“Wanita cantik, tidak baik memasang wajah kesal seperti itu.” Suara berat menghampiri Joice yang nampak mendumel kesal. Refleks, Joice pun mengalihkan pandangannya pada sosok pria yang menghampirinya.“Albern?” Joice cukup terkejut melihat Albern ternyata juga ada di pesta. Ya, tadi dia sama sekali tidak melihat kalau Albern ternyata Hadir di pesta. Wajar saja kalau Joice tak menyadari, karena sejak tadi Marcel terus membuntutinya, membuatnya kesulitan untuk bergerak.Albern mendekat sambil melukiskan senyuman di wajahnya. “Kau terlihat sangat cantik malam ini. Gaun yang kau pakai sangat indah,” pujinya tulus tanpa berlebihan sama sekali. Apa yang dipakai Joice malam ini, memang sangatlah cantik.Joice tersenyum sedikit canggung karena mendapatkan pujian dari Albern. “Terima kasih, Albern. Gaun ini dipilihkan ibuku. Dia memiliki selera yang bagus.”Albern mengangguk setuju. “Kau benar. Ibumu memiliki selera yang luar biasa bagus. Terbukti gaun yang dipilihnya sangat cocok dan bagus di
Joice menyusui kedua anaknya secara langsung tak menggunakan botol. Untungnya, dia melahirkan dua bayi kembar, bukan tiga bayi kembar. Kalau sampai tiga, dan mereka semua ingin menyusui secara langsung, mana mungkin hal tersebut bisa terjadi. Sungguh, Joice terkadang sampai menggeleng-gelengkan kepala pada dua anaknya yang sangatlah manja.Joice baru saja meninggalkan sebentar dua bayi kembarnya, dan ternyata dua bayi kembarnya itu sudah langsung membuat keributan. Mereka tidak ada yang mau minum ASI melalui botol.Bersyukur, Joice membawa dua bayi kembarnya ke pesta. Jika saja tidak, maka pasti dua bayi kembarnya akan mengamuk di rumah. Membayangkan itu membuat Joice sampai mengembuskan napas panjang.“Sayang, minumlah susu yang banyak agar kalian tumbuh sehat dan kuat.” Joice membelai pipi bulat Marvel dan Janita. Melihat dua bayi kembarnya menyusu dengan lahap membuat Joice sangat senang. Sebagai seorang ibu, tentunya Joice ingin anaknya tumbuh dengan sehat.Ceklek! Pintu kamar t
Asap rokok memenuhi balkon ruangan di mana Marcel berada. Aura kemarahan begitu terlihat jelas. Benaknya memikirkan perkataan Joice tadi. Yang membuat emosi Marcel terpancing adalah Joice berpikir ingin menerima lamaran pria lain, agar dirinya menjauh.Jelas saja emosi Marcel terpancing! Marcel tidak akan pernah membiarkan Joice untuk menerima lamaran dari pria lain. Dia mengakui dirinya terlalu terlambat menyadari akan perasaannya pada Joice.Jika saja waktu bisa diputar, maka pasti Marcel tidak akan pernah menyia-nyiakan Joice. Awalnya, Marcel pikir berpisah dengan Joice adalah hal yang terbaik. Dia mungkin bisa menjadi lega.Akan tetapi ternyata apa yang dipikirkan Marcel salah besar. Dia sangat tersiksa tanpa ada Joice di sisinya. Dia menyadari hidupnya hampa dan kosong tanpa ada Joice di sisinya.Napas Marcel berembus kasar seraya memejamkan mata meredamkan kemarahan yang bergejolak. Tadi dia memberikan hukuman kecil untuk Joice, bermaksud memberikan sedikit pelajaran pada Joice
“Nyonya, ada telepon dari Tuan Oliver Maxton.”Pelayan menyerahkan telepon rumah yang ada di tangannya pada Joice, tepat ketika Joice sudah berhasil membuat Marvel serta Janita tenang. Tadi dua bayi kembarnya sempat rewel. Itu yang membuat Joice sekarang berada di kamar dua anaknya.“Oliver menghubungiku?” tanya Joice memastikan sambil menerima telepon dari pelayan.Sang pelayan mengangguk. “Iya, Nyonya. Tuan Oliver Maxton menghubungi Anda.”“Baiklah, aku akan menjawab telepon Oliver dulu. Tolong kau jaga Marvel dan Janita,” jawab Joice memberikan perintah.“Baik, Nyonya,” balas sang pelayan sopan.Joice melangkah keluar meninggalkan kamar dua bayi kembarnya, dan menjawab telepon dari sepupunya itu.“Hallo, Oliver?” sapa Joice dari seberang sana.“Joice, kau di mana?” ujar Oliver bertanya dari seberang sana. “Aku di rumah, Oliver. Kenapa?”“Apa kau bersama dengan Marcel?” Pertanyaan Oliver membuat raut wajah Joice berubah. Apalagi dia sekarang melihat Marcel sudah melangkah mendekat
Marcel meloloskan umpatan kasar di kala dia melihat seorang wanita tersungkur di tanah. Ini bukanlah salahnya. Dia sama sekali tidak bersalah. Posisinya dia berada di jalur yang benar dan wanita asing itu menyebrang sembarangan tanpa melihat rambu lalu lintas dengan baik.Marcel malas harus mengurus masalah batu-batu kecil seperti ini. Dia ingin bersikap acuh tak peduli, namun dia tidak bisa melakukan itu. Dia akan dibilang tetap tidak bertanggung jawab, meskipun itu bukanlah kesalahannya. Dengan terpaksa, Marcel turun dari mobil dan menghampiri wanita yang tersungkur di tanah. Pria itu melihat lutut wanita itu terluka sampai mengeluarkan darah. Meski wanita itu ceroboh, tapi hati kecil Marcel sedikit iba. “Are you oke?” Marcel menundukan tubuhnya, ingin membantu wanita itu.“Yes, I’m okay. Sorry, aku menyeberang sembarangan. Aku terburu—” Wanita itu menyibak rambutnya ke punggungnya, karena rambut panjangnya itu menutupi paras cantiknya. Namun, ketika dia mengalihkan pandangannya—
Joice berhasil menidurkan Janita yang tadi sempat mengamuk tak bisa berhenti. Tak mudah perjuangan Joice membuat Janita untuk diam. Berbagai cara dia lakukan mulai dari menggendong sambil jalan-jalan, lalu menyusui, mengajak bicara putrinya, dan terakhir cara yang Joice lakukan adalah menunjukkan foto Marcel.Ya, ini memang sudah gila. Cara jitu Joice membuat Janita berhenti menangis adalah mengajak bicara sambil menunjukkan foto Marcel pada Janita. Cara yang sebenarnya tak logis tapi sangat ampuh membuat Janita diam tak lagi rewel.Janita masih bayi, namun bayi perempuan cantik itu sudah mengerti siapa ayah kandungnya. Tentu itu membuat hati Joice sangatlah tersentuh, namun itu juga yang membuat Joice kesal luar biasa pada Marcel.Sampai detik ini, Marcel belum juga muncul. Entah, Joice tak tahu ke mana pria itu. Yang pasti kali ini Joice benar-benar sangat marah. Jika Marcel muncul, Joice berjanji akan mengusir pria itu. Joice mengatur napasnya ketika membayangkan wajah Marcel. Dia
“Jadi Joice menghubungimu?”Pertanyaan terucap di bibir Marcel ketika dia melakukan panggilan telepon pada asistennya. Dia ingin tahu alasan kuat kenapa Joice sampai marah padanya. Dia menduga kalau Joice pasti menghubungi Hendy—dan ternyata apa yang menjadi dugaannya benar.“Iya, Tuan. Nyonya Joice menghubungi saya mencari Anda. Saya mengatakan pada beliau kalau saya sedang tidak bersama dengan Anda. Saya juga bilang kalau meeting Anda ditunda. Tapi saya tidak memberi tahu Nyonya Joice kalau Anda baru saja menabrak seorang wanita. Saya takut kalau saya salah bicara, Tuan.” Hendy menjelaskan dengan sopan dari seberang sana. Marcel tersenyum samar. Pantas saja kalau Joice berpikiran macam-macam. Hendy mengatakan pada Joice kalau meeting-nya ditunda. Otomatis yang Marcel pikirkan adalah Joice berpikran aneh-aneh karena cemburu.“Alright, nanti aku akan menjelaskan sendiri pada Joice. Thanks, Hendy.”“Dengan senang hati, Tuan.” Panggilan tertutup. Marcel menurunkan ponselnya dari teli
Ancaman yang lolos di bibir Marcel seketika itu juga membuat tubuh Joice membeku. Pancaran manik mata abu-abunya menunjukan rasa takut. Gelenyar kekhawatiran menelusup ke dalam diri seolah menusuk hingga ke tulang.Joice sangat mengenal sifat Marcel. Pria itu tak pernah main-main dengan apa yang telah diucapkan olehnya. Joice harus waspada! Salah bertindak, maka kesialan akan menimpanya lagi.Sejenak, Joice mengatur napasnya agar tetap bisa setenang mungkin. Wanita itu tak mau sampai kembali terjebak di lubang yang sama. Joice bukanlah orang bodoh, tapi sialnya cinta yang dia miliki kerap membuat kebodohan dalam otaknya muncul. “Aku mencintaimu, Joice. Kau sangat tahu itu.” Kalimat terucap di bibir Marcel, ketika pria itu melihat sekarang Joice sudah jauh lebih tenang.Joice menyeka air matanya, menatap dingin dan tajam Marcel. “Jangan mengatakan omong kosong padaku! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah percaya dengan ucapanmu.”Bagi Joice, kata-kata cinta yang terucap di bibir Ma