“Rachel!” teriak Yadi sambil terus mengejar Rachel. Rachel mendengar teriakan Yadi sedari tadi dan menurutnya sudah cukup dia membuat Yadi harus capek-capek buang tenaga untuk mengejarnya lagi. “Sumpah Rachel, aku capek banget ngejar ka…” Kata-kata Yadi tiba-tiba terhenti karena Rachel yang langsung memeluknya, melepaskan semua tangisan yang dia tahan sejak tadi.
“Di, aku bener-bener kangen sama dia, kenapa sih aku jadi lemah kayak gini gara-gara dia?” Rachel terus menangis tersedu-sedu.
“Rachel, kamu begini itu bukan berarti kamu lemah tapi karena kamu belum bisa menerima dia meninggalkan kita tanpa perkataan apapun dan sampai sekarang kita juga masih sedih kalau ingat hal itu. Nangis aja Rachel, kamu nggak lemah dengan nangis seperti itu malah itu mungkin akan membuat kamu menjadi kuat nantinya.” Yadi berusaha menenangkan Rachel dengan mengusap kepalanya lembut walau dalam hatinya merapalkan doa-doa agar Rachel tidak sadar akan detak jantungnya yang berdebar kencang.
Sementara itu teman-temannya melihat kejadian itu dari jauh, “Emang cuma Yadi yang bisa tenangin Rachel sekarang.” Perkataan Janetta membuat Liora entah kenapa berbalik mengecek keadaan Jelena dan seperti perasaannya entah kenapa gerak-gerik Jelena terlihat aneh.
Jelena ingin pergi tapi tangannya dipegang oleh Tristan, “Kamu mau ke mana Jelena, kamu nggak apa-apa kan?” Semua teman-temannya langsung melihat ke arah Jelena yang membelakangi mereka.
Jelena melepaskan tanganya dari genggaman Tristan, “Aku mau ngambil barang aku yang ketinggalan di kelas.” Jelena berlari, dia tidak ingin mendengarkan pertanyaan-pertanyaan temannya.
Kelas itu sudah kosong karena jam makul sudah habis dan inilah kesempatan yang digunakan oleh Jelena untuk melepaskan semua tangisan yang dia tahan sedari tadi. Entah kenapa kepalanya sakit seperti ingin meledak, “Aduh, kenapa tiba-tiba kepala aku sakit banget dan perasaan aku nggak enak. Biasanya aku begini kalau teman-teman aku ada masalah tapi dari tadi teman-temanku pada baik-baik saja. Javas?! Nggak boleh, teman-teman aku nggak boleh tau tentang ini, aku nggak mau buat mereka khawatir!” Jelena berusaha mencari hpnya di tasnya tapi tidak ada yang ada hanya kunci mobil Yadi. “Kayaknya aku tinggalin HP aku di mobilnya Yadi deh, apa aku pulang duluan aja pakai mobilnya Yadi? Dia pasti nggak marah kok malah mungkin dia akan mengerti kalau aku jelasin keadaan aku yang lagi nggak enak badan.” Jelena membulatkan tekadnya, mengatur semua barang-barangnya kemudian pergi.
***
“Kenapa sih papa dengan seenaknya bisa memutuskan seperti itu tanpa membicarakannya dulu sama Haniel?! Papa pikir Haniel ini barang dagangan yang tidak perlu tau apa-apa tentang jalan akhir kehidupannya?! Dasar egois!!!” Seorang anak berumur kira-kira 19 tahun terlihat marah dan geram.
Papanya berusaha duduk di sampingnya dan berusaha berbicara dengan tenang, “Papa benar-benar sudah buntu Haniel, papa sebenarnya tidak mau menyetujui rencana itu tapi kalau papa memaksa untuk menolak maka papa akan mati!”
“Itu adalah kesalahan yang papa perbuat lalu kenapa harus Haniel yang menanggung semuanya?! Jawab, Pa!!!” teriak Haniel frustasi.
“Udah DIAM!!!! Capek tau Indira lihat om sama Haniel berantem terus! Selesain urusan kalian dengan ngomong baik-baik bukan dengan teriak-teriak nggak jelas kayak gini!” tegas cewek itu yang berusaha menghentikan adu mulut ayah dan anak.
Haniel dan papanya terdiam karena sudah sadar kalau mereka sudah sangat ribut dan menganggu anggota keluarga yang lain. Tiba-tiba terdengar bunyi yang tak terduga berasa dari dalam sebuah kamar, “PRANGGG!!!”
“Javas!!!” teriak Indira.
Mereka bertiga berlari menuju si sumber suara, Haniel mengetuk keras-keras pintu itu, “Javas, kak Javas!!! Kakak kenapa?!!!” Haniel terus mengetuk pintu kamar Javas, kakaknya.
Indira berpikir keras, “Om, Haniel, mending kita dobrak aja!”
“Betul, kita dobrak saja Haniel.” Haniel dan papanya berusaha mendobrak pintu Javas. Dobrakan yang kedua kali akhirnya membuat pintu kamar Javas terbuka, terlihat pecahan kaca dan Javas yang tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.
“Javas!!!” Indira histeris melihat Javas tergeletak tidak berdaya.
“Indira, kamu telpon ambulance cepat!” suruh Haniel kemudian membantu papanya mengangkat Javas. Indira lalu menelpon rumah sakit meminta rumah sakit itu mengerahkan ambulancenya.
***
“Jelena mana sih, katanya ada barangnya yang tertinggal di kelas dan sekarang kita cek ke kelas dan dia nggak ada.” Amarah Tristan semakin sulit dikendalikan karena saking emosi dan khawatirnya terhadap Jelena.
“Apa jangan-jangan Jelena pulang karena kejadian yang tadi yah, mudah-mudahan dia tidak kenapa-napa karena aku melihatnya seperti gelisah.” Liora mulai mengingat gelagat aneh Jelena.
Jovan yang bingung melihat pacarnya yang diam terus dari tadi langsung menegurnya, “Sayang, kamu kenapa dari tadi diam terus? Kamu tenang aja, aku yakin Jelena nggak kenapa-napa.” Jovan mengelus pipi Liora berusaha menenangkannya.
Rachel juga bingung dengan alsan kenapa Jelena tiba-tiba menghilang seperti itu, “Emang Jelena tadi bilang dia mau ke mana nggak sih?”
“Dia cuma bilang tadi mau ke kelas Rachel walau sebenarnya aku yakin ada sesuaru yang terjadi,” jelas Janetta.
“Jovan, kita pergi nyariin Jelena yuk, aku takut terjadi apa-apa sama dia.” Liora bergetar menahan tangis, dia takut ada apa-apa sama Jelena. Jovan mengerti ketakutan Liora langsung mengiyakan kemauan pacarnya itu.
Mereka memutuskan mencari Jelena di jalur keluar kampus karena mungkin saja dia mau pulang tapi langkah kaki Yadi terhenti dengan muka kebingungan merogoh kantong, “Kenapa Yadi?” Rachel sendiri menangkap gerak-gerik aneh itu.
“Astaga, kunci mobil aku ketinggalan di tasnya Jelena, jangan-jangan dia…” Yadi langsung berlari ke area parkir. “Benar-benar anak itu!” geram Yadi.
“Dia beneran bawa lari mobil kamu, Di?! Jelena sebenarnya ada masalah apa sih?!” Rachel juga kaget ketika melihat mobil Yadi sudah nggak ada.
“Jovan, ayo cepat kita susul soalnya perasaan aku semakin nggak enak.” Liora menarik Jovan masuk ke mobilnya.
“Jovan, Jelena ke mana sih,” gumam Liora.
“Sabar sayang, Jelena pasti belum jauh dari kampus kita.” Mata Jovan lebih mengawasi jalan yang mereka susuri berharap ada Jelena di sana.
Kerumunan orang-orang dihadapannya membuat Liora semakin tidak mengerti, “Jovan, coba kamu berhenti dulu!”
Jovan akhirnya harus rem mendadak karena takut jika tidak segera berhenti maka Liora akan melompat dari mobil sementara Tristan jadi senewen karena rem mendadak Jovan, “Jovan gila yah pakai acara rem mendadak segala kayak gitu!”
“Kita turun aja yuk kayaknya ada yang rame juga di depan,” ajak Rachel.
Yadi yang kaget melihat keramaian itu mulai menyadari sesuatu dan tanpa aba-aba dia langsung berlari masuk ke dalam keramaian itu. Rachel sudah pasti kaget melihat Yadi tiba-tiba lari seperti itu, “Yadi!” Teman-temannya ikut berlari mengikuti Rachel dan Yadi. Ketika Rachel berhasil masuk ke kerumunan itu, dia malah menemukan Yadi sedang menggendong seorang gadis yang penuh luka keluar dari mobil yang ringsek dan tubuh Rachel terasa kaku melihat pemandangan itu tidak mampu membantu Yadi.
Liora berhasil memasuki kerumunan itu juga dan apa yang dilihatnya membuat dia semakin ketakutan, “Jelena!!!” Liora berlari membantu Yadi. Sementara Tristan membantu membukakan mobil untuk menaruh Jelena yang tidak sadarkan diri dan Janetta yang berhasil memapah Rachel yang terkena shock.
***
Javas terbangun, mengerang sebentar lalu melihat kesekitarnya, “Kak, akhirnya kakak siuman juga.” Indira menggenggam tangan Javas kuat, bersyukur karena Javas telah siuman.
“Vas, kata dokter kamu cuma kecapekan aja dan besok sudah bisa untuk pulang.” Papanya ikut senang melihat Javas sudah sadar.
“Pa, Javas pengen pulang ke Indonesia,” ujar Javas tiba-tiba.
“Tapi Vas…” Belum sempat papanya selesai bicara, tangannya langsung ditarik oleh Haniel.
Mereka berhenti di depan ruangan Javas, “Ada apa sih Haniel?”
“Haniel mau menerima perjanjian itu asal papa ijinin aku, kak Javas dan Indira untuk pulang ke Indonesia secepatnya.” Haniel serius dengan keputusannya itu. Papanya berpikir sebentar, tidak ada cara lain, papanya harus mengijinkan mereka kembali ke Indonesia agar Haniel mau menerima perjanjian itu dan ketakutan papanya selama ini segera berakhir.
Papanya menghela nafas sebentar lalu berbicara ke Javas, “Oke Vas, papa mengijinkan kamu kembali ke Indonesia besok. Papa minta kamu jaga kesehatan kamu, Indira dan Haniel papa tugaskan untuk terus memantau perkembangan Javas dan lapor ke papa.” Selesai menyampaikan hal itu, papanya pergi tanpa tambahan pembicaraan lagi.
Indira bingung melihat perubahan papanya Javas, biasanya papa Javas melarang Javas pergi jauh darinya, “Kamu kasih apaan tuh sama papa kamu sampai dia mau iyain permintaan Javas?” Haniel hanya tersenyum karena seperti biasa menurutnya senyuman itu akan menghilangkan semua kepahitan.
***
“Javas… Javas… Javas!!!” Sepertinya mimpi buruk membuat Jelena tersadar dari tidurnya.
“Jelena, kamu kenapa? Kenapa sampai teriakin nama Javas kayak gitu?” Liora sendiri pun kaget melihat Jelena.
“Ada apa sama Javas, Jelena?” tanya Rachel langsung to the point, dia yakin kalau Jelena bisa merasakan sesuatu yang terjadi sama Javas.
Jelena yang tidak mau Rachel khawatir sama keadaan Javas berusaha untuk berbohong, “Entahlah Rachel, tadi Jelena mimpiin Javas yang berjalan di depan Jelena tapi semakin lama dia semakin menjauh tapi tenang aja Rachel mungkin itu semua hanya bunga tidur.” Jelena tetap menenangkan Rachel walau kepalanya sudah dipenuhi dengan bayangan buruk tentang apa yang terjadi sama Javas.
Yadi yang baru datang dari membelikan makanan buat teman-temannya sangat senang melihat Jelena juga sudah sadar. Yadi duduk di samping Jelena dan memeluknya erat, entah kenapa pelukan itu membuat jantung Jelena bekerja lebih cepat. Yadi menyadari hal itu kemudian melepaskan pelukannya dari Jelena, “Kamu kenapa seperti itu sih, kamu tau kan kalau itu berbahaya buat kamu!” omel Yadi.
“Aku pengen tenangin diri aku, Di.” Jelena memberikan alasan bohong.
“Tapi bukan dengan melakukan hal seperti ini Jelena! Kamu bisa kan ngobrol sama kita-kita kalau kamu lagi ada dalam masalah!” Tristan juga ikut mengomeli Jelena, dia sangat takut kalau harus kehilangan sahabat lagi.
Jovan memukul belakang Tristan, “Udah Tan, kamu jangan marah-marah dulu, Jelena belum sembuh betul. Jelena, kalau kamu lagi ada masalah dan butuh kita untuk tenangin kamu langsung aja ngomong sama kita, jangan ngelakuin hal bodoh kayak gini lagi okey.”
“Udah kalian berdua, Jelena pasti masih butuh istirahat jadi nggak usah diajak ngobrol banyak dulu,” ujar Janetta. Liora membantu Jelena untuk beristirahat sementara Rachel masih memandang Jelena tidak percaya, dia yakin bahwa Jelena bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada Javas.
“Kalian baik-baik di Indonesia, Indira, Haniel, tolong jaga Javas dengan baik. Kalau ada apa-apa kayak kemarin, kamu langsung telpon papa yah.” Papa Javas dan Haniel kembali mengingatkan mereka.Penumpang yang menaiki pesawat menuju Indonesia sudah dipanggil. Javas, Haniel dan Indira langsung masuk ke pesawat itu sementara papanya juga langsung pulang tanpa melihat pesawat itu pergi. Harus diketahui bahwa papanya tidak pernah setuju dengan kembalinya mereka ke Indonesia tapi karena kesepakatannya dengan Haniel maka dia harus menelan mentah-mentah ketidaksukaannya itu.****Yadi bangun dari tidurnya, dia melihat Jelena dan Rachel yang lagi bersenda gurau. “Jelena, kamu udah baikan? Badannya udah nggak sakit-sakit lagi?” tanya Yadi sambil memeriksa keadaan Jelena.“Bagian kaki masih sakit tapi kalau seluruh badan udah baikkan kok.” Jelena tersenyum menandakan dia mulai baikan, tersimpan rasa bahagia dihatinya karena Yadi
Pagi yang terik, Indira terbangun dari tidurnya karena dikagetkan oleh matahari silau yang menyinari matanya. Cewek manis itu berjalan ke kamar Haniel yang berada tepat di samping kamar kakak sepupunya, Javas. Dilihatnya Haniel masih tertidur dengan pulasnya, “Sekarang emang jam berapa sih? Nih anak kok masih ngorok?” batin Indira. Dia akhirnya menuju ruang keluarga, dilihatnya mbok juga belum mempersiapkan sarapan sepertinya belum bangun juga. Indira memalingkan wajahnya ke jam yang terpampang di dinding ruang keluarga, “Ya ampun, dah pagi banget! Kok orang-orang di rumah belum pada bangun yah? Keasyikan tuh nonton bola sampai pagi, mbok ikut-ikutan juga lagi! Ehm… daripada aku sendirian di rumah belum ada orang bangun mending aku pergi jalan-jalan keluar.”Indira berlari-lari kecil menyusuri jalan di kompleks rumah sepupunya. Tiba-tiba dari arah berlawanan lewat sebuah motor ninja hitam sedikit menyerempet Indira sampai dia terjatuh. Motor itu
