“Putra Sabda Wisesa.” Senyum Syifa merekah, matanya berbinar penuh kebanggaan saat memamerkan cucunya pada Desty dan Darwin. Ia mengangkat bayi kecil itu dengan lembut, menunjukkan wajah tenang yang tengah tertidur pulas. “Panggilannya Putra.”“Mirip Sabda waktu bayi,” celetuk Desty saat pertama kali melihat wajah mungil yang begitu damai. Andai saja April tidak keguguran, saat ini Desty pasti sudah disibukkan dengan kegiatan menimang cucu. “Tapi ini lebih bulat.”“3,5 kilo, Des,” ucap Syifa berusaha memendam sesaknya dalam-dalam ketika mengingat Sabda. Hari bahagia ini, tidak boleh diselimuti duka karena ada satu makhluk kecil yang akan menjadi harapan baru. “Aku sampe takut Anggun nggak kuat di tengah jalan.”“Gimana rasanya, Nggun?” tanya Desty sambil mengusap pelan pipi bayi mungil itu dengan punggung telunjuknya.“Luar biasa.” Anggun geleng-geleng dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, ketika mengingat proses bersalin yang benar-benar menguras emosi dan tenaga.Meskipun ada
“Mas, mending kamu ke kamar terus istirahat,” ujar Anggun masih melihat Wahyu di kamarnya sejak tadi. Orang tua pria itu sudah pulang lebih dulu, kemudian disusul oleh Budiman dan Syifa yang hendak melepas lelah di rumah untuk sejenak. “Tidur siang.”“Kamu kalau mau tidur, tidur aja,” ucap Wahyu kembali mengabadikan sebuah gambar putra ke dalam ponselnya. “Aku nanti mau pulang ke rumah sebentar, tapi tunggu om Bud sama tante Syifa datang.”“Kapan ... pulang ke Bali?” Anggun kembali mempertanyakan hal yang sempat dilontarkan Darwin.“Belum tahu.” Wahyu bergeser untuk meletakkan ponselnya di meja. Kemudian, ia menghampiri Anggun dan duduk di samping wanita itu. “Mau aku turunkan kepala ranjangnya, biar kamu bisa tidur?”Anggun mengangguk. Seketika itu juga, Wahyu kembali berdiri dan menurunkan bagian atas ranjang agar Anggun bisa merebahkan diri dengan sempurna.“Makasih,” ucap Anggun sambil memiringkan tubuhnya perlahan. Gerakannya sedikit kaku, karena rasa nyeri di jalan lahir masih j
“Kenapa semuanya mendadak masuk ke kamar?” tanya Anggun bingung.Ia menatap satu per satu orang yang masuk ke kamarnya, setelah seorang perawat datang untuk memandikan Putra di sore hari. Anggun sudah pulang ke kediaman Wisesa siang tadi dan hanya beristirahat di kamar setelah makan siang. Ia baru membuka kamar, ketika diberi tahu perawat yang akan memandikan putranya baru saja datang.“Kami mau lihat Putra mandi,” jawab Syifa lalu terkekeh. Ia berhenti di samping meja, yang di atasnya sudah terdapat bak mandi bayi. Tangannya sudah menggenggam ponsel dan siap mengabadikan momen pertama sang cucu mandi di rumahnya.“Akhirnya, kan! Aku bisa lihat dia buka mata.” Wahyu dengan cepat mengabadikan momen tersebut di ponselnya. Mengambil gambar, lalu merekam bayi menggemaskan yang bajunya sedang dibuka dengan sangat hati-hati.Anggun hanya bisa bengong. Ia memilih menjauh dan duduk bersandar di sofa. Melihat ketiga orang itu mengerubuti perawat, yang sedang sibuk dengan Putra. Sejenak, Anggun
“Aku belum bisa ikhlas kalau Wahyu gantiin Sabda.” Syifa berucap, ketika Budiman baru saja berdiri di sampingnya. Mereka berdua sedang berada di dalam rumah, tepat di balik jendela yang tertutup tirai tipis. Melihat Wahyu dan Anggun, yang sedang bercengkrama di taman belakang sembari menikmati sinar mentari pagi bersama Putra.“Nggak akan ada seorang pun yang bisa gantiin Sabda,” ucap Budiman pelan sambil merangkul sang istri. “Wahyu cuma ingin menjaga Anggun, bukan menggantikan.”“Nggak jauh beda.” Syifa bersedekap, menoleh cepat pada Budiman. “Aku tahu Wahyu mulai mepet-mepet sama Anggun, apalagi sekarang ada Putra.”“Mereka sama-sama single, jadi sah-sah aja walaupun Anggun sepertinya belum ada respons ke sana.” Budiman juga menoleh pada Syifa. “Lebih baik Anggun sama Wahyu, daripada sama orang lain. Kenapa begitu, karena nggak semua keluarga laki-laki bisa menerima janda dengan anak satu. Pasti banyak pertimbangannya.”Syifa menghela panjang, lalu berbalik. Berjalan menuju sofa pa
“Hm!” Anggun menjawab panggilan dari Wahyu dengan gumaman. Meletakkan ponselnya di nakas, setelah mengaktifkan loudspeaker-nya.“Aku sudah sampe rumah.”“Ya udah istirahat.” Anggun malas meladeni Wahyu karena pria itu ternyata sangat posesif.“Kamu belum ngirim foto Putra.”“Mas, aku, kan, bilang nggak janji,” ujar Anggun lalu merebahkan tubuh di samping putranya. “Kalau sempat, aku kirim. Kalau nggak, berarti aku lagi capek. Aku mau istirahat.”“Kamu nggak suka aku nelpon?” tanya Wahyu.Anggun menggigit bibir bawahnya sejenak. Ia bukan tidak senang dengan kepedulian dan sikap hangat Wahyu, tetapi, Anggun tidak suka jika pria itu mulai bersikap posesif padanya. Padahal, mereka tidak memiliki hubungan layaknya sepasang kekasih.“Jangan salah paham,” ujar Anggun tidak akan membohongi perasaannya. “Aku senang karena selama ini kamu selalu ada buat aku. Tapi, Mas, tolong jangan posesif karena aku bukan milikmu. Aku masih punya hak bergaul dengan siapa pun yang aku mau dan jangan pernah ba
“Maaf, aku nggak bisa jemput.” Wahyu buru-buru menghampiri sang mama lalu memeluknya. Bergantian dengan Darwin, yang sore tadi sudah sampai di kediaman Wahyu yang berada di Bali. “Aku sibuk.”“Nggak papa,” ujar Desty kembali duduk di teras belakang rumah Wahyu yang ternyata sangat sederhana. Tidak seperti rumah putranya yang berada di Jakarta. “Sudah ada Anto yang jemput,” ujarnya menyebut nama anak laki-laki Farhat.Sesuai janji, Darwin dan Desty memang akan pergi ke Bali untuk melihat tempat tinggal Wahyu serta letak kantornya berada. Mereka pergi ke Bali, setelah Anggun selesai melahirkan.“Oia, April titip salam,” ujar Desty tanpa melepas tatapan pada Wahyu yang menggeleng lalu duduk di ujung tangga teras. “Kemarin dia nelpon dan Mama bilang mau ke Bali nengokin kamu.”“Nggak perlu dibahas,” ucap Wahyu sambil mengeluarkan ujung kemeja hitamnya dari celana dan melepas satu kancing teratasnya.“Jadi, kita bahas Anggun sekarang?” celetuk Darwin. “Bagaimana perkembangannya? Apa masih
“Kamu kurusan, Yu,” ucap Budiman ketika mereka berdua duduk pada kursi besi di depan supermarket. Menunggu pesanan kopi mereka datang, sambil menjaga Putra yang tidur dengan tenang di stroller. “Turun berapa kilo?”Wahyu menggeleng. “Nggak pernah nimbang.”“Jangan ngurusin kerjaan aja, tapi kesehatan juga harus dijaga.” Budiman menghela panjang ketika menatap pintu supermarket. “Kalau sakit, mamamu pasti yang paling kelabakan karena kamu jauh dan nggak ada yang ngurus.”“Mama juga sudah bilang begitu.” Wahyu menatap wajah tenang Putra yang terlelap. Keponakannya itu mirip dengan ayahnya, sehingga membuat Wahyu seringkali merindukan sepupunya yang telah tiada itu. “Tapi, jadwal sama porsi makanku nggak berubah.”“Tapi rutinitasmu yang berubah.” Budiman menunjuk pelipisnya. “Sama kebanyakan yang dipikir.”“Kalau itu nggak bisa dibantah.”Budiman tersenyum tipis melihat cucunya yang masih terlelap. Bibir mungil itu tampak bergerak-gerak pelan, seakan sedang menyesap sesuatu dalam mimpiny
“Anggun.” Wahyu mengetuk pintu kamar wanita itu dan menunggu sampai Anggun membuka pintu. Tidak sampai menunggu lama, Anggun membukanya dan memberi tatapan datar seperti dahulu kala.Ada apa sebenarnya dengan wanita itu? Kenapa sikapnya terkesan tidak ramah pada Wahyu.“Apa?”“Aku mau ambil Putra.” Karena ada perbedaan tinggi, Wahyu pun bisa dengan mudah melihat ke dalam kamar tanpa harus memiringkan tubuh. Menatap Putra yang tengah menggerak-gerakkan kedua tangan dan kaki di tempat tidur. Benar-benar menggemaskan. “Kamu mandilah, biar dia sama aku.”“Kena—”“Dia sudah minum susu belum?” tanya Wahyu menyerobot masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Menunduk di tempat tidur dan menatap mata bening yang menatapnya tanpa jeda.“Sudah dari tadi.” Anggun berbalik dan berjalan cepat menghampiri Wahyu. “Tinggal mandi, sih.”“Aku bawa keluar, mumpung masih pagi.” Tanpa izin, Wahyu membawa Putra ke dalam gendongannya. “Kamu bisa mandi, sarapan, atau terserah mau ngapain. Biar dia sama aku.”“Tap—
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar