Bimantara berjalan mendekati kuda putih itu dengan bingung.“Kau kuda yang tersesat?” tanya Bimantara.Kuda itu mendekat ke Bimantara lalu menjilati bahunya. Bimantara heran sendiri.“Apakah kau mau mengantarku pergi dari sini?” tanya Bimantara.Kuda itu bersuara. Namun seketika Bimantara tampak berpikir dengan bingung.“Tapi aku tidak tahu hendak kemana? Kenapa aku lupa semuanya? Siapa aku dan kenapa aku berada di sini?” tanya Bimanatara dengan dirinya sendiri.Seketika dia menoleh saat mendengar suara teriakan perempuan yang meminta tolong. Tiba-tiba matanya melihat ada empat lelaki yang hendak memperkosa satu gadis tak berdaya di sebuah ruangan dalam sebuah rumah. Dia melihat ada dua manusia tua istri dan suami sedang diikat di tiang rumah itu.Bimantara menggegam tangannya dengan geram. Seketika di keningnya telihat cahaya yang mengeluarkan sebuah tanda berlambang naga. Nalurinya langsung menaiki kuda putih itu. Tak lama kemudian terbentang sayap panjang yang menyembul dari punggu
Penguasa kegelapan berteriak dengan geram di atas bukit di pulau itu. Teriakannya terdengar membahana dan memekakkan telinga Walat yang terduduk di dekatnya saking tidak kuat mendengar teriakannya.“Mereka telah berhasil melahirkan Candaka Uddhiharta! Aku tidak akan membiarkannya hidup panjang! Aku akan selalu menghalanginya di mana pun dia berada!” teriak Penguasa Kegelapan dengan geram.Penguasa Kegelapan mengarahkan tongkatnya ke atas langit. Seketika awan hitam berputar di atasnya. Walat terbelalak melihatnya. Penguasa Kegelapan menoleh pada Walat dengan geram.“Empat roh itu telah menyatu denganmu! Kau telah berhasil membangunkannya dalam dirimu! Sekarang juga, pergilah dari pulau ini dan carilah Candaka Uddiharta di mana pun dia berada! Rebut Pedang Perak Cahaya Merah yang menyatu dengan tongkatnya! Pecahkan lah dinding pembatas tak terlihat yang mengurungku ini! Setelah itu kau bebas untuk menjadi dirimu sendiri!” teriak Penguasa Kegelapan padanya.Walat gemetar mendengarnya.“
Kepala Perguruan tampak bangkit berdiri ketika melihat langit dipenuhi awan hitam dan suara petir yang mengegelegar. Elang hitam berputar-putar di atas sana. Pendekar Pedang Emas tampak heran.“Ada apa ini Tuan Guru?” tanya Pendekar Pedang Emas.“Aku tidak tahu,” jawab Kepala Perguruan.Seketika awan hitam itu menghilang dan suara petir tak terdengar lagi. Elang hitam itu terbang menjauh pergi dari atas pulau perguruan matahari. Kepala Perguruan dan Pendekar Pendang Emas semakin heran melihatnya. Seketika Kepala Perguruan kembali duduk di atas batu pinggir laut itu. Pendekar Pedang Emas pun duduk di sana dengan bingung.Kepala Perguruan menoleh pada Pendekar Pedang Emas dengan bingung.“Tidak kah kau merasa seperti ada yang hilang dalam ingatanmu?” tanya Kepala Perguruan dengan bingung.Pendekar Pedang Emas mengernyit mendengarnya.“Maksud Tuan Guru?”“Aku seperti kehilangan separuh ingatanku! Namun aku tidak tahu apa yang menghilang itu,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas
Dahayu dan Dhaksayini pun membawa Bimantara ke tempat persembunyiannya di sebuah gubuk di dalam hutan di dekat mata air abadi itu. Dahayu menyuguhkan manakan dan minuman untuk Bimantara. Sementara Dhaksayini tampak sibuk membakar daging rusa di belakang gubuknya.“Dari mana asalmu?” tanya Dahayu pada Bimantara.“Aku tidak tahu,” jawab Bimantara.Dahayu mengernyit heran mendengarnya.“Bagimana mungkin kau tidak mengingat semuanya tentang siapa dirimu?” tanya Dahayu semakin heran.“Aku terbangun di atas bukit. Tiba-tiba kuda putih datang padaku lalu dia membawaku ke sebuah rumah yang di dalamnya ada para penjahat yang hendak memperkosa seorang gadis. Aku berhasil menyelamatkannya lalu kuda itu membawaku ke sini dan akhirnya aku bertemu denganmu dan bibimu,” jawab Bimantara.Dahayu mengernyit bingung mendengarnya.“Apa ada yang mencederaimu hingga kau hilang ingatan?” tanya Dahayu memastikan.Bimantara menggeleng. Tak lama kemudian Dhaksayini datang membawakan daging rusa bakar untuk mer
Bimantara masih tampak heran melihat binatang-binatang buas itu tampak tunduk padanya. Dahayu dan Dhaksayini pun tampak tak percaya. Seketika angin bertiup kencang di atas sana. Pepohonan bergoyang-goyang. Seketika awan hitam menyelimuti langit di atas sana. Dahayu dan Dhaksayini tampak panik melihatnya.“Ada apa ini?” tanya Dahayu.“Ayo kita kembali ke dalam!” ajak Dhaksayini pada Dahayu dan Bimantara.Sementara Bimantara menatap langit dengan heran. Binatang-binatang buas yang mengelilingi mereka itu bersuara lalu berlarian meninggalkan mereka. Sekelebat bayangan melintas di pandangan mata Bimantara. Dia terkejut melihat sosok manusia mengenakan jubah hitam tengah melayang di atas langit. Wajahnya tampak dipenuhi bulu mirip wajah kera. Dia memegang tongkat berkepala tengkorak ular sambil mengulurkannya ke atas langit. Awan hitam berputar dibawa angin di atasnya.“Aku harus pergi,” ucap Bimantara.Dahayu dan Dhaksayini heran.“Engkau mau kemana anak muda?” tanya Dhaksayini.Bimantara
Sementara itu, Panglima Adhira datang menghadap Raja Dawuh dengan panik. Di luar sana suara petir terdengar begitu kuat. Istana tampak gelap karena awan hitam menyelimuti di atas sana.“Ampun, Yang Mulia,” ucap Panglima Adhira. “Sepertinya cuaca buruk ini terjadi karena ulah penyihir! Para prajurit baru saja melaporkannya pada hamba, mereka melihat penyihir itu terbang di atas langit dengan tongkatnya.”Raja Dawuh berdiri mendengar itu. Dia tampak terkejut.“Dari mana datangnya penyihir itu?” tanya Raja Dawuh.“Ampun, Yang Mulia. Menurut para prajurit dia mengenakan jubah hitam dan berwajah mirip kera. Sepertinya dia datang diutus Penguasa Kegelapan untuk mengacau kerajaan,” jawab Panglima Adhihra.Raja Dawuh tampak berpikir. Setelah itu dia menatap wajah Panglima Adhira dengan lekat.“Pejabat istana mengabarkan bahwa ada penduduk yang diselamatkan oleh Candaka Uddhiharta! Kemungkinan Candaka Uddhiharta telah diutus para Dewa dan dia datang untuk mencari perhatian Candaka Uddhiharta,”
Kakek Kepala Perguruan terhempas di atas tanah sambil memuntahkan darah. Para muridnya pun tampak cedera berat setelah jatuh dari ketinggian.“Sepertinya kita tak akan pernah bisa melawannya,” ucap muridnya lemah.Kakek itu hanya diam lalu memandangi Walat yang masih mengarahkan tongkatnya ke atas langit. Kakek itu memandangi sekitar. Dia tampak sedih melihat rumah-rumah penduduk tampak hancur dan pohon-pohon tampak tumbang. Di sekitarnya sudah menjadi padang yang memperlihatkan kehancuran. Mirip seperti kejadian setelah perang.Tak lama kemudian terdengar suara kuda dari kejauhan sana. Kakek itu tercengang ketika mendapati Kawanan Perguruan Matahari tiba di tempat itu. Tak lama kemudian Kawanan dari Kerajaan Nusantara Tengah juga datang. Panglima Adhira telah membawa para prajuritnya yang banyak ke sana. Setelah itu menyusul Pangeran Sakai diikuti para prajuritnya dari kerajaan Nusantara Timur.Semuanya berhenti di bawah Walat yang masih melakukan aksinya mengendalikan awan hitam itu
Kepala Perguruan Matahari dan yang berada di bawah sana tampak tercengang melihat kehebatan Bimantara yang sedang mengejar Walat di atas langit sana. Kini mereka melihat Bimantara terlah berhasil merebut tongkat hitamnya. Mereka berdua bertarung sengit di atas sana.Pendekar Pedang Emas mendekati Kepala Perguruan.“Apakah pemuda itu Candaka Uddhiharta?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan heran.“Melihat ciri-cirinya, sepertinya dialah Candaka Uddhiharta seperti yang dikatakan Kepala Perguruan Elang Putih,” jawab Kepala Perguruan.“Apakah kita diam saja begini? Bukankah sebaiknya kita membantunya melawan penyihir jahat itu?” tanya Pendekar Pedang Emas.Kepala Perguruan pun tampak terdiam sesaat. Tak berapa lama kemudian, dia menoleh pada semua yang sedang menatap pertarungan Bimantara dengan Walat di atas sana.“Semuanya! Ayo kita bantu pemuda itu!” teriak Kepala Perguruan pada semuanya.Kakek Kepala Perguruan Elang Putih tampak mengangguk. Pangeran Sakai dan para guru utama dari pergur
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it