Tubuh Marcel membeku melihat hasil rekaman CCTV yang diberikan asistennya. CCTV tersebut adalah rekaman CCTV dari acara fashion show tempo hari. Raut wajah pria itu menunjukkan keterkejutan dan rasa tak percaya.Dalang di balik kecelakaan Joice saat acara fashion show tiba adala Paige. Marcel berkali-kali memperbesar layar, memastikan apa yang dia lihat ini—dan terbukti benar bahwa Paige sebagai dalang utama.Selain itu, Marcel pun dibuat terkejut melihat rekaman CCTV di jalan—di mana mobil Paige membawa Joice dalam keadaan tidak beraturan. Menandakan bahwa memang Paige sangat sengaja ingin mencelakai Joice.“Shit!” Marcel mengumpat kasar mendapatkan hasil laporan dari asistennya.Sekarang yang ada di dalam benak Marcel adalah kata-kata Albern. Harusnya dirinya yang mengetahui segalanya lebih dulu, tapi sialnya malah Albern yang lebih dulu tahu. Itu yang membuat Marcel emosi luar biasa. Bisa-bisanya Albern tahu sedangkan dirinya seperti sapi bodoh yang tak tahu apa pun.“Berengsek!” M
“Lepaskan aku! Lepas! Kalian tidak mengenalku, hah?!” Paige mengamuk di kala dua polisi menarik kasar tangannya. Wanita itu tidak terima ketika ditangkap oleh kepolisian. Dia berontak sekuat mungkin.“Nona Sevim, Anda bisa memberikan keterangan langsung di kantor polisi. Anda juga bisa menghubungi pengacara Anda, untuk membantu Anda dalam masalah yang menimpa Anda.” Salah satu polisi berbicara pada Paige yang sejak tadi berontak sekuat mungkin. “Shit! Apa alasan kalian menahanku, hah?!” bentak Paige keras.“Nona, kami mendapatkan bukti kalau Anda melakukan pembunuhan berencana pada Nyonya Joice De Luca,” jawab salah satu polisi.Raut wajah Paige berubah. “Tidak! Aku tidak pernah berniat ingin membunuh Joice. Aku ini juga korban. Aku juga jatuh ke dalam jurang bersamaan dengan Joice. Kalian tidak bisa menahanku!”“Kau berhak ditahan bukan hanya tentang kau mendorong Joice ke jurang, tapi juga karena kau berniat mencelakai Joice saat acara fashion show.” Marcel menginterupsi percakapa
Marcel menenggak vodka di tangannya. Pikiran pria itu benar-benar kacau, karena tidak bisa berpikir jernih. Sekarang Joice sudah siuman, namun sayangnya Joice tidak mau bertemu dengannya.Ingin sekali Marcel memaksa ingin bertemu dengan Joice, tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan itu. Yang Marcel bisa lakukan hanyalah menunggu sejenak, sampai suasana menjadi sedikit lebih tenang.Asap rokok mengepul ke udara. Marcel berdiri di halaman belakang rumah sakit yang diizinkan merokok. Sudah tidak lagi terhitung berapa kali Marcel merokok. Tekanan masalah yang muncul membuat pikirannya sangatlah kacau.“Jadi kau di sini?” Suara berat menghampiri Marcel.Marcel mengalihkan pandangannya, menatap Albern yang ternyata ada di hadapannya. Raut wajah Marcel berubah. Sepasang iris mata Marcel berkilat tajam, memancarkan kemarahan yang tak terkira.“Ada apa kau ke sini?” seru Marcel dengan rahang mengetat dan tangan mengepal begitu kuat. Jika bukan di rumah sakit, sudah pasti Marcel akan menghajar
Marcel meloloskan umpatan kasar mendengar laporan dari Hendy kalau benar Albern mengunjungi Joice sambil membawakan pizza. Itu yang membuat emosi dalam diri Marcel tidak bisa terkendali.Ingin sekali Marcel melenyapkan Albern dengan kedua tangannya, tapi dia harus menahan diri karena tidak ingin membuat Marcel murka. Mati-matian, dia menekan amarah yang bergejolak di dalam dirinya.“Tuan, apa Anda ingin menemui Nyonya Joice sekarang?” tanya Hendy hati-hati.“Apa Albern sudah pulang?” Marcel menanyakan ini seraya mengepalkan satu tangannya dengan kuat.Hendy mengangguk sopan. “Sudah, Tuan. Tuan Albern Wren sudah pulang. Beliau sudah tidak ada lagi di ruang rawat Nyonya Joice.”“Aku akan menemui istriku.” Marcel langsung berjalan pergi meninggalkan Hendy. Tampak Hendy segera menundukkan kepalanya melihat Marcel sudah pergi.Sudah cukup Marcel menunggu. Dia tidak mau lagi menunda-nunda. Dia harus segera menemui Joice. Tidak peduli sekalipun Joice menolak. Yang pasti dirinya akan tetap ne
“Shit!” Marcel mencengkram kuat gelas berkaki tinggi yang ada di tangannya. Pikirannya benar-benar kacau di kala mengingat perdebatannya dengan Joice kemarin.Marcel tetap menolak dengan tegas perceraian itu. Dia tidak mau sampai berpisah dengan Joice. Jika ditanya apa alasannya, maka dia pun tak mengerti kenapa hatinya tidak bisa menerima itu. Otak Marcel seakan terekam bahwa Joice akan bersama pria lain jika sampai perpisahan terjadi. Hal tersebut yang membuat Marcel benar-benar tidak bisa menerima! Dia tidak akan membiarkan Joice bersama dengan pria lain.Egois. Marcel memang terdengar sangat egois. Akan tetapi, yang paling utama adalah dirinya tidak bisa melepas Joice. Dia memilih diam, bukan karena menyetujui keinginan Joice, melainkan karena dia tahu bahwa Joice membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.Tiba-tiba terdengar langkah kaki menerobos ruang kerjanya. Sontak, Marcel mengalihkan pandangannya—menatap ternyata Samuel dan Selena datang. Embusan napas Marcel terdengar kas
Suara dentuman musik memekak telinga. Marcel yang tengah duduk di kursi VVIP, terus menenggak vodka yang baru saja diantarkan pelayan. Banyaknya lautan manusia yang tengah menikmati suasana klub malam. Namun, sayangnya tidak dengan Marcel yang sama sekali tidak tertarik pada wanita-wanita yang sejak tadi menggodanya.Marcel berada di klub malam, hanya untuk menenangkan pikirannya yang tengah kacau. Marcel tidak bisa berpikir jernih. Masalahnya dengan Joice membuat otaknya sangatlah kacau.Marcel tidak memedulikan banyak orang yang menyudutkannya. Yang menjadi pikirannya adalah kenapa hatinya tidak rela untuk melepas Joice. Padahal sejak dulu dia selalu menghindar bertemu dengan Joice. Tapi, kenapa sekarang berubah?Marcel menggerakkan tangannya, meminta sang pelayan untuk mengantarkan alkohol yang jauh lebih keras. Rasa pusing yang ada di kepalanya, hanya bisa ditenangkan dengan alkohol. Sang pelayan segera mengantarkan minuman racikan bartender pada Marcel. Sesuai permintaan, Marcel
Aroma alkohol begitu kuat bercampur dengan asap rokok di dalam ruang kerja Marcel. Pria itu duduk di kursi kerjanya yang ada di mansion-nya. Raut wajah pria itu sangatlah kacau, namun inilah yang terbaik.Menyetujui perpisahaan sangatlah membuat hati Marcel sesak. Tidak bisa dia pungkiri bahwa hatinya tidak rela melepas Joice. Akan tetapi, di sisi lain perkataan William—kakeknya—selalu terngiang di dalam benaknya. “Kau di sini rupanya. Aku mencarimu di kantormu, tapi kau tidak ada.” Moses melangkah masuk, mendekat ke arah Marcel yang duduk di kursi kebesarannya. Ya, dia sengaja ingin menemui saudara kembarnya di kantor, tapi ternyata malah saudara kembarnya tidak berada di kantor melainkan di mansion saudara kembarnya.Marcel menatap dingin Moses. “Jika kau hanya ingin menasehatiku, lebih baik kau enyah dari hadapanku. Aku paling tidak suka dinasehati.”“Nope, aku menemuimu karena aku ingin bertemu denganmu.” Moses duduk di hadapan Marcel. “Aku mendatangimu sebagai saudara kembarmu y
Kabar perceraian Joice dan Marcel sudah terdengar. Berita dihebohkan oleh kabar perceraian tersebut. Padahal pernikahan Joice dan Marcel masih terbilang seumur jagung. Tidak ada yang mengira kalau pernikahan Joice dan Marcel harus kandas hingga berakhir pada perpisahan. Pernikahan kilat antara Joice dan Marcel saja masih heboh di hadapan publik, karena memang belum ada sedikit pun kabar tentang Joice dan Marcel yang memiliki hubungan special.Lalu, sekarang belum sampai satu tahu menikah, kabar perceraian Joice dan Marcel sudah terdengar. Itu yang membuat nama mereka kembali menjadi pembahasan menghebohkan publik. Jadwal persidangan akan diadakan minggu ini. Pun Joice dan Marcel sudah pisah rumah. Joice memutuskan tinggal di penthouse-nya sampai proses cerai telah selesai. Joice tidak mungkin meninggalkan Milan, kalau proses perceraiannya belum selesai.Saat ini pengacara Joice dalam pengawasan Oliver—sepupu Joice. Tentunya karena Oliver pun menginginkan Joice berpisah dengan Marcel
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam