Langit tampak termenung dengan sedotan yang menempel di bibir, sedang berpikir dan merenung kenapa Bintang seharian hanya banyak diam.“Ta, apa Bintang mengatakan sesuatu ke elu?” tanya Langit sambil menegakkan badan.Malam itu Langit sengaja keluar rumah dan pergi menemui Anta di kafe milik orangtua Anta.Anta terlihat berpikir sejenak, mengingat apakah tadi Bintang mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak.“Ga, Bintang juga terus diam sepanjang sisa pelajaran tadi,” jawab Anta setelah sebelumnya menggelengkan kepala pelan.Langit dan Anta terdiam, mereka sama-sama berpikir kenapa Bintang yang biasanya cerewet, tapi tadi berubah menjadi pendiam setelah jam istirahat pertama.“Apa terjadi sesuatu? Bukankah dia tadi bilang mau ketemu Laras, lalu setelah itu dia hanya diam. Gue mau tanya lebih lanjut, tapi Bintang seperti ga mau cerita, ya gue akhirnya ga tanya,” ujar Langit saat mengingat keanehan Bintang.Anta mengangguk-angguk, hingga kemudian berkata, “Apa kita tanya Laras saja?”“
“Bin.” Annetha masuk ke kamar Bintang. Melihat putrinya duduk di atas ranjang sambil menyembunyikan wajah.Bintang buru-buru menyeka buliran kristal bening yang luruh di wajah saat mendengar suara sang mami. Hingga mengangkat wajah dan mencoba tersenyum ke Annetha yang sedang berjalan menghampirinya.“Kamu nangis?” tanya Annetha saat melihat wajah Bintang yang sedikit basah. Belum lagi mata dan hidung Bintang juga merah.“Ga, kok Mi.” Bintang mencoba mengelak.Annetha tidak langsung percaya begitu saja. Namun, dia pun tidak ingin menekan putrinya untuk jujur, jika memang Bintang tidak mau bicara.“Kamu sudah meminum obatmu?” tanya Annetha sambil duduk di tepian ranjang.“Sudah, Mi.”Annetha meraih tangan Bintang, mengamati apakah ruam yang muncul sudah hilang dari kulit putrinya.Bintang memperhatikan sang mami yang tampak cemas, hingga kemudian memberanikan diri bertanya, “Mi, sebenarnya aku sakit apa?” tanya Bintang saat Annetha masih memperhatikan kulit tangannya.“Ya?” Annetha ter
Bintang terdiam di kamarnya setelah makan malam. Dia melihat gelagat aneh dari ayahnya yang hanya diam sejak pulang kerja hingga makan malam. Sesekali Arlan tampak tersenyum ketika bicara, tapi Bintang sadar jika sang papi sedang merasa tertekan.Hingga Bintang mengingat ucapan yang didengarnya saat berada di rumah sakit, saat dia baru sadar setelah mendapatkan penanganan dari dokter.“Jadi, apa yang terjadi dengannya?”“Untuk saat ini, dilihat dari gejala-gejala yang dialami, saya mengindikasi kalau putri Anda mengidap penyakit lupus karena sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Tapi ini hanya indikasi saja, sebab itu kami akan melakukan tes darah dan yang lainnya lebih lanjut untuk memastikan.”Bintang terdiam sambil memeluk kedua kaki dengan tatapan kosong lurus ke depan. Dia mendengar samar-samar pembicaraan dokter dengan kedua orangtuanya saat di rumah sakit, sampai mendengar sang mami yang menangis karena terkejut dengan informasi yang diberikan dokter.Saa
Setelah dua hari tidak berangkat sekolah, Bintang akhirnya kembali untuk belajar. Wajahnya pucat dan lesu tidak seperti biasanya. Dia berjalan dan melihat Laras yang sedang menuju gedung sekolah, Bintang pun berjalan dengan cepat untuk menyusul.“Laras!” Bintang memanggil temannya itu.Bintang tahu kalau Laras marah, tapi sebagai teman yang sudah bersama lama, tentunya Bintang ingin memperbaiki itu semua. Dia berusaha mengalah, karena tidak ingin hubungannya dengan Laras rusak.Laras menghentikan langkah mendengar Bintang memanggil, wajahnya terlihat malas seolah benar-benar membenci Bintang hanya masalah laki-laki.“Mau apa lagi loe?” Laras langsung bicara ketus ke Bintang.“Loe masih marah?” tanya Bintang sambil menatap Laras dengan wajah sendu.“Menurut loe?” Laras melipat kedua tangan di depan dada, menatap sinis ke Bintang yang berdiri di depannya.“Apa hanya karena Langit, loe jadi bersikap kek gini? Gue memang suka sama Langit, dia juga gitu. Ya apa salah kalau gue jadian sama
Perubahan Bintang jelas membuat Langit merasa heran. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Bintang menjaga jarak darinya, bahkan Bintang tidak mau diantar pulang dan berkata jika sopir sudah menjemputnya.“El, gue mau ngomong sama loe sepulang sekolah,” ucap Bintang sebelum duduk di kursinya. Dia berdiri dan memandang Langit yang sudah duduk di kursinya.Anta menatap Bintang dan Langit secara bergantian, dia jelas tahu apa yang akan dibicarakan Bintang ke Langit. Namun, dia sudah janji untuk tidak memberitahu Langit, hingga dia pun diam dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa.Langit sendiri terkejut mendengar ucapan Bintang, sudah beberapa hari Bintang menghindarinya, tapi kini dia hendak membicarakan sesuatu dengannya, dan Bintang terlihat begitu serius.“Oke.” Langit pun setuju untuk bicara dengan Bintang sepulang sekolah, meski sedikit merasa aneh dengan sikap Bintang.Bintang tidak tersenyum seperti dulu saat berhadapan dengan Langit. Dia benar-benar bersikap seolah tidak menyukai
Bintang terduduk lemas di tanah begitu Langit pergi. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah dan menangis sejadinya. Bintang tahu bahwa keputusannya tidak hanya menyakiti Langit, tapi juga menyakiti diri sendiri. Namun, semua keputusan itu dilakukan karena dia takut dan tidak bisa melihat Langit sedih jika mengetahui dirinya sakit. Dia lebih rela dibenci, daripada melihat orang yang dicintainya menangis. “Bin.” Anta ternyata menyusul Bintang setelah melihat Langit pergi. Dia kini melihat adik sepupunya itu duduk di tanah sambil menangis. Bintang mengangkat wajah, kemudian menatap Anta yang memandangnya iba. Bintang tiba-tiba semakin menangis, membuat Anta terkejut dan langsung memeluk Bintang. Bintang pun akhirnya meluapkan rasa sesak di dada, perpisahan dengan Langit sebenarnya menghancurkan dirinya sendiri. “Lihat dirimu, Bin. Apa kamu yakin ingin putus dengan Langit? Kamu tahu jika tidak bisa, kenapa memaksa? Langit harus tahu alasanmu, Bin. Jangan menyakiti
Joya melotot mendengar ucapan Langit, kenapa putranya tiba-tiba ingin kembali pindah sekolah. Sungguh hal ini membuat Joya begitu pusing. “El, jangan bercanda!” “Aku tidak bercanda, Mi. Aku mau pindah sekolah, aku mau keluar negeri,” ujar Langit meyakinkan. Joya memegangi kening sambil mendesis, kemudian menatap putranya dan kembali berkata, “Kamu sebentar lagi ujian, El. Jangan mengada-ada.” “Aku tidak mengada-ada. Aku mau pindah, segera, secepatnya! Jika Mimi tidak mengabulkannya, maka aku tidak akan pernah melanjutkan studiku, biar saja aku tidak memiliki pendidikan!” ancam Langit. Joya semakin syok, bahkan dadanya mendadak sesak karena tidak ada oksigen yang bisa masuk ke paru-parunya. Asisten Joya sampai menopang tubuh atasannya itu, karena Joya hampir limbung. “El, mimi mohon. Jangan bercanda,” ucap Joya sambil mengatur emosi dan juga napas yang terasa berat. “Aku tidak bercanda, Mi. Mimi pilih memindahkanku, atau aku tidak akan pernah mau sekolah.” Joya menatap Langit de
Bintang selalu menemani langit di malam hari, memberi gelapnya langit malam dengan taburan cahaya yang memancar begitu terang. Namun, bagaimana jika langit tiba-tiba tidak terlihat, hanya ada bintang yang berpijar, seolah langit sedang berkhianat kepada bintang yang selalu setia.**Suara pintu terbuka terdengar begitu pelan, ruangan yang awalnya gelap kini terkena sedikit cahaya dari luar. Sepasang kaki telanjang terlihat berpijak di lantai dengan sangat perlahan, takut jika siapa yang ada di dalam rumah itu terbangun kemudian menunjukkan murkanya.Seorang gadis terlihat mengendap-endap masuk setelah menutup pintu dengan rapat. Hingga langkah terhenti ketika lampu ruangan itu tiba-tiba menyala dan memperlihatkan seluruh isi ruangan.“Mami,” lirih gadis itu sambil memejamkan mata. Tubuhnya tiba-tiba berubah kaku dan tegap seperti patung tanpa gaya.“Dari mana kamu? Bagus sekali jam segini baru pulang.”Suara seorang wanita terdengar menusuk di telinga gadis tadi, meski tak begitu lant
Joya melotot mendengar ucapan Langit, kenapa putranya tiba-tiba ingin kembali pindah sekolah. Sungguh hal ini membuat Joya begitu pusing. “El, jangan bercanda!” “Aku tidak bercanda, Mi. Aku mau pindah sekolah, aku mau keluar negeri,” ujar Langit meyakinkan. Joya memegangi kening sambil mendesis, kemudian menatap putranya dan kembali berkata, “Kamu sebentar lagi ujian, El. Jangan mengada-ada.” “Aku tidak mengada-ada. Aku mau pindah, segera, secepatnya! Jika Mimi tidak mengabulkannya, maka aku tidak akan pernah melanjutkan studiku, biar saja aku tidak memiliki pendidikan!” ancam Langit. Joya semakin syok, bahkan dadanya mendadak sesak karena tidak ada oksigen yang bisa masuk ke paru-parunya. Asisten Joya sampai menopang tubuh atasannya itu, karena Joya hampir limbung. “El, mimi mohon. Jangan bercanda,” ucap Joya sambil mengatur emosi dan juga napas yang terasa berat. “Aku tidak bercanda, Mi. Mimi pilih memindahkanku, atau aku tidak akan pernah mau sekolah.” Joya menatap Langit de
Bintang terduduk lemas di tanah begitu Langit pergi. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah dan menangis sejadinya. Bintang tahu bahwa keputusannya tidak hanya menyakiti Langit, tapi juga menyakiti diri sendiri. Namun, semua keputusan itu dilakukan karena dia takut dan tidak bisa melihat Langit sedih jika mengetahui dirinya sakit. Dia lebih rela dibenci, daripada melihat orang yang dicintainya menangis. “Bin.” Anta ternyata menyusul Bintang setelah melihat Langit pergi. Dia kini melihat adik sepupunya itu duduk di tanah sambil menangis. Bintang mengangkat wajah, kemudian menatap Anta yang memandangnya iba. Bintang tiba-tiba semakin menangis, membuat Anta terkejut dan langsung memeluk Bintang. Bintang pun akhirnya meluapkan rasa sesak di dada, perpisahan dengan Langit sebenarnya menghancurkan dirinya sendiri. “Lihat dirimu, Bin. Apa kamu yakin ingin putus dengan Langit? Kamu tahu jika tidak bisa, kenapa memaksa? Langit harus tahu alasanmu, Bin. Jangan menyakiti
