Atikah tampak terduduk lemas di lantai, dia mulai menangis. Astari mendekatinya, membujuknya untuk tidak larut dengan emosi. Atikah akhirnya lelah, dia tersungkur tak berdaya. Meski masih terisak dan air mata membanjir, dia tidak menjerit lagi. Astari memandangi suaminya yang sibuk menelepon Yusuf, sudah sesore ini nasi belum datang. Roti, biskuit dan minuman sudah nyaris habis. Rasa lapar, belum disembuhkan juga oleh nasi, mana di rumah ini malah banyak orang yang pada sibuk bertarung. "Order makanan aja, Mas! Pasti pada lapar ini," kata Astari."Sudah, tadi order lewat ojek online. Sejak jam 3, waktu Yusuf belum datang-datang juga ...""Lalu?""Tak ada kabar lanjutan juga ojeknya!""Cancel sepihak?""Sudah terkirim laporannya. Nih... aneh nggak?"Astari bangkit memeriksa ponsel suaminya, lalu bergegas ke jendela. Membuka tirai, dan tak melihat apapun kecuali mobil mereka dan motor Zulfan yang mulai diliputi kabut. Ke mana mobil yang tadi dibawa Hendra, apakah sopir dan perawat itu
Prana terpana,"Kamu mau bilang kalau ini kelakuan Dena?"Julianna menggeleng sedih,"Saya tidak yakin itu Dena. Saya melihat ada dua sisi mahluk yang berbeda...""Apa karena kita semua pernah melihat ada dua Dena? Salah satunya Dena palsu dari setan yang menyerupai dia? Satu Dena di tangga, dan satu lagi Dena yang baru datang?""Tak ada setan!" Julianna menggeleng."Saat itu, saya lihat... mahluk yang mirip Dena itu mundur perlahan menuju kamar, ketika ada Dena lain yang muncul di pintu. Tidak mendadak hilang. Saya yakin, dia juga manusia...""Maksud anda...""Saya tidak katakan itu dia. Tapi seseorang yang seperti dia!""Kembar?""Semacam itu!""Dena itu anak semata wayang. Dia pastinya tidak terlahir kembar.""Anda yakin?""Dena pernah mengatakan hal itu.""Kalau suaminya? Maksud saya, mantannya Si Hendra, apa juga mengatakan hal yang sama?""Hendra tak mengatakan apa pun.""Termasuk bercerita, mengapa dulu Dena sering mengunjungi rumah sakit jiwa Karsa Menuri?""Hah?" Prana garuk-gar
Hujan semakin deras, sementara tak ada yang bisa mendengar suara jeritan dan tangisan Astari. Dia berusaha kembali ke rumah tua itu, dengan harapan ada yang bisa menolongnya. Wanita itu terus berlari sekuat tenaga, dengan Yusuf yang terus ganas pula mengejarnya. Petir dan kilat terus menyambar, membuat Astari terkejut dan tergelincir jatuh. Tubuhnya lalu berguling-guling di tanah yang penuh air berwarna coklat dan berlumpur, tepat di depan rumah tua itu.Yusuf cepat mendekatinya, dan bersiap untuk menghajarnya dengan balok kayu. Namun tiba-tiba pintu rumah itu terbuka. Aurora, tiba-tiba tampak berdiri sambil merentangkan kedua tangannya sambil berteriak. "Hoom Pim Pah Alaiom..."Astari yang sudah lemas, berusaha keras merayap untuk mendekati Aurora. Anak itu tetap berdiri sambil berteriak sekuatnya."Hoom Pim Pah Alaiom...."Tiba-tiba, hujan yang deras itu berhenti. Seketika. Lalu dari segala arah, tampak bermunculan bocah-bocah perempuan kecil bertelanjang kaki dan memakai selendang
Syahreza melangkah bergegas mendekati pria tua yang sedang menyapu itu. Dia telah bertanya kepada beberapa orang, tentang petugas kebersihan yang bernama Triman. "Pak Triman?" Syahreza mengangguk kepada pria itu."Iya, ada apa Pak?"Akhirnya, Syahreza tersenyum lega. Dari rumah sakit, Prana sudah memintanya untuk mencari pria tersebut di RSJ Karsa Menuri. Sejumlah catatan pertanyaan dari Prana, telah dicatatnya, sebelum sahabatnya itu kembali terkulai tak sadarkan diri. Mukanya babak belur dihajar balok kayu oleh Yusuf, karyawannya sendiri. Entah ada dendam pribadi apa diantara keduanya, namun Syahreza bersyukur, ketika polisi telah lebih dahulu mengamankan Yusuf, usai mendapat keterangan dari Astari."Saya Syahreza, tadi diminta Pak Prana untuk datang kemari mencari Pak Triman. Bapak ingat? Seorang pria yang menanyakan tentang Austin?"Triman terdiam sesaat, lalu kemudian tersenyum."Oh, Bapak ganteng yang ngasih saya banyak duit itu ya? Pasti saya ingat. Saya sudah bagikan duit tit
"Lanjut Pak?" Triman melirik khawatir.Syahreza tersenyum, sambil meletakkan gelas kopinya, juga menutup buku catatan titipan pertanyaan dari Prana. Mendadak dia merasa ingat semua tentang apa yang telah diucapkan Prana."Bapak bisa ceritakan lagi pada saya, tentang wanita-wanita yang pernah dihamili oleh Austin? Selain Dokter Emilia, sebab dokter itu ternyata kakaknya Zulfan, karyawan Pak Prana juga..."Triman terpana, tiba-tiba dia langsung meletakkan rokoknya di atas asbak."Zulfan itu Si Ufan? Adiknya Dokter Emil, ya?""Saya cuma tahu namanya Zulfan.""Anak itu pernah berantem sama Mas Ostin dulu di rumah sakit ini. Ngamuk karena kakaknya mati bunuh diri gara-gara Si Mas Ostin. Itu saya yang misahin Ufan dan Mas Ostin awalnya, kalau nggak... bisa mati itu Si Ufan. Lha, badannya cilik gitu, kok. Kalah karo Mas Ostin yang Wong Londo!""Sekarang dia sudah dewasa!""Waduh, waktu cepet mabur yo. Salam untuk Ufan yo, Pak. Bilangin, dari Pakde Triman!""Sip, Pak. Dia lagi di Polda sekara
Syahreza merapatkan duduknya di sebelah Triman, demi menatap layar ponsel pabrikan Cina itu. Rasanya, dia seperti tiba-tiba ditonjok orang tepat pada bagian jantung. Foto pada ponsel Triman, membuatnya teringat kalimat Prana di rumah sakit. "Julianna curiga, ada dua Dena sebenarnya. Kita bertemu keduanya, di rumah itu..." Triman tersenyum menatap Syahreza, matanya berkedip. "Bagaimana? Ayu-ayu, toh? Mirip sekali mereka. Cuma kalau diperhatikan, ini adiknya memang sedikit jauh lebih cantik. Kata Lusiah, nama adiknya Si Arabella itu artinya memang wanita cantik. Sesuai dengan namanya toh?" Syah menelan ludah yang seakan bercampur beling. Tubuhnya gemetar memandang wajah kedua wanita rupawan itu. Namun Triman tak memperhatikan, malah dengan santai melanjutkan penjelasan. "Kalau Lusiah bilang sih, arti nama dia, Garneta Lucia itu... batu permata yang terang. Makanya, cucu kembar saya itu diberi nama Lucia dan Arabella. Sudah izin saya ke kakak dan adik itu. Biar pada tertular jadi
Yusuf mengaku masih pusing, tetapi dia sudah harus melewati proses pemeriksaan polisi. Perban di kepalanya belum dilepas, namun tangannya sudah diborgol, meski dia memohon untuk minta diberi kesempatan beberapa menit agar sedikit bisa menenangkan diri. Polisi memberinya minum, lalu meninggalkannya sendiri di dalam ruangan yang hanya memiliki meja dan dua kursi tersebut. Pintu nampak tertutup, namun dia tahu, jika beberapa anggota polisi berjaga ketat di luarnya."Kenapa aku menjadi seperti ini?" Keluh Yusuf, tapi dia tak sanggup untuk menangis.Ini, jelas bukan seperti keinginannya. Tetapi mencintai Garneta, baginya adalah kenangan terindah. Wanita itu jauh lebih tua darinya. Ditemuinya suatu malam, saat sedang bertugas sendirian menjaga sebuah rumah kosong milik bosnya.Wanita itu berdiri di pintu pagar, rambutnya yang sebahu berkibar ditiup angin, sementara kulitnya nampak nyaris seputih gaunnya. Semula Yusuf mengira dia hantu, tetapi ternyata, kakinya yang telanjang itu nampak lem
"Ya," Garneta menghela nafas. "Dena memang terlihat normal. Tapi sebenarnya dia jauh lebih gila dariku."Yusuf terpana,"Lebih gila?""Dia suka berhalusinasi. Tapi aku sayang padanya. Sebab itu aku rela masuk RSJ, agar dia tidak terus diperkosa Papi tiri kita. Hmm..., tak banyak yang tahu jika itu bukan bapak kandung kami. Ini yang selalu kusesali, andai Papi kandung tidak meninggalkan kami pergi...""Jadi, beliau... papi kalian masih hidup?""Entahlah. Kami terakhir bertemu dengannya itu, waktu masih balita. Tidak ingat lagi. Sebelum Mami minta cerai, karena gatel kepincut dengan pria lain yang malah merusak masa depan anak gadisnya...""Kalian tidak berusaha mencarinya?"Garneta terdiam, dia memejamkan matanya beberapa saat. Sebelum menatap Yusuf."Saat kasus aku membunuh pria bajingan itu, sebenarnya aku sudah minta Mami untuk mencari Papi. Karena Papi itu pengacara. Tapi Mami tidak bersedia. Mami sangat marah ketika aku menghabisi suaminya..."Yusuf membelai wajah Garneta. Betapa c
Zeta mengirimkan email padanya, usai satu minggu dia kembali ke Paris, tanpa Leonard. Karena pria itu ditahan polisi, dengan tuduhan kasus percobaan upaya penipuan dan pemerasaan kepada Sesco. Kasus ini terungkap dari pengakuan Doza Fahmi, sekutu Alya Dildo. Saat mengantar Zeta di bandara, Sesco yang begitu patah hati, meminta Zeta untuk menyelidiki sesuatu. Lalu hal tersebut, diungkapkan Zeta pada Syahreza:Wanita itu datang ke Rumah Mode Sesco Paris yang belum launching. Dia mengaku bernama Lane, teman Leonard. Aku melihat dia begitu gugup, saat kuberitahu tentang kasus penangkapan Leonard di Indonesia. Dia pamit terburu-buru, namun aku bisa mengikutinya.Dia menuju Hotel Prince de Galles, tempatnya menginap, sebelum tergesa-gesa membawa tasnya seperti hendak pergi. Seorang pria tampan, berwajah khas Amerika Latin tampak menjemputnya di lobby, mereka berciuman bibir. Kemudian mereka naik taksi menuju suatu tempat. Aku terus mengikuti mereka dengan taksi juga, sampai mereka berhenti
Tapi niat baik itu, justru ditanggapi Leonard dengan sangat emosional. Pria yang sedang mempersiapkan kepulangannya ke Paris bersama Zeta itu, malah mengamuk tidak karuan. Pribadinya yang selama ini terkesan lembut dan sopan, malah mendadak berubah mengerikan."Salope!" Leonard meneriaki Sesco dengan kasar, hingga tega menyebutnya: JALANG. Belum puas, segala barang dia lempar ke arah Sesco yang cuma bisa pasrah itu."Aku masih di sini, mencoba untuk berdamai dengan Si Pemerasmu. Tapi kau malah mengembalikan gaun-gaun itu! Apa... apa kau tidak berpikir soal Paris Fashion Week? Soal masa depan Rumah Mode Sesco Paris? Aku masih di sini, Sesco. Tapi kau malah mengambil keputusan sepihak!""No... Leonard, baby... yey tidak mengerti. Ini situasi darurat. Kita harus...""Harus apa?! Kita sudah menyusun rencana yang luar biasa, lalu kau seenaknya menghentikannya di tengah jalan?""No! Bukan begitu. Yey tidak mengerti. Lupakan soal gaun itu. Eike masih bisa ngetop dengan karya eike sendiri. S
Prana sudah bisa membuka mata, namun dia tampak lemah dan enggan bicara. Terbaring lemah di ranjang bersprei putih, membuatnya malah seperti pasien yang sedang menunggu mati. Astari ada di sampingnya, tapi seakan tidak membuatnya bersemangat untuk sekedar tersenyum. "Semuanya sudah diketemukan menjadi mayat, kecuali Austin. Jadi sejauh ini, tersangkanya mengarah pada dia. Apalagi polisi mendapat laporan dari Pak RT wilayah rumah Pak Samiran, katanya lagi heboh ada hantu pria bule di rumah almarhum. Diperkirakan itu Austin. Cuma ketika diperiksa, rumah itu kosong... " kata Syahreza, sambil memandangi Prana.Perlahan, Prana menoleh. Dia mencoba menghela nafasnya, namun yang terdengar seperti sesuatu yang berat tercekik. "Mengerikan, semuanya mati. Jadi..apakah Austin bekerja sama dengan Garneta dan Yusuf?" Tanya Astari.Syahreza mengangkat bahu,"Kita belum tahu ujung tragedi ini. Yusuf mengatakan dia bekerja sama dengan Garneta untuk membunuh, tapi nyatanya Garneta juga mati. Jadi si
Doza Fahmi sepakat bertemu dengan bule itu, di Hotel Forma de Myorne. Tempat itu dipilih Doza, karena merupakan hotel baru yang berbintang lima. Sekalian ingin jajal pelayanan, juga sekaligus mengetes kemampuan finansial seseorang yang nekat ingin menemuinya."Anda sangat berani, tapi jangan coba-coba bawa polisi. Saat saya menuju penjara, maka seluruh dunia langsung bisa mengakses aib Sesco dengan sekali klik! Ingat, saya tak mungkin bekerja sendiri untuk bisnis 10 miliar..." ancam Doza, sebelum pria itu datang.Dan Leonard memang berani datang sendirian. Dadanya yang bidang tampak terlihat jelas dari kemeja ketat berwarna biru, membuat Doza mulai berpikiran lain. Mendadak gairahnya membanjir, dari memikirkan besaran nominal uang, sampai mengkhayalkan hal kotor bersama pria tampan tersebut."Mengapa anda sampai terpikir untuk memeras seorang Sesco?" Tanya Leonard, sambil duduk di kursi dengan tenang."Jangan anda, panggil saja Ocha," sahut Doza Fahmi genit.Leonard tersenyum,"Baik, O
Syahreza lalu perlahan mengangguk, dan itulah yang membuat mereka melangkah menjauh mencari rimbunan pohon untuk berteduh, sambil duduk di atas tanah yang sudah mengering. Hujan sempat deras, tapi Kawasan Hitam ini malah mirip padang gurun tandus. Jejak hujan seperti tak bersisa. Lalu, bagaimana dengan jejak kejahatan?Zeta menghapus sudut matanya dengan tisu, seakan tak kuasa untuk melanjutkan cerita Syahreza yang detil sejak awal. Inilah yang paling ditakutkannya: kehilangan. Melihat begitu mayat yang terus ditemukan, Zeta mulai bersiap mental jika kelak akan betul-betul melihat mayat adiknya. Jiwanya seakan hancur. Serasa tak ada tempat untuk berlindung. Suaminya tidak mengomentari pesannya tentang Julianna, dia sedang berlibur dengan selingkuhannya di benua tropis, meninggalkan musim salju yang beku atas catatan cinta mereka yang makin kelabu. Kedua anaknya juga cuma mengucapkan kalimat basa-basi. Sedikitpun tidak terdengar nada yang bersifat kesedihan dan kekhawatiran. "Jadi ya
Dua jasad yang diangkat dari dalam sumur itu sudah menimbulkan bau. Tak sedikit petugas polisi yang dibantu petugas SAR, terlihat terhuyung mual. Meski masker tebal telah menutup separuh wajah, tetapi tetap saja tak mampu menyingkirkan bau daging busuk. "Ini mirip pengangkatan para jenderal korban PKI di Lubang Buaya!" Kata Lembu Suraji, tak sanggup menahan amarah, saat keluar dari rumah itu.Syahreza yang muncul belakangan, hanya bisa berjalan mundur sambil menutup hidung. Dia coba untuk bertahan, tetapi yang terjadi, justru betul-betul muntah. "Jangan masuk, Pak! Petugas saja tidak tahan," kata Lembu Suraji.Syahreza hanya bisa tersungkur dengan isi perut hampir keluar semua. Lemas sudah. Bau sisa darah busuk dari tetesan jejak mayat-mayat sebelumnya saja sudah membuat mual, apalagi dengan bau mayat yang lama terendam di dalam air?Ketika kantong-kantong mayat tersebut dibawa para petugas keluar rumah, Syahreza sudah nyaris berlari, khawatir muntah lagi. Namun Lembu memintanya unt
Tak disangka Zeta, dia akhirnya bisa kembali ke Indonesia bersama Leonard. Si Bos, tiba-tiba juga harus kembali ke indo karena dipaksa Sesco. Zeta melangkah mengikuti Leonard, memasuki Butik Sesco, Jakarta. Mereka disambut Wawan dan Eriska saja, sementara yang lain sedang pergi ke pemakaman anak bekas pegawai Sesco."Anak bekas pegawai meninggal, satu butik nyaris kosong. Sungguh mulia sekali," kata Zeta, sambil duduk di sofa dan meneguk teh melati."Begitulah Sesco, dia sangat peduli. Hal itu dia tularkan kepada seluruh karyawannya," sahut Leonard."Luar biasa!"Leon menatap Zeta,"Kapan mau mengunjungi bekas rumahmu itu?"Zeta menggigit bibirnya,"Saya akan mengunjungi hotel tempat Julianna menginap, lalu lanjut ke rumah itu.""Kau tahu di mana dia menginap?Zeta menggeleng,"Dia cuma bilang, hotel dekat Kawasan Hitam!"Leonard tiba-tiba memanggil Wawan,"Ada berapa hotel di dekat Kawasan Hitam, Wan?""Ada beberapa mister," jawab Wawan cepat. "Cuma kebanyakan kelas melati. Hotel berbin
Sebenarnya, Karel cuma menemani Abdul untuk menengok kondisi Dena. Usai mencium Inoy yang masih terbaring koma di rumah sakit, Abdul segera minta bantuan Karel untuk menemui Dena. "Saya sangat bangga dengan perjuangan Inoy menyelamatkan keluarga, Pak Karel. Saya selama ini mungkin menganggap istri saya rendah, tidak tahu apa-apa, cuma ibu rumah tangga biasa. Saya lupa dia pernah kuliah, pernah bekerja....cuma demi mengurus anak, dia ikhlas melepas segalanya. Tapi saya baru tahu, jika dia punya keahlian seperti detektif," ungkap Abdul, panjang lebar.Karel mengangguk,"Ya, luar biasa hal yang dilakukannya, meski membahayakan jiwa. Setidaknya kasus-kasus Sangiran terbongkar semua. Dari soal Centini, pembebasan Alya Dildo, sampai upaya tukar guling kasus anda dan Hendra. Bukan itu saja, dia mengirimkan juga video percakapannya dengan pengacara Petrus, yang membuat kita bisa melaporkan pengacara mata duitan itu!""Sekali tepuk, banyak nyamuk mati. Itu yang dilakukan Inoy. Tapi dia jadi ko
Lembu Suraji memandangi tumpukan kertas di meja kerjanya. Hari ini, sudah 3 saksi dipanggil ke Polsek. Soni dan Nena, sopir dan perawat yang dipekerjakan Alya Dildo untuk mengurus Hendra. Juga seorang driver ojek online yang sempat mengantar order makanan ke Kawasan Hitam."Tak ada yang aneh saat itu, kami malah mengira mereka sedang reuni," kata Soni, si sopir."Hendra yang minta diantar ke tempat itu?" Tanya Lembu."Betul, pak. Kami cuma diperintah.""Tujuannya?""Katanya sih, mau bertemu mantan istri dan anak-anaknya.""Lalu mengapa kalian kabur meninggalkan Hendra?""Disuruh pulang oleh Bu Alya Dildo, karena kami melapor kalau kami dimarahi bekas istri Pak Hendra.""Dena? Tapi Bu Dena saat itu di rumah sakit.""Kami tahunya Pak, wanita yang memarahi kami itu adalah mantan istrinya Pak Hendra. Pak Hendra waktu itu lagi berantem dengan mertua perempuannya. Pokoknya rame saat itu. Takut juga kita.""Apa yang mereka ributkan?""Entah, Pak. Saya kurang paham. Mereka seperti kurang wara