Javas tidak mengenali tempat itu bahkan mengunjunginya pun tak pernah tapi dengan cara apa dia sampai di tempat itu? Tempat itu hanya dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi dan lebat, sepertinya dia ada di hutan. Tidak ada hewan apalagi orang di sana, tiba-tiba dia merasa ada yang memegang pundaknya. Dia berbalik, tampak di depannya 2 orang gadis manis yang sangat dia kenal, dia adalah Rachel dan Indira. Dua cewek itu tersenyum manis ke arah Javas, mereka berdua lalu menarik tangan Javas masuk ke dalam hutan itu.Mereka menikmati kebersamaan mereka di tempat itu sampai tiba-tiba sebuah asap hitam menutupi mereka dan seseorang memukul belakang Javas. Setelah asap hitam itu hilang dia bangun dengan tertatih, sangat terasa sakit pukulan yang tadi diberikan kepadanya. Samar-samar dia mendengar suara seseorang berteriak minta tolong memanggil namanya, “Kak Javas, kak Javas tolong!!!” Dia langsung mencari sumber suara tersebut.Semakin lama dia semakin jauh masuk ke hu
Javas terbangun dari tidurnya, dia melihat sekitarnya dan samar-samar dia melihat wajah teman-temannya. Javas memegang kepalanya yang terasa pusing, dia ingin bangun tapi badannya sangat lemah. “Aku bantuin kak, badan kakak masih lemah kan.” Indira membantu Javas untuk menyender di tempat tidurnya.Javas masih mengusap kepalanya yang masih agak pusing, dia lebih memperhatikan teman-temannya yang sebenarnya dia bingung kenapa mereka semua bisa di sini, “Kalian?!”Jovan mendekat ke samping Javas dengan wajah penuh marah, “Bro, kamu sekarang anggap kita apasih, bukan sahabat kamu lagi?! Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu udah datang ke Indonesia?! Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi seperti ini?!”Liora langsung mengelus punggung kekasihnya itu, “Sabar Van… Javas baru sadar, kamu jangan langsung marah-marah gitu dong!” Javas menunduk, tak mampu dia menatap teman-temannya.“Jovan pantas kok
Matahari cerah menghiasi langit pagi itu dan terlihat rumah besar itu sudah penuh dengan hiruk pikuk. “Mbok, baju Indira yang Indira taro di ruang laundry udah selesai mbok setrika yah? Indira cariin lagi kok udah nggak ada?” teriak Indira dari dalam ruang laundray rumah itu.Haniel juga buru-buru turun dari lantai dua kamarnya, sampainya di meja makan dia juga malah ikutan teriak, “Mbok, sarapan belum dibikinin yah? Kalau belum nggak usah bikin sarapan buat Haniel deh, Haniel makan di sekolah aja nanti.”Javas yang duduk di meja makan sedang menikmati bacaan buku paginya jadi agak terganggu mendengar 2 adik-adiknya ini teriak-teriak, “Kalian kenapa sih ribut banget kayak gitu?!” tegurnya. Indira yang dari tadi pulang balik mencari perlengkapan kuliahnya dan Haniel yang mulai teriak-teriak nyariin pak Tarno untuk antar dia ke sekolah akhirnya terdiam. Habisnya kalau Javas sudah dalam mode tegas dan kesal seperti itu akan sangat memba
Nugraha dan Yuri sampai di rumahnya, rumah itu terlihat sepi karena hanya mereka dan 3 pembantu serta 1 supir yang ada di rumah itu. Yuri duduk di sofa ruang tamunya, dia merasa lelah padahal ini baru hari pertamanya bersekolah lagi. Nugraha datang dari dapur dengan membawa 2 botol air mineral dingin dari kulkas, “Kamu kelihatan capek banget, emang ngapain aja tadi di sekolah?” tanya Nugraha setelah mengoper botol air minum itu ke adiknya.Yuri dengan sigap menangkap air minum yang dilemparkan kakaknya, “Nggak kok kak, namanya baru masuk sekolah lagi setelah seminggu libur. Otak sama tenaganya dipakai lagi jadi pasti capek.” Keke memperhatikan kakaknya yang tengah bermain hp. Tiba-tiba sebuah kejadian terlintas kembali di ingatannya, “Tadi kenapa kakak berhenti? Kakak kenal sama orang yang ada di dalam mobil itu?”Nugraha terdiam, dia tidak menyangka kalau adiknya ternyata memiliki ingatan dan penglihatan yang tajam, “Kakak pik
Javas sudah selesai berpakaian begitu pun dengan Haniel tapi anehnya Indira belum juga bangun, “Haniel, kamu belum bangunin Indira dari tadi?” tanya Javas ke adenya itu.“Udah.” Hanya itu saja yang mampu keluar dari mulut Haniel, dia tidak bisa bicara banyak karena mulutnya penuh dengan roti. Javas segera menyelesaikan sarapannya lalu berjalan menuju kamar Indira.“Indira, Indira, bangun dek.” Javas memanggil lembut Indira sambil mengelus pipinya.Indira bergerak sedikit lalu membuka matanya, “Kak Javas udah enakan?” tanya Indira ketika melihat ternyata Javas yang membangunkannya. Javas hanya tersenyum tapi itu sudah menandakan bahwa dia sudah lebih baik. Indira berusaha bangun tapi kepalanya sakit sekali, dia memegang kepalanya dan bersandar di tempat tidurnya.“Kamu kenapa ra, kepalanya sakit?! Kalau sakit mending nggak usah masuk kampus dulu yah nanti kakak bilangin ke teman kelas kamu biar diijinin
Sekolah sudah hampir sepi tapi Jovita, Haniel dan Yuri masih di ruang musik karena ada eskul musik. Setelah agak lama akhirnya mereka pulang, Haniel belum menyerah untuk menanyakan apa masalah Yuri dengannya, “Yuri, tunggu bentar!” panggil Haniel sambil memegang tangan Yuri.“Apa sih Haniel, tolong, aku lagi males banget bertengkar sama kamu!” Yuri berusaha melepaskan genggaman tangan Haniel dari tangannya. Sangat kelihatan kalau Yuri sebenarnya sudah sangat lelah dengan aktivitas setengah hari ini.Haniel menatap Yuri dalam, “Aku cuma ingin tau kamu kenapa Yuri, kamu kenapa tiba-tiba marah sama aku? Kamu kenapa tiba-tiba hindari aku tanpa penjelasan apapun karena aku rasa kemarin kita masih baik-baik aja kan?! Bilang sama aku apa yang salah Ri, supaya aku tau dan aku bisa rubah!”Yuri menunduk, dia nggak sanggup melihat tatapan Haniel, “Aku lagi bad mood dan lagi nggak pengen ketemu kamu atau bicara sama kamu! Ini cuma
Javas berjalan lesu ke ruang tempat kumpulnya, dia menaruh tasnya di kursi kemudian terduduk menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Dia sangat lelah dengan aktivitasnya hari ini, ditambah masalah sahabatnya yang belum selesai. Dia terduduk dan bersandar di kursinya, dia masih malas untuk pulang di rumah, tidak akan membuat dia berhenti memikirkan tentang sahabat-sahabatnya ini. Tiba-tiba Rachel juga masuk dengan muka yang kusut, dia juga capek dengan semua masalahnya hari ini. Javas teringat sesuatu yang ingin dia bicarakan ke Rachel akhirnya dia mendekati Rachel, Rachel yang merasa di dekati Javas langsung berbalik ke Javas. “Ada apa, Vas?” tanyanya.“Aku dengar pembicaraan kamu sama Indira di rumah sakit…” ujar Javas perlahan.Rachel tersenyum, “Aku sudah menduga kalau kamu mendengar semua pembicaraan kami.”Javas menatap Rachel dalam, “Kenapa kalian harus ikut dalam permasalahan ini, Chel? Biarkan aku yang
Ruangan yang tadinya ramai itu sekarang terlihat sangat sepi, semua masih memikirkan bagaimana nasib pertemanan mereka selanjutnya. Liora dan Tristan terlihat paling murung di antara mereka semua, bagaimana tidak? Setelah kejadian di mall kemarin, kurang lebih sudah 4 hari Janetta dan Jovan tidak terlihat di kampus. Liora jadi sering melamun bahkan menangis sendiri, dia selalu berharap kalau Jovan datang dan menerima permintaan maafnya, dia tau kalau dia juga salah karena tidak pernah memberitahukan ke Jovan kalau dia diberikan surat nggak penting itu.#Tristan pun sama, dia ingin Janetta datang dengan gaya cueknya dan duduk di sampi
Javas turun dari kamarnya sehabis bangun tidur, dia memperhatikan teman-temannya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia bosan dengan teman-temannya kalau sedang acuh nggak acuh seperti ini, dia berbalik dan mendapati sebuah grand piano putih miliknya. Dia berjalan mendekati piano itu dan mengelusnya, sudah lama sekali dia tidak memainkan piano ini. Dia mencari seseorang yaitu Jelena dan mendapati Jelena sedang membaca. Javas mendekati Jelena dan membisikkan sesuatu di telinga Jelena sementara yang lain tidak terlalu memperhatikan karena masih sibuk dengan aktivitas masing-masing. Jelena mengangguk senang lalu mengikuti Javas, Jelena duduk di samping Javas dan Javas mulai memencet tuts piano itu.
Yadi dan Jelena memasuki ruang UGD tempat Javas dan Rachel dirawat karena tidak sadarkan diri. Yadi dan Jelena bergabung dengan teman-temannya, “Rachel sama Javas kenapa sih, Van?” Yadi mencoba meminta penjelasan ke Jovan.“Kalian dari mana aja sih emang?! Rachel sama Javas habis digebukin sama seseorang yang nggak dikenal.” Jovan memberikan penjelasan ke Yadi.Yadi menatap keadaaan Rachel sedih, “Kami berdua dari rumah aku, Yadi nyusulin ke rumah karena nggak ketemu sama aku di tempat les soalnya aku pulang bareng temanku. Kamu tau Van, siapa yang gebukin mereka sampai kayak begini?” Jelena ikut nimbrung dalam pembicaraan Yadi dan Jovan.Jovan menggeleng pelan, dia betul-betul tidak melihat siapa orang yang memukul Javas sampai seperti ini, “Mungkin Indira tau karena dia yang pertama kali temuin Rachel dan Javas di gudang.” Janetta juga ikut nimbrung. Mereka semua pun terdiam, akhir-akhir ini sudah banyak kali mer
Nugraha sudah selesai dengan segala urusan perkampusannya dan siap-siap untuk pulang. Tiba-tiba seseorang mendatanginya, “Aku mau bicarain sesuatu sama kamu tapi nggak di sini,” ujar Clement setengah berbisik. Nugraha mengangguk kemudian mengikuti Clement menuju markas besar mereka.“Ada apa sih, Ment?” tanya Nugraha ketika mereka sudah tiba di markas.“Aku ingin memberikan peringatan pertama ke Javas lewat seseorang yang sudah aku jadikan target, ini orangnya.&rd
“Apa maksud Nugraha dengan mengatakan kalau aku adalah Rahmi keduanya? Apa aku gadis yang dia maksud masuk ke dalam kehidupannya dan akhirnya mulai melupakan rasa sakitnya karena kehilangan Rahnmi?” Pertanyaan itu terus membayangi pikiran Indira. Akibat memikirkan hal itu, Indira sampai kurang tidur semalam dan berujung dia jadi lemas dan ngantuk.Javas memperhatikan adik sepupunya itu dari kaca spion depan mobilnya, “Kamu nggak enak badan lagi yah, Ra? Kalau iya biar aku antar Rachel sama Haniel dulu terus kita putar balik ke rumah biar kamu istirahat di rumah,” suruh Javas.Indira menggeleng, sepertinya pemikiran Indira akan bertambah kalau dia sendirian di rumah tapi kalau dia bertemu dengan teman-teman kelasnya mungkin dia bisa melupakan sebentar mengenai Nugraha. “Aku nggak apa-apa kok kak, semalam aku kurang tidur makanya ngantuk.” Indira memutuskan menolak permintaan Javas.Mereka akhirnya sampai di kampus setelah
“Berhenti di sini aja Ga, itu rumah aku.” Indira menunjuk rumahnya yang agak besar dan megah.Nugraha memberhentikan mobilnya kemudian mulai memperhatikan rumah itu, “Kamu tinggal di sini sama siapa Ra, kelihatannya sepi banget?” tanya Nugraha ketika mendapatkan satu kesimpulan bahwa rumah sebesar ini tidak mungkin hanya Indira seorang di dalamnya.“Aku tinggal sama sepupu-sepupu aku, om aku tinggalnya di luar negri jadi yang jagain kamu di sini cuma satu pembantu dan supir. Sepupu aku satunya sekampus sama aku tapi masih tinggal nonton tadi sementara sepupu aku yang satu lagi masih sekolah SMA.” Indira menjelaskan panjang lebar.“Tante kamu mana? Terus kenapa kamu nggak tinggal sama mama dan papa kamu?” tanya Nugraha lagi setelah dia merasa masih ada yang kurang.Wajah Indira berubah sedih, “Tante meninggal sejak aku umur 3 tahun karena penyakit kanker. Sedangkan papa sama mama aku cerai sejak aku lah
Hari ini ada pertandingan basket antar kampus Javas cs dan semua mahasiswa/wi kampus sudah memenuhi lapangan basket. Hal ini semakin ramai karena mereka tau kalau kampus mereka menjadi tuan rumah dalam pertandingan basket ini. Javas cs sudah berkumpul di tempat berkumpul para pemain, kebetulan Jovan adalah salah satu pemain dalam tim basket kampus mereka, “Please guys, masalah kemarin jangan membuat kita pada loyo yah buat mendukung Jovan, lupain aja dulu. Kamu juga Van, nggak usah kepikiran yah, kamu harus fokus mainnya, tetap tenang dan buat tim kampus kita menang.” Javas berusaha menyamangati teman-temannya.Yadi datan
Haniel sampai di depan rumah Jovita, tanpa basa-basi lagi dia langsung mengetuk pintu rumah itu. “Eh den Haniel toh, ada apa den?” Seseorang membuka pintu itu yang ternyata adalah pembantu Jovita.“Jovitanya udah pulang kan, bi?” tanya Haniel.“Loh, belum kok den, emang ada apa yah, den?” tanya bibi itu lagi.Haniel terdiam, seharusnya Jovita sudah ada di rumah kalau pulang sejak pagi tadi lalu ke mana Jovita? Haniel menggeleng, sebaiknya dia tidak menambah kepanikan, “Enggak kok bi, Haniel permisi pulang dulu yah, bi. Kalau Jovitanya udah pulang minta tolong sampaikan kalau Haniel tadi nyariin dia,” ujar Haniel lalu pergi meninggalkan rumah Jovita.Haniel berpikir keras, “Jovita ke mana sih sampai sekarang belum pulang?!” batin Haniel. Tiba-tiba pikiran dia tertuju ke satu tempat, “Apa mungkin Jovita ada di sana? Aku cek aja nggak ada salahnya kan.” Haniel bergegas pergi ke tempat ya