Perubahan Bintang jelas membuat Langit merasa heran. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Bintang menjaga jarak darinya, bahkan Bintang tidak mau diantar pulang dan berkata jika sopir sudah menjemputnya.“El, gue mau ngomong sama loe sepulang sekolah,” ucap Bintang sebelum duduk di kursinya. Dia berdiri dan memandang Langit yang sudah duduk di kursinya.Anta menatap Bintang dan Langit secara bergantian, dia jelas tahu apa yang akan dibicarakan Bintang ke Langit. Namun, dia sudah janji untuk tidak memberitahu Langit, hingga dia pun diam dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa.Langit sendiri terkejut mendengar ucapan Bintang, sudah beberapa hari Bintang menghindarinya, tapi kini dia hendak membicarakan sesuatu dengannya, dan Bintang terlihat begitu serius.“Oke.” Langit pun setuju untuk bicara dengan Bintang sepulang sekolah, meski sedikit merasa aneh dengan sikap Bintang.Bintang tidak tersenyum seperti dulu saat berhadapan dengan Langit. Dia benar-benar bersikap seolah tidak menyukai
Setelah dua hari tidak berangkat sekolah, Bintang akhirnya kembali untuk belajar. Wajahnya pucat dan lesu tidak seperti biasanya. Dia berjalan dan melihat Laras yang sedang menuju gedung sekolah, Bintang pun berjalan dengan cepat untuk menyusul.“Laras!” Bintang memanggil temannya itu.Bintang tahu kalau Laras marah, tapi sebagai teman yang sudah bersama lama, tentunya Bintang ingin memperbaiki itu semua. Dia berusaha mengalah, karena tidak ingin hubungannya dengan Laras rusak.Laras menghentikan langkah mendengar Bintang memanggil, wajahnya terlihat malas seolah benar-benar membenci Bintang hanya masalah laki-laki.“Mau apa lagi loe?” Laras langsung bicara ketus ke Bintang.“Loe masih marah?” tanya Bintang sambil menatap Laras dengan wajah sendu.“Menurut loe?” Laras melipat kedua tangan di depan dada, menatap sinis ke Bintang yang berdiri di depannya.“Apa hanya karena Langit, loe jadi bersikap kek gini? Gue memang suka sama Langit, dia juga gitu. Ya apa salah kalau gue jadian sama
Bintang terdiam di kamarnya setelah makan malam. Dia melihat gelagat aneh dari ayahnya yang hanya diam sejak pulang kerja hingga makan malam. Sesekali Arlan tampak tersenyum ketika bicara, tapi Bintang sadar jika sang papi sedang merasa tertekan.Hingga Bintang mengingat ucapan yang didengarnya saat berada di rumah sakit, saat dia baru sadar setelah mendapatkan penanganan dari dokter.“Jadi, apa yang terjadi dengannya?”“Untuk saat ini, dilihat dari gejala-gejala yang dialami, saya mengindikasi kalau putri Anda mengidap penyakit lupus karena sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Tapi ini hanya indikasi saja, sebab itu kami akan melakukan tes darah dan yang lainnya lebih lanjut untuk memastikan.”Bintang terdiam sambil memeluk kedua kaki dengan tatapan kosong lurus ke depan. Dia mendengar samar-samar pembicaraan dokter dengan kedua orangtuanya saat di rumah sakit, sampai mendengar sang mami yang menangis karena terkejut dengan informasi yang diberikan dokter.Saa
“Bin.” Annetha masuk ke kamar Bintang. Melihat putrinya duduk di atas ranjang sambil menyembunyikan wajah.Bintang buru-buru menyeka buliran kristal bening yang luruh di wajah saat mendengar suara sang mami. Hingga mengangkat wajah dan mencoba tersenyum ke Annetha yang sedang berjalan menghampirinya.“Kamu nangis?” tanya Annetha saat melihat wajah Bintang yang sedikit basah. Belum lagi mata dan hidung Bintang juga merah.“Ga, kok Mi.” Bintang mencoba mengelak.Annetha tidak langsung percaya begitu saja. Namun, dia pun tidak ingin menekan putrinya untuk jujur, jika memang Bintang tidak mau bicara.“Kamu sudah meminum obatmu?” tanya Annetha sambil duduk di tepian ranjang.“Sudah, Mi.”Annetha meraih tangan Bintang, mengamati apakah ruam yang muncul sudah hilang dari kulit putrinya.Bintang memperhatikan sang mami yang tampak cemas, hingga kemudian memberanikan diri bertanya, “Mi, sebenarnya aku sakit apa?” tanya Bintang saat Annetha masih memperhatikan kulit tangannya.“Ya?” Annetha ter
