“Hm!” Anggun menjawab panggilan dari Wahyu dengan gumaman. Meletakkan ponselnya di nakas, setelah mengaktifkan loudspeaker-nya.“Aku sudah sampe rumah.”“Ya udah istirahat.” Anggun malas meladeni Wahyu karena pria itu ternyata sangat posesif.“Kamu belum ngirim foto Putra.”“Mas, aku, kan, bilang nggak janji,” ujar Anggun lalu merebahkan tubuh di samping putranya. “Kalau sempat, aku kirim. Kalau nggak, berarti aku lagi capek. Aku mau istirahat.”“Kamu nggak suka aku nelpon?” tanya Wahyu.Anggun menggigit bibir bawahnya sejenak. Ia bukan tidak senang dengan kepedulian dan sikap hangat Wahyu, tetapi, Anggun tidak suka jika pria itu mulai bersikap posesif padanya. Padahal, mereka tidak memiliki hubungan layaknya sepasang kekasih.“Jangan salah paham,” ujar Anggun tidak akan membohongi perasaannya. “Aku senang karena selama ini kamu selalu ada buat aku. Tapi, Mas, tolong jangan posesif karena aku bukan milikmu. Aku masih punya hak bergaul dengan siapa pun yang aku mau dan jangan pernah ba
“Maaf, aku nggak bisa jemput.” Wahyu buru-buru menghampiri sang mama lalu memeluknya. Bergantian dengan Darwin, yang sore tadi sudah sampai di kediaman Wahyu yang berada di Bali. “Aku sibuk.”“Nggak papa,” ujar Desty kembali duduk di teras belakang rumah Wahyu yang ternyata sangat sederhana. Tidak seperti rumah putranya yang berada di Jakarta. “Sudah ada Anto yang jemput,” ujarnya menyebut nama anak laki-laki Farhat.Sesuai janji, Darwin dan Desty memang akan pergi ke Bali untuk melihat tempat tinggal Wahyu serta letak kantornya berada. Mereka pergi ke Bali, setelah Anggun selesai melahirkan.“Oia, April titip salam,” ujar Desty tanpa melepas tatapan pada Wahyu yang menggeleng lalu duduk di ujung tangga teras. “Kemarin dia nelpon dan Mama bilang mau ke Bali nengokin kamu.”“Nggak perlu dibahas,” ucap Wahyu sambil mengeluarkan ujung kemeja hitamnya dari celana dan melepas satu kancing teratasnya.“Jadi, kita bahas Anggun sekarang?” celetuk Darwin. “Bagaimana perkembangannya? Apa masih
“Kamu kurusan, Yu,” ucap Budiman ketika mereka berdua duduk pada kursi besi di depan supermarket. Menunggu pesanan kopi mereka datang, sambil menjaga Putra yang tidur dengan tenang di stroller. “Turun berapa kilo?”Wahyu menggeleng. “Nggak pernah nimbang.”“Jangan ngurusin kerjaan aja, tapi kesehatan juga harus dijaga.” Budiman menghela panjang ketika menatap pintu supermarket. “Kalau sakit, mamamu pasti yang paling kelabakan karena kamu jauh dan nggak ada yang ngurus.”“Mama juga sudah bilang begitu.” Wahyu menatap wajah tenang Putra yang terlelap. Keponakannya itu mirip dengan ayahnya, sehingga membuat Wahyu seringkali merindukan sepupunya yang telah tiada itu. “Tapi, jadwal sama porsi makanku nggak berubah.”“Tapi rutinitasmu yang berubah.” Budiman menunjuk pelipisnya. “Sama kebanyakan yang dipikir.”“Kalau itu nggak bisa dibantah.”Budiman tersenyum tipis melihat cucunya yang masih terlelap. Bibir mungil itu tampak bergerak-gerak pelan, seakan sedang menyesap sesuatu dalam mimpiny
“Anggun.” Wahyu mengetuk pintu kamar wanita itu dan menunggu sampai Anggun membuka pintu. Tidak sampai menunggu lama, Anggun membukanya dan memberi tatapan datar seperti dahulu kala.Ada apa sebenarnya dengan wanita itu? Kenapa sikapnya terkesan tidak ramah pada Wahyu.“Apa?”“Aku mau ambil Putra.” Karena ada perbedaan tinggi, Wahyu pun bisa dengan mudah melihat ke dalam kamar tanpa harus memiringkan tubuh. Menatap Putra yang tengah menggerak-gerakkan kedua tangan dan kaki di tempat tidur. Benar-benar menggemaskan. “Kamu mandilah, biar dia sama aku.”“Kena—”“Dia sudah minum susu belum?” tanya Wahyu menyerobot masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Menunduk di tempat tidur dan menatap mata bening yang menatapnya tanpa jeda.“Sudah dari tadi.” Anggun berbalik dan berjalan cepat menghampiri Wahyu. “Tinggal mandi, sih.”“Aku bawa keluar, mumpung masih pagi.” Tanpa izin, Wahyu membawa Putra ke dalam gendongannya. “Kamu bisa mandi, sarapan, atau terserah mau ngapain. Biar dia sama aku.”“Tap—
“Lama sekali kamu tidurnya.” Wahyu segera menghampiri Anggun, yang baru memasuki ruang keluarga sembari menggendong Putra. Mengambil alih bayi gembul yang tengah menatapnya ke gendongan. “Bangun-bangun sudah ganteng seperti omnya.”“Mama di atas?” tanya Anggun sembari melihat sekilas ke arah tangga dan tidak berniat menanggapi ucapan Wahyu.“Lagi nemui tamu di depan.” Wahyu berbalik dan kembali berjalan menuju sofa.“Aku titip Putra bentar, ya, Mas.” Anggun yakin, Wahyu tidak akan menolak permintaannya. “Mau mandi.”“Lama juga nggak papa,” ucap Wahyu sembari meraih remote televisi ketika sudah duduk di sofa. Mencari siaran televisi tentang binatang, lalu menontonnya berdua dengan Putra.Sedangkan Anggun, segera pergi ke kamar dan mandi dalam mode cepat. Setelah menjadi seorang ibu, ia tidak bisa lagi berlama-lama berada di kamar mandi karena ada yang harus diutamakan.Setelah selesai dan membereskan kamar yang sedikit berantakan, Anggun bergegas keluar kamar. Melihat Wahyu masih dengan
“Pagiii,” sapa Desty mempercepat langkahnya menghampiri bayi yang sedang berada di ayunan elektrik. Melihat wajah mungil itu terlelap dengan nyeyak, Desty lantas mendesah karena harus menunggu Putra bangun, agar bisa menimang bayi menggemaskan itu.“Ini sudah siang, Des,” ujar Syifa yang tengah sibuk membaca. “Bukan pagi lagi.”“Masih jam sembilan, Mbak,” sanggah Desty kemudian bergeser untuk duduk di samping Syifa. “Anggun ke mana?”“Ke makam Sabda,” jawab Syifa kemudian menghela kecil. Selalu ada luka yang kembali terbuka, ketika mendengar nama mendiang putranya disebut. Namun, setidaknya rasa itu tidak sepahit dahulu kala. Syifa mulai bisa berdamai, walau rasa ikhlas itu masih menggantung di udara. “Paling ini lagi otewe pulang.”“Anggun masih rajin konseling, kan?” selidik Desty.“Wajib,” ujar Syifa sambil menepuk tangan Desty yang hendak merebut buku yang dibacanya lalu melotot. “Dia nggak boleh bolos konseling, karena sudah punya Putra. Bahaya kalau tiba-tiba baby blues.”“Mumpun
Setelah sekian lama tidak membaca berita mengenai Kalingga, akhirnya Anggun melakukan hal tersebut di sela waktu senggangnya. Putra baru saja tertidur, sehingga Anggun bisa membuka browser dari ponselnya dan mengetikkan kata kunci “Kalingga” di sana.Sambil berbaring, Anggun membaca beberapa judul topik yang muncul setelah proses pencarian selesai. Namun, yang mengherankan ialah, tidak ada berita apa pun mengenai Regan pasca pria itu berada di bui.Kabar tentang Regan yang sempat keluar masuk rumah sakit karena kesehatannya bermasalah pun, tidak juga Anggun temukan beritanya.Sepertinya, April sudah “menangani” pemberitaan mengenai ayahnya dengan sangat baik.Tidak menemukan sesuatu yang menarik, Anggun kemudian membuka surat elektronik yang hampir tidak pernah lagi dibukanya.Baru saja hendak membuka salah satu pesan yang masuk, ponselnya berdering pelan. Menampilkan nama Wahyu di sana. Setelah sekian lama tidak pulang dan tidak menghubungi Anggun, mengapa tiba-tiba pria itu menelepo
“Aku mau ke Kalingga Tower besok pagi,” kata Wahyu saat berada di teras samping, sambil menggendong Putra di depan dada. Ia berhenti di sisi papan catur, di antara Anggun dan Budiman yang sedang asyik bermain sejak tadi.“Mau ngajak April ke Bali sekalian?” tanya Anggun tanpa menoleh dan menjalankan kudanya.Budiman menahan napas saat melihat Wahyu. Pria itu menatap datar pada Anggun, dengan menahan perasaan kesal. Langkah Wahyu mendekati Anggun memang tidak tampak agresif, tetapi sikap menantunya pada pria itu selalu datar-datar saja.Anggun tidak bisa ditebak. Apakah gayung akan bersambut atau hubungan keduanya tetap akan menjadi ipar seperti sekarang.“Sini sama Opa.” Budiman mengulurkan tangan tetapi Putra hanya diam menatapnya. Tidak seperti biasa, Putra akan cepat berpindah ke tangan Budiman jika ia mengulurkan tangan seperti sekarang.“Dia nggak mau, Om,” ucap Wahyu.“Biar aja, Pa,” ujar Anggun lalu mendongak dan tersenyum melihat putranya yang semakin hari semakin terlihat men
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk