Marcel menenggak vodka di tangannya. Pikiran pria itu benar-benar kacau, karena tidak bisa berpikir jernih. Sekarang Joice sudah siuman, namun sayangnya Joice tidak mau bertemu dengannya.Ingin sekali Marcel memaksa ingin bertemu dengan Joice, tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan itu. Yang Marcel bisa lakukan hanyalah menunggu sejenak, sampai suasana menjadi sedikit lebih tenang.Asap rokok mengepul ke udara. Marcel berdiri di halaman belakang rumah sakit yang diizinkan merokok. Sudah tidak lagi terhitung berapa kali Marcel merokok. Tekanan masalah yang muncul membuat pikirannya sangatlah kacau.“Jadi kau di sini?” Suara berat menghampiri Marcel.Marcel mengalihkan pandangannya, menatap Albern yang ternyata ada di hadapannya. Raut wajah Marcel berubah. Sepasang iris mata Marcel berkilat tajam, memancarkan kemarahan yang tak terkira.“Ada apa kau ke sini?” seru Marcel dengan rahang mengetat dan tangan mengepal begitu kuat. Jika bukan di rumah sakit, sudah pasti Marcel akan menghajar
Marcel meloloskan umpatan kasar mendengar laporan dari Hendy kalau benar Albern mengunjungi Joice sambil membawakan pizza. Itu yang membuat emosi dalam diri Marcel tidak bisa terkendali.Ingin sekali Marcel melenyapkan Albern dengan kedua tangannya, tapi dia harus menahan diri karena tidak ingin membuat Marcel murka. Mati-matian, dia menekan amarah yang bergejolak di dalam dirinya.“Tuan, apa Anda ingin menemui Nyonya Joice sekarang?” tanya Hendy hati-hati.“Apa Albern sudah pulang?” Marcel menanyakan ini seraya mengepalkan satu tangannya dengan kuat.Hendy mengangguk sopan. “Sudah, Tuan. Tuan Albern Wren sudah pulang. Beliau sudah tidak ada lagi di ruang rawat Nyonya Joice.”“Aku akan menemui istriku.” Marcel langsung berjalan pergi meninggalkan Hendy. Tampak Hendy segera menundukkan kepalanya melihat Marcel sudah pergi.Sudah cukup Marcel menunggu. Dia tidak mau lagi menunda-nunda. Dia harus segera menemui Joice. Tidak peduli sekalipun Joice menolak. Yang pasti dirinya akan tetap ne
“Shit!” Marcel mencengkram kuat gelas berkaki tinggi yang ada di tangannya. Pikirannya benar-benar kacau di kala mengingat perdebatannya dengan Joice kemarin.Marcel tetap menolak dengan tegas perceraian itu. Dia tidak mau sampai berpisah dengan Joice. Jika ditanya apa alasannya, maka dia pun tak mengerti kenapa hatinya tidak bisa menerima itu. Otak Marcel seakan terekam bahwa Joice akan bersama pria lain jika sampai perpisahan terjadi. Hal tersebut yang membuat Marcel benar-benar tidak bisa menerima! Dia tidak akan membiarkan Joice bersama dengan pria lain.Egois. Marcel memang terdengar sangat egois. Akan tetapi, yang paling utama adalah dirinya tidak bisa melepas Joice. Dia memilih diam, bukan karena menyetujui keinginan Joice, melainkan karena dia tahu bahwa Joice membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.Tiba-tiba terdengar langkah kaki menerobos ruang kerjanya. Sontak, Marcel mengalihkan pandangannya—menatap ternyata Samuel dan Selena datang. Embusan napas Marcel terdengar kas
Suara dentuman musik memekak telinga. Marcel yang tengah duduk di kursi VVIP, terus menenggak vodka yang baru saja diantarkan pelayan. Banyaknya lautan manusia yang tengah menikmati suasana klub malam. Namun, sayangnya tidak dengan Marcel yang sama sekali tidak tertarik pada wanita-wanita yang sejak tadi menggodanya.Marcel berada di klub malam, hanya untuk menenangkan pikirannya yang tengah kacau. Marcel tidak bisa berpikir jernih. Masalahnya dengan Joice membuat otaknya sangatlah kacau.Marcel tidak memedulikan banyak orang yang menyudutkannya. Yang menjadi pikirannya adalah kenapa hatinya tidak rela untuk melepas Joice. Padahal sejak dulu dia selalu menghindar bertemu dengan Joice. Tapi, kenapa sekarang berubah?Marcel menggerakkan tangannya, meminta sang pelayan untuk mengantarkan alkohol yang jauh lebih keras. Rasa pusing yang ada di kepalanya, hanya bisa ditenangkan dengan alkohol. Sang pelayan segera mengantarkan minuman racikan bartender pada Marcel. Sesuai permintaan, Marcel
Aroma alkohol begitu kuat bercampur dengan asap rokok di dalam ruang kerja Marcel. Pria itu duduk di kursi kerjanya yang ada di mansion-nya. Raut wajah pria itu sangatlah kacau, namun inilah yang terbaik.Menyetujui perpisahaan sangatlah membuat hati Marcel sesak. Tidak bisa dia pungkiri bahwa hatinya tidak rela melepas Joice. Akan tetapi, di sisi lain perkataan William—kakeknya—selalu terngiang di dalam benaknya. “Kau di sini rupanya. Aku mencarimu di kantormu, tapi kau tidak ada.” Moses melangkah masuk, mendekat ke arah Marcel yang duduk di kursi kebesarannya. Ya, dia sengaja ingin menemui saudara kembarnya di kantor, tapi ternyata malah saudara kembarnya tidak berada di kantor melainkan di mansion saudara kembarnya.Marcel menatap dingin Moses. “Jika kau hanya ingin menasehatiku, lebih baik kau enyah dari hadapanku. Aku paling tidak suka dinasehati.”“Nope, aku menemuimu karena aku ingin bertemu denganmu.” Moses duduk di hadapan Marcel. “Aku mendatangimu sebagai saudara kembarmu y
Kabar perceraian Joice dan Marcel sudah terdengar. Berita dihebohkan oleh kabar perceraian tersebut. Padahal pernikahan Joice dan Marcel masih terbilang seumur jagung. Tidak ada yang mengira kalau pernikahan Joice dan Marcel harus kandas hingga berakhir pada perpisahan. Pernikahan kilat antara Joice dan Marcel saja masih heboh di hadapan publik, karena memang belum ada sedikit pun kabar tentang Joice dan Marcel yang memiliki hubungan special.Lalu, sekarang belum sampai satu tahu menikah, kabar perceraian Joice dan Marcel sudah terdengar. Itu yang membuat nama mereka kembali menjadi pembahasan menghebohkan publik. Jadwal persidangan akan diadakan minggu ini. Pun Joice dan Marcel sudah pisah rumah. Joice memutuskan tinggal di penthouse-nya sampai proses cerai telah selesai. Joice tidak mungkin meninggalkan Milan, kalau proses perceraiannya belum selesai.Saat ini pengacara Joice dalam pengawasan Oliver—sepupu Joice. Tentunya karena Oliver pun menginginkan Joice berpisah dengan Marcel
Tubuh Joice membeku mendengar pertanyaan yang terlontar dari sang hakim. Aura wajah wanita itu memancarkan kesedihan yang mendalam. Debar jantungnya berpacu kencang seakan ingin berhenti berdetak.Joice tidak pernah menyangka kalau akan berhadapan dengan sang hakim. Dia seakan berada di tepi jurang, yang hanya satu langkah saja dia sudah tercebur di dalam jurang kesesakan itu.Joice mengatur napasnya berusaha untuk tenang. Wanita itu melihat seluruh keluarganya dan keluarga Marcel memberikan senyuman yang mengisyaratkan dukungan luar biasa. Pun di sana ada Albern yang sejak tadi tersenyum hangat menatap Joice. Albern menepati janjinya untuk datang di persidangan Joice.Joice meremas pelan tangannya di bawah meja. Wajah Joice sedikit memucat. Matanya memancarkan rasa patah dan hancur. Akan tetapi mati-matian Joice berjuang sekuat mungkin meneguhkan hatinya bahwa dirinya mampu melewati ini semua. “Tidak, Yang Mulia. Tidak ada tuntutan harta atau apa pun. Bagiku, harta tidaklah pentin
Albern menjadi orang pertama yang menghampiri Joice saat hakim sudah memberikan putusan bahwa Joice dan Marcel sudah resmi bercerai. Pria itu langsung berdiri di hadapan Joice bermaksud memberikan semangat dan dukungan.“Joice,” panggil Albern.“Hey, Albern.” Joice berusaha memberikan senyuman pada Albern.“Kau sudah melakukan yang terbaik.” Albern menepuk-nepuk bahu Joice.Tampak manik mata Marcel menatap tajam Albern yang berada di dekat Joice. Dia hendak ingin mendekat tapi ingatannya teringat bahwa dirinya dan Joice telah resmi bercerai. Sudah tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.“Thanks, Albern.” Joice tersenyum—lalu dia keluar melangkah keluar dari ruang persidangan bersama dengan keluarganya. Pun Albern mengikuti. Sebelum pergi, Joice sempat berjabat tangan dengan pengacaranya—karena telah membantu dalam proses perceraiannya dengan Marcel berjalan lancar. Joice mengabaikan Marcel ketika suara ketukan palu terdengar. Ya, tepat di mana suara ketukan palu sudah terdengar itu me