Sambil berdecak, Wahyu kembali ke mobilnya setelah makan malam. Mengambil parfum dengan aroma bubble gum yang masih tersimpan di mobilnya, lalu membawanya ke dalam rumah.Sambil berjalan masuk, ia menyemprotkan parfum tersebut ke bagian leher, pergelangan tangan, pun dengan kemeja hitam yang dikenakannya. Sampai detik ini, Wahyu masih merasa jika Anggun hanya mengerjainya saja.“Anggun nunggu di samping,” ujar Syifa berusaha bersikap seperti biasanya di depan Wahyu. “Jangan lama-lama, karena bumil harus istirahat,” pintanya sembari menutup hidung dengan telunjuknya. Menahan tawa, karena aroma parfum yang terpaksa digunakan oleh Wahyu.Wahyu menggeleng ketika melihat ekspresi Syifa. Tidak hanya Syifa, tetapi Budiman juga memasang ekspresi yang sama sembari melihat botol parfum yang masih dipegang olehnya.“Nggak usah ditahan ketawanya.” Wahyu kembali berdecak dan segera meninggalkan om dan tantenya menuju ke teras samping. Saat melihat Anggun sudah duduk di tempat biasa yang digunakan u
“Kenapa ada di lobi dan nggak nunggu di ruanganku?” April menghempas tubuh di sofa tunggal di samping Wahyu.“Aku nggak lama.” Wahyu sedikit bergeser, agar bisa melihat April. Ia memang sengaja menunggu April di lobi, karena tidak ingin bicara terlalu lama dengan wanita itu.“Mau ngapain?” tanya April sedikit ketus. Ia masih saja tidak terima, karena Wahyu benar-benar menceraikannya. Pengorbanannya selama bertahun-tahun, ternyata tidak dianggap sama sekali oleh pria itu.“Mau pamit.”“Pamit?” Dahi April mengerut, bergeser mendekat ke arah Wahyu. “Emang kamu ke mana?”“Aku mau ke Bali.” Wahyu kemudian berdiri dan mengulurkan tangan pada April. “Mulai besok, aku pindah dan tinggal di sana karena Jakarta sudah terlalu sesak.”April mendongak setelah melihat uluran tangan Wahyu. Ia tidak berniat menyambut, karena masih memendam begitu banyak pertanyaan di dalam kepala.“Jadi, karena ini kamu ngasih kuasa sama Ken buat ngurus sahammu di Kalingga?”“Iya.” Wahyu menarik kembali tangannya, kar
“Tante bingung mau ngasih apa lagi, karena Wahyu sudah beliin kamu semuanya.” Desty menyerahkan tiga buah paper bag pada Anggun lalu duduk di sebelah wanita itu. “Kamu juga sudah beli baju-baju bayi sama mamamu, jadi, Tante beliin buat keperluanmu setelah lahiran.”“Nggak usah repot-repot, Tan.” Anggun meletakkan satu paper bag di pangkuan dan meletakkan dua lagi di samping kakinya. Melihat ke dalamnya, lalu mengeluarkannya isinya.“Nggak repot.” Desty tersenyum lebar pada Syifa yang sedang menyirami tanaman yang ada di tepi teras samping. “Nggak kepikiran beli, kan, Mbak?”“Makasih, Tan.” Anggun terkekeh kecil dan mengeluarkan satu per satu pakaian yang ada di dalam sana.“Ada pompa ASI,” ujar Desty menunjuk salah satu paper bag yang Anggun letakkan di sampingnya. “Bra menyusui sama apronnya sekalian.”“Harusnya beli penghangat ASI, sama sterilizernya juga,” celetuk Syifa tanpa menoleh lagi pada Desty dan sibuk menyirami tanamannya. “Botol, dot, sama kantong ASI-nya sudah dibelikan
“Sabar, ya.” Syifa kembali memberi semangat, sambil meraih tangan Anggun dan menggenggamnya erat. Menatap sang menantu yang sedang merintih, menahan rasa nyeri karena kontraksi yang datang kembali.Anggun hanya bisa mengangguk. Mengatupkan geligi dan menahan rasa nyeri yang kembali merayap di sekujur tubuh. Anggun mengerang, memejamkan mata, dan harus mengatur napas.“Kita bisa caesar kalau memang sudah nggak tahan,” ujar Syifa merasa nyeri sendiri melihat kondisi Anggun. “Kita konsul dulu, biar kamu nggak kesakitan seperti ini.”Anggun menggeleng. Menarik napas panjang lalu berujar, “nanggung ... Ma.”“Bukan masalah nanggung, tapi Mama takut kalau kamu nanti kehabisan tenaga.”Di titik ini, Syifa benar-benar takut dan tidak ingin membayangkan hal buruk apa pun. Ia sudah kehilangan Sabda dan itu sudah cukup membuatnya terpuruk. Andai tidak ada satu nyawa yang bersemayam di rahim Anggun, Syifa pasti sudah jatuh dalam kubangan depresi karena putra satu-satunya telah pergi dan takkan kem
Syifa dan Budiman berdiri di balik kaca besar yang memisahkan mereka dari ruang bayi, di mana deretan boks mungil berjajar rapi. Suasana di luar ruangan terasa hening, tetapi penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang tidak terkira.Syifa merangkul erat pinggang Budiman. Kepalanya perlahan merebah di bahu, seiring senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Meskipun keduanya tidak saling bicara, kehangatan di antara mereka cukup menggambarkan rasa syukur yang begitu mendalam.Tatapan Syifa tidak lepas dari ruangan di depan mereka, menunggu dengan sabar saat-saat ketika cucu mereka akan diletakkan di boks.Namun, tidak hanya Syifa dan Budiman yang berdiri di sana. Tidak jauh dari mereka, Wahyu juga tampak tidak sabar sekaligus gelisah karena ingin melihat keponakan kecilnya. Pria itu sesekali melihat jam tangan, lalu kembali memandang ke kaca besar.Lantas, ketika akhirnya seorang perawat membawa bayi mungil itu dan meletakkannya di boks, ketiganya berdiri terpaku. Perasaan haru dan sukacit
“Putra Sabda Wisesa.” Senyum Syifa merekah, matanya berbinar penuh kebanggaan saat memamerkan cucunya pada Desty dan Darwin. Ia mengangkat bayi kecil itu dengan lembut, menunjukkan wajah tenang yang tengah tertidur pulas. “Panggilannya Putra.”“Mirip Sabda waktu bayi,” celetuk Desty saat pertama kali melihat wajah mungil yang begitu damai. Andai saja April tidak keguguran, saat ini Desty pasti sudah disibukkan dengan kegiatan menimang cucu. “Tapi ini lebih bulat.”“3,5 kilo, Des,” ucap Syifa berusaha memendam sesaknya dalam-dalam ketika mengingat Sabda. Hari bahagia ini, tidak boleh diselimuti duka karena ada satu makhluk kecil yang akan menjadi harapan baru. “Aku sampe takut Anggun nggak kuat di tengah jalan.”“Gimana rasanya, Nggun?” tanya Desty sambil mengusap pelan pipi bayi mungil itu dengan punggung telunjuknya.“Luar biasa.” Anggun geleng-geleng dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, ketika mengingat proses bersalin yang benar-benar menguras emosi dan tenaga.Meskipun ada
“Mas, mending kamu ke kamar terus istirahat,” ujar Anggun masih melihat Wahyu di kamarnya sejak tadi. Orang tua pria itu sudah pulang lebih dulu, kemudian disusul oleh Budiman dan Syifa yang hendak melepas lelah di rumah untuk sejenak. “Tidur siang.”“Kamu kalau mau tidur, tidur aja,” ucap Wahyu kembali mengabadikan sebuah gambar putra ke dalam ponselnya. “Aku nanti mau pulang ke rumah sebentar, tapi tunggu om Bud sama tante Syifa datang.”“Kapan ... pulang ke Bali?” Anggun kembali mempertanyakan hal yang sempat dilontarkan Darwin.“Belum tahu.” Wahyu bergeser untuk meletakkan ponselnya di meja. Kemudian, ia menghampiri Anggun dan duduk di samping wanita itu. “Mau aku turunkan kepala ranjangnya, biar kamu bisa tidur?”Anggun mengangguk. Seketika itu juga, Wahyu kembali berdiri dan menurunkan bagian atas ranjang agar Anggun bisa merebahkan diri dengan sempurna.“Makasih,” ucap Anggun sambil memiringkan tubuhnya perlahan. Gerakannya sedikit kaku, karena rasa nyeri di jalan lahir masih j
“Kenapa semuanya mendadak masuk ke kamar?” tanya Anggun bingung.Ia menatap satu per satu orang yang masuk ke kamarnya, setelah seorang perawat datang untuk memandikan Putra di sore hari. Anggun sudah pulang ke kediaman Wisesa siang tadi dan hanya beristirahat di kamar setelah makan siang. Ia baru membuka kamar, ketika diberi tahu perawat yang akan memandikan putranya baru saja datang.“Kami mau lihat Putra mandi,” jawab Syifa lalu terkekeh. Ia berhenti di samping meja, yang di atasnya sudah terdapat bak mandi bayi. Tangannya sudah menggenggam ponsel dan siap mengabadikan momen pertama sang cucu mandi di rumahnya.“Akhirnya, kan! Aku bisa lihat dia buka mata.” Wahyu dengan cepat mengabadikan momen tersebut di ponselnya. Mengambil gambar, lalu merekam bayi menggemaskan yang bajunya sedang dibuka dengan sangat hati-hati.Anggun hanya bisa bengong. Ia memilih menjauh dan duduk bersandar di sofa. Melihat ketiga orang itu mengerubuti perawat, yang sedang sibuk dengan Putra. Sejenak, Anggun
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar