Bimantara dan Pendekar Sungai Panjang pun berhasil keluar dari gerbang perbatasan itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kediamannya. Pendekar Sungai Panjang menoleh pada Bimantara. Dia masih sangat penasaran dengan kitab yang diterimanya.“Sepertinya Maha Dewa telah banyak mengajarkanmu,” ucap Pendekar Sungai Panjang penasaran. “Kau lebih tahu tentang kitab dari para leluhur itu.”“Aku tidak tahu mengenai kekuatan apa yang ada di dalam kitab itu,” sahut Bimantara. “Di dalam kitab petunjuk tentang para panglima pun tidak dijelaskan kau memiliki kekuatan selain ahli dalam seni pengobatan.”“Aku sungguh penasaran. Rasanya tidak mungkin aku tidak belajar ilmu bela diri secara langsung, tapi dengan aliran cahaya itu aku akan menguasai semuanya,” ucap Pendekar Sungai Panjang.Bimantara pun berhenti berjalan. Pendekar Sungai Panjang pun berhenti dengan heran. Seketika Bimantara mengarahkan pukulannya ke dada Pendekar Sungai Panjang, lalu dengan sigap pendekar itu menangkis pukulannya
Naga itu mendarat di sebuah negeri berkabut. Bimantara turun bersama Raja Dawuh, Bahari dan Pendekar Sungai Panjang dari punggung naga. Setelah itu, naga yang membawa mereka ke sana kembali terbang meninggalkan tempat itu. Bimantara mengitari sekitar. Tak ada yang bisa mereka lihat di tempat itu kecuali kabut putih. Negeri itu begitu dingin. Hawa dinginnya terasa menusuk tulang. Sesekali terdengar suara burung gagak di kejauhan.“Di mana kita, Bimantara?” tanya Raja Dawuh heran.“Inilah sebuah negeri di mana Pendekar Dua Alam tinggal,” jawab Bimantara.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang tampak penasaran.“Apakah dia dari golongan bangsa roh?” tanya Bahari.“Dia manusia biasa,” jawab Bimantara. “Dia disebut para dewa sebagai pendekar dua alam karena mampu membangkitkan roh-roh baik nan sakti untuk kembali hidup.”Pendekar Sungai Panjang semakin penasaran mendengar itu.“Membangkitkan orang mati?”“Ya,” jawab Bimantara. “Sepertinya para Dewa menghendakinya bergabung denganku hanya karen
Bimantara tampak bingung setelah itu. Bahari, Raja Dawuh dan Pendekar Sungai Panjang menunggu keputusan berikutnya.“Kita harus kemana sekarang, Bimantara?” tanya Raja Dawuh.Bimantara pun tampak bingung karena tidak bisa menerawang keberadaan Pendekar Dua Alam di sana.“Aku tidak tahu di mana keberadaan Pendekar Sungai Panjang. Aku tidak bisa menerawang di tempat ini. Harusnya kita harus menyisakan satu diantara para prajurit yang telah mati ini,” jawab Bimantara.Pendekar Sungai Panjang pun memperhatikan satu persatu mayat-mayat para prajurit yang telah mati itu. Dia tampak terkejut melihat pakaian yang dipakai mereka. Apalagi saat melihat sebuah koin emas yang terjatuh dari saku pakaian salah satu prajurit yang dilihatnya. Pendekar Sungai Panjang pun meraih koin emas itu lalu memeriksanya. Sesaat kemudian dia tampak mengernyit heran.Bimantara, Bahari dan Raja Dawuh pun heran melihat Pendekar Sungai Panjang seperti terkejut menatap koin emas di tangannya.“Ada apa?” tanya Bahari he
“Kenapa kau tidak mau menjadi Chandaka Uddhiharta?” tanya Bimantara.“Maha Dewa tidak mendengar keinginanku,” jawab Pendekar Dua Alam.“Apa keinginanmu? Aku akan membantumu memohon pada Maha Dewa untuk mewujudkannya asal kau mau bergabung dengan kami,” ujar Bimantara.Pendekar Dua Alam tertawa.“Aku saja tidak dikabulkannya, apalagi kau yang masih bau kencur,” ucap Pendekar Dua Alam meremehkannya.Raja Dawuh tampak kesal mendengar itu, namun dia berusaha untuk sabar. Jika dia marah, sudah pasti Bimantara akan mengingatkannya. Raja Dawuh memilih menahan rasa kesalnya.“Bagaimana jika aku berhasil?” tantang Bimantara.“Silakan! Jika kau berhasil, aku berjanji akan membantumu sepenuh hatiku dan aku akan tunduk padamu,” ucap Pendekar Dua Alam yang masih tampak meremehkannya.“Apa yang kau inginkan dari Maha Dewa?” tanya Bimantara memastikan.Pendekar Dua Alam berjalan mendekat ke Bimantara sambil menatap kedua bola matanya dengan lekat. Dia berhenti tepat di hadapan Bimantara. Sementara R
