‘Kita berada di semesta yang sama, cepat atau lambat pasti akan bertemu. Bukankah begitu?’
**
Bintang terlihat bingung harus melanjutkan langkah atau tidak, cowok yang terkena lemparan kotak susunya, ternyata berada di satu sekolah yang sama.
“Tunggu, bukankah dia tadi tidak melihatku,” gumam Bintang mengingat.
Ah … benar juga, untuk apa Bintang takut sedangkan cowok itu tak melihat dirinya dan hanya melihat Orion.
Bintang pun akhirnya melangkah dengan riang, berpura tidak terjadi apa pun tadi dan bersikap seolah dirinya bukan tersangka.
Cowok yang tadi terkena lempar kotak susu, sudah turun dari motor yang terparkir di tempat khusus. Cowok itu melepas helm yang dikenakan, membuat rambut sedikit berantakan lantas disisir menggunakan jemari.
Beberapa siswi yang melihat langsung berhenti melangkah, mereka memandang ke arah cowok tadi dengan mulut menganga.
Bintang yang melihat pun berhenti berjalan, memandang cowok yang baru saja dilihatnya pagi ini di sekolah.
“Wah, apa dia murid baru?”
“Ya Tuhan, dia tampan sekali.”
Bintang mendengar pujian yang ditujukan ke cowok tadi, hingga bibir gadis itu melengkung ke bawah seolah mengejek.
“Altair lebih tampan,” gumamnya kemudian mengayunkan langkah. Dia tidak melihat dengan jelas wajah cowok itu, sehingga bisa menyimpulkan demikian.
Cowok tadi terlihat mengedarkan pandangan, ternyata dia adalah murid baru di sekolah itu. Melihat beberapa siswi yang memandangnya tanpa berkedip, tentu saja membuat cowok itu merasa tidak nyaman.
Cowok itu melangkahkan kaki menuju gedung sekolah untuk pergi ke kantor guru. Herannya para gadis malah mengikuti langkahnya, membuat barisan panjang ke belakang sampai beberapa cowok di sekolahan itu keheranan.
“Ada apa, sih? Kenapa tuh para cewek pada baris?”
“Entah, aneh banget.”
Para cowok yang melihat fenomena para cewek baris seperti itik sedang digembala pun keheranan dibuatnya.
Cowok itu sudah sampai di depan ruang guru, hingga menoleh ke belakang dan melihat para gadis sedang menatapnya dengan senyum di wajah.
Seorang guru yang melihat kejadian itu pun ikut heran, hingga memandang ke para gadis yang berbaris di sana.
“Kalian sedang apa? Bubar!” perintah guru.
Para gadis itu membubarkan diri, hingga tertinggap cowok tadi dan guru.
“Kamu kenapa ke ruang guru?” tanya guru wanita bertubuh gemuk itu.
“Saya murid baru, hendak menanyakan di mana kelas saya,” jawab cowok itu sopan.
“Oh … sini ikut!”
**
Bintang sudah sampai di kelas, lantas meletakkan tas di meja dan duduk sambil menyandarkan punggung kemudian menghela napas kasar.
“Napa lu?”
Seseorang mengejutkan Bintang, membuat gadis itu hampir berjingkat.
“Anta!” Bintang kesal karena kakak sepupunya itu mengejutkan. Dia sampai memukul lengan cowok yang umurnya hanya selisih beberapa bulan darinya itu.
Antares adalah putra kakak orangtua Bintang, cowok itu beberapa bulan lebih tua dari Bintang, sehingga mereka kini berada di kelas dan sekolah yang sama.
“Lah, lu datang-datang kek orang ketakutan gitu,” kata Anta, lantas duduk di kursi samping Bintang.
Anta dan Bintang memang satu meja, tentu saja itu atas permintaan Bintang, gadis itu tak mau duduk dengan cowok lain selain sepupunya itu. Tentu Bintang memiliki alasan kuat untuk memaksa Anta duduk di sebelahnya.
“Ah .. lu kagak tahu saja, An. Gue hampir kena masalah,” balas Bintang yang diakhiri dengan suara helaan napas berat.
