“Kenapa kau tidak mau menjadi Chandaka Uddhiharta?” tanya Bimantara.“Maha Dewa tidak mendengar keinginanku,” jawab Pendekar Dua Alam.“Apa keinginanmu? Aku akan membantumu memohon pada Maha Dewa untuk mewujudkannya asal kau mau bergabung dengan kami,” ujar Bimantara.Pendekar Dua Alam tertawa.“Aku saja tidak dikabulkannya, apalagi kau yang masih bau kencur,” ucap Pendekar Dua Alam meremehkannya.Raja Dawuh tampak kesal mendengar itu, namun dia berusaha untuk sabar. Jika dia marah, sudah pasti Bimantara akan mengingatkannya. Raja Dawuh memilih menahan rasa kesalnya.“Bagaimana jika aku berhasil?” tantang Bimantara.“Silakan! Jika kau berhasil, aku berjanji akan membantumu sepenuh hatiku dan aku akan tunduk padamu,” ucap Pendekar Dua Alam yang masih tampak meremehkannya.“Apa yang kau inginkan dari Maha Dewa?” tanya Bimantara memastikan.Pendekar Dua Alam berjalan mendekat ke Bimantara sambil menatap kedua bola matanya dengan lekat. Dia berhenti tepat di hadapan Bimantara. Sementara R
Pendekar Dua Alam tampak menunggu Bimantara bersama Bahari, Raja Dawuh dan Pendekar Sungai Panjang. Kabut masih tampak tebal di sana. Semua menunggu, namun Bimantara belum datang juga. Bahari menatap Pendekar Dua Alam dengan lekat. Dia seperti ingin bertanya sesuatu.“Memangnya begitu pentingkah kau meminta maaf pada istrimu yang telah tiada?” tanya Bahari dengan heran.“Kau tidak mengerti, sebaiknya jangan kau tanyakan itu,” ucap Pendekar Dua Alam.“Aku belum merasakan apa itu cinta, makanya aku penasaran,” celetuk Bahari.Pendekar Dua Alam menatap satu persatu ketiga Panglima itu. Dia menyunggingkan senyum sedikit.“Apa kalian tidak tahu siapa kalian di masa lalu?” tanya Pendekar Dua Alam pada mereka semua.Bahari, Raja Dawuh dan Pendekar Sungai Panjang mengernyit bersamaan.“Masa lalu?” tanya Raja Dawuh yang mulai tertarik dengan pertanyaan itu.“Iya, kalian di masa lalu.” Pendekar Dua Alam menegaskan.“Maksudmu kita ini wujud reinkarnasi dari masa lalu?” tanya Pendekar Sungai Panj
Pendekar Dua Alam berdiri sambil memandangi makam istrinya. Seketika makam yang dilihatnya itu bergetar. Bimantara ikut berdiri melihatnya. Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Raja Dawuh pun tampak heran.“Istriku!” teriak Pendekar Dua Alam tampak tak percaya. Dia bergegas mendekati makam itu. Pendekar berumur panjang itu pun duduk bersila. Dia membacakan mantara untuk membangkitkan istrinya kembali. Namun saat dia berusaha melakukannya, bukan istrinya yang hidup kembali, tapi malah keluar selembar kain dari dalam kuburan itu. Selembar kain itu terbang ke atas sambil mengeluarkan sedikit percikan api.Pendekar Dua Alam heran melihat itu.“Kenapa aku masih tidak bisa membangkitkannya?!” tanya Pendekar Dua Alam dengan kesal.Bimantara tampak bingung melihat itu. Dia khawatir benar-benar tidak dapat menarik pendekar itu sebagai Panglima keempatnya. Sementara Raja Dawuh, Bahari dan Pendekar Sungai Panjang tampak diam. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan Pendekar Dua Alam selanjutnya.
“Aku yang membangunkanmu!” ucap Pendekar Dua Alam pada Pendekar Buruk Rupa yang sekarang sudah kembali menjadi manusia.Bimantara masih tercengang melihatnya. Wajahnya sangat mirip dengan Pendekar Buruk Rupa yang dahulu menjadi Panglima Iblis yang pernah dibunuhnya. Mungkin pendekar itu dahulunya juga mendapatkan kutukan dari Penguasa Iblis itu, atau dia adalah keturunan yang berbelok menjadi pengikut iblis yang masih mendapatkan kutukan dari yang mengutuk Pendekar Buruk Rupa yang berada di hadapannya itu.Pendekar Buruk Rupa itu langsung menggunakan jurusnya. Dia tampak marah dibangkitkan kembali ke dunia. Seketika golok hitam terbang ke arahnya. Tangannya langsung menangkap golok hitam itu lalu dilemparnya pada Pendekar Dua Alam. Bimantara langsung menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau golok hitam itu. Golok hitam itu terkena tendangan Bimantara hingga berputar menjauhinya.Pendekar Buruk Rupa kembali menangkapnya. Kali ini sasarannya adalah Bimantara.“Hentikan!” pi
“Kalau begitu, kita harus segera pergi ke negeri para naga. Masing-masing dari kita harus mendapatkan naga di sana. Setelah itu masing-masing dari kita akan menunggangi naga itu menuju negeri salju,” pinta Bimantara pada semuanya.Tanaka, Bahari, Raja Dawuh, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang pun mengangguk. Bimantara pun kembali bersiul. Tak lama kemudian naga besar itu datang. Mereka berenam pun menaiki punggung naga itu. Lalu naga itu terbang menuju sebuah negeri tempat naga-naga bersemayam. Di negeri itu tidak ada manusia yang hidup di sana. Negeri itu hanya ditempati oleh naga dari berbagai jenis saja.Setelah berhari-hari Bimantara dan kelima Panglima terbang bersama seekor naga, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau karang yang luas. Pulau itu memiliki bukit karang yang tinggi seperti menara. Naga yang ditunggangi Bimantara dan kelima Panglimanya itu bersuara keras saat sudah berada di atas pulau itu. Ia menyemburkan kobaran api yang sangat besar. Lalu naga-naga di ba
Bimantara pun membawa Raja Dawuh menuju naga biru yang sedang bersembunyi malu di balik bebatuan karang. Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Pendekar Dua Alam mengikuti langkah mereka dari belakang. Mereka ingin melihat bagaimana Raja Dawuh menaklukkan naga itu setelah Tanaka berhasil terbang bersama naga hitamnya yang kini sedang mengujinya dengan terbang berputar di atas pulau itu.Bimantara menoleh pada Raja Dawuh. “Dekatilah dia,” pinta Bimantara.Raja Dawuh mengangguk. Namun sebelum Raja Dawuh mendekat ke sana, naga biru itu keluar dari tempat persembunyiannya lalu berjalan mendekati Raja Dawuh dengan pandangan herannya. Raja Dawuh gemetar melihat itu.“Tetap hati-hati meski pun dia tampak suka denganmu,” pinta Bimantara.Raja Dawuh pun mengangguk.“Hai!” sapa Raja Dawuh pada naga biru itu.Seketika naga biru itu tampak marah. Dia langsung menyemburkan api dari mulutnya ke arah Raja Dawuh. Bimantara segera menangkap Raja Dawuh untuk menghindari semburuan api itu.“Kenapa kau tolo
Pendekar Tombak Angin berdiri di hadapan prajurit-prajurit rohnya. Mereka baru saja dibangkitkannya dari alam kematian. Jumlah mereka sangat banyak. Memenuhi lapangan luas di pinggir laut itu. Tiga Makhluk hitam berdiri di belakang Pendekar Tombak Angin.“Apa lagi yang kita tunggu?” tanya Pendekar Tombak Angin pada ketiga makhluk hitamnya. “Pasukan kita sudah berkumpul semuanya. Burung-burung raksasa itu sudah siap membawa kita terbang ke negeri salju!”“Tunggu sebentar lagi, Tuanku,” ucap Makhluk hitam di sebelah kanannya. “Sebentar lagi ada yang ingin menyerahkan sesuatu pada Tuan.”Pendekar Tombak Angin penasaran.“Apa itu?” tanya Pendekar Tombak Angin.“Batu neraka yang dicuri Putra Mahkota Iblis yang kekuatannya bisa membakar seisi bumi ini,” jawab Makhluk hitam itu.“Batu neraka?”“Batu itu kelak akan kita serahkan pada Putra Mahkota Iblis dan sebelum kita serahkan padanya, batu itu akan berguna untuk mencairkan es di seluruh negeri salju itu hingga Bubungkala, Putra Mahkota dan
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it