Langit tampak termenung dengan sedotan yang menempel di bibir, sedang berpikir dan merenung kenapa Bintang seharian hanya banyak diam.“Ta, apa Bintang mengatakan sesuatu ke elu?” tanya Langit sambil menegakkan badan.Malam itu Langit sengaja keluar rumah dan pergi menemui Anta di kafe milik orangtua Anta.Anta terlihat berpikir sejenak, mengingat apakah tadi Bintang mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak.“Ga, Bintang juga terus diam sepanjang sisa pelajaran tadi,” jawab Anta setelah sebelumnya menggelengkan kepala pelan.Langit dan Anta terdiam, mereka sama-sama berpikir kenapa Bintang yang biasanya cerewet, tapi tadi berubah menjadi pendiam setelah jam istirahat pertama.“Apa terjadi sesuatu? Bukankah dia tadi bilang mau ketemu Laras, lalu setelah itu dia hanya diam. Gue mau tanya lebih lanjut, tapi Bintang seperti ga mau cerita, ya gue akhirnya ga tanya,” ujar Langit saat mengingat keanehan Bintang.Anta mengangguk-angguk, hingga kemudian berkata, “Apa kita tanya Laras saja?”“
“Bin. Kamu kenapa? Sejak tadi aku perhatikan kamu lebih banyak diam?” tanya Langit saat mengantar Bintang pulang.Bintang sedang melamun saat Langit bertanya, hingga tersadar dan mencoba bersikap biasa.“Tidak ada, itu hanya perasaanmu saja,” jawab Bintang mengelak.“Kamu yakin?” tanya Langit lagi memastikan. Dia tidak bisa melihat wajah Bintang karena sedang melajukan motornya, sehingga hanya bisa mendengar suara Bintang.“Ya,” jawab Bintang untuk meyakinkan.Langit pun tidak banyak bertanya lagi, memilih fokus ke jalanan hingga akhirnya sampai di depan gerbang rumah Bintang.Bintang turun dari motor, melepas helm dan mengembalikan ke Langit.“Bin, kamu yakin ga kenapa-napa? Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita,” kata Langit yang tidak percaya kalau Bintang sedang tidak dalam masalah.“Aku ga kenapa-napa, kamu jangan cemas,” balas Bintang sambil mencoba mengulas senyum. Mencoba meyakinkan Langit jika semuanya baik-baik saja.Langit terus menatap wajah Bintang, entah kenapa merasa ada
Bintang pergi ke sekolah seperti biasa, setelah semalam dia sempat merasa demam, tapi pagi hari tampak biasa dan sengaja tidak memberitahu kedua orangtuanya terutama Arlan karena takut membuat sang papi cemas.“Laras?” Bintang melihat Laras yang sedang berjalan memasuki gerbang. Dia pun baru saja turun dari mobil, lantas mengejar Laras karena lama tidak mengobrol dengan temannya itu.“Laras!” Bintang memanggil Laras dengan suara lantang.Laras menghentikan langkah sejenak mendengar suara Bintang, tapi kemudian memilih mengayunkan langkah seolah tidak mendengar.Bintang keheranan karena Laras tidak berhenti melangkah, mungkinkah temannya itu tidak mendengar panggilannya. Bintang pun akhirnya mengejar agar bisa berbincang dengan temannya itu.“Laras, hei! Jalannya cepet amat,” ucap Bintang saat sudah mensejajari langkah Laras.Laras tidak menjawab ucapan Bintang, seolah berniat mengabaikan dan terus melangkah tanpa menoleh temannya itu sama sekali.Bintang menghentikan langkah, merasa a