“Masalah apalagi? Soal semalem? Tenang saja, gue rela bohong ke Om dan Tante demi lu,” ujar Anta. Cowok itu memang sangat menyayangi dan perhatian kepada adik sepupunya itu.
“Ah … bukan itu. Tapi kejadian tadi saat mau ke sekolah.” Bintang kalau ingat tadi, sungguh tak tahu mau ditaruh mana mukanya kalau sampai cowok itu mengetahui dirinya yang melempar sampah sembarangan.
Anta menaikkan satu sudut alis, adik sepupunya itu memang tak sekali dua kali membuat masalah, membuat cowok itu sudah tak terkejut jika Bintang terlibat masalah.
“Bin … Bin, lu tuh kapan mau berubah jadi benar, kagak aneh-aneh dan terhindar dari masalah? Tiap hari lu tuh dapat masalah mulu,” keluh Anta yang tak habis dengan saudaranya itu. Jika Bintang cowok, mungkin Anta masih maklum, tapi dia cewek.
“Ish … kamu ini muji, apa mengolok-olok!” Bintang yang gemas lantas memukul lengan Anta.
Saat Anta akan membalas, bel masuk sekolah berdering dan anak-anak lain memasuki ruang belajar. Bintang dan Anta pun bersiap di tempat mereka, hingga tak selang beberapa lama guru yang mengajar pagi itu memasuki ruangan.
Namun, guru mata pelajaran informatika itu tak datang sendiri. Dia bersama seorang pemuda yang berjalan di belakangnya.
“Mampus, kenapa dia di kelas ini?” Bintang sedikit menutup wajah dengan telapak tangan.
Anta yang melihat Bintang seperti bersembunyi, merasa aneh hingga kemudian bertanya, “Napa lagi, lu?”
“Gue terlibat masalah sama cowok itu,” jawab Bintang masih menutup sedikit wajahnya.
“Lah … emang lu buat masalah apa?” tanya Anta penasaran.
Bintang pun bicara kalau dia tak sengaja melempar sampah kena cowok itu.
“Dia lihat wajah lu?” tanya Anta setelah mendengar penjelasan Bintang.
Bintang baru ingat lagi kalau cowok itu tidak melihat wajahnya, lantas kenapa dia harus panik.
“Eh, iya. Dia nggak lihat wajah gue,” jawab Bintang.
“Terus, ngapain lu panik?” Anta menggeleng-geleng kepala, sedangkan Bintang nyengir kuda.
Di depan kelas, guru dan cowok yang terkena lempar sampah Bintang, sudah berdiri menatap lurus ke depan. Para gadis kembali terpesona dan saling bisik membicarakan cowok itu.
“Semua tenang!” perintah guru pria berkacamata dan berperawakan kurus.
“Hari ini kita kedatangan murid baru, dia pindahan dari SMA lain dan mulai saat ini akan bergabung dengan kelas kita,” ujar guru menjelaskan.
Bintang dan Anta memandang ke depan, tapi beda dengan Anta yang fokus dengan ucapan guru mereka, Bintang malah terfokus ke tatapan cowok yang seperti pernah dilihatnya.
“Ayo perkenalkan dirimu!” Guru mempersilakan cowok itu sebelum memulai kelas.
Cowok itu mengulas senyum ke guru bahkan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. Membuat para gadis semakin terkagum-kagum karena senyum cowok itu.
“Ya Tuhan, dia ini kenapa bisa setampan itu.”
Bintang mendengar gadis di sebelahnya memuji cowok itu berlebihan.
“Norak,” gumam Bintang sambil melirik teman sekelasnya itu.
Cowok baru itu memandang sekelas, hingga kemudian mulai bicara untuk memperkenalkan diri sebagai hal wajib bagi murid baru di sana.
“Perkenalkan teman-teman, namaku L Eldar Abimand. Senang bertemu dengan kalian.” Saat mengucap huruf L, tatapan cowok itu tertuju ke satu-satu murid yang ada di kelas, hingga ketika menyebut nama tengah dan belakang, tatapannya jatuh ke Bintang.
Bintang merasa jantungnya berdegup cepat ditatap oleh cowok bernama L Eldar Abimand itu. Kenapa tatapan itu membuatnya gugup, mungkinkah karena Bintang memiliki rasa bersalah kepada cowok itu.
Cowok itu masih menatap Bintang, membuat gadis itu menelan ludah susah payah.
“Kenapa dia menatapku? Dia tak tahu kalau aku yang melemparnya dengan sampah, ‘kan?” Bintang bertanya-tanya dalam hati.
‘Bumi yang kita pijak sama, langit yang ditatap pun sama. Namun, kenapa alam belum mempertemukan kita.’**“Kamu duduk di belakang Bintang.”Guru meminta anak baru itu untuk duduk di belakang Bintang, cowok itu mengangguk sambil membetulkan letak tas yang tersemat di satu pundak, sebelum tatapan tertuju ke Bintang.Bintang terlihat salah tingkah, hanya takut jika cowok itu mengenalinya sebagai pembuang sampah sembarangan.“Dia keren juga,” bisik Anta.Bintang tak mendengarkan ucapan Anta, masih kebingungan jika cowok itu sebenarnya menaruh rasa kesal kepadanya.Cowok bernama L Eldar Abimand itu berjalan ke arah meja yang berada di belakang Bintang. Hingga langkah melambat saat hampir sampai di samping Bintang.Bintang sedikit memalingkan wajah, sudah ketakutan jika cowok itu mengenali dan mempermasalahkan kejadian tadi pagi.Anta sendiri terus memperhatikan Bintang yang bersikap aneh baginya. Hingga dia menatap teman sekelas barunya yang melangkah menuju meja belakang mereka.Anta men
El menaiki motor besarnya dan langsung pulang ke rumah setelah sekolah usai. Cowok itu memasukkan motor ke garasi begitu sampai di rumah mewahnya.Turun dari motor sambil mencangklong tas di satu pundak, El berjalan masuk karena ingin segera ke kamar untuk mandi setelah seharian berkeringat karena kegiatan di sekolah.“El, kamu sudah pulang.” Wanita yang tak lain adalah ibu, memanggil dan menyapa cowok itu.Namun, El tak mendengar panggilan wanita itu, hingga masih terus mengayunkan langkah menuju ke tangga.“El! El! Langit!” teriak wanita itu karena merasa tak diacuhkan sang putra.El atau yang kerap disapa Langit, menghentikan langkah saat ibunya memanggil dengan nama panggilan aslinya. Dia berhenti melangkah di anak tangga pertama, lantas menoleh dan melihat ibunya di ruang keluarga sudah berdiri sambil memandang ke arahnya.“Mimi panggil juga, kenapa tidak menyahut?” Wanita berumur lima puluh tahun itu terlihat kesal karena sang putra mengabaikannya.El adalah nama yang diberikan
"Di mana El? Jangan bilang dia bangun kesiangan lagi.” Kenzo—ayah Langit, melipat koran untuk bersiap sarapan.“Jangan panggil dia El, anakmu itu lebih suka dipanggil Langit,” tegur Joya karena sudah beberapa kali memanggil dengan nama El, tapi putranya tidak mau mendengar.“Sepertinya nama itu memang memiliki arti lain untuk dia, Mi,” timpal Cheryl—kakak angkat Langit.Joya menghela napas kasar, berjalan ke arah tangga untuk memanggil putranya yang selalu kesiangan.“Langit! Turun dan sarapan atau kamu akan terlambat ke sekolah!” teriak Joya dari bawah anak tangga, memandang ke lantai dua di mana kamar Langit berada.“Aku datang!” Terdengar suara teriakan Langit dari lantai dua.Pemuda itu tampak berlari saat menuruni anak tangga, membuat Joya menggelengkan kepala melihat kelakuan putranya.“Pagi, Mi.” Langit langsung mencium pipi Joya.Joya langsung mengusap kasar rambut putranya setelah Langit mencium pipinya. Remaja itu kini sudah sangat tinggi, sama dengan sang ayah yang memang m
Bintang tertidur di kelas setelah jam pelajaran usai. Bahkan Anta tidak berani membangunkan karena adik sepupunya suka menjelma menjadi serigala lapar jika sedang marah. “Bintang!” Suara melengking dan begitu keras mengagetkan Bintang yang berada di kelas itu sendirian. Bintang langsung menegakkan badan dengan pandangan lurus ke depan. “Negara Korea selatan disebut ….” Tiba-tiba bicara tentang pelajaran karena begitu terkejut, bahkan telunjuk berada di udara tepat di depan wajah. Larasati—teman Bintang, tertawa terpingkal melihat temannya yang terkejut sampai bangun dan bicara seolah sedang mendapatkan pertanyaan. Bintang mengerjapkan kelopak mata berulang kali, melihat dan baru sadar jika kelas ternyata kosong. Dia menurunkan telunjuk yang berada di udara, hingga kemudian menoleh dan melihat Laras yang sedang tertawa terpingkal. “Laras sialan!” umpat Bintang kesal. Dia melempar buku yang ada di meja ke arah temannya itu. Laras benar-benar tertawa keras karena merasa lucu dengan
Bintang mengeluarkan sesuatu dari laci, hingga kini memandang origami berbentuk bintang di tangan. Origami yang sama persis dengan miliknya di rumah.“Ini?” Bintang terus memandang origami itu, hingga jantungnya tiba-tiba berdegup dengan cepat.Dia hendak menoleh ke belakang, tapi merasa ragu dan takut.“Tidak mungkin itu dia?” Bintang bertanya-tanya dalam hati.Meskipun Bintang sangat terkejut akan kejadian hari ini dari rambut yang tiba-tiba dikepang, kemudian ada origami di lacinya, tidak lantas membuatnya mengambil keputusan jika semua itu perbuatan Langit—teman masa kecilnya. Lagi pula, mereka sudah berpisah lama, bisa saja Langit juga melupakan dirinya, mengingat dulu Langit pergi tanpa kata. Bisa saja apa yang terjadi adalah keisengan anak-anak lain.**Saat pulang sekolah, Bintang terlihat berjalan bersama Anta keluar dari gedung sekolah.“Mau bareng?” tanya Anta.“Tidak, Pak Ujang nanti jemput,” tolak Bintang atas tawaran Anta.Dari belakang Altair datang dan langsung merangk
Bintang sedang berada di kamar. Tangan kanan memegang origami yang tadi ditemukannya di laci. Bintang terus memperhatikannya, mengangkat tinggi di udara, lantas mengalihkan pandangan ke arah jendela, melihat origami miliknya yang sudah tergantung di sana hampir dua belas tahun.“Apa itu dia? Tapi siapa?” Bintang berpikir keras, di kelasnya tidak ada yang bernama Langit. Kemudian berpikir mungkinkan di kelas lain.Bintang bangun dari berbaring, duduk bersila dengan masih menatap origami. Dia mendesau, lantas memilih bangun dan memasukkan origami tadi ke laci, tidak ingin menggabungkan dengan pemberian Langit karena belum tahu itu dari siapa.Meski Bintang tidak memungkiri jika masih mengingat dan merindukan teman masa kecilnya itu, tapi kepergian Langit yang tiba-tiba membuat Bintang sempat marah dan kesal. Bahkan Bintang sempat membuang origami pemberian Langit ke tong sampah, sampai akhirnya dia membuat keributan di rumah, meminta pembantu membantunya mencari origami itu di tempat sa
Altair nongkrong bersama teman-temannya karena Bintang menolak untuk pergi dengannya. Mereka duduk di atas motor yang terparkir di dekat mall.“Tumben ga ngajak Bintang?” tanya Aldo—teman Altair.“Dia lagi dihukum maminya, entah saja kenapa dia nurut banget ke maminya,” jawab Altair yang sedikit kesal karena Bintang menolak ajakannya.“Ya, mungkin karena dia anak berbakti, bro! Seharusnya lu bangga punya pacar kek gitu.” Aldo menepuk-nepuk pundak Altair saat bicara.Altair mencebik kesal, merasa jika hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan hubungan mereka. Baginya itu pacaran ya bisa pergi bersama, jalan bersama, tanpa alasan ini dan itu.Saat Altair dengan berbincang dengan teman-temannya, Clarisa muncul di sana bersama dua teman lainnya.“Al! Wah ga nyangka ketemu lu di sini,” ucap Clarisa dengan nada centil.Clarisa memang menyukai Altair dari kelas satu, tapi sayangnya Altair tidak pernah meliriknya, bahkan saat kelas dua malah jadian dengan Bintang, membuat Clarisa sedikit kesal.
Bintang duduk di atas ranjang sambil memeluk guling dan meletakkan dagu di ujung guling. Ditatapnya origami bintang yang tergantung di jendelanya. Hingga kelopak matanya terpejam, lantas dia mengingat kenangan saat dirinya masih duduk di bangku taman kanak-kanak, kepingan ingatan yang sebenarnya kini tinggal potongan kecil dan hampir terlupakan.“Apa kamu suka sekali origami ini? Sampai-sampai kamu mau menukar makanan dengan ini?” tanya seorang anak laki-laki ke Bintang kala mereka berada di TK.“Bintang suta, bahkan menggantungnya di kamar biar bisa dilihat terus,” jawab Bintang yang saat itu masih cedal dan tidak bisa menyebut huruf ‘K’.“Padahal kamu bisa buat sendiri, aku sudah mengajarimu,” kata anak laki-laki itu lagi.Bintang mengerucutkan bibir, kemudian bersedekap dada seolah sedang merajuk.“Tida’ mau, buatan Langit lebih bagus!”Bintang membuka kelopak mata setelah selesai mengingat potongan kecil kenangan masa di mana dia memiliki teman yang sangat sabar kepadanya. Jika di
Joya melotot mendengar ucapan Langit, kenapa putranya tiba-tiba ingin kembali pindah sekolah. Sungguh hal ini membuat Joya begitu pusing. “El, jangan bercanda!” “Aku tidak bercanda, Mi. Aku mau pindah sekolah, aku mau keluar negeri,” ujar Langit meyakinkan. Joya memegangi kening sambil mendesis, kemudian menatap putranya dan kembali berkata, “Kamu sebentar lagi ujian, El. Jangan mengada-ada.” “Aku tidak mengada-ada. Aku mau pindah, segera, secepatnya! Jika Mimi tidak mengabulkannya, maka aku tidak akan pernah melanjutkan studiku, biar saja aku tidak memiliki pendidikan!” ancam Langit. Joya semakin syok, bahkan dadanya mendadak sesak karena tidak ada oksigen yang bisa masuk ke paru-parunya. Asisten Joya sampai menopang tubuh atasannya itu, karena Joya hampir limbung. “El, mimi mohon. Jangan bercanda,” ucap Joya sambil mengatur emosi dan juga napas yang terasa berat. “Aku tidak bercanda, Mi. Mimi pilih memindahkanku, atau aku tidak akan pernah mau sekolah.” Joya menatap Langit de
Bintang terduduk lemas di tanah begitu Langit pergi. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah dan menangis sejadinya. Bintang tahu bahwa keputusannya tidak hanya menyakiti Langit, tapi juga menyakiti diri sendiri. Namun, semua keputusan itu dilakukan karena dia takut dan tidak bisa melihat Langit sedih jika mengetahui dirinya sakit. Dia lebih rela dibenci, daripada melihat orang yang dicintainya menangis. “Bin.” Anta ternyata menyusul Bintang setelah melihat Langit pergi. Dia kini melihat adik sepupunya itu duduk di tanah sambil menangis. Bintang mengangkat wajah, kemudian menatap Anta yang memandangnya iba. Bintang tiba-tiba semakin menangis, membuat Anta terkejut dan langsung memeluk Bintang. Bintang pun akhirnya meluapkan rasa sesak di dada, perpisahan dengan Langit sebenarnya menghancurkan dirinya sendiri. “Lihat dirimu, Bin. Apa kamu yakin ingin putus dengan Langit? Kamu tahu jika tidak bisa, kenapa memaksa? Langit harus tahu alasanmu, Bin. Jangan menyakiti
Perubahan Bintang jelas membuat Langit merasa heran. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Bintang menjaga jarak darinya, bahkan Bintang tidak mau diantar pulang dan berkata jika sopir sudah menjemputnya.“El, gue mau ngomong sama loe sepulang sekolah,” ucap Bintang sebelum duduk di kursinya. Dia berdiri dan memandang Langit yang sudah duduk di kursinya.Anta menatap Bintang dan Langit secara bergantian, dia jelas tahu apa yang akan dibicarakan Bintang ke Langit. Namun, dia sudah janji untuk tidak memberitahu Langit, hingga dia pun diam dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa.Langit sendiri terkejut mendengar ucapan Bintang, sudah beberapa hari Bintang menghindarinya, tapi kini dia hendak membicarakan sesuatu dengannya, dan Bintang terlihat begitu serius.“Oke.” Langit pun setuju untuk bicara dengan Bintang sepulang sekolah, meski sedikit merasa aneh dengan sikap Bintang.Bintang tidak tersenyum seperti dulu saat berhadapan dengan Langit. Dia benar-benar bersikap seolah tidak menyukai
Setelah dua hari tidak berangkat sekolah, Bintang akhirnya kembali untuk belajar. Wajahnya pucat dan lesu tidak seperti biasanya. Dia berjalan dan melihat Laras yang sedang menuju gedung sekolah, Bintang pun berjalan dengan cepat untuk menyusul.“Laras!” Bintang memanggil temannya itu.Bintang tahu kalau Laras marah, tapi sebagai teman yang sudah bersama lama, tentunya Bintang ingin memperbaiki itu semua. Dia berusaha mengalah, karena tidak ingin hubungannya dengan Laras rusak.Laras menghentikan langkah mendengar Bintang memanggil, wajahnya terlihat malas seolah benar-benar membenci Bintang hanya masalah laki-laki.“Mau apa lagi loe?” Laras langsung bicara ketus ke Bintang.“Loe masih marah?” tanya Bintang sambil menatap Laras dengan wajah sendu.“Menurut loe?” Laras melipat kedua tangan di depan dada, menatap sinis ke Bintang yang berdiri di depannya.“Apa hanya karena Langit, loe jadi bersikap kek gini? Gue memang suka sama Langit, dia juga gitu. Ya apa salah kalau gue jadian sama
Bintang terdiam di kamarnya setelah makan malam. Dia melihat gelagat aneh dari ayahnya yang hanya diam sejak pulang kerja hingga makan malam. Sesekali Arlan tampak tersenyum ketika bicara, tapi Bintang sadar jika sang papi sedang merasa tertekan.Hingga Bintang mengingat ucapan yang didengarnya saat berada di rumah sakit, saat dia baru sadar setelah mendapatkan penanganan dari dokter.“Jadi, apa yang terjadi dengannya?”“Untuk saat ini, dilihat dari gejala-gejala yang dialami, saya mengindikasi kalau putri Anda mengidap penyakit lupus karena sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Tapi ini hanya indikasi saja, sebab itu kami akan melakukan tes darah dan yang lainnya lebih lanjut untuk memastikan.”Bintang terdiam sambil memeluk kedua kaki dengan tatapan kosong lurus ke depan. Dia mendengar samar-samar pembicaraan dokter dengan kedua orangtuanya saat di rumah sakit, sampai mendengar sang mami yang menangis karena terkejut dengan informasi yang diberikan dokter.Saa
“Bin.” Annetha masuk ke kamar Bintang. Melihat putrinya duduk di atas ranjang sambil menyembunyikan wajah.Bintang buru-buru menyeka buliran kristal bening yang luruh di wajah saat mendengar suara sang mami. Hingga mengangkat wajah dan mencoba tersenyum ke Annetha yang sedang berjalan menghampirinya.“Kamu nangis?” tanya Annetha saat melihat wajah Bintang yang sedikit basah. Belum lagi mata dan hidung Bintang juga merah.“Ga, kok Mi.” Bintang mencoba mengelak.Annetha tidak langsung percaya begitu saja. Namun, dia pun tidak ingin menekan putrinya untuk jujur, jika memang Bintang tidak mau bicara.“Kamu sudah meminum obatmu?” tanya Annetha sambil duduk di tepian ranjang.“Sudah, Mi.”Annetha meraih tangan Bintang, mengamati apakah ruam yang muncul sudah hilang dari kulit putrinya.Bintang memperhatikan sang mami yang tampak cemas, hingga kemudian memberanikan diri bertanya, “Mi, sebenarnya aku sakit apa?” tanya Bintang saat Annetha masih memperhatikan kulit tangannya.“Ya?” Annetha ter
Langit tampak termenung dengan sedotan yang menempel di bibir, sedang berpikir dan merenung kenapa Bintang seharian hanya banyak diam.“Ta, apa Bintang mengatakan sesuatu ke elu?” tanya Langit sambil menegakkan badan.Malam itu Langit sengaja keluar rumah dan pergi menemui Anta di kafe milik orangtua Anta.Anta terlihat berpikir sejenak, mengingat apakah tadi Bintang mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak.“Ga, Bintang juga terus diam sepanjang sisa pelajaran tadi,” jawab Anta setelah sebelumnya menggelengkan kepala pelan.Langit dan Anta terdiam, mereka sama-sama berpikir kenapa Bintang yang biasanya cerewet, tapi tadi berubah menjadi pendiam setelah jam istirahat pertama.“Apa terjadi sesuatu? Bukankah dia tadi bilang mau ketemu Laras, lalu setelah itu dia hanya diam. Gue mau tanya lebih lanjut, tapi Bintang seperti ga mau cerita, ya gue akhirnya ga tanya,” ujar Langit saat mengingat keanehan Bintang.Anta mengangguk-angguk, hingga kemudian berkata, “Apa kita tanya Laras saja?”“
“Bin. Kamu kenapa? Sejak tadi aku perhatikan kamu lebih banyak diam?” tanya Langit saat mengantar Bintang pulang.Bintang sedang melamun saat Langit bertanya, hingga tersadar dan mencoba bersikap biasa.“Tidak ada, itu hanya perasaanmu saja,” jawab Bintang mengelak.“Kamu yakin?” tanya Langit lagi memastikan. Dia tidak bisa melihat wajah Bintang karena sedang melajukan motornya, sehingga hanya bisa mendengar suara Bintang.“Ya,” jawab Bintang untuk meyakinkan.Langit pun tidak banyak bertanya lagi, memilih fokus ke jalanan hingga akhirnya sampai di depan gerbang rumah Bintang.Bintang turun dari motor, melepas helm dan mengembalikan ke Langit.“Bin, kamu yakin ga kenapa-napa? Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita,” kata Langit yang tidak percaya kalau Bintang sedang tidak dalam masalah.“Aku ga kenapa-napa, kamu jangan cemas,” balas Bintang sambil mencoba mengulas senyum. Mencoba meyakinkan Langit jika semuanya baik-baik saja.Langit terus menatap wajah Bintang, entah kenapa merasa ada
Bintang pergi ke sekolah seperti biasa, setelah semalam dia sempat merasa demam, tapi pagi hari tampak biasa dan sengaja tidak memberitahu kedua orangtuanya terutama Arlan karena takut membuat sang papi cemas.“Laras?” Bintang melihat Laras yang sedang berjalan memasuki gerbang. Dia pun baru saja turun dari mobil, lantas mengejar Laras karena lama tidak mengobrol dengan temannya itu.“Laras!” Bintang memanggil Laras dengan suara lantang.Laras menghentikan langkah sejenak mendengar suara Bintang, tapi kemudian memilih mengayunkan langkah seolah tidak mendengar.Bintang keheranan karena Laras tidak berhenti melangkah, mungkinkah temannya itu tidak mendengar panggilannya. Bintang pun akhirnya mengejar agar bisa berbincang dengan temannya itu.“Laras, hei! Jalannya cepet amat,” ucap Bintang saat sudah mensejajari langkah Laras.Laras tidak menjawab ucapan Bintang, seolah berniat mengabaikan dan terus melangkah tanpa menoleh temannya itu sama sekali.Bintang menghentikan langkah, merasa a