Javas tidak mengenali tempat itu bahkan mengunjunginya pun tak pernah tapi dengan cara apa dia sampai di tempat itu? Tempat itu hanya dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi dan lebat, sepertinya dia ada di hutan. Tidak ada hewan apalagi orang di sana, tiba-tiba dia merasa ada yang memegang pundaknya. Dia berbalik, tampak di depannya 2 orang gadis manis yang sangat dia kenal, dia adalah Rachel dan Indira. Dua cewek itu tersenyum manis ke arah Javas, mereka berdua lalu menarik tangan Javas masuk ke dalam hutan itu.
Mereka menikmati kebersamaan mereka di tempat itu sampai tiba-tiba sebuah asap hitam menutupi mereka dan seseorang memukul belakang Javas. Setelah asap hitam itu hilang dia bangun dengan tertatih, sangat terasa sakit pukulan yang tadi diberikan kepadanya. Samar-samar dia mendengar suara seseorang berteriak minta tolong memanggil namanya, “Kak Javas, kak Javas tolong!!!” Dia langsung mencari sumber suara tersebut.
Semakin lama dia semakin jauh masuk ke hutan itu, dia mendengar suara itu lagi tapi lain dari suara yang pertama, “Javas, tolongin aku Javas!!!” Javas melayangkan pandangannya, suara mereka terdengar jelas dari tempat itu.
Kabut itu menghilang dan nampak samar seseorang di hadapannya, dia adalah Indira bersama seseorang bertopeng yang menyekap Indira. Sementara itu disamping Indira juga terlihat Rachel yang sedang disekap oleh orang yang berpakaian hampir sama dengan orang yang menyekap Indira. Javas mendekati orang itu tapi orang itu semakin menjauh, “Tolong lepaskan mereka berdua, apa yang kalian mau dari saya?”
“Kami mau kamu mati!!!” jawab orang yang menyekap Rachel.
Sudah pasti ucapan orang itu membuat Javas sedikit syok, dia pun memberanikan diri untuk bertanya lagi, “Kenapa kalian menginginkan saya untuk mati?! Apa salah saya sama kalian?!”
Orang yang menyekap Indira tertawa keras lalu menjawab pertanyaan Javas, “Kamu harus menebus dosa yang sudah kamu lakukan!!!” tunjuk orang itu ke muka Javas.
“Saya merasa saya tidak pernah melakukan kesalahan besar terhadap orang lain. Saya tidak mau mati untuk kesalahan yang saya tidak perbuat!”
“Tidak masalah Javas, hidup dan mati itu terkadang adalah sebuah pilihan seseorang tapi kamu harus tau kalau pilihan itu pasti punya konsekuensi. Kamu memilih hidup maka kamu mengorbankan dua wanita cantik ini untuk orang berdosa seperti kamu tapi jika kamu memilih mati bukankah kamu akan menjadi pahlawan tanpa membunuh nyawa orang tak bersalah?” orang itu tersenyum dan tanpa berkata apa-apa lagi, mereka membawa Rachel dan Indira masuk kembali ke kabut yang tebal. Javas berlari mengejar Rachel dan Indira tapi yang ada beberapa kawanan orang-orang itu malah menghadangnya kemudian memukulnya sampai jatuh tidak sadarkan diri.
****
“Javas, Javas, bangun sayang!” Oma Javas mengguncang-guncang badan Javas. Banyak keringat yang keluar dari tubuh Javas padahal cuaca diluar sedang mendung dan itu menambah kekhawatiran omanya ditambah lagi sudah sangat lama omanya berusaha membangunkan Javas tapi tak bangun juga.
Tiara yang mendengar teriakan omanya Javas akhirnya masuk dan membantu oma, “Javas bangun… ini aku Tiara.” Tiara juga mengguncang badan Javas agar terbangun.
Tiba-tiba Javas terbangun dan berteriak, “Indira!!! Rachel!!!” mata Javas berusaha mencari-cari orang yang dipanggilnya.
Omanya langsung menyamperi cucunya itu, “Sayang, Indira nggak ada di sini, dia ada di Jakarta, Javas lagi ada di Bandung sekarang.” Terlihat muka Javas sangat pucat dan napasnya ngos-ngosan seperti orang habis lari-lari.
Tiara mendekati Javas memberanikan diri untuk bertanya, “Javas, kamu kenapa?” Javas menggeleng, dia tidak mau menceritakan mimpinya barusan, menakutkan.
“Oma, Javas pulang pagi ini yah!” pinta Javas ke omanya.
“Tapi kamu kayaknya lagi nggak sehat sayang, besok aja yah.” Omanya seperti tidak rela kalau Javas pulang sekarang dengan keadaannya yang seperti itu, takut ada apa-apa.
“Javas nggak apa-apa oma, Javas musti ngecek keadaan adek-adek di Jakarta. Sepertinya udah terlalu lama Javas tinggalin mereka, Javas mau siap-siap dulu.” Javas malah meninggalkan omanya dan Tiara yang hanya saling berpandangan tidak mengerti.
Setelah selesai bersiap-siap, akhirnya Javas sudah mantap untuk kembali ke Jakarta. Omanya mengusap lembut rambut cucu kesayangannya itu, “Kamu beneran harus pulang sekarang? Oma takut ada apa-apa sayang, muka kamu pucet banget itu.” Oma masih terus berusaha agar Javas mengurunkan niatnya untuk pulang.
Javas memegang pundak omanya, berusaha untuk menenangkannya, “Oma tenang aja, Javas nggak apa-apa kok. Javas janji kalau udah sampai pasti bakal langsung hubungin oma, kalau gitu Javas berangkat sekarang yah oma.” Javas melepaskan tangannya dan berjalan menuju mobilnya.
“Javas tunggu!” Tiara berlari menemuinya. Senyum Javas terukir ketika melihat gadis ini yang sudah beberapa hari ini menemaninya dan membuat liburannya di Bandung tidak terlalu membosankan. “Ini buat kamu untuk bekal di jalan, itu brownies bikinan aku sendiri jadi harus kamu makan yah. Hati-hati di jalan, kalau sampai di Jakarta kamu harus ingat buat hubungin aku..” Tiara memberikan kotak bekal itu ke Javas.
Javas tersenyum menerimanya, “Makasih yah Tiara, aku janji sampai Jakarta bakalan langsung hubungi kamu. Aku juga janji sebelum balik ke London bakalan main lagi ke Bandung temuin kamu.” Javas mengelus kepala Tiara. Setelah agak lama, dia pun bersiap untuk pergi, Javas melambaikan tangannya kemudian naik mobilnya dan melesat pergi.
****
Janetta, Tristan, Liora, Jovan, Jelena dan Yadi telah selesai makan, mereka langsung larut dalam kesibukan sendiri-sendiri. Rachel turun dari lantai atas rumahnya Janetta, terlihat bersiap-siap untuk pergi. “Mau ke mana Chel, pagi-pagi udah rapi banget?” tanya Yadi.
“Mau pulang sebentar ke rumah, ada yang mau aku ambil. Sekalian nanti pulangnya mau beli cemilan di supermarket dekat rumah.” Jelas Rachel, yah mereka sudah seminggu menginap di rumah Janetta. Alasannya karena ingin Jelena istirahat dengan baik dulu bersama mereka dan alasan lainnya adalah karena orang tua Janetta sedang berada di luar kota jadi sekalian untuk menemani Janetta.
“Mau di anterin?” Yadi bertanya lagi.
Rachel tersenyum ke Yadi, “Nggak usah, deket gini kok. Gengs, aku pergi dulu yah.” Sepeninggal Rachel mereka kembali larut dalam kesibukan masing-masing.
****
Sore itu Javas telah sampai di rumahnya di Jakarta, dia dengan tergesa-gesa langsung masuk ke rumahnya, “Indira, Indira!!!” teriak Javas. Mbok yang mendengar Javas teriak-teriak langsung berlari ke ruang tamu. “Mbok, Indira mana?” tanya Javas yang melihat mbok.
“Non Indira ada duduk-duduk di dekat kolam renang tuan. Ada apa tuan, kok tuan pulang cepat dari Bandung dan kelihatan gelisah seperti itu?” Tentu saja mboknya heran, Javas sudah berpesan kalau dia akan tinggal di Bandung seminggu lebih tapi pulang lebih cepat dari perkataannya pasti ada sesuatu yang terjadi.
Javas tidak mempedulikan pertanyaan mbok, dia berjalan cepat ke arah kolam renang. Ternyata ada Haniel juga yang baru saja datang dari kolam renang, “Haniel, Indira mana?!” Gelagat gelisah Javas malah membuat Haniel bingung.
“Kak Indira ada tuh lagi duduk-duduk dekat kolam renang, emang ada apa sih kak?”
Lagi-lagi Javas tidak menjawab pertanyaan Haniel, dia meninggalkan Haniel dalam tanda tanya berjalan menuju kolam renang rumahnya. Matanya menelusuri sekitar kolam renang dan mendapati Indira lagi duduk di gazebo kolam renangnya, “Kak Javas, kapan sampainya?” Wajah Indira senang melihat kedatangan kakaknya. Bukannya menjawab, Javas malah langsung memeluk Indira erat. Indira yang bingung hanya bisa membalas memeluk Javas, “Kak, ada apa kak?” Indira bertanya sambil mengelus punggung Javas yang bergetar.
Lama Javas terdiam lalu dia pun menjawab pertanyaan Indira, “Kakak mimpiin hal aneh, kamu beneran nggak apa-apakan selama kakak pergi?” Javas melepaskan pelukannya dari Indira lalu kemudian menatapnya serius.
Indira menatap Javas bingung, “Aku nggak apa-apa kok kak, emangnya kak Javas mimpiin apa sih?”
Sepertinya Javas sudah mulai sadar kalau dia menakuti Indira, dia mencoba tersenyum sebisa mungkin untuk menenangkan Indira, “Baguslah kalau kamu nggak apa-apa soal mimpi itu… nggak usah dipikirin mungkin cuma bunga tidur aja.” Mata Javas malah tertuju ke kaki Indira yang sepertinya terluka karena dibalut dengan perban. “Kaki kamu kenapa Indira?” Javas memegangi kaki Indira yang lecet.
“Auw… sakit kak!” Indira mengerang kesakitan.
Javas melepaskan tangannya dari kaki Indira, “Jawab kakak sebenarnya ada sama kaki kamu?!” Indira pun menceritakan kejadian yang menimpa dia kemarin, tanpa bertanya banyak ke Indira pun, Javas sudah sangat tahu siapa pengemudi yang menyerempet Indira kemarin. Tiba-tiba pandangan Javas kabur, dia merasakan sakit di kepalanya, tubuhnya seperti ditusuk-tusuk jarum yang sangat banyak, keringat dingin mengucur dari badannya.
Haniel yang melihat gelagat aneh dari kakaknya itu langsung mendatanginya, “Kak Javas, kakak kenapa?! Indira, cepat bantuin kak Javas!.” Haniel dan Indira tentu saja panik tidak karuan.
“Haniel, kamu telpon dokter Jay sekarang bilang sama dia kalau sepertinya penyakit kak Javas kambuh!” Indira dengan sigap menyuruh Haniel. Haniel langsung berlari menelpon dokter yang dimaksud Indira sementara Indira masih berusaha membantu Javas yang mengerang kesakitan. Tak lama datang ambulance bersamaan dengan Javas yang sudah tidak kuat dan jatuh pingsan.
Sedangkan Rachel yang ingin balik ke rumah Janetta kaget dengan suara ambulance dan kehebohan orang-orang di samping rumahnya. Tak lama dia melihat seseorang yang ditaruh di tempat tidur untuk dibawa masuk ke ambulance itu. Dia memberanikan diri untuk mendekati orang tersebut, tiba-tiba mukanya pucat dan badannya lemas. Tanpa perlu dijelaskan sebenarnya dia sudah sangat mengenali siapa orang yang tengah ditolong itu.
Indira memperhatikan perempuan yang mendekati kakaknya itu dan sepertinya dia tidak asing dengan perempuan itu, “Kak Rachel?!” Rachel hanya melihatinya sebentar kemudian kembali lagi menatap orang yang dia tunggu itu dimasukkan ke dalam ambulance. Irene sangat mengerti, sekian lama Rachel tidak melihat Javas yang dia temukan adalah Javas yang jatuh tidak sadarkan diri dan harus dilarikan ke rumah sakit, sudah pasti Rachel shock. “Kak Rachel tenang aja, kak Javas bakalan baik-baik aja dan dia sudah ditangani oleh orang yang tepat.” Selepas berbicara seperti itu untuk menenangkan Rachel, dia masuk ke mobil yang Haniel kendarai untuk mengikuti ambulance Javas.
Rachel yang pikirannya sudah bingung hanya bisa menelpon Yadi, “Halo?” terdengar suara Yadi dari dalam telpon.
“Yadi… Javas… dia… sakit…” ujar Rachel terbata-bata.
“Apa maksud kamu Rachel?!”
“Javas ada di sini Di, dia ada di sini tapi dia sakit dan sekarang dibawa ke rumah sakit.” Tangisan Rachel mengakhiri telpon itu.
****
Yadi hanya bisa terdiam memandang hp nya, ucapan Rachel tadi seperti petir di siang hari buat Yadi. Jovan melihat kebingungan Yadi, “Ada apa Di? Siapa tadi yang nelpon?” Jovan kemudian bertanya karena rasa penasarannya yang tinggi.
Yadi memandang Jovan lama, “Tadi Rachel yang telpon, dia bilang kalau... Javas ada di sini.” Liora, Jovan dan Tristan terdiam, dia juga sama kagetnya mendengar berita itu.
“Jelena!!!” terdengar teriakan Janetta dari atas. Mereka semua langsung berlari ke kamar Janetta, dilihatnya Janetta sedang mengguncang-guncang badan Jelena yang tidak sadarkan diri.
Mereka akhirnya berusaha untuk membopong tubuh Jelena, “Di, mending kamu samperin Rachel sekarang, aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sama Javas ataupun Rachel. Biar Jelena, aku sama anak-anak yang bawa ke rumah sakit.” Selepas menyuruh Yadi, Tristan mengangkat Jelena untuk dibawa ke mobil.
****
Mobil berhenti di depan Rachel yang masih terduduk di depan rumah Javas. “Rachel gimana? Javas di bawa ke mana?” tanya Yadi tergopoh-gopoh.
“Javas di bawa ke rumah sakit, dia nggak sadarkan diri.” Sambil terisak Rachel mencoba memberikan penjelasn ke Yadi.
“Oke kalau gitu kita langsung ke sana, anak-anak juga di perjalanan bawa Jelena yang tadi pingsan juga.”
“Ya ampun, kenapa bisa jadi kayak gini sih?!” tangisan Rachel semakin menjadi-jadi mendengar nasib sahabatnya yang lain.
Yadi mengelus kepala Rachel untuk menenangkannya, “Tenang aja Rachel, semuanya bakal baik-baik saja kok.”
****
Rumah itu tampak besar tapi nyatanya hanya ditinggali oleh sepasang cowok dan cewek, kakak beradik dan beberapa pelayan rumah itu. Cewek itu menaruh barang belanjaannya dan duduk di sofa ruang keluarga, “Sepi banget rumah ini kalau oma lagi ke luar negri.” Cewek itu menggerutu.
Sedangkan cowok itu sedang mengambil minuman di kulkas, “Namanya juga wanita karir, hidupnya cuma kerja yah kita harus maklumi itu.”
Yuri mengambil kertas yang ada dalam dompet cowok itu, “Kak Nugraha udah yakin dengan kita berdua yang mau kembali ke Indonesia besok? Keadaannya udah memungkinkan belum?” Benar, Yuri adalah nama gadis itu.
Cowok yang bernama Nugraha itu duduk disamping adeknya, “Orang-orangku udah telpon kalau keadaan udah membaik, polisi-polisi bodoh itu udah nggak ngejar-ngejar geng kakak lagi. Kakak pikir lebih cepat kakak pulang semakin cepat kakak bisa mencari orang yang menghancurkan nama baik geng kakak!” Nugraha tersenyum licik.
“Emang siapa sih orang yang berani fitnah geng kakak kayak gitu? Penasaran banget Yuri, dia punya nyali apa sampai berani seperti itu.” Sudah pasti Yuri penasaran dengan orang yang membuat kakaknya itu harus sampai lari ke luar negri untuk bersembunyi.
“Dia adalah seorang pengkhianat tapi tenang saja orang itu nggak akan bahagia selama kakak masih hidup! Kakak akan berusaha mencari orang itu bahkan sampai ke lubang tikus sekalipun dan akan membunuhnya!” Nugraha mengepalkan tangannya kesal.
Yuri malah tertunduk mendengar perkataan kakaknya, “Tapi itu akan berbahaya untuk kakak.” ucapnya pelan.
Nugraha mengelus kepala adiknya itu, “Tenang aja Yuri, kakak bakalan baik-baik aja.”
“Lalu bagaimana perjanjian kakak dengan lelaki itu, apa dia menerimanya?”
“Dia sudah pasti akan menerima perjanjian itu karena tidak ada pilihan lain untuknya, menolak perjanjian itu sama saja dengan mati!” jawab kakaknya.
Yuri menggelengkan kepalanya, “Kenapa sih kakak membuat perjanjian itu? Lalu kenapa aku harus jadi bahan perjanjian kakak dengan dia?!”
Senyum licik kembali terpampang di wajah Nugraha, “Dia harus menerima pembalasan kakak karena udah membunuh papa dan akhirnya membunuh mama juga! Tenang saja adikku yang cantik, perjanjian itu akan menguntungkan buat kamu dan buat keluarga kita dalam hal membalas orang bejat itu!”
“Terserah kakak saja dengan rencana kakak, Yuri cuma mau balik ke Indonesia dengan tenang.” Yuri berjalan masuk ke kamarnya. Tinggal Nugraha sendiri di ruang keluarga menghabiskan minumannya masih tetap dengan senyum kelicikannya.
Javas terbangun dari tidurnya, dia melihat sekitarnya dan samar-samar dia melihat wajah teman-temannya. Javas memegang kepalanya yang terasa pusing, dia ingin bangun tapi badannya sangat lemah. “Aku bantuin kak, badan kakak masih lemah kan.” Indira membantu Javas untuk menyender di tempat tidurnya.Javas masih mengusap kepalanya yang masih agak pusing, dia lebih memperhatikan teman-temannya yang sebenarnya dia bingung kenapa mereka semua bisa di sini, “Kalian?!”Jovan mendekat ke samping Javas dengan wajah penuh marah, “Bro, kamu sekarang anggap kita apasih, bukan sahabat kamu lagi?! Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu udah datang ke Indonesia?! Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi seperti ini?!”Liora langsung mengelus punggung kekasihnya itu, “Sabar Van… Javas baru sadar, kamu jangan langsung marah-marah gitu dong!” Javas menunduk, tak mampu dia menatap teman-temannya.“Jovan pantas kok
Matahari cerah menghiasi langit pagi itu dan terlihat rumah besar itu sudah penuh dengan hiruk pikuk. “Mbok, baju Indira yang Indira taro di ruang laundry udah selesai mbok setrika yah? Indira cariin lagi kok udah nggak ada?” teriak Indira dari dalam ruang laundray rumah itu.Haniel juga buru-buru turun dari lantai dua kamarnya, sampainya di meja makan dia juga malah ikutan teriak, “Mbok, sarapan belum dibikinin yah? Kalau belum nggak usah bikin sarapan buat Haniel deh, Haniel makan di sekolah aja nanti.”Javas yang duduk di meja makan sedang menikmati bacaan buku paginya jadi agak terganggu mendengar 2 adik-adiknya ini teriak-teriak, “Kalian kenapa sih ribut banget kayak gitu?!” tegurnya. Indira yang dari tadi pulang balik mencari perlengkapan kuliahnya dan Haniel yang mulai teriak-teriak nyariin pak Tarno untuk antar dia ke sekolah akhirnya terdiam. Habisnya kalau Javas sudah dalam mode tegas dan kesal seperti itu akan sangat memba
Nugraha dan Yuri sampai di rumahnya, rumah itu terlihat sepi karena hanya mereka dan 3 pembantu serta 1 supir yang ada di rumah itu. Yuri duduk di sofa ruang tamunya, dia merasa lelah padahal ini baru hari pertamanya bersekolah lagi. Nugraha datang dari dapur dengan membawa 2 botol air mineral dingin dari kulkas, “Kamu kelihatan capek banget, emang ngapain aja tadi di sekolah?” tanya Nugraha setelah mengoper botol air minum itu ke adiknya.Yuri dengan sigap menangkap air minum yang dilemparkan kakaknya, “Nggak kok kak, namanya baru masuk sekolah lagi setelah seminggu libur. Otak sama tenaganya dipakai lagi jadi pasti capek.” Keke memperhatikan kakaknya yang tengah bermain hp. Tiba-tiba sebuah kejadian terlintas kembali di ingatannya, “Tadi kenapa kakak berhenti? Kakak kenal sama orang yang ada di dalam mobil itu?”Nugraha terdiam, dia tidak menyangka kalau adiknya ternyata memiliki ingatan dan penglihatan yang tajam, “Kakak pik
Javas sudah selesai berpakaian begitu pun dengan Haniel tapi anehnya Indira belum juga bangun, “Haniel, kamu belum bangunin Indira dari tadi?” tanya Javas ke adenya itu.“Udah.” Hanya itu saja yang mampu keluar dari mulut Haniel, dia tidak bisa bicara banyak karena mulutnya penuh dengan roti. Javas segera menyelesaikan sarapannya lalu berjalan menuju kamar Indira.“Indira, Indira, bangun dek.” Javas memanggil lembut Indira sambil mengelus pipinya.Indira bergerak sedikit lalu membuka matanya, “Kak Javas udah enakan?” tanya Indira ketika melihat ternyata Javas yang membangunkannya. Javas hanya tersenyum tapi itu sudah menandakan bahwa dia sudah lebih baik. Indira berusaha bangun tapi kepalanya sakit sekali, dia memegang kepalanya dan bersandar di tempat tidurnya.“Kamu kenapa ra, kepalanya sakit?! Kalau sakit mending nggak usah masuk kampus dulu yah nanti kakak bilangin ke teman kelas kamu biar diijinin
Sekolah sudah hampir sepi tapi Jovita, Haniel dan Yuri masih di ruang musik karena ada eskul musik. Setelah agak lama akhirnya mereka pulang, Haniel belum menyerah untuk menanyakan apa masalah Yuri dengannya, “Yuri, tunggu bentar!” panggil Haniel sambil memegang tangan Yuri.“Apa sih Haniel, tolong, aku lagi males banget bertengkar sama kamu!” Yuri berusaha melepaskan genggaman tangan Haniel dari tangannya. Sangat kelihatan kalau Yuri sebenarnya sudah sangat lelah dengan aktivitas setengah hari ini.Haniel menatap Yuri dalam, “Aku cuma ingin tau kamu kenapa Yuri, kamu kenapa tiba-tiba marah sama aku? Kamu kenapa tiba-tiba hindari aku tanpa penjelasan apapun karena aku rasa kemarin kita masih baik-baik aja kan?! Bilang sama aku apa yang salah Ri, supaya aku tau dan aku bisa rubah!”Yuri menunduk, dia nggak sanggup melihat tatapan Haniel, “Aku lagi bad mood dan lagi nggak pengen ketemu kamu atau bicara sama kamu! Ini cuma
Malam menghiasi rumah sakit yang terlihat sepi itu, di sebuah kamar terbaring seorang cewek manis dan laki-laki yang tertidur di sofa panjang yang disedikan di kamar itu. Cewek itu terbangun, “Kak Javas… kak,” ujar cewek itu pelan.Mau nggak mau cowok itu langsung terbangun mendengar suara Indira, “Udah bangun kamu Indira, gimana keadaan kamu? Kepalanya masih pusing?” tanya lelaki yang terbangun dari sofa panjang itu.Nya
Javas sangat marah dengan kejadian yang dia lihat di ruangan itu lebih tepatnya dia merasa cemburu.Jelena memperhatikan gerak-gerik Javas, “Kok muka Javas masam banget? Ada masalah apa yah? Mana dia masuk mobil segala lagi nanti ada apa-apa harus aku susulin nih.” Jelena memandang mobil Javas yang meninggalkan kawasan kampus kemudian Jelena berniat menyusulnya dengan taksi yang kebetulan mangkal tak jauh dari tempat itu.***Javas mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia bermaksud ingin mengeluarkan semuanya amarahnya melalui itu. Sedangkan Jelena terus mewanti-wanti sang sopir taksi supaya terus mengejar Javas, untungnya jalanan agak lengang jadi mereka masih bisa melihat mobil Javas. Di sebuah jalanan yang sangat sepi, tiba-tiba mobil Javas di hadang oleh 2 motor dan 1 mobil, orang-orang itu keluar dari kendaraan mereka masing-masing dan mengetuk keras pintu mobil Javas. Javas keluar dan memandang sinis orang–orang itu, “Apa
Haniel sampai di depan rumah Jovita, tanpa basa-basi lagi dia langsung mengetuk pintu rumah itu. “Eh den Haniel toh, ada apa den?” Seseorang membuka pintu itu yang ternyata adalah pembantu Jovita.“Jovitanya udah pulang kan, bi?” tanya Haniel.“Loh, belum kok den, emang ada apa yah, den?” tanya bibi itu lagi.Haniel terdiam, seharusnya Jovita sudah ada di rumah kalau pulang sejak pagi tadi lalu ke mana Jovita? Haniel menggeleng, sebaiknya dia tidak menambah kepanikan, “Enggak kok bi, Haniel permisi pulang dulu yah, bi. Kalau Jovitanya udah pulang minta tolong sampaikan kalau Haniel tadi nyariin dia,” ujar Haniel lalu pergi meninggalkan rumah Jovita.Haniel berpikir keras, “Jovita ke mana sih sampai sekarang belum pulang?!” batin Haniel. Tiba-tiba pikiran dia tertuju ke satu tempat, “Apa mungkin Jovita ada di sana? Aku cek aja nggak ada salahnya kan.” Haniel bergegas pergi ke tempat ya
Javas berjalan lesu ke ruang tempat kumpulnya, dia menaruh tasnya di kursi kemudian terduduk menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Dia sangat lelah dengan aktivitasnya hari ini, ditambah masalah sahabatnya yang belum selesai. Dia terduduk dan bersandar di kursinya, dia masih malas untuk pulang di rumah, tidak akan membuat dia berhenti memikirkan tentang sahabat-sahabatnya ini. Tiba-tiba Rachel juga masuk dengan muka yang kusut, dia juga capek dengan semua masalahnya hari ini. Javas teringat sesuatu yang ingin dia bicarakan ke Rachel akhirnya dia mendekati Rachel, Rachel yang merasa di dekati Javas langsung berbalik ke Javas. “Ada apa, Vas?” tanyanya.“Aku dengar pembicaraan kamu sama Indira di rumah sakit…” ujar Javas perlahan.Rachel tersenyum, “Aku sudah menduga kalau kamu mendengar semua pembicaraan kami.”Javas menatap Rachel dalam, “Kenapa kalian harus ikut dalam permasalahan ini, Chel? Biarkan aku yang
Ruangan yang tadinya ramai itu sekarang terlihat sangat sepi, semua masih memikirkan bagaimana nasib pertemanan mereka selanjutnya. Liora dan Tristan terlihat paling murung di antara mereka semua, bagaimana tidak? Setelah kejadian di mall kemarin, kurang lebih sudah 4 hari Janetta dan Jovan tidak terlihat di kampus. Liora jadi sering melamun bahkan menangis sendiri, dia selalu berharap kalau Jovan datang dan menerima permintaan maafnya, dia tau kalau dia juga salah karena tidak pernah memberitahukan ke Jovan kalau dia diberikan surat nggak penting itu.#Tristan pun sama, dia ingin Janetta datang dengan gaya cueknya dan duduk di sampi
Javas turun dari kamarnya sehabis bangun tidur, dia memperhatikan teman-temannya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia bosan dengan teman-temannya kalau sedang acuh nggak acuh seperti ini, dia berbalik dan mendapati sebuah grand piano putih miliknya. Dia berjalan mendekati piano itu dan mengelusnya, sudah lama sekali dia tidak memainkan piano ini. Dia mencari seseorang yaitu Jelena dan mendapati Jelena sedang membaca. Javas mendekati Jelena dan membisikkan sesuatu di telinga Jelena sementara yang lain tidak terlalu memperhatikan karena masih sibuk dengan aktivitas masing-masing. Jelena mengangguk senang lalu mengikuti Javas, Jelena duduk di samping Javas dan Javas mulai memencet tuts piano itu.
Yadi dan Jelena memasuki ruang UGD tempat Javas dan Rachel dirawat karena tidak sadarkan diri. Yadi dan Jelena bergabung dengan teman-temannya, “Rachel sama Javas kenapa sih, Van?” Yadi mencoba meminta penjelasan ke Jovan.“Kalian dari mana aja sih emang?! Rachel sama Javas habis digebukin sama seseorang yang nggak dikenal.” Jovan memberikan penjelasan ke Yadi.Yadi menatap keadaaan Rachel sedih, “Kami berdua dari rumah aku, Yadi nyusulin ke rumah karena nggak ketemu sama aku di tempat les soalnya aku pulang bareng temanku. Kamu tau Van, siapa yang gebukin mereka sampai kayak begini?” Jelena ikut nimbrung dalam pembicaraan Yadi dan Jovan.Jovan menggeleng pelan, dia betul-betul tidak melihat siapa orang yang memukul Javas sampai seperti ini, “Mungkin Indira tau karena dia yang pertama kali temuin Rachel dan Javas di gudang.” Janetta juga ikut nimbrung. Mereka semua pun terdiam, akhir-akhir ini sudah banyak kali mer
Nugraha sudah selesai dengan segala urusan perkampusannya dan siap-siap untuk pulang. Tiba-tiba seseorang mendatanginya, “Aku mau bicarain sesuatu sama kamu tapi nggak di sini,” ujar Clement setengah berbisik. Nugraha mengangguk kemudian mengikuti Clement menuju markas besar mereka.“Ada apa sih, Ment?” tanya Nugraha ketika mereka sudah tiba di markas.“Aku ingin memberikan peringatan pertama ke Javas lewat seseorang yang sudah aku jadikan target, ini orangnya.&rd
“Apa maksud Nugraha dengan mengatakan kalau aku adalah Rahmi keduanya? Apa aku gadis yang dia maksud masuk ke dalam kehidupannya dan akhirnya mulai melupakan rasa sakitnya karena kehilangan Rahnmi?” Pertanyaan itu terus membayangi pikiran Indira. Akibat memikirkan hal itu, Indira sampai kurang tidur semalam dan berujung dia jadi lemas dan ngantuk.Javas memperhatikan adik sepupunya itu dari kaca spion depan mobilnya, “Kamu nggak enak badan lagi yah, Ra? Kalau iya biar aku antar Rachel sama Haniel dulu terus kita putar balik ke rumah biar kamu istirahat di rumah,” suruh Javas.Indira menggeleng, sepertinya pemikiran Indira akan bertambah kalau dia sendirian di rumah tapi kalau dia bertemu dengan teman-teman kelasnya mungkin dia bisa melupakan sebentar mengenai Nugraha. “Aku nggak apa-apa kok kak, semalam aku kurang tidur makanya ngantuk.” Indira memutuskan menolak permintaan Javas.Mereka akhirnya sampai di kampus setelah
“Berhenti di sini aja Ga, itu rumah aku.” Indira menunjuk rumahnya yang agak besar dan megah.Nugraha memberhentikan mobilnya kemudian mulai memperhatikan rumah itu, “Kamu tinggal di sini sama siapa Ra, kelihatannya sepi banget?” tanya Nugraha ketika mendapatkan satu kesimpulan bahwa rumah sebesar ini tidak mungkin hanya Indira seorang di dalamnya.“Aku tinggal sama sepupu-sepupu aku, om aku tinggalnya di luar negri jadi yang jagain kamu di sini cuma satu pembantu dan supir. Sepupu aku satunya sekampus sama aku tapi masih tinggal nonton tadi sementara sepupu aku yang satu lagi masih sekolah SMA.” Indira menjelaskan panjang lebar.“Tante kamu mana? Terus kenapa kamu nggak tinggal sama mama dan papa kamu?” tanya Nugraha lagi setelah dia merasa masih ada yang kurang.Wajah Indira berubah sedih, “Tante meninggal sejak aku umur 3 tahun karena penyakit kanker. Sedangkan papa sama mama aku cerai sejak aku lah
Hari ini ada pertandingan basket antar kampus Javas cs dan semua mahasiswa/wi kampus sudah memenuhi lapangan basket. Hal ini semakin ramai karena mereka tau kalau kampus mereka menjadi tuan rumah dalam pertandingan basket ini. Javas cs sudah berkumpul di tempat berkumpul para pemain, kebetulan Jovan adalah salah satu pemain dalam tim basket kampus mereka, “Please guys, masalah kemarin jangan membuat kita pada loyo yah buat mendukung Jovan, lupain aja dulu. Kamu juga Van, nggak usah kepikiran yah, kamu harus fokus mainnya, tetap tenang dan buat tim kampus kita menang.” Javas berusaha menyamangati teman-temannya.Yadi datan
Haniel sampai di depan rumah Jovita, tanpa basa-basi lagi dia langsung mengetuk pintu rumah itu. “Eh den Haniel toh, ada apa den?” Seseorang membuka pintu itu yang ternyata adalah pembantu Jovita.“Jovitanya udah pulang kan, bi?” tanya Haniel.“Loh, belum kok den, emang ada apa yah, den?” tanya bibi itu lagi.Haniel terdiam, seharusnya Jovita sudah ada di rumah kalau pulang sejak pagi tadi lalu ke mana Jovita? Haniel menggeleng, sebaiknya dia tidak menambah kepanikan, “Enggak kok bi, Haniel permisi pulang dulu yah, bi. Kalau Jovitanya udah pulang minta tolong sampaikan kalau Haniel tadi nyariin dia,” ujar Haniel lalu pergi meninggalkan rumah Jovita.Haniel berpikir keras, “Jovita ke mana sih sampai sekarang belum pulang?!” batin Haniel. Tiba-tiba pikiran dia tertuju ke satu tempat, “Apa mungkin Jovita ada di sana? Aku cek aja nggak ada salahnya kan.” Haniel bergegas pergi ke tempat ya