Pendekar Dua Alam tampak menunggu Bimantara bersama Bahari, Raja Dawuh dan Pendekar Sungai Panjang. Kabut masih tampak tebal di sana. Semua menunggu, namun Bimantara belum datang juga. Bahari menatap Pendekar Dua Alam dengan lekat. Dia seperti ingin bertanya sesuatu.“Memangnya begitu pentingkah kau meminta maaf pada istrimu yang telah tiada?” tanya Bahari dengan heran.“Kau tidak mengerti, sebaiknya jangan kau tanyakan itu,” ucap Pendekar Dua Alam.“Aku belum merasakan apa itu cinta, makanya aku penasaran,” celetuk Bahari.Pendekar Dua Alam menatap satu persatu ketiga Panglima itu. Dia menyunggingkan senyum sedikit.“Apa kalian tidak tahu siapa kalian di masa lalu?” tanya Pendekar Dua Alam pada mereka semua.Bahari, Raja Dawuh dan Pendekar Sungai Panjang mengernyit bersamaan.“Masa lalu?” tanya Raja Dawuh yang mulai tertarik dengan pertanyaan itu.“Iya, kalian di masa lalu.” Pendekar Dua Alam menegaskan.“Maksudmu kita ini wujud reinkarnasi dari masa lalu?” tanya Pendekar Sungai Panj
Pendekar Dua Alam berdiri sambil memandangi makam istrinya. Seketika makam yang dilihatnya itu bergetar. Bimantara ikut berdiri melihatnya. Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Raja Dawuh pun tampak heran.“Istriku!” teriak Pendekar Dua Alam tampak tak percaya. Dia bergegas mendekati makam itu. Pendekar berumur panjang itu pun duduk bersila. Dia membacakan mantara untuk membangkitkan istrinya kembali. Namun saat dia berusaha melakukannya, bukan istrinya yang hidup kembali, tapi malah keluar selembar kain dari dalam kuburan itu. Selembar kain itu terbang ke atas sambil mengeluarkan sedikit percikan api.Pendekar Dua Alam heran melihat itu.“Kenapa aku masih tidak bisa membangkitkannya?!” tanya Pendekar Dua Alam dengan kesal.Bimantara tampak bingung melihat itu. Dia khawatir benar-benar tidak dapat menarik pendekar itu sebagai Panglima keempatnya. Sementara Raja Dawuh, Bahari dan Pendekar Sungai Panjang tampak diam. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan Pendekar Dua Alam selanjutnya.
“Aku yang membangunkanmu!” ucap Pendekar Dua Alam pada Pendekar Buruk Rupa yang sekarang sudah kembali menjadi manusia.Bimantara masih tercengang melihatnya. Wajahnya sangat mirip dengan Pendekar Buruk Rupa yang dahulu menjadi Panglima Iblis yang pernah dibunuhnya. Mungkin pendekar itu dahulunya juga mendapatkan kutukan dari Penguasa Iblis itu, atau dia adalah keturunan yang berbelok menjadi pengikut iblis yang masih mendapatkan kutukan dari yang mengutuk Pendekar Buruk Rupa yang berada di hadapannya itu.Pendekar Buruk Rupa itu langsung menggunakan jurusnya. Dia tampak marah dibangkitkan kembali ke dunia. Seketika golok hitam terbang ke arahnya. Tangannya langsung menangkap golok hitam itu lalu dilemparnya pada Pendekar Dua Alam. Bimantara langsung menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau golok hitam itu. Golok hitam itu terkena tendangan Bimantara hingga berputar menjauhinya.Pendekar Buruk Rupa kembali menangkapnya. Kali ini sasarannya adalah Bimantara.“Hentikan!” pi
“Kalau begitu, kita harus segera pergi ke negeri para naga. Masing-masing dari kita harus mendapatkan naga di sana. Setelah itu masing-masing dari kita akan menunggangi naga itu menuju negeri salju,” pinta Bimantara pada semuanya.Tanaka, Bahari, Raja Dawuh, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang pun mengangguk. Bimantara pun kembali bersiul. Tak lama kemudian naga besar itu datang. Mereka berenam pun menaiki punggung naga itu. Lalu naga itu terbang menuju sebuah negeri tempat naga-naga bersemayam. Di negeri itu tidak ada manusia yang hidup di sana. Negeri itu hanya ditempati oleh naga dari berbagai jenis saja.Setelah berhari-hari Bimantara dan kelima Panglima terbang bersama seekor naga, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau karang yang luas. Pulau itu memiliki bukit karang yang tinggi seperti menara. Naga yang ditunggangi Bimantara dan kelima Panglimanya itu bersuara keras saat sudah berada di atas pulau itu. Ia menyemburkan kobaran api yang sangat besar. Lalu naga-naga di ba
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it