Share

BR ~ 127

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ma, di luar ada mobil boks yang bawa perlengkapan bayi.” Setelah pergi ke depan untuk memastikan, Anggun segera mendatangi Syifa yang sedang berada di dapur.

“Mobil boks bawa perlengkapan bayi?” Syifa mengulang ucapan Anggun, lalu berbalik setelah mengeluarkan ayam panggang dari oven. “Nggak salah alamat? Mungkin buat tetangga atau blok sebelah.”

“Alamatnya benar, ke sini dan buat aku,” ucap Anggun masih berdiri di sisi kitchen island yang berseberangan dengan Syifa. “Padahal kita baru besok mau pergi beli, kan? Jadi, nggak mungkin papa.”

“Sudah tanya siapa pengirimnya?”

“Pengirimnya sama penerimanya namaku, Ma.”

Syifa menarik napas panjang. Terbersit sebuah nama di kepala, tetapi Syifa harus memastikannya terlebih dahulu.

Karena itu, Syifa mengambil ponselnya yang tergeletak di kitchen island lalu menelepon seseorang di depan Anggun.

“Halo, Yu, apa kamu yang kirim perlengkapan bayi ke rumah?” Syifa meninggalkan ayam panggangnya, lalu pergi beranjak keluar untuk melihat barang-barang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (30)
goodnovel comment avatar
Siti Juli
cepat masa2 berbahagianya mba beb
goodnovel comment avatar
Mom Kece
Mbak Beibh belum Up ...???
goodnovel comment avatar
Ida Wulandari
yah.... manja ama wahyu skrg anggun ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 128

    “Pas waktunya!” Wahyu memasuki ruang makan, ketika Syifa baru duduk di kursinya. “Aku datang pas makan malam.”Senyum yang sejak tadi disematkan Anggun tiba-tiba memudar. Perasaannya mendadak kesal, ketika melihat Wahyu muncul di kediaman Wisesa. Apalagi, pria itu sekonyong-konyong duduk di samping Budiman, lalu memberi senyum pada Anggun tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Selera makannya mendadak hilang dan perutnya pun mual seketika. Ada perasaan yang bercampur aduk tidak jelas, sehingga membuatnya segera beranjak dari ruang makan menuju dapur. Berjalan cepat menuju wastafel, lalu memuntahkan isi perutnya di sana.“Anggun.” Syifa bergegas menyusul. Segera memijat tengkuk menantunya yang sedang tertunduk di wastafel. “Nggak enak badan?” tanyanya khawatir. “Tisu, tolong tisu.” Syifa menunjuk tisu di tengah kitchen island saat menatap Wahyu.“Kenapa mendadak muntah-muntah?” tanya Budiman ikut khawatir sembari menghampiri Anggun dan menerima tisu dari Wahyu. “Bik, tolong air hangat,”

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 129

    Sambil berdecak, Wahyu kembali ke mobilnya setelah makan malam. Mengambil parfum dengan aroma bubble gum yang masih tersimpan di mobilnya, lalu membawanya ke dalam rumah.Sambil berjalan masuk, ia menyemprotkan parfum tersebut ke bagian leher, pergelangan tangan, pun dengan kemeja hitam yang dikenakannya. Sampai detik ini, Wahyu masih merasa jika Anggun hanya mengerjainya saja.“Anggun nunggu di samping,” ujar Syifa berusaha bersikap seperti biasanya di depan Wahyu. “Jangan lama-lama, karena bumil harus istirahat,” pintanya sembari menutup hidung dengan telunjuknya. Menahan tawa, karena aroma parfum yang terpaksa digunakan oleh Wahyu.Wahyu menggeleng ketika melihat ekspresi Syifa. Tidak hanya Syifa, tetapi Budiman juga memasang ekspresi yang sama sembari melihat botol parfum yang masih dipegang olehnya.“Nggak usah ditahan ketawanya.” Wahyu kembali berdecak dan segera meninggalkan om dan tantenya menuju ke teras samping. Saat melihat Anggun sudah duduk di tempat biasa yang digunakan u

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 130

    “Kenapa ada di lobi dan nggak nunggu di ruanganku?” April menghempas tubuh di sofa tunggal di samping Wahyu.“Aku nggak lama.” Wahyu sedikit bergeser, agar bisa melihat April. Ia memang sengaja menunggu April di lobi, karena tidak ingin bicara terlalu lama dengan wanita itu.“Mau ngapain?” tanya April sedikit ketus. Ia masih saja tidak terima, karena Wahyu benar-benar menceraikannya. Pengorbanannya selama bertahun-tahun, ternyata tidak dianggap sama sekali oleh pria itu.“Mau pamit.”“Pamit?” Dahi April mengerut, bergeser mendekat ke arah Wahyu. “Emang kamu ke mana?”“Aku mau ke Bali.” Wahyu kemudian berdiri dan mengulurkan tangan pada April. “Mulai besok, aku pindah dan tinggal di sana karena Jakarta sudah terlalu sesak.”April mendongak setelah melihat uluran tangan Wahyu. Ia tidak berniat menyambut, karena masih memendam begitu banyak pertanyaan di dalam kepala.“Jadi, karena ini kamu ngasih kuasa sama Ken buat ngurus sahammu di Kalingga?”“Iya.” Wahyu menarik kembali tangannya, kar

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 131

    “Tante bingung mau ngasih apa lagi, karena Wahyu sudah beliin kamu semuanya.” Desty menyerahkan tiga buah paper bag pada Anggun lalu duduk di sebelah wanita itu. “Kamu juga sudah beli baju-baju bayi sama mamamu, jadi, Tante beliin buat keperluanmu setelah lahiran.”“Nggak usah repot-repot, Tan.” Anggun meletakkan satu paper bag di pangkuan dan meletakkan dua lagi di samping kakinya. Melihat ke dalamnya, lalu mengeluarkannya isinya.“Nggak repot.” Desty tersenyum lebar pada Syifa yang sedang menyirami tanaman yang ada di tepi teras samping. “Nggak kepikiran beli, kan, Mbak?”“Makasih, Tan.” Anggun terkekeh kecil dan mengeluarkan satu per satu pakaian yang ada di dalam sana.“Ada pompa ASI,” ujar Desty menunjuk salah satu paper bag yang Anggun letakkan di sampingnya. “Bra menyusui sama apronnya sekalian.”“Harusnya beli penghangat ASI, sama sterilizernya juga,” celetuk Syifa tanpa menoleh lagi pada Desty dan sibuk menyirami tanamannya. “Botol, dot, sama kantong ASI-nya sudah dibelikan

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 132

    “Sabar, ya.” Syifa kembali memberi semangat, sambil meraih tangan Anggun dan menggenggamnya erat. Menatap sang menantu yang sedang merintih, menahan rasa nyeri karena kontraksi yang datang kembali.Anggun hanya bisa mengangguk. Mengatupkan geligi dan menahan rasa nyeri yang kembali merayap di sekujur tubuh. Anggun mengerang, memejamkan mata, dan harus mengatur napas.“Kita bisa caesar kalau memang sudah nggak tahan,” ujar Syifa merasa nyeri sendiri melihat kondisi Anggun. “Kita konsul dulu, biar kamu nggak kesakitan seperti ini.”Anggun menggeleng. Menarik napas panjang lalu berujar, “nanggung ... Ma.”“Bukan masalah nanggung, tapi Mama takut kalau kamu nanti kehabisan tenaga.”Di titik ini, Syifa benar-benar takut dan tidak ingin membayangkan hal buruk apa pun. Ia sudah kehilangan Sabda dan itu sudah cukup membuatnya terpuruk. Andai tidak ada satu nyawa yang bersemayam di rahim Anggun, Syifa pasti sudah jatuh dalam kubangan depresi karena putra satu-satunya telah pergi dan takkan kem

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 133

    Syifa dan Budiman berdiri di balik kaca besar yang memisahkan mereka dari ruang bayi, di mana deretan boks mungil berjajar rapi. Suasana di luar ruangan terasa hening, tetapi penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang tidak terkira.Syifa merangkul erat pinggang Budiman. Kepalanya perlahan merebah di bahu, seiring senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Meskipun keduanya tidak saling bicara, kehangatan di antara mereka cukup menggambarkan rasa syukur yang begitu mendalam.Tatapan Syifa tidak lepas dari ruangan di depan mereka, menunggu dengan sabar saat-saat ketika cucu mereka akan diletakkan di boks.Namun, tidak hanya Syifa dan Budiman yang berdiri di sana. Tidak jauh dari mereka, Wahyu juga tampak tidak sabar sekaligus gelisah karena ingin melihat keponakan kecilnya. Pria itu sesekali melihat jam tangan, lalu kembali memandang ke kaca besar.Lantas, ketika akhirnya seorang perawat membawa bayi mungil itu dan meletakkannya di boks, ketiganya berdiri terpaku. Perasaan haru dan sukacit

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 134

    “Putra Sabda Wisesa.” Senyum Syifa merekah, matanya berbinar penuh kebanggaan saat memamerkan cucunya pada Desty dan Darwin. Ia mengangkat bayi kecil itu dengan lembut, menunjukkan wajah tenang yang tengah tertidur pulas. “Panggilannya Putra.”“Mirip Sabda waktu bayi,” celetuk Desty saat pertama kali melihat wajah mungil yang begitu damai. Andai saja April tidak keguguran, saat ini Desty pasti sudah disibukkan dengan kegiatan menimang cucu. “Tapi ini lebih bulat.”“3,5 kilo, Des,” ucap Syifa berusaha memendam sesaknya dalam-dalam ketika mengingat Sabda. Hari bahagia ini, tidak boleh diselimuti duka karena ada satu makhluk kecil yang akan menjadi harapan baru. “Aku sampe takut Anggun nggak kuat di tengah jalan.”“Gimana rasanya, Nggun?” tanya Desty sambil mengusap pelan pipi bayi mungil itu dengan punggung telunjuknya.“Luar biasa.” Anggun geleng-geleng dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, ketika mengingat proses bersalin yang benar-benar menguras emosi dan tenaga.Meskipun ada

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 135

    “Mas, mending kamu ke kamar terus istirahat,” ujar Anggun masih melihat Wahyu di kamarnya sejak tadi. Orang tua pria itu sudah pulang lebih dulu, kemudian disusul oleh Budiman dan Syifa yang hendak melepas lelah di rumah untuk sejenak. “Tidur siang.”“Kamu kalau mau tidur, tidur aja,” ucap Wahyu kembali mengabadikan sebuah gambar putra ke dalam ponselnya. “Aku nanti mau pulang ke rumah sebentar, tapi tunggu om Bud sama tante Syifa datang.”“Kapan ... pulang ke Bali?” Anggun kembali mempertanyakan hal yang sempat dilontarkan Darwin.“Belum tahu.” Wahyu bergeser untuk meletakkan ponselnya di meja. Kemudian, ia menghampiri Anggun dan duduk di samping wanita itu. “Mau aku turunkan kepala ranjangnya, biar kamu bisa tidur?”Anggun mengangguk. Seketika itu juga, Wahyu kembali berdiri dan menurunkan bagian atas ranjang agar Anggun bisa merebahkan diri dengan sempurna.“Makasih,” ucap Anggun sambil memiringkan tubuhnya perlahan. Gerakannya sedikit kaku, karena rasa nyeri di jalan lahir masih j

Bab terbaru

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 168

    “Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 167

    “Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 166

    “Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 165

    “Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 164

    “Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 163

    Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 162

    “Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg

  • Bittersweet Revenge   BR~161

    “Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 160

    Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin

DMCA.com Protection Status