“Kalian baik-baik di Indonesia, Indira, Haniel, tolong jaga Javas dengan baik. Kalau ada apa-apa kayak kemarin, kamu langsung telpon papa yah.” Papa Javas dan Haniel kembali mengingatkan mereka.
Penumpang yang menaiki pesawat menuju Indonesia sudah dipanggil. Javas, Haniel dan Indira langsung masuk ke pesawat itu sementara papanya juga langsung pulang tanpa melihat pesawat itu pergi. Harus diketahui bahwa papanya tidak pernah setuju dengan kembalinya mereka ke Indonesia tapi karena kesepakatannya dengan Haniel maka dia harus menelan mentah-mentah ketidaksukaannya itu.
****
Yadi bangun dari tidurnya, dia melihat Jelena dan Rachel yang lagi bersenda gurau. “Jelena, kamu udah baikan? Badannya udah nggak sakit-sakit lagi?” tanya Yadi sambil memeriksa keadaan Jelena.
“Bagian kaki masih sakit tapi kalau seluruh badan udah baikkan kok.” Jelena tersenyum menandakan dia mulai baikan, tersimpan rasa bahagia dihatinya karena Yadi memperhatikannya. Melihat senyum Jelena, hati Yadi merasa tenang karena dia yakin memang Jelena sudah baikan.
Rachel memperhatikan jam tangannya dan kemudian terkaget, “Yadi, Jelena, aku pulang dulu yah, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku yah.” Rachel ingin beranjak tapi ditahan lagi oleh Yadi.
“Aku antar yah.” Yadi memandang Rachel tulus.
“Nggak usah Di, itu ada Tristan, kalau kamu pergi terus yang jagain Jelena siapa? Kamu jagain Jelena aja nanti kalau ada apa-apa ingat yang hubungi aku.” Rachel langsung menarik tangan Tristan sementara Tristan yang baru datang sudah pasti bingung dengan Rachel yang tiba-tiba menariknya. Rachel tau kalau Tristan pasti akan marah kalau dia terus membawa Tristan tanpa sebab jadi sebelum amarah Tristan meledak dia langsung menarik Tristan keluar.
Rachel terus menarik tangan Tristan sampai ke tempat parkir rumah sakit. Tristan yang juga ditarik paksa akhirnya menarik tangannya, “Ngapain sih Rachel, sakit tau nggak ditarik gini! Kamu ngapain juga sih, kan aku bisa jalan sendiri!” gerutu Tristan sudah tak dapat ditahan lagi.
Seperti dengan dugaan Rachel sebelumnya sudah pasti Tristan marah, “Tolong dong Tan anterin aku pulang ke rumah soalnya ada kerjaan yang musti aku selesain.” Rachel memberikan muka memelasnya.
“Lah kan ada Yadi tadi di dalam, lagian kerjaan apa sih Rachel? Perasaan kamu baru dua minggu di sini udah ada yang tawarin endorse apa?”
Ucapan Tristan membuat Rachel tersenyum, Rachel memang suka mengendorse barang-barang jualan temannya dulu sebelum dia memutuskan pergi ke Jogja. Entah itu makanan atau barang karena kata teman-temannya wajah Rachel seperti model, “Kamu nggak lihat tadi nggak ada yang jagain Jelena? Masa Jelena ditinggalin sendirian emang kamu mau? Lagian aku juga bukan mau ngerjain endorse tapi ahh… udahlah makin lama ngejelasinnya makin lama juga aku nyampe rumah!” Tristan juga merasa lucu melihat wajah kebingungan Rachel kayak begini dan karena tidak mau berlama-lama dengan bawelnya Rachel, dia pun memutuskan meninggalkan rumah sakit itu secepatnya.
Tak lama mobil Tristan sampai depan rumah Rachel, “Udah sampai putri bawel,” ujar Tristan.
“Thank you yah Tan, kalau kamu nggak ada kerjaan temenin Yadi sana jagain Jelena. Nanti kalau ada apa-apa langsung calling aku yah!”
“Iya, aku juga sekalian mau jemput Janetta dulu deh katanya dia udah selesai latihan dancenya. Hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa langsung telpon kita-kita.” Tristan melambaikan tangannya ke arah Rachel dan langsung melajukan mobilnya.
Rachel terus memperhatikan mobil Tristan sampai menghilang dibelokan kemudian memutuskan untuk masuk rumah. Namun pada saat bersamaan terdengar suara mobil dinyalakan di rumah sebelahnya dan tak lama keluarlah mobil pemilik rumah sebelah yang sangat Rachel kenali beserta supir yang juga sangat dikenalinya. Jujur Rachel sangat bingung karena sudah sekian lama pak Tarno, supir sahabatnya itu tidak pernah keluar dari rumah sahabatnya memakai mobil tuannya, “Pak Tarno tumben banget keluar pakai mobil, biasanya dia keluar pakai motor karena nggak ada siapa-siapa di rumah sebelah. Apa ada orang di rumah sebelah atau pak Tarno mau ngejemput seseorang?”
Rachel terus tenggelam dalam pikirannya sampai tidak sadar kalau bibinya terus memanggilnya, “Non, non Rachel.”
“Eh bibi, ngapain di luar, ayo masuk.” Sambil terus memandang sebelah rumahnya Rachel masuk ke dalam rumahnya.
***
Indira berlari keluar dari dalam bandara, merasakan udara disekitarnya, “Wah… kangen juga sama udaranya Jakarta. Udah lama nih aku nggak pernah ke Jakarta, kira-kira udah 5 tahun.” Indira mengingat-ingat kapan dia terakhir datang ke Jakarta.
Haniel tertawa melihat tingkah laku Indira, “Nggak usah terlalu heboh lah kak Indira, Jakarta juga masih sama aja kayak gini sejak kita tinggalin 2 tahun yang lalu.”
“Apaan sih Haniel, nggak bisa banget lihat orang senang! Pak Tarno mana Javas, udah di telpon kan?” Indira mengalihkan pembicaraan, malas beradu mulut dengan Haniel.
Javas terdiam tidak membalas pertanyaan Indira tapi dia tetap melihat sekelilingnya dan kemudian matanya menangkap seseorang yang dikenalinya, “Itu pak Tarno.”
Pak Tarno datang tergopoh-gopoh, “Aduh maaf non Indira, tuan Javas dan tuan Haniel, pak Tarno telat soalnya di jalan macet banget.”
“Udah nggak apa-apa pak, minta tolong diangkat barang-barangnya.” Javas membantu pak Tarno mengangkat barang-barang mereka dan setelah barang-barang masuk, mereka semua juga naik ke mobil.
Tak butuh waktu lama mereka sampai di kediaman Javas, Indira dan Haniel yang memang sudah capek langsung masuk ke rumah. Javas langsung menemui pak Tarno dan membantunya membawa sedikit barang-barang mereka, “Pak, nggak ada teman-teman aku yang tau kan kalau aku mau datang ke sini?”
“Iya tuan Cuma saya dan mbok yang tau kalau tuan mau pulang ke Indonesia sesuai dengan suruhan tuan,” tukas pak Tarno.
“Makasih yah pak Tarno, saya Cuma ingin beristirahat sebentar di rumah jadi saya rasa tidak perlu memberitahukan kedatangan saya.” Javas pergi membawa barangnya diiringi tatapan bingung dari pak Tarno.
Sementara disamping rumahnya, seorang cewek cantik tertidur di meja belajarnya dengan kertas-kertas yang berserakan. Dia tidak mendengar bahwa ada tamu istimewa yang datang mengisi rumah disebelah rumahnya.
***
“Indira bangun, Indira!” Javas berusaha mengguncang badan Indira yang sepertinya tengah tidur mati.
Indira yang masih ngantuk sudah pasti akan menyemprot kakaknya itu, “Apaan sih kak Javas, Indira masih ngantuk!” Haniel sendiri tertawa melihat adegan itu.
“Kakak mau ke rumah oma, kamu mau ikut nggak? Haniel nggak mau ikut soalnya dia masih capek.”
Indira duduk dan menatap Javas lesu, “Malas ah kak, Indira juga masih capek ini, lagian kak Javas mau sampai kapan di sana?”
“Ya udah kalau kalian nggak mau ikut, jaga diri baik-baik yah di rumah. Ingat, jangan terlalu sering keluar rumah, kamu belum kenal banyak orang-orang di sini, nanti malah ketemu sama orang jahat. Aku di sana Cuma 3 hari jadi usahakan dalam 3 hari itu jangan bikin masalah dan jangan sampai ada yang lihat kalian masuk dalam rumah ini karena di sini banyak teman-teman kakak, kakak nggak pernah bilang sama mereka kalau kakak balik ke Indonesia.” Javas mengingatkan Indira sekaligus Haniel.
“Emangnya kenapa sih kak?” tanya Indira yang bingung.
“Karena nggak ada alasannya, udah ikutin aja perintah kakak. Kakak berangkat dulu yah, ingat juga jangan susahin mbok sama pak Tarno.” Javas melangkah keluar diikuti Indira dan Haniel.
Dibawah ada pak Tarno dan mbok yang sudah menyiapkan barang-barang yang mau dibawah Javas. “Mau disopirin tuan?” pak Tarno memasukkan barang-barang Javas.
“Nggak usah pak, saya lagi kangen sama jalan Jakarta jadi mau nyetir sendiri. Ya udah saya berangkat dulu, Indira sama Haniel ingat yah pesan kakak tadi.” Javas mulai menyalakan mesin mobil.
Indira langsung teringat sesuatu, “Kak Javas!” teriakan Indira membuat Javas berbalik ke arahnya. “Ingat juga kalau ada apa-apa langsung hubungin Indira atau Haniel dan jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh, Indira nggak mau temuin barang aneh di mobil kak Javas pas pulang!” Javas tersenyum melihat sepupu cantiknya itu, dia sangat tau apa yang Indira bicarakan. Javas masuk ke mobilnya dan melesat pergi diiringi lambaian tangan orang-orang di rumahnya.
Sementara di rumah sebelah ada Janetta yang tengah duduk santai di depan rumah Rachel sambil menunggu Rachel yang sedang siap-siap. Tiba-tiba matanya dikejutkan oleh mobil yang keluar dari sebuah rumah besar samping rumah Rachel yang menurut dia lagi tidak ada penghuninya. Rachel yang kebetulan sudah selesai bersiap-siap memperhatikan mobil itu juga. Dia duduk di samping Janetta dan memukul pundak Janetta yang tengah melamun, “Eh Rachel, udah selesai?” cetus Janetta yang melihat Rachel sudah ada disampingnya.
“Kok bengong, ada apa?” Rachel sebenarnya mengerti apa yang dilamunkan Janetta tapi dia ingin pura-pura bodoh saja.
“Tadi aku lihat mobil Javas keluar dari rumahnya, yah aku agak bingung juga karena hampir bertahun-tahun mobil itu nggak pernah dipakai lagi sejak Javas pergi.”
“Sebenarnya aku lihat mobil yang sama keluar juga kemarin dan yang ngendarain pak Tarno. Aku bingung aja ada urusan apa pak Tarno bawa mobilnya Javas padahal selama ini pak Tarno kalau keluar nggak pernah pakai mobil itu.” Rachel kembali mengingat-ingat kejadian kemarin.
Janetta melihat wajah Rachel yang berubah murung, dia takut kalau Rachel malah nangis nanti, “Udahlah Rachel nggak usah dipikirin, kali aja papanya Javas lagi suruh sesuatu ke pak Tarno. Kita mending ke rumah sakit sekarang yuk, anak-anak pasti udah tungguin.” Janetta segera menarik tangan Rachel ke mobil Rachel.
***
Setelah agak lama diperjalanan, mobil Javas lalu berbelok masuk ke sebuah kompleks. Sedang asyik-asyiknya Javas mendengar lagu, tiba-tiba ada sepeda melintas di depan mobilnya. Secepatnya Javas mengerem mobilnya namun depan mobilnya kayaknya sudah mengenai sepeda sekaligus pengendaranya. Javas dengan sigap keluar dari mobilnya kemudian berlari mengecek siapa yang dia tabrak. Ternyata seorang cewek lagi terduduk di depan mobilnya sambil meringis kesakitan, “Kamu nggak apa-apa?!”
Cewek itu memandang Javas sebentar, “Nggak apa-apa kok, kakinya aja yang agak keseleo dikit.” Cewek itu menunduk dan memegangi kakinya yang sakit.
“Kalau gitu tunggu sebentar.”
Javas berdiri dan mengangkat sepeda cewek itu. Cewek itu kaget dan langsung meneriaki Javas, “Sepeda aku mau kamu bawa ke mana?!”
Javas hanya berbalik sebentar, “Udah kamu diam aja di situ, sepeda kamu nggak bakalan aku curi kok.” Javas berjalan kembali, membuka bagasi dan memasukkan sepeda cewek itu.
Setelah itu, dia mendatangi cewek itu dan berusaha mengangkatnya, “Eh, kamu mau ngapain sih?! Lepasin nggak!” Cewek itu meronta-ronta.
“Kamu mau dibantuin apa nggak sih?! Emang bisa jalan sendiri ke mobilku?! Katanya kaki kamu sakit jadi udah diam aja biar aku yang gendong!” Javas langsung menggendong cewek itu sedangkan cewek itu terdiam memandang wajah Javas. Javas lalu mendudukkan cewek itu di depan dan dia langsung masuk ke mobil dan kemudian melajukan mobilnya.
Sedari tadi cewek itu terus-menerus memandang Javas, “Aku pikir tadi cowok ini bakalan ninggalin aku, ternyata dia baik banget tapi kayaknya dia bukan orang sini deh soalnya aku nggak pernah lihat muka kayak gini di sekitar sini,” batin cewek itu, dia senyum-senyum sendiri.
Javas bingung melihat cewek itu yang senyum-senyum sendiri, “Ada yang lucu sampai senyum-senyum kayak gitu?” Cewek itu hanya menggeleng lalu menunduk, tidak berani melihat Javas yang menatapnya tajam. “Aku mau antar ke mana nih? Rumah kamu di mana?” tanya Javas lagi. “Mana rumah oma udah lewat lagi, ya udahlah nanti bisa balik lagi,” batin Javas.
“STOP!!!” teriak cewek itu.
Javas yang kaget langsung mengerem mendadak, takutnya ada yang ketabrak lagi, “Kenapa sih musti teriak-teriak?! Bikin kaget tau nggak!” gertak Javas.
“Habis dari tadi dah disuruh berhenti tapi nggak mau berhenti, rumahnya udah lewat tuh!” balas cewek itu marah juga.
Javas kaget ketika cewek itu menunjuk rumahnya yang dia lewati, “Kamu tinggal di dekat rumah oma aku?!” tanyanya sambil memundurkan mobilnya kembali ke rumah yang ditunjuk cewek itu.
Cewek spontan kaget mendengar perkataan Javas, “Kamu cucunya oma hana?! Aku sering tuh main ke rumahnya tapi nggak tau kalau dia punya cucu di sini, katanya semua pada di luar negeri?”
Tak ada satupun pertanyaan cewek itu yang dijawab oleh Javas, dia langsung memarkirkan mobilnya di depan rumah omanya, “Kita udah sampai.” Javas langsung turun dan membuka pintu tempat cewek itu duduk.
Terlihat oma Javas dan perempuan yang sudah agak lansia keluar dari rumah oma nya, “Javas, kamu kapan datangnya? Kok bisa datang sama Tiara?” Omanya sudah pasti bingung karena cucunya datang bersama cewek yang dia juga kenali. Mereka lebih bingung lagi karena Javas terus terdiam dengan Tiara digendongannya. “Javas, coba dong jelasin ke oma kenapa kamu bisa ke sini sama Tiara dan kenapa sampai Tiara digendong-gendong seperti itu?”
“Javas ke sini nggak sama dia oma, tadi Javas nggak sengaja nabrak dia di depan jalan sana. Oh iya tunggu bentar aku ambilin sepeda kamu.” Javas kembali ke mobilnya untuk mengambil sepeda cewek itu dan membawanya masuk ke dalam.
“Makasih yah,” ucap cewek itu lalu tersenyum.
Perempuan itu yang ternyata adalah mama cewek itu langsung mendatanginya dan memeriksa badan-badan anaknya, “Tiara, kamu nggak apa-apakan sayang? Ada lagi yang luka selain kaki kamu?” Cewek itu hanya menggeleng sambil tersenyum, berusaha menenangkan mamanya. “Yah udah, mama bikinin minum dulu yah, Javas mau minum apa?” tanya mama Tiara.
Javas menggeleng, “Nggak usah tante,” jawabnya seadanya.
“Yah udah kalau gitu mama sama oma masuk dulu ke dalam, kita mau coba resep kue baru soalnya.” Mama Tiara dan oma Javas menuju ke dapur rumah Tiara. Tinggal Javas dan Tiara yang masih diam-diaman, Javas yang bosan dengan keadaan itu akhirnya memulai pembicaraan, “Jadi nama kamu Tiara, aku Javas.” Javas menyodorkan tangannya.
Tiara menerima uluran tangan Javas, “Kamu cucu oma hana? Katanya kamu tinggal di luar negri?”
“Aku baru pulang dari London 2 hari yang lalu, niatnya Cuma mau datang liburan dan karena kangen juga sama oma.”
“London yah, aku rasa walau kita sama-sama baru dari luar negeri sepertinya tetap tidak akan bisa bertemu. Aku baru 2 bulan balik ke Indonesia, selama ini aku tinggal di Swiss bareng papa. Sayang banget kamu nggak menetap di sini jadi kamu Cuma berapa hari di Bandung?” tanya Tiara lagi.
“Rencana Cuma 3 hari di Bandung tapi rencana untuk liburan di Indonesia aku belum tau mau sampai kapan.” Suara Javas memelan, ada perasaan dalam dirinya untuk tidak lagi meninggalkan Indonesia tapi otaknya berusaha mengingatkannya untuk tetap kembali demi kebahagiaan orang banyak.
Tiba-tiba omanya keluar dari rumah Tiara, “Vas, kamu nggak capek sayang? Kalau capek mending pulang aja ke rumah, rumahnya nggak oma kunci kok.” Javas langsung berdiri,
“Kalau begitu aku balik dulu Tiara, maaf yah soal kejadian tadi dan kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan aku.” Javas berjalan menjauh dari rumah Tiara.
Bibir Tiara mengulas senyum memandang Javas, “Apa aku terlampau egois yah kalau berharap dia nggak bakalan balik ke luar negri dan tetap tinggal di Indonesia? Apa aku agak memaksa kalau aku bilang kalau dia adalah cowok ideal menurut aku?” Senyum Tiara merebak di wajahnya.
Mamanya yang keluar ingin melihat keadaan anaknya malah bingung sendiri karena anaknya senyum-senyum seperti itu, “Senyum-senyum gitu ada apa sih sayang?” tanya mamanya. Tiara menggeleng, sepertinya belum saatnya dia bilang ke mamanya kalau dia menyukai cucu oma Hana itu. Mamanya diam sebentar lalu mengelus lembut kepala Tiara, “Yah udah, sini mama bantuin masuk ke dalam.”
Pagi yang terik, Indira terbangun dari tidurnya karena dikagetkan oleh matahari silau yang menyinari matanya. Cewek manis itu berjalan ke kamar Haniel yang berada tepat di samping kamar kakak sepupunya, Javas. Dilihatnya Haniel masih tertidur dengan pulasnya, “Sekarang emang jam berapa sih? Nih anak kok masih ngorok?” batin Indira. Dia akhirnya menuju ruang keluarga, dilihatnya mbok juga belum mempersiapkan sarapan sepertinya belum bangun juga. Indira memalingkan wajahnya ke jam yang terpampang di dinding ruang keluarga, “Ya ampun, dah pagi banget! Kok orang-orang di rumah belum pada bangun yah? Keasyikan tuh nonton bola sampai pagi, mbok ikut-ikutan juga lagi! Ehm… daripada aku sendirian di rumah belum ada orang bangun mending aku pergi jalan-jalan keluar.”Indira berlari-lari kecil menyusuri jalan di kompleks rumah sepupunya. Tiba-tiba dari arah berlawanan lewat sebuah motor ninja hitam sedikit menyerempet Indira sampai dia terjatuh. Motor itu
Javas tidak mengenali tempat itu bahkan mengunjunginya pun tak pernah tapi dengan cara apa dia sampai di tempat itu? Tempat itu hanya dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi dan lebat, sepertinya dia ada di hutan. Tidak ada hewan apalagi orang di sana, tiba-tiba dia merasa ada yang memegang pundaknya. Dia berbalik, tampak di depannya 2 orang gadis manis yang sangat dia kenal, dia adalah Rachel dan Indira. Dua cewek itu tersenyum manis ke arah Javas, mereka berdua lalu menarik tangan Javas masuk ke dalam hutan itu.Mereka menikmati kebersamaan mereka di tempat itu sampai tiba-tiba sebuah asap hitam menutupi mereka dan seseorang memukul belakang Javas. Setelah asap hitam itu hilang dia bangun dengan tertatih, sangat terasa sakit pukulan yang tadi diberikan kepadanya. Samar-samar dia mendengar suara seseorang berteriak minta tolong memanggil namanya, “Kak Javas, kak Javas tolong!!!” Dia langsung mencari sumber suara tersebut.Semakin lama dia semakin jauh masuk ke hu
Javas terbangun dari tidurnya, dia melihat sekitarnya dan samar-samar dia melihat wajah teman-temannya. Javas memegang kepalanya yang terasa pusing, dia ingin bangun tapi badannya sangat lemah. “Aku bantuin kak, badan kakak masih lemah kan.” Indira membantu Javas untuk menyender di tempat tidurnya.Javas masih mengusap kepalanya yang masih agak pusing, dia lebih memperhatikan teman-temannya yang sebenarnya dia bingung kenapa mereka semua bisa di sini, “Kalian?!”Jovan mendekat ke samping Javas dengan wajah penuh marah, “Bro, kamu sekarang anggap kita apasih, bukan sahabat kamu lagi?! Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu udah datang ke Indonesia?! Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi seperti ini?!”Liora langsung mengelus punggung kekasihnya itu, “Sabar Van… Javas baru sadar, kamu jangan langsung marah-marah gitu dong!” Javas menunduk, tak mampu dia menatap teman-temannya.“Jovan pantas kok
Matahari cerah menghiasi langit pagi itu dan terlihat rumah besar itu sudah penuh dengan hiruk pikuk. “Mbok, baju Indira yang Indira taro di ruang laundry udah selesai mbok setrika yah? Indira cariin lagi kok udah nggak ada?” teriak Indira dari dalam ruang laundray rumah itu.Haniel juga buru-buru turun dari lantai dua kamarnya, sampainya di meja makan dia juga malah ikutan teriak, “Mbok, sarapan belum dibikinin yah? Kalau belum nggak usah bikin sarapan buat Haniel deh, Haniel makan di sekolah aja nanti.”Javas yang duduk di meja makan sedang menikmati bacaan buku paginya jadi agak terganggu mendengar 2 adik-adiknya ini teriak-teriak, “Kalian kenapa sih ribut banget kayak gitu?!” tegurnya. Indira yang dari tadi pulang balik mencari perlengkapan kuliahnya dan Haniel yang mulai teriak-teriak nyariin pak Tarno untuk antar dia ke sekolah akhirnya terdiam. Habisnya kalau Javas sudah dalam mode tegas dan kesal seperti itu akan sangat memba
Nugraha dan Yuri sampai di rumahnya, rumah itu terlihat sepi karena hanya mereka dan 3 pembantu serta 1 supir yang ada di rumah itu. Yuri duduk di sofa ruang tamunya, dia merasa lelah padahal ini baru hari pertamanya bersekolah lagi. Nugraha datang dari dapur dengan membawa 2 botol air mineral dingin dari kulkas, “Kamu kelihatan capek banget, emang ngapain aja tadi di sekolah?” tanya Nugraha setelah mengoper botol air minum itu ke adiknya.Yuri dengan sigap menangkap air minum yang dilemparkan kakaknya, “Nggak kok kak, namanya baru masuk sekolah lagi setelah seminggu libur. Otak sama tenaganya dipakai lagi jadi pasti capek.” Keke memperhatikan kakaknya yang tengah bermain hp. Tiba-tiba sebuah kejadian terlintas kembali di ingatannya, “Tadi kenapa kakak berhenti? Kakak kenal sama orang yang ada di dalam mobil itu?”Nugraha terdiam, dia tidak menyangka kalau adiknya ternyata memiliki ingatan dan penglihatan yang tajam, “Kakak pik
Javas sudah selesai berpakaian begitu pun dengan Haniel tapi anehnya Indira belum juga bangun, “Haniel, kamu belum bangunin Indira dari tadi?” tanya Javas ke adenya itu.“Udah.” Hanya itu saja yang mampu keluar dari mulut Haniel, dia tidak bisa bicara banyak karena mulutnya penuh dengan roti. Javas segera menyelesaikan sarapannya lalu berjalan menuju kamar Indira.“Indira, Indira, bangun dek.” Javas memanggil lembut Indira sambil mengelus pipinya.Indira bergerak sedikit lalu membuka matanya, “Kak Javas udah enakan?” tanya Indira ketika melihat ternyata Javas yang membangunkannya. Javas hanya tersenyum tapi itu sudah menandakan bahwa dia sudah lebih baik. Indira berusaha bangun tapi kepalanya sakit sekali, dia memegang kepalanya dan bersandar di tempat tidurnya.“Kamu kenapa ra, kepalanya sakit?! Kalau sakit mending nggak usah masuk kampus dulu yah nanti kakak bilangin ke teman kelas kamu biar diijinin
Sekolah sudah hampir sepi tapi Jovita, Haniel dan Yuri masih di ruang musik karena ada eskul musik. Setelah agak lama akhirnya mereka pulang, Haniel belum menyerah untuk menanyakan apa masalah Yuri dengannya, “Yuri, tunggu bentar!” panggil Haniel sambil memegang tangan Yuri.“Apa sih Haniel, tolong, aku lagi males banget bertengkar sama kamu!” Yuri berusaha melepaskan genggaman tangan Haniel dari tangannya. Sangat kelihatan kalau Yuri sebenarnya sudah sangat lelah dengan aktivitas setengah hari ini.Haniel menatap Yuri dalam, “Aku cuma ingin tau kamu kenapa Yuri, kamu kenapa tiba-tiba marah sama aku? Kamu kenapa tiba-tiba hindari aku tanpa penjelasan apapun karena aku rasa kemarin kita masih baik-baik aja kan?! Bilang sama aku apa yang salah Ri, supaya aku tau dan aku bisa rubah!”Yuri menunduk, dia nggak sanggup melihat tatapan Haniel, “Aku lagi bad mood dan lagi nggak pengen ketemu kamu atau bicara sama kamu! Ini cuma
Malam menghiasi rumah sakit yang terlihat sepi itu, di sebuah kamar terbaring seorang cewek manis dan laki-laki yang tertidur di sofa panjang yang disedikan di kamar itu. Cewek itu terbangun, “Kak Javas… kak,” ujar cewek itu pelan.Mau nggak mau cowok itu langsung terbangun mendengar suara Indira, “Udah bangun kamu Indira, gimana keadaan kamu? Kepalanya masih pusing?” tanya lelaki yang terbangun dari sofa panjang itu.Nya
Javas berjalan lesu ke ruang tempat kumpulnya, dia menaruh tasnya di kursi kemudian terduduk menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Dia sangat lelah dengan aktivitasnya hari ini, ditambah masalah sahabatnya yang belum selesai. Dia terduduk dan bersandar di kursinya, dia masih malas untuk pulang di rumah, tidak akan membuat dia berhenti memikirkan tentang sahabat-sahabatnya ini. Tiba-tiba Rachel juga masuk dengan muka yang kusut, dia juga capek dengan semua masalahnya hari ini. Javas teringat sesuatu yang ingin dia bicarakan ke Rachel akhirnya dia mendekati Rachel, Rachel yang merasa di dekati Javas langsung berbalik ke Javas. “Ada apa, Vas?” tanyanya.“Aku dengar pembicaraan kamu sama Indira di rumah sakit…” ujar Javas perlahan.Rachel tersenyum, “Aku sudah menduga kalau kamu mendengar semua pembicaraan kami.”Javas menatap Rachel dalam, “Kenapa kalian harus ikut dalam permasalahan ini, Chel? Biarkan aku yang
Ruangan yang tadinya ramai itu sekarang terlihat sangat sepi, semua masih memikirkan bagaimana nasib pertemanan mereka selanjutnya. Liora dan Tristan terlihat paling murung di antara mereka semua, bagaimana tidak? Setelah kejadian di mall kemarin, kurang lebih sudah 4 hari Janetta dan Jovan tidak terlihat di kampus. Liora jadi sering melamun bahkan menangis sendiri, dia selalu berharap kalau Jovan datang dan menerima permintaan maafnya, dia tau kalau dia juga salah karena tidak pernah memberitahukan ke Jovan kalau dia diberikan surat nggak penting itu.#Tristan pun sama, dia ingin Janetta datang dengan gaya cueknya dan duduk di sampi
Javas turun dari kamarnya sehabis bangun tidur, dia memperhatikan teman-temannya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia bosan dengan teman-temannya kalau sedang acuh nggak acuh seperti ini, dia berbalik dan mendapati sebuah grand piano putih miliknya. Dia berjalan mendekati piano itu dan mengelusnya, sudah lama sekali dia tidak memainkan piano ini. Dia mencari seseorang yaitu Jelena dan mendapati Jelena sedang membaca. Javas mendekati Jelena dan membisikkan sesuatu di telinga Jelena sementara yang lain tidak terlalu memperhatikan karena masih sibuk dengan aktivitas masing-masing. Jelena mengangguk senang lalu mengikuti Javas, Jelena duduk di samping Javas dan Javas mulai memencet tuts piano itu.
Yadi dan Jelena memasuki ruang UGD tempat Javas dan Rachel dirawat karena tidak sadarkan diri. Yadi dan Jelena bergabung dengan teman-temannya, “Rachel sama Javas kenapa sih, Van?” Yadi mencoba meminta penjelasan ke Jovan.“Kalian dari mana aja sih emang?! Rachel sama Javas habis digebukin sama seseorang yang nggak dikenal.” Jovan memberikan penjelasan ke Yadi.Yadi menatap keadaaan Rachel sedih, “Kami berdua dari rumah aku, Yadi nyusulin ke rumah karena nggak ketemu sama aku di tempat les soalnya aku pulang bareng temanku. Kamu tau Van, siapa yang gebukin mereka sampai kayak begini?” Jelena ikut nimbrung dalam pembicaraan Yadi dan Jovan.Jovan menggeleng pelan, dia betul-betul tidak melihat siapa orang yang memukul Javas sampai seperti ini, “Mungkin Indira tau karena dia yang pertama kali temuin Rachel dan Javas di gudang.” Janetta juga ikut nimbrung. Mereka semua pun terdiam, akhir-akhir ini sudah banyak kali mer
Nugraha sudah selesai dengan segala urusan perkampusannya dan siap-siap untuk pulang. Tiba-tiba seseorang mendatanginya, “Aku mau bicarain sesuatu sama kamu tapi nggak di sini,” ujar Clement setengah berbisik. Nugraha mengangguk kemudian mengikuti Clement menuju markas besar mereka.“Ada apa sih, Ment?” tanya Nugraha ketika mereka sudah tiba di markas.“Aku ingin memberikan peringatan pertama ke Javas lewat seseorang yang sudah aku jadikan target, ini orangnya.&rd
“Apa maksud Nugraha dengan mengatakan kalau aku adalah Rahmi keduanya? Apa aku gadis yang dia maksud masuk ke dalam kehidupannya dan akhirnya mulai melupakan rasa sakitnya karena kehilangan Rahnmi?” Pertanyaan itu terus membayangi pikiran Indira. Akibat memikirkan hal itu, Indira sampai kurang tidur semalam dan berujung dia jadi lemas dan ngantuk.Javas memperhatikan adik sepupunya itu dari kaca spion depan mobilnya, “Kamu nggak enak badan lagi yah, Ra? Kalau iya biar aku antar Rachel sama Haniel dulu terus kita putar balik ke rumah biar kamu istirahat di rumah,” suruh Javas.Indira menggeleng, sepertinya pemikiran Indira akan bertambah kalau dia sendirian di rumah tapi kalau dia bertemu dengan teman-teman kelasnya mungkin dia bisa melupakan sebentar mengenai Nugraha. “Aku nggak apa-apa kok kak, semalam aku kurang tidur makanya ngantuk.” Indira memutuskan menolak permintaan Javas.Mereka akhirnya sampai di kampus setelah
“Berhenti di sini aja Ga, itu rumah aku.” Indira menunjuk rumahnya yang agak besar dan megah.Nugraha memberhentikan mobilnya kemudian mulai memperhatikan rumah itu, “Kamu tinggal di sini sama siapa Ra, kelihatannya sepi banget?” tanya Nugraha ketika mendapatkan satu kesimpulan bahwa rumah sebesar ini tidak mungkin hanya Indira seorang di dalamnya.“Aku tinggal sama sepupu-sepupu aku, om aku tinggalnya di luar negri jadi yang jagain kamu di sini cuma satu pembantu dan supir. Sepupu aku satunya sekampus sama aku tapi masih tinggal nonton tadi sementara sepupu aku yang satu lagi masih sekolah SMA.” Indira menjelaskan panjang lebar.“Tante kamu mana? Terus kenapa kamu nggak tinggal sama mama dan papa kamu?” tanya Nugraha lagi setelah dia merasa masih ada yang kurang.Wajah Indira berubah sedih, “Tante meninggal sejak aku umur 3 tahun karena penyakit kanker. Sedangkan papa sama mama aku cerai sejak aku lah
Hari ini ada pertandingan basket antar kampus Javas cs dan semua mahasiswa/wi kampus sudah memenuhi lapangan basket. Hal ini semakin ramai karena mereka tau kalau kampus mereka menjadi tuan rumah dalam pertandingan basket ini. Javas cs sudah berkumpul di tempat berkumpul para pemain, kebetulan Jovan adalah salah satu pemain dalam tim basket kampus mereka, “Please guys, masalah kemarin jangan membuat kita pada loyo yah buat mendukung Jovan, lupain aja dulu. Kamu juga Van, nggak usah kepikiran yah, kamu harus fokus mainnya, tetap tenang dan buat tim kampus kita menang.” Javas berusaha menyamangati teman-temannya.Yadi datan
Haniel sampai di depan rumah Jovita, tanpa basa-basi lagi dia langsung mengetuk pintu rumah itu. “Eh den Haniel toh, ada apa den?” Seseorang membuka pintu itu yang ternyata adalah pembantu Jovita.“Jovitanya udah pulang kan, bi?” tanya Haniel.“Loh, belum kok den, emang ada apa yah, den?” tanya bibi itu lagi.Haniel terdiam, seharusnya Jovita sudah ada di rumah kalau pulang sejak pagi tadi lalu ke mana Jovita? Haniel menggeleng, sebaiknya dia tidak menambah kepanikan, “Enggak kok bi, Haniel permisi pulang dulu yah, bi. Kalau Jovitanya udah pulang minta tolong sampaikan kalau Haniel tadi nyariin dia,” ujar Haniel lalu pergi meninggalkan rumah Jovita.Haniel berpikir keras, “Jovita ke mana sih sampai sekarang belum pulang?!” batin Haniel. Tiba-tiba pikiran dia tertuju ke satu tempat, “Apa mungkin Jovita ada di sana? Aku cek aja nggak ada salahnya kan.” Haniel bergegas pergi ke tempat ya