"Om Alex?"
"Ze, apa kabar? Ngapain di sini, sama Ardi?"
Ze gelagapan.
"Iya Om, sama Mas Ardi dan sepupunya."
"Lo kok rame-rame, ada acara apaan, sih?"
"Nggak ada sih Om, Mas Ardi lagi ada tugas di sini. Yaudah aku minta ikut aja, pas kebetulan sepupunya juga ada di rumah jadi ya diangkut sekalian."
"Oh gitu, terus Ardi sekarang mana? Udah lama Mas nggak ketemu?"
"Sebenarnya saya kemari sama sepupunya Mas Ardi doank, Om. Suamiku nggak ikut, beliau tinggal di hotel, capek habis acara pembukaan katanya."
"Jadi kamu sama sepupunya Ardi nginap di hotel juga? Kenapa nggak nginap di rumah Om aja. Rumahnya luas lo."
"Iya Om, In Syaa Allah lain kali, soalnya besok udah langsung balik kok."
"O gitu."
"Om Alex kerja di sini?"
"Iya 'kan, udah dari dulu. Kamu aja yang nggak pernah main ke rumah Om."
"Iya Om, soalnya sibuk kuliah."
"Mas Alex. Bisa bicara sebentar"
Seseorang memanggil Alex.
"Eh, ada yang mau ketemu sama Om itu."
"Iya iya. Om ke sana dulu ya, kalau butuh apapun telpon aja. Masih nyimpan 'kan nomor Om?"
Ze mencoba mengingat-ingat.
"Ada, Om."
"Yaudah besok usahakan sebelum balik ke Jakarta, singgah dulu di rumah ya."
"In Syaa Allah, Om."
"Oke. Tak tinggal, ya."
"Ya, Om."
Ze membuang napas panjang. Sedikit support jantung mendapati Om Alex ada di hotel itu. Tapi tujuannya ke sini bukan itu, melainkan Ardi. Akhirnya Ze kembali melangkah mendekati resepsionis.
"Mas, maaf saya mau nanya. Yang barusan aja check ini di hotel ini namanya siapa, ya?"
"Sebentar ya, Mbak. Saya cek dulu."
"Iya."
Lelaki di hadapan Ze kini membuka komputer dan menekan beberapa kali pada keyboardnya.
"Namanya Agung, Mbak."
"Agung? Bukan Ardi?"
"Sebentar saya cek KTP nya."
"Iya benar Agung, Mbak. Memangnya ada apa, Mbak?"
Ze membuang napas dalam sembari memijit pelipis. Dia sudah kehilangan jejak Ardi. Ini karena dia terlalu gegabah. Ia tak sempurna dalam melakukan penyamaran. Tapi sampai detik itu, kenapa tak ada lagi chat dari Seruni? Atau jangan-jangan penyadapan yang ia lakukan sudah diketahui Ardi?
"Mbak?"
"Eh iya, Mas. Bukan apa-apa sih. Saya sedang mencari teman yang katanya nginap di hotel ini. Yaudah nggak papa, biar saya telpon dia aja lagi. Makasih ya, Mas."
"Sama-sama, Mbak."
Penyesalan menghujam dada, apa yang kini bisa dilakukan? Pasti mereka sudah bertemu, lalu mereka. Astaghfirullah. Pikiran buruk menimpa wanita itu.
Dengan lemah Ze melangkahkan kembali menuju mobil.
"Kok cepat banget Mbak, udah gitu aja surprisenya? Nggak nginap bareng gitu?"
"Nggak San. Yaudah yuk balik ke hotel."
"Lha? Kok balik?"
"Udah balik aja."
Sandy menatap Ze kebingungan. Tapi bibirnZe sudah tak sanggup lagi berkata. Terlalu sakit menerima kenyataan yang menimpa di dua tahun pernikahannya.
Mobil berjalan, alur yang sama tapi putar balik. Sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka melewati kembali hotel tempat Ardi menginap.
Kedua mata seketika membulat.
"Berhenti bentar, San."
Sandy seketika mengerem mendadak hingga tubuh mereka terhunyung ke depan.
"Ada apa, Mbak. Bahaya ngerem mendadak gini. Kalau ada mobil di belakang bisa nabrak?"
"Iya, maaf maaf."
Dua netra Ze kini tertuju ke dalam pekarangan hotel. Terlihat di sana Ardi sedang berbicara dengan seseorang. Setelah sejenak berbicara, lelaki itu berjalan cepat dan menghentikan sebuah taksi.
"San, putar balik."
"Lo kenapa putar balik lagi?"
"Nanti Mbak jelaskan. Cepat San, ikuti taksi itu ya."
Sandy menjalankan kembali mobil.
"Mbak lihat Mas Ardi tadi naik taksi itu, San."
"Benaran Mbak?"
"Iya."
"Jadi tadi yang di hotel?"
"Bukan Mas Ardi. Mbak salah orang."
"Astaghfirullah, kok jadi seperti sinetron ya Mbak, yang istrinya ngejar-ngejar suami selingkuh?"
"Yaudah kamu tenang aja. Masih dalam kendali kok. Cepat San, nyusul terus jangan sampai hilang."
Taksi yang ditumpangi Ardi berhenti di depan rumah sakit. Lalu lelaki itu turun.
"Oh iya, benar Mas Ardi. Ngapain dia kemari, ya?"
"Mungkin jenguk temannya sakit. Yaudah, Mbak turun dulu ya, Dek."
"Aku gimana, Mbak?"
"Kamu tunggu aja di sini. In Syaa Allah nggak lama kok."
"Oke."
Ze turun dengan perasaan berdebar. Dia terus memerhatikan Ardi yang kini berhenti di depan sebuah ruangan setelah tadi sempat bertanya pada resepsionis. Lelaki itu tampak memperbaiki rambutnya lalu membuka pintu.
Dengan perasaan berdebar Ze keluar dari persembunyian lalu berjalan perlahan hingga sampai di depan pintu ruangan tadi. Pelan membuka sedikit hingga ia bisa menatap pemandangan yang terjadi di dalam sana.
"Maafkan aku Mas, kita janji ketemu di luar, tapi kamu justru harus kemari."
"Sudah jangan risaukan. Apa yang terjadi?"
Ardi terlihat duduk di sebuah kursi. Tapi siapa wanita cantik yang terbaring di atas bed single itu? Apa dia yang bernama Seruni?
"Aku dan Mas Andre sudah berpisah, Mas. Dan tadi saat keluar dari rumah, mantan suamiku itu datang. Dia memaksa ikut bersamanya, tapi aku menolak. Perlawanan membuat diri ini terpelanting ke sudut lantai dan kakiku retak karena terpukul pot bunga."
Wanita itu menampakkan kakinya yang sakit pada Ardi.
Jadi dia wanita bernama Seruni?
"Kenapa kalian bercerai?"
Ardi kembali melempar pertanyaan.
"Dia lelaki tidak normal, punya kelainan seksual, Mas. Empat tahun aku bertahan tapi batin dan fisik terus tersiksa. Tiga bulan kemarin akhirnya, aku mengajukan gugatan cerai."
Ze menarik napas berat.
"Sudah kuduga, pantas saja selama ini perasaanku tidak pernah enak."
"Kau mengkhawatirkanku?"
Jantung Ze seketika menyentak. Ardi belum menjawab, mereka tampak saling berpandangan. Lalu akhirnya kepala lelaki itu mengangguk.
Kecewa dan sakit menghujam dada Ze bersamaan. Tapi dia mencoba tegar.
"Kenapa kau masih mengkhawatirkanku, Mas?"
"Karena aku menyayangimu?"
Deg.
Ze memejamkan mata. Ada sesuatu yang mulai menghangat di kedua pelupuk.
"Cuma sayang?"
Jemari Ze kini teremas.
"Aku tidak berhak mencintaimu."
Suara Ardi walau lirih masih bisa terdengar di telinga Ze.
"Kenapa, Mas?"
"Karena kau menolak untuk kucintai?"
"Mas 'kan tahu aku tidak pernah mencintai Mas Andre. Cintaku hanya untukmu, tapi aku bisa apa. Aku terpaksa menikah dengan dia Mas."
Ze kembali menarik napas, sekuat apapun bertahan nyatanya air mata luruh juga. Wanita itu mengusap kasar sembari mengeluarkan ponsel. Dia mengabadikan moment di dalam sana beberapa kali jepretan.
"Kau pergi, aku bagai layangan putus. Hilang arah. Sampai akhirnya aku dinikahkan dengan Ze."
"Kau mencintainya, Mas?"
Jantung Ze kembali menyentak. Ia memasang telinga dengan baik, apa yang keluar dari mulut Ardi sesaat lagi begitu penting untuknya. Jawaban itu pula yang akan menuntun diri sang wanita untuk memutuskan apa langkah yang harus diambil.
"Aku tidak bisa membaca perasaan padanya, tapi jujur, dia bisa membuatku merasa nyaman dan tenang."
Ze menghela napas.
"Kalau begitu aku salah, pulanglah, Mas. Kembali pada istrimu."
Wanita itu mendorong tubuh Ardi. Ze sedikit terhenyak. Ia bersiap pergi, siapa tahu sesaat lagi Ardi akan keluar.
"Ada apa, kenapa kau mengusirku. Sedang pertemuan ini sudah sangat lama kuidamkan."
Kekuatan Ze mendadak hilang, lelaki itu telah mempermainkan perasaannya.
"Kau sudah beristri, aku tidak pantas masuk dalam rumah tanggamu. Pulanglah, Mas."
Kenapa kamu tak pulang saja, Mas. Apa yang kamu lakukan ini salah.
Ze mendesah dalam hati. Sedang mereka kini terdiam, tapi detik berikutnya Seruni menangis tersedu. Dan apa yang dilakukan kini Ardi? Lelaki itu bangkit lalu memeluk sang wanita.
Ze menarik napas berat.
"Jangan menangis, aku ada di sini."
Jemari Ze kini terulur untuk menutup pintu perlahan, semuanya sudah hancur. Ardi telah memberikan pelukannya untuk wanita lain.
Aku tidak perlu menyaksikan hal ini, karena hanya akan membuat hati ini terpuruk semakin dalam. Aku hanya akan menunggu kepulangan Mas Ardi untuk menyelesaikan semua ini.
***
Bersambung
Utamakan baca Al-Quran
Namaku Zearetha Bilbis. Aku terlahir sebagai yatim. Dan tepat enam tahun usiaku, ibu yang paling kusayangi ikut bersama ayah menghadap Yang Maha Kuasa. Paman dan istrinya lah yang membesarkanku. Mereka hanya punya satu orang anak perempuan dan sangat ikhlas untuk menggantikan mama dalam merawatku.Dua tahun yang lalu, tepatnya di malam syahdu selepas memberlangsungkan pernikahan."Kamu mau 'kan kita menundanya?"Sebuah pertanyaan aneh yang muncul dari bibir seorang lelaki bergelar suami. Bagiku aneh dia bertanya begitu, sebab ini adalah malam pertama kami. Malam dimana semua pengantin berlomba-lomba mencari pahala. Tapi dia, justru meminta agar kami menundanya.Saat itu, aku setuju saja. Awalnya kupikir karena kami butuh waktu untuk saling kenal, sebab ya pernikahan ini terjadi atas perjodohan. Ibunya teman baik dengan istri pamanku. Arsyi anak paman tak mungkin lagi dijodohkan berhubung dia sudah pu
"Siapa Seruni, Mas?"Pertanyaanku membuatnya terhenyak.Kukeluarkan ponsel dan menampakkan semua foto yang terambil semalam saat di rumah sakit."Kenapa diam, Mas? Aku butuh kejujuran. Kita menikah bukan sehari, tapi dua tahun. Apa selama itu kamu tidak sedikitpun menganggapku sebagai istri, hingga tega memeluk dan mengusap pipi wanita lain?"Aku tak dapat menahan ego yang seketika melonjak, kutumpahkan segala sakit yang membelenggu di dada. Air mata kubiarkan merebak dari kedua sudut.Mas Ardi yang mendengar amukanku seketika bangkit dan meminta agar aku memelankan suara."Tenang Ze, kita memang perlu bicara. Tapi Mas harap kamu bisa mengontrol emosimu. Ada Mamaku yang harus kita jaga perasaannya di rumah ini."Aku menarik napas dan memilih duduk di atas ranjang. Mas Ardi ikut duduk di sebelahku. Kedua tangannya saling menyatu lalu
POV ArdiAku mengenal cinta, tepatnya ketika duduk di bangku kuliah. Namanya Seruni. Cantik dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di kampus. Dia juga punya segudang prestasi, mulai dari olimpiade antar kampus hingga penghargaan bergengsi lainnya yang diadakan baik di dalam maupun di luar universitas.Banyak yang kagum padanya, tapi entah kenapa dia memilihku sebagai kekasih. Tapi semua hancur saat kedua orang tua Seruni justru menjodohkannya dengan lelaki lain.Aku seperti kehilangan arah hidup. Melihatnya bersanding di pelaminan bersama lelaki lain rasanya begitu menyesakkan dada.Tapi berselang beberapa bulan setelah itu, Mama yang khawatir aku bakalan kehilangan semangat hidup segera mencari pengganti Seruni.Namanya Zearetha Bilbis. Gadis shalihah dengan latar belakang agama yang kuat. Dia memang menantu idaman, tapi tidak bisa menjadi istri idaman untukku. Semua ini
"Apa Ardi ada di rumah Ze? Soalnya tadi Om lihat dia ada di salah satu rumah makan di Bandung sama perempuan, Om kira sama kamu. Tapi Om nggak bisa berhenti soalnya lagi antar bos."***"Dalam agama Islam, pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan suci. Untuk itu, menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan.Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk rumah tangga saja. Ada beberapa tujuan pernikahan yang seharusnya dipahami oleh umat muslim. Salah satu diantaranya adalah membentengi diri dan menundukkan pandangan.Pernikahan merupakan ibadah yang bertujuan untuk menjaga kehormatan diri dan terhindar dari hal-hal yang dilarang agama. Menikah juga dapat membuat kita lebih mudah untuk menundukkan pandangan sehingga lebih mudah terhindar dari zina. Sebagaimana yang terse
Harusnya aku tak di sini, entahlah hati jadi kepikiran Ze. Ingin rasanya memberi kabar, tapi bukankah kami sudah bercerai. Padahal serapapun cueknya aku selama ini. Jika terlambat pulang selalu memberi tahu. Itu sesuai permintaan Ze. Alasan simple banget, supaya makanan bisa hangat saat dihidangkan dan yang paling penting supaya dia Ze terus melek menanti kepulangan suami tercinta.Benak Ardi terus meracau.Jujur, selama ini wanita itu cukup memberi perhatian. Hanya saja Ardi sendiri yang berusaha menolak segala perhatian itu. Dengan satu tujuan untuk menjaga cinta kepada Seruni. Ah, mungkin lebih tepatnya untuk menghindari jatuh cinta pada Ze.Dan jika biasa Ze lah yang selalu khawatir, maka malam ini sempurna kekhawatiran itu dirasakan Ardi. Tapi kenapa?"Ponselku diambil mantan suamiku, Mas. Dia kejam banget, maksa aku nerima dia
Ardi tersentak dari tidur, dia melirik jam."Astaghfirullah, jam tujuh?"Dengan bersegera lelaki itu beranjak dari atas ranjang, lalu berlari cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Padahal hari ini adalah hari penting dimana dia akan menjadi pemimpin upacara dalam rangka memperingat Hari Kelahiran Pancasila. Tapi kenapa bisa terlambat?Ardi mendesah sebal.Usai membersihkan diri, dia menggelar sajadah. Semenjak menikah, bertemu sang khalik selalu rutin dilakukan. Meski terlambat, rasanya aneh jika dahi belum menyentuh sajadah saat bangun tidur."Assalamualaikum warahmatullah. Assalamualaikum warahmatullah."Walau sebentar harus menyempatkan diri menengadahkan tangan."Ya Allah-"Ucapan Ardi terhenti. Jika biasa dia kerap meminta agar Allah membuka kesempatan agar suatu saat
"Hallo.""Hallo Mas, kamu dimana?""Aku di sekolah, lagi banyak kerjaan. Kenapa?""Mas bisa ke hotel nggak?"Suara Seruni terdengar terengah-engah."Kamu kenapa?"Kini wanita itu justru terisak."Mantan suamiku mau ketemu sama kamu, Mas. Kamu bisa kemari 'kan?"Perasaan Ardi langsung tak enak."Dia sudah tahu keberadaanmu?""Sudah, Mas. Dia menunggumu di hotel ini."Ardi menarik napas dalam. Seruni akan dalam bahaya, jika ia abaikan dan mengikuti kata hati untuk menemui Ze. Mungkin mengabaikan mantan istri saat ini adalah jalan keluar terbaik."Iya, katakan aku akan datang sesaat lagi."Segera Ardi membanting setir menuju hotel. Lima belas menit perjalanan, dia sampai di parkiran. Pelan menarik napas dan bers
Ze berjalan memasuki rumah, sejenak melirik mobil Ardi yang sudah terparkir di garasi.Ucapan Ustadzah di kajian kemarin kembali terngiang."Perempuan yang beriddah dari talak raj‘i (bisa dirujuk), wajib diberi tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in, wajib diberi tempat tinggal tanpa nafkah kecuali sedang hamil. Namun, selain mendapatkan hak, perempuan yang dalam menjalani masa iddah juga punya kewajiban.Salah satunya adalah yang berlaku untuk perempuan yang ditinggal wafat suami maupun perempuan yang telah putus dari pernikahan, yaitu keharusan untuk selalu berada di rumah. Hal ini berlaku bagi perempuan yang dicerai baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh selama masa iddahnya. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk mengeluarkannya dari rumah tersebut.Selain itu, dia juga tidak boleh keluar dari rumah itu w
Tidak ada ketaatan seorang istri kepada suami, melainkan telah Allah janjikan surga untuknya.***Tiga tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa kini di hidupku sudah ada buah cintaku dan Mas Han yang hari ini genap berusia dua tahun. Tak banyak yang berubah, selain kualitas bahagia yang semakin jauh biduk rumah tangga mengarungi semakin bertambah pula kadar rasanya.Aku membelalak menatap test pack bergaris dua yang subuh tadi telah kupakai ini. Antara terkejut dan bahagia, entahlah. Mungkin ini terlalu cepat, tapi dengan penuh kesadaran kuiyakan saat Mas Han membujuk untuk bersedia kembali menambah jumlah keluarga ini.Oya berbicara tentang usaha, kini suamiku dan Abi sukses merintis usaha jual beli mobil klasik. Usaha ini membuat Mas Han tidak lagi mencoba melamar pekerjaan sesuai dengan kemampuannya di luaran sana. Mengingat hasil yang didapat melebihi target yang diperkirakan. Menurutku ini adalah sebuah anugerah untuk keluarga kecil kami ini yang sangat kusyukuri.Sambil menunggu M
Kedua kaki Seruni tiba-tiba kehilangan kekuatan, ia seketika terjatuh ke lantai. Bersyukur, Han dengan segera menangkap dan berhasil mendudukkan ibundanya di atas sofa."Ambilkan segelas teh hangat," pinta Ze pada ART nya."Baik, Bu."Mereka semua mendekati Seruni yang sudah ditidurkan Han di atas sofa."Maaf ya Abi, Umi. Padahal tadi di rumah, Ibu terlihat cukup sehat. Tapi kenapa tiba-tiba jadi pingsan begini, ya?" tanya Han khawatir. Ze dan Ardi terkejut bukan main mendengar ucapan Han tersebut."Dia ibu kandung kamu, Han?" tanya Ze yang masih tak percaya dengan kenyataan tersebut.Sementara Han, tanpa ada perasaan apapun seketika mengangguk yakin. Membuat Ardi dan Ze saling bertatapan."Kapan kamu menemukannya? Dan bagaimana kamu sangat yakin jika dia ibumu?"Ze kembali melempar pertanyaan."Menurut pengakuan Ibu sendiri, Mi. Tapi Han sudah mengirim sampel rambut untuk diuji DNA lagi. Supaya lebih pasti.""Hasilnya udah keluar?"Han menggeleng."Tapi kenapa kamu seyakin itu?"Ze
Seruni menatap Han yang sudah tampak rapi dan ingin memimpin shalat subuh pagi itu, sungguh rasa syukur tak henti ia langitkan kepada Rabb semesta alam. Betapa hal ini tidak terbayangkan dalam pikirannya, tapi Allah telah menjadikan semua itu nyata.Sementara di hadapan, Han menyunggingkan selarik senyum ke arah ibu dan istrinya lalu mengambil posisi di depan. Dia memang bukan lelaki dengan tingkat keimanan yang tinggi, tapi setidaknya Han pernah beberapa kali memimpin shalat saat masih duduk di bangku kuliah dahulu.Usai shalat, mereka membaca doa bersama, dilanjutkan duduk berzikir. Selesai semuanya pukul enam. Han mengajak sang ibu ke taman belakang, sementara Syarifa memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Duduk di taman, Han mengajak ibundanya berbicara."Bu, pagi ini aku akan berangkat kerja. Nanti di rumah, Ibu akan ditemani Syarifa. Boleh 'kan, Bu?" tanya Han seraya memegang jemari sang ibu.Seruni menatap snag anak, entah kenapa perasaannya tidak enak."Pergilah, lakukan a
Han berlari memeluk ibundanya. Ada rasa sedih dan haru yang melebur menjadi satu, jika mengingat semenjak lahir tak pernah tahu siapa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.Tapi Allah Maha Baik, menampakkan semuanya meski waktu telah bergulir sedemikian lama.Kini, ia tak mau lagi kehilangan ibundanya. Setiap waktu, akan ia pergunakan untuk menggantikan semua detik yang telah berlalu. Ia benjanji untuk itu.*Setelah beberapa waktu terlalui, Seruni melerai pelukan lalu ia memerhatikan wajah sang anak dengan seksama. Wanita itu menggerakkan tangannya untuk mengusap wajah Han mulai dari rambut, alis, mata, hidung, pipi lalu membingkai wajah Han dengan kedua tangan yang tampak kotor tak terurus.Dua netra yang sedari tadi berkaca kini menumpahkan cairannya. Isak tangis menghiasi hari paling bersejarah tersebut."Sudah habis cara kuberdoa pada Allah. Tidak lain aku meminta Allah panjangkan umur agar bisa bertemu denganmu, Anakku."Hana kembali memeluk sang Ibu. Seperti halnya Serun
"Seruni?"Degup di dada Han menyentak kuat. Telah lama bahkan setelah kepindahan ke Qatar pun, ia terus mencari keberadlaan ibunya melalui seseorang yang ia percayai untuk hal itu. Tapi sampai detik ini, tak ada kabar apapun yang ia fapatkan.Dan, apa ini? Apa benar dialah wanita yang ia cari selama bertahun-tahun?"Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki?"Han kembali melempar pertanyaan untuk mematahkan tanya dalam hatinya. Sementara itu, wajah Seruni seketika tertuju Han."Kenapa kamu bertanya sangat detail tentang hidup saya? Apakah penting untukmu?""Penting Bu. Sangat penting, tolong jawab dengan jujur. Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki ke dunia ini?"Seruni yang merasa pertanyaan itu menganggu ketenangan batinnya, mencoba memaksakan diri untuk menjawab."Iya, pernah.""Apa Ibu melahirkan anak itu di penjara?"Dua netra Seruni melotot, lalu menunduk. Ia terdiam beberapa waktu."Bu."Sentuhan tangan Han di pundaknya membuat Seruni tercekat."Iya."Seruni tampak
Udah siap mandi ya, Bi?" tanya Ze pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Udah Sayang, kenapa?""Tolongin Umi bentar. Pasang kancing bagian belakang ini."Ze menunjuk punggungnya. Dia kini memakai gamis dengan model kancing di belakang."Iya, Sayang. Bentar, ya."Abi meletakkan handuk pada gantungan dan berjalan mendekati sang istri. Ia mengepaskan dua sisi baju Ze yang terbuka untuk memudahkan mengancingnya. Tapi pemandangan di depan mata, membuatnya berhenti bergerak."Kok nggak dikancing, Bi?" tanya Ze melihat suaminya tak melakukan apa yang dia pinta."Nggak, Abi cuma sedang mengagumi kemulusan kulit istri Abi ini."Ze tersenyum melihat suaminya suka sekali memuji padahal usia sudah tak lagi muda."Pandainya Abi merayu, ayo katakan Abi pengen apa?""Abi nggak sedang merayu, Sayang. Kenyataannya memang begitu."Sang suami sudah selesai memasang kancing. Dia kini memeluk sang istri dari belakang."Coba Umi lihat wajah di cermin."Pandangan mereka saling bertemu pada cermin
"Dia bukan anak kami, Bu. Han adalah anak yang kami adopsi."Inilah nasibku menikah dengan lelaki yang tidak jelas siapa ibu dan ayah kandungnya. Tapi beginilah takdir, tidak boleh menyerah apalagi membatalkan karena ijab Qabul sudah terlanjur diucapkan.Dari awal, aku memang sempat menolak menikah dengan suamiku sekarang karena pertama aku tahu di masa mudanya dia bukan pemuda baik-baik. Dia bahkan pernah kedapatan sedang bercumbu dengan pacarnya di dalam mobil. Kedua, karena aku punya kriteria calon suami yang sangat kuidamkan semenjak dahulu. Seminimal Gus Ahmad, dosen Bahasa Arab atau Ustadz Rafiq yang memegang mata kuliah hadist.Tapi kenyataannya, yang menjadi suamiku hanya seorang Han. Yang pernah bersekolah di Al Azhar, tapi kemudian berhenti dan pindah ke jurusan lain di fakultas lain pula.Tapi Umi bilang Han yang sekarang sudah lebih baik, ia bahkan lulusan fakultas terbaik yang ada di Malaysia. Mau menolak gimanapun juga nggak mungkin, perjodohan ini bahkan sudah terjadi s
Bu Margareth mengemasi semua pakaian, esok adalah hari keberangkatan mereka sekeluarga ke negeri Arab. Wanita itu membuka lemari pakaian suaminya. Tak semua pakaian di bawa ke Qatar sewaktu keberangkatan pertama Albert, dan rencananya kali ini lelaki itu meminta sang istri untuk memasukkan semua pakaiannya tanpa menyisakan satu pun.Wanita paruh baya tersebut sudah selesai melakukan pekerjaannya, hanya bersisa berkas di dalam laci lemari. Sebenarnya Pak Albert tak meminta istrinya untuk membereskan laci tersebut, tapi entah kenapa Bu Margareth justru tak enak hati menyisakan satu tempat di dalam lemari.Hingga tangaannya ia gerakkan untuk membuka tempat itu.Tidak banyak berkas, hanya beberapa kartu ucapan dari Bu Margareth dulu setiap kali mereka merayakan anniversary dan ulang tahun. Selebihnya cuma kertas tak jelas dan sebuah amplop kecil yang membuat wanita itu sedikit penasaran.Ia mengulurkan tangan untuk membuka amplop tersebut. Dua netra Bu Margareth mendelik. Isinya adalah se
"Anak Ibu diculik?" tanya Bu Margareth penasaran.Seruni terdiam sejenak, rasanya enggan jujur. Sebab ini adalah masalah yang begitu privasi untuk ia bagi pada siapapun. Tapi melihat ketulusan Ibu Margareth, rasanya tak adil Seruni menipunya."Saya ini mantan narapidana, Bu."Bu Margareth terhenyak, sedikit ketakutan karena pikiran buruk seketika menerpa. Apa yