu kembali mengikuti Anggun. Ia tidak akan membiarkan wanita itu berjalan seorang diri, meskipun di tempat umum seperti sekarang.“Anggun, pengharum mobilku—”“Mas, cobain ini.” Anggun menyodorkan botol parfum yang tutupnya sudah dibuka ke arah Wahyu, tepat di depan wajah pria itu. “Ini seger! Seperti strawberry, coba cium.”“Ini.” Wahyu mengambil alih botol parfum tersebut dari tangan Anggun lalu melihat kemasan dan membacanya. “Anggun ini untuk bayi. Aku—”“Yang ini juga enak.” Anggun kembali menyodorkan botol parfum lainnya ke wajah Wahyu. “Se
Desahan lega langsung berembus dari mulut Wahyu, ketika melihat Anggun telah siuman. Beruntung ada tenaga medis yang sigap dan segera memberi pertolongan pertama ketika Anggun mendadak pingsan, sehingga hal tersebut tidak berlangsung lama.“Kami baru mau bawa kamu ke rumah sakit pake ambulans,” ujar Wahyu sembari menyentuh dahi Anggun, untuk merasakan suhu tubuh wanita itu. “Tekanan darahmu rendah, jadi—”“Aku nggak papa,” sela Anggun dengan suara serak dan berbaring miring menatap Wahyu. “Kita masih di Lapas?”“Masih.” Wahyu segera berdiri. “Aku panggilkan—”“Mas.” Anggun mencekal pergelangan tangan Wahyu, lalu berusaha bangkit perlahan. “Aku nggak papa, kita pulang aja.”Wahyu buru-buru membantu Anggun untuk bangkit. Masih khawatir, jika terjadi sesuatu pada kandungannya. “Kita harus ke rumah sakit dulu, periksa—”“Pulang aja, aku nggak papa,” sela Anggun mengulang ucapannya. Dengan masih berpegangan pada Wahyu, ia turun dari ranjang lalu memakai flat shoes. “Tasku—”“Anggun, kita m
Syifa tersenyum lembut ketika melihat Budiman berjalan pelan menghampiri, lalu duduk pada kursi yang berseberangan dengannya. Suaminya itu memang tampak agak kurusan dan tidak terlalu merawat penampilannya selama berada di penjara. Namun, Syifa bersyukur karena Budiman masih diberi kesehatan dan tetap memiliki semangat dalam hidupnya.“Dua minggu lagi aku keluar,” ucap Budiman tidak sabar. Kedua tangannya terulur melewati jeruji besi dan langsung disambut hangat oleh sang istri. “Sabar, ya.”Syifa masih saja tersenyum, kemudian mengangguk. “Wahyu ... mau pergi.”“Wahyu mau pergi?” ulang Budiman tidak mengerti.“Tolong jangan bilang ke Darwin dulu,” jawab Syifa mengangguk, lalu menceritakan obrolan antara Desty dan Wahyu yang sempat didengarnya di dapur.Tidak hanya itu, Syifa juga menceritakan perbincangan singkatnya dengan Desty, pada Budiman tempo hari. Di mana sedikit ketegangan sempat menengahi pembicaraan mereka dan membuat Syifa banyak berpikir.“Aku nggak pernah bermaksud menem
Tatapan Desty bertemu dengan Syifa yang baru keluar dari kamarnya. Ia berada di belakang Darwin, yang sedang menyeret satu buah koper besar yang berisi pakaian mereka berdua.Setelah pembicaraan yang sedikit panas di meja makan tadi malam, mereka semua segera pergi ke kamar masing-masing. Tidak ada lagi obrolan hangat, mengingat ada ego yang masih dipertahankan.“Mas Bud di mana, Mbak?” tanya Darwin pada Syifa yang menghampirinya. “Di kamar atau di bawah?”“Di bawah sama Anggun. Main catur di samping,” ujar Syifa lalu berhenti di hadapan sepasang suami istri tersebut. “Hati-hati di jalan. Save flight,” sambung Syifa lalu menghabiskan jarak dengan Desty dan memeluknya. Mungkin akan terasa sedikit canggung, tetapi Syifa tidak ingin melepas kepergian keluarganya dengan situasi yang masih berjarak. “Kabari kalau sudah sampai Raja Ampat.”“Makasih, Mbak.” Desty membalas pelukan tersebut, meski masih ada sedikit kesal. “Kalau mau pergi juga, nanti biar kami yang jagain Anggun.”Sembari ters
“Ma, di luar ada mobil boks yang bawa perlengkapan bayi.” Setelah pergi ke depan untuk memastikan, Anggun segera mendatangi Syifa yang sedang berada di dapur.“Mobil boks bawa perlengkapan bayi?” Syifa mengulang ucapan Anggun, lalu berbalik setelah mengeluarkan ayam panggang dari oven. “Nggak salah alamat? Mungkin buat tetangga atau blok sebelah.”“Alamatnya benar, ke sini dan buat aku,” ucap Anggun masih berdiri di sisi kitchen island yang berseberangan dengan Syifa. “Padahal kita baru besok mau pergi beli, kan? Jadi, nggak mungkin papa.”“Sudah tanya siapa pengirimnya?”“Pengirimnya sama penerimanya namaku, Ma.”Syifa menarik napas panjang. Terbersit sebuah nama di kepala, tetapi Syifa harus memastikannya terlebih dahulu.Karena itu, Syifa mengambil ponselnya yang tergeletak di kitchen island lalu menelepon seseorang di depan Anggun.“Halo, Yu, apa kamu yang kirim perlengkapan bayi ke rumah?” Syifa meninggalkan ayam panggangnya, lalu pergi beranjak keluar untuk melihat barang-barang
“Pas waktunya!” Wahyu memasuki ruang makan, ketika Syifa baru duduk di kursinya. “Aku datang pas makan malam.”Senyum yang sejak tadi disematkan Anggun tiba-tiba memudar. Perasaannya mendadak kesal, ketika melihat Wahyu muncul di kediaman Wisesa. Apalagi, pria itu sekonyong-konyong duduk di samping Budiman, lalu memberi senyum pada Anggun tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Selera makannya mendadak hilang dan perutnya pun mual seketika. Ada perasaan yang bercampur aduk tidak jelas, sehingga membuatnya segera beranjak dari ruang makan menuju dapur. Berjalan cepat menuju wastafel, lalu memuntahkan isi perutnya di sana.“Anggun.” Syifa bergegas menyusul. Segera memijat tengkuk menantunya yang sedang tertunduk di wastafel. “Nggak enak badan?” tanyanya khawatir. “Tisu, tolong tisu.” Syifa menunjuk tisu di tengah kitchen island saat menatap Wahyu.“Kenapa mendadak muntah-muntah?” tanya Budiman ikut khawatir sembari menghampiri Anggun dan menerima tisu dari Wahyu. “Bik, tolong air hangat,”
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin