18: Racun TetanggaKetukan di pintu sore itu begitu gencar. Dena berlarian untuk membuka, sampai akhirnya dia melihat Pak Samiran berdiri dengan sikap yang aneh."Ada apa, Pak?" tanya Dena, saat mereka duduk berhadapan di ruang tamu.Pak Samiran melirik Aurora dan Axio yang tampak berlarian main petak umpet, sebelum menatap Dena."Saya sulit menelpon ponsel ibu.""Di sini tidak ada sinyal. Listrik saja tak ada, mau ngecas ponsel di mana""Saya ditelpon Bu Maria, katanya Bu Dena coba menggoda anaknya Si Darren..."Dena terperanjat,"Apa?!""Saya memberikan kesempatan ibu sekeluarga untuk tinggal menyewa dengan murah di rumah ini, dengan harapan ibu bisa menjaga rumah warisan kami ini. Tetapi seharusnya ibu bisa menjaga sikap!""Hei, apa maksudnya ini? Jangan membuat saya bingung, Pak. Saya berhubungan baik dengan Bu Maria!""Kenyataannya, dia malah marah-marah. Minta anda untuk cepat diusir, karena anaknya merasa terancam.""Pak, anda bicara apa? Hubungan saya dengan tetangga kita itu s
Maria setengah berlari saat ke luar rumahnya, dia mendadak kepo dengan seorang pria yang memarkir mobil di depan rumah sebelah. "Cari siapa, ya?" Tanyanya, sembari terus mendekat ke arah pria itu.Pria itu menoleh dan tersenyum gugup,"Anak-anak saya!"Maria menghentikan langkah, lalu mengangguk-angguk saat memandangi pria itu. "Pasti bapaknya Aurora sama Axio ya? Oh, mantannya si Dena!"Hendra kembali mencoba tersenyum lebih ramah,"Iya, bu. Saya, Hendra. Apakah Dena ada?""Ada kayaknya di dalam sana," sahut Maria seraya menunjuk rumah tetangganya itu dengan acuh tak acuh, sebelum santai berlalu.Hendra berdiri mematung di halaman rumah itu. Kakinya terasa kaku. Aura negatif seakan begitu kuat dia rasakan. Dia merasa menyesal membiarkan anak dan bekas istrinya sampai terpaksa hidup di sebuah rumah angker seperti itu. Dan konon katanya tanpa listrik pula? Betapa menderitanya mereka, keluhnya."Aku ada tugas kantor satu minggu ini di luar kota," kata Hendra, saat Lolita tengah dalam ga
Malam itu, Hendra mencoba untuk berdamai dengan kondisi rumah yang begitu temaram. Tiba-tiba dia tak tega dengan anak-anaknya, dan akhirnya memutuskan untuk menginap. Dena masih berada di kamarnya, tubuhnya tetap telanjang meski terbaring di tempat tidur. Aurora berusaha menyelimuti ibunya dengan semampunya. Gadis kecil itu pula yang mengajari Hendra untuk menyalakan lampu-lampu minyak di rumah."Awal-awal datang ke sini, Ibu belum separah itu. Kami masih diurusnya dengan baik. Tetapi selanjutnya, Ibu menjadi aneh. Lalu kami terpaksa mengurus diri sendiri. Untunglah Ayah datang," ungkap Aurora."Ya, Pak Samiran yang mengabari Ayah. Maaf Ayah lambat datangnya," Hendra mengusap rambut Aurora dengan sedih."Kemarin Pak Samiran ke sini, entah ngomong apa sama Ibu. Tapi pas Ibu ke dapur buatin minum teh untuk bapak itu, Pak Samiran ngomong sama Oya. Katanya, kenapa Oya dan Ciyo seperti tidak mandi dan ganti baju?""Lalu?""Kami jarang mandi, Ayah. Ibu sering pingsan jadi jarang nimba air
Van der MoschJangan tanya mengapa aku tertarik untuk menempati rumah ini. Sebab sebagai seorang Dosen dan Penulis Buku, aku bisa mendapatkan yang lebih baik lagi. Tetapi inilah kebodohanku, aku punya khayalan konyol di dunia nyata: ingin membeli rumah murah! Dan rumah ini, jelas impian setiap orang. Besar, luas, namun tak terurus! Pasti harganya miring. Tetapi ternyata, Si Samiran selaku pewaris terakhir rumah ini, tidak pernah bisa dirayu."Saya cuma diwajibkan menjaga warisan ini, tidak untuk menjualnya," kata pria itu."Meski kubayar mahal?" Tantangku, sambil melirik tubuhnya yang kecil pendek."Tidak, mister!"Tetapi sekali lagi, aku masih mengira jika dia bakal berubah pikiran suatu hari nanti. Sambil menunggu waktu itu, aku bersama istri dan ketiga anakku berusaha untuk menikmati kehidupan tenang di sebuah kawasan sepi yang cuma memiliki satu tetangga: seorang wanita tua dengan anaknya yang baru berusia 15 tahun. Hari-hariku sekeluarga dilewati dengan biasa saja. Aku tetap men
"Apa yang kau lakukan di sana?!"Suara teriakan itu membuat Hendra menoleh, lalu bergegas menutup buku di depannya. Dena terlihat begitu marah, mendadak Hendra jadi enggan menatap ke arah wanita itu. Dia membuang muka sambil mengoceh,"Baguslah, sekarang kau sudah berpakaian. Setidaknya aku jadi tidak muntah melihatmu!"Dena tertawa parau, lalu tiba-tiba meludah."Jangan mengajak bertengkar, apa aku tidak jijik melihat kau kembali? Tidak tahu malu! Tidak tahu diri! Ini tempat tinggalku, monyet!"Hendra melirik Dena dengan kesal,"Aku ke sini bukan untukmu. Jangan GR! Aku berkorban demi Oya dan Ciyo, meski terpaksa harus melihat mukamu lagi.""Oh, jadi ingatanmu sudah kembali?"Hendra mencibir. Apalagi saat Dena duduk di depannya sambil menghembuskan asap rokok. "Sejak kapan kau merokok? Kau ingin membuat anak-anakmu kena penyakit paru-paru?"Dena tertawa lagi, hanya kali ini begitu pelan. Letih rasanya menjelaskan banyak hal, pada pria yang gemar playing victim itu. Mana Hendra tahu,
Hendra mengelap tubuhnya dengan handuk, usai mandi. Dia melirik Dena dan kedua anaknya yang sedang sarapan mie instan. Terlambat bangun pagi itu, namun Hendra melihat pemandangan baru. Mantan istri dan anak-anaknya tampak begitu rapih. Terutama Dena. Wanita itu mengenakan daster kembang-kembang tanpa lengan, rambutnya disisir dengan tatanan elegan dan dia juga memakai bedak tipis serta lipstik warna merah cabai. Entah mengapa, Hendra menyukai itu. Apakah karena percintaan yang luar biasa ganas di perpustakaan semalam? Entah berapa lama dan berapa ronde. Sampai lelah. Hendra terbangun saat cahaya matahari menyorot masuk ke ruangan penuh buku itu. Dan tubuh telanjangnya di atas meja ternyata telah berselimut, sementara di bawah kepalanya ada bantal."Makanlah, maaf tadi kami duluan sarapan. Kami pikir kamu masih ingin tidur," kata Dena, sambil menyodorkan semangkuk mie instan goreng dengan telor ceplok dan irisan cabai di atasnya. "Terima kasih," Hendra tersenyum, dia juga tersenyum
Van der MoschSebenarnya aku memang ingin segera pergi dari rumah ini. Namun, sesuatu menahanku. Ini semua karena telpon seorang pemilik rumah produksi terkenal: Meeraj Shihaq. Dia merayuku untuk bisa menyerahkan naskah film horor yang diperkirakan bakal fenomenal."Lagi tren horor. Tusuk Jelangkung! Tusuk Konde Nenek Brewok! Setan Menstruasi Ngamuk di Puncak... ya, cerita film semacam itu!" Ungkap pria gendut keturunan India itu via telepon. "Tapi saya tidak pernah menulis naskah cerita horor," sahutku, sedikit bingung."Aiih... cobalah! Buku-buku novelmu keren, bagus. Tapi cuma berjaya di kisah romansa. Balada Monyet di Kastil Eropa, Ciuman Terakhir di Wagenigen, Angin Laut dan Tulip Belanda... itu semua cerita favorit. Tapi adakah produser yang tertarik untuk membawanya ke jalur film? Tak ada! Bukan berarti ceritamu jelek, tetapi karena biaya buat film yang berdasarkan ceritamu itu bisa sangat mahal. Syuting di Eropa, dengan beragam lokasi dan cuaca... ugh, produser Indonesia bisa
Aku terperangah lama. Oh, Van Der Mosch, inilah fakta horor itu, batinku pedih.Jadi ketika kami tidak ada di rumah, si Minna mengajak Austin ke rumah ini. Lalu Si Pelukis Kecil itu berpikiran mesum untuk melukis tubuh Minna yang telanjang bulat. Mendadak jantungku rasa ditinju. Semengerikan itukah, anakku? "Entah sejak kapan mereka melakukannya," Juliana mencibir. "Karena kita tak pernah turun ke lantai bawah. Tetapi tadi, Zeta sedang mencari minyak tanah untuk praktek pelajaran fisika di sekolahnya. Lalu dia melihat segala gambar pornografi ini."Ya, Tuhan! Aku seperti ingin mati berdiri. Anakku yang masih kecil itu, kenapa bisa melakukan hal itu?Tiba-tiba terdengar jeritan Minna yang menangis meraung, karena mungkin sudah tidak kuasa lagi menghadapi serangan cubitan dan pukulan kedua kakaknya."Hentikan Zeta! Juliana!" Teriakku, sambil berlari menaiki tangga untuk menuju ruang tamu.Minna berlari untuk mendekapku. Tangisannya makin keras."Kenapa Papi? Kenapa Papi membela hal mem
Karel sesaat memandangi Kiki dan kedua staf Humas itu dengan tajam. Dia butuh waktu untuk menjelaskan. "Secara kebetulan," lanjutnya. "Satu hari sebelum menghilangnya Mbak Centini, ada petugas polisi di Kapolsek yang dipimpin Pak Sangiran, masih mengingat wajah wanita dalam video ini, yang mereka katakan sebagai 'keluarga Kapolsek yang terganggu jiwa dan ngamuk di Polsek'. Lalu dibawa Si Kapolsek pergi dengan mobil dinasnya dalam kondisi tangan terborgol dan mulut dilakban...""Oh, Tuhan!" Kiki dan kedua stafnya kompak berteriak sambil menutup mulut mereka. Karel menghela nafas dan langsung bangkit dari duduknya. "Saya akan melaporkan kasus ini ke Polda, dan saya berharap pihak Rajawali Air dapat turut membantu saya untuk itu. Kapolsek Sangiran saya perkirakan juga sudah berusaha membunuh Ibu Inoy, klien saya, karena beliau memiliki video-video ini sebagai barang bukti..."***Julianna tertegun di hadapan wanita tua itu. Sejak pagi dia datang ke rumah besar tersebut, malah Maria di
"Pinter, sih iya." Prana terkenang ucapan Triman. "Ayu sih ndak ya... udah perawan tua juga... tapi kok ya bisa nyangkut ke pasiennya yang kurang waras?"Prana mengangguk bingung,"Agak ganjil juga."Triman tertawa serak,"Itu mungkin karena nafsu toh? Wong Mas Ostin memang ganteng tenan iku! Saya juga kalo dadi wong wedhok, yo mesti ikut naksir. Anaknya memang masih kelihatan bocah, tapi tinggi tubuhnya. Sifatnya juga ramah, memang bikin jatuh hati kaum wanita. Cuma memang saya sering dapati, dia itu suka memamerkan kelaminnya ke pasien wanita ..."Prana mengendarai mobilnya menuju Kawasan Hitam. Dia telah berjanji kepada Syahreza dan Zulfan, untuk tiba di sana sebelum jam makan siang. Sementara Ustadz Hanif tidak bisa datang segera karena harus menjaga Samiran di rumah sakit, dia berjanjian datang saat Ashar setelah berganti tugas jaga dengan Pak Salam, salah satu pengurus masjid.Sebentar lagi, ritual permainan Hoom Pim Pah akan digelar Sukemi. Julianna memastikan datang, meski belu
Prana menghela nafas, dan lebih menghela nafas lagi saat bertemu Dokter Ginaryo Sp.KJ. Dokter itu dengan ramah mempersilahkannya untuk berbincang di ruang kerjanya. Mereka bercakap cukup panjang, hingga terbongkar banyak hal."Saya menangani pasien Austin itu, justru setelah sekitar 5 tahunan dia telah menghuni rumah sakit ini. Dokter pertama yang menanganinya adalah Dokter Emilia, yang meninggal waktu itu, jadi saya yang lanjut menangani Austin. Anak muda itu memang sulit dilupakan. Terutama karena fisiknya yang berbeda dari yang lain. Dia sangat tampan, bule. Bahkan sering jadi rebutan pasien-pasien wanita di RSJ ini. Jangankan dia, ada saja petugas wanita yang juga sempat naksir...""Seperti apa kondisi Austin waktu dokter tangani?""Saya menangani Austin sekitar tahun 2005, ya... saya melihat kondisinya saat itu masih tidak begitu baik. Sering kabur dari rumah sakit, dan ditemukan petugas selalu senang berjalan-jalan sendirian tengah malam, tanpa alas kaki. Pokoknya kalau ditemuka
Aku menikahi Gayatri, tapi perjalanan "rumah tanggaku" yang sebenarnya, justru bersama Marce Si Tetangga Sebelah. Hal inilah yang membuat Austin memohon permintaan kepada Shumb Si Raja Iblis. Dia ingin agar kami bertiga bersatu menjadi keluarga utuh. "Bapak berhak hidup bahagia tanpa harus terus berpura-pura dalam pernikahan hampa. Austin ingin Bapak dan Mami bersatu selamanya, dalam pernikahan yang sah. Mami sangat menyayangi Austin, Pak. Dan pernahkah Mami juga mengecewakan hidup Bapak? Pernahkah Mami membunuh wanita-wanita yang membuat Bapak lupa untuk mengunjungi Mami di rumah? Jika Gayatri adalah Mami Marce, mungkin saat itu, Ibu Austin... Lovina... tidak akan tersiksa sampai mati...."Kalimat panjang anak itu, seakan menyadarkan aku betapa pentingnya ketulusan cinta. Ketulusan itu ternyata tidak hanya tentang harus selalu bersama, tetapi hanya butuh saling mengerti. Marce pernah mengatakan, dia tak sanggup marah saat aku selalu menyelingkuhinya."Karena aku tahu, aku bukan siap
Austin tumbuh dengan fisik sempurna. Ya, semakin mirip aku. Jauh berbeda dari Kalungga dan Turangga, yang wujudnya mirip Gayatri. Itulah sebabnya, aku sangat menyayangi Austin. Dia bebas bermain di rumahku kapan saja, tanpa Gayatri berani mengusirnya. Aku berikan apa saja yang dia mau, yang dia suka. Semua!Dia anak yang baik, juga berprestasi di sekolah. Marce ternyata sangat pandai mengurus anak rupawan itu, sebab semua orang menyukai kepribadiannya. Austin juga pandai melukis dan memahat sepertiku, sebab itu, dia kuizinkan untuk memasuki Ruangan Rahasia di Bawah Tanah.Ini adalah tempat yang tidak sengaja ditemukan Romo, saat sedang membuat ruangan lantai dasar, serta membuat makam. Ruangan aneh itu begitu besar, dengan dua patung raksasa. Romo sering melakukan semedi di tempat itu, jika sedang merasa gundah. "Ini sebenarnya pernah jadi tempat pemujaan iblis, mungkin sekian abad silam" kata Romo, saat membawaku ke sana, waktu kami baru saja menguburkan Kadita."Siapa itu, Romo?" T
Semula, aku mengira, berumahtangga itu sama seperti aku pernah melukis tubuh telanjang Kadita yang memesona. Asal kita suka melakukannya, meski itu sulit, pastinya bisa dapat diwujudkan juga. Tetapi nyatanya, pernikahan tidak seperti itu. Menikahi wanita bukan hanya untuk cuma bisa tersalurkan urusan kebutuhan biologis, punya anak, tidak cerai dan dianggap normal oleh masyarakat. Bukan itu!Aku menikahi Gayatri, yang tak pernah aku cintai. Aku bahkan tidak menerima segala kekurangannya. Bahkan aku tidak mengizinkan dia membuka topengnya, saat kami bersetubuh. Aku tak ingin gairahku memudar melihat wajahnya yang tak membangkitkan selera itu. Aku selalu membayangkan, jika dibalik topeng itu ada wanita berparas ayu rupawan, dan bukan pastinya itu bukan Gayatri!Dan ternyata, wanita itu juga tidak subur. Meski setiap malam kugagahi, dia tak kunjung bunting. Tapi sulit menuduhnya mandul, sebab dia pernah kawin dan punya anak sebelumnya. Aku juga, tidak ingin dituduh tidak subur! Inilah ya
Semua orang tahu, jika Mintje Molina hanyalah anak Jans Pietter dari seorang gundiknya, yang bernama Nyai Midah. Sebab itu, meski aku mendapat gelar bangsawan dari Bapak, beliau tidak merasa ada alasan bagiku untuk tidak mau jadi Belanda."Manson Jans Pietter, kamu itu Belanda. Darah Eropa menetes di tubuhmu. Persetan soal priyayi, itu juga pribumi. Derajat mereka itu, di bawah kita..." kata Mami suatu kali, saat aku menolak untuk dipanggil Manson Jans Pietter."Jika Mami merasa tidak sederajat, mengapa menikahi Romo?"Saat itu, aku hanya melihat Mientje Molina hanya membuang muka. Di kemudian hari aku tahu, ternyata memang tak ada satupun orang Belanda, ras Eropa lainnya, atau siapalah yang dianggap Mami derajatnya jauh lebih tinggi, bersedia menikahi seorang anak Nyai yang pernah sempat melacurkan diri demi sesuap nasi, setelah Bapak Belandanya mati. Romo mengangkat derajat wanita itu, tapi dia tidak pernah berterima kasih.Bahkan Mami mencoba meninggalkannya demi pria Cina kaya. Ya
Prana menepuk halus pundak Samiran, dia khawatir pria itu akan tambah sakit jika bicara. Tapi Samiran tidak mau berhenti."Muntarso ingin mengusai harta rumah itu dengan menikahi Gayatri, sebab itu dia membunuh Pak Moksa dengan meracunnya. Bu Gayatri tidak tahu. Wanita itu juga tidak tahu, jika kecelakaan mobil yang dialami Kalungga dan Turangga juga karena sabotase Muntarso. Tapi mobil yang pernah dibawa Muntarso untuk meneror kedua orang itu sebelumnya, juga kelak malah kemudian terbalik dan terbakar...""Dia pernah membakar orang, bukan?"Samiran memandang sedih ke arah Prana,"Saya juga. Mungkinkah akan terjadi hal yang sama?"Prana menggeleng, lalu kembali menepuk halus pundak pria itu."Bapak orang yang sudah berusaha menjadi baik...""Saya tidak tahu apakah Tuhan akan memaafkan saya. Sebab saya terlalu bodoh dan patuh kepada sesama manusia. Sebelum mati, Bu Gayatri berpesan agar saya menjaga dan jiwanya dari gangguan jiwa lain yang juga terjebak di rumah itu. Sebab itu setiap 20
Samiran masih tampak lemah, tapi dia tahu, kehadiran kedua pria di depannya memang telah ditunggunya. Prana, yang membawa Syahreza temannya, diyakini Samiran dapat segera menuntaskan segala masalah."Kami ingin bertanya tentang Austin, Pak. Sebentar saja," kata Prana.Perlahan, Samiran mulai memejamkan matanya. Dia bersyukur, kini nafasnya tidak lagi sesak sehingga bisa bicara."Ada yang sedikit rancu tentang Austin anak Lovina. Dia sebenarnya sudah ada sebelum saya dibawa Muntarso ke sana.""Austin sudah lahir?""Sudah besar malah. Saat saya masuk ke sana, Austin jelas lebih tua dari saya.""Kalau Lovina?""Usia Lovina saat hamil, juga jauh berbeda dengan Kalungga dan Turangga, 13 tahun. Kalau dua anak itu, sekitar usia 3 dan 1 tahun waktu Lovina mati. Dia itu diasuh Bu Gayatri dari bayi, sebagai anak pancingan biar cepat hamil. Saya tahu cerita itu juga dari Muntarso. Kasus kematian Lovina terjadi, itu jauh dari kasus Tumini mati. Sebelum itu, Lovina adalah korban Moksa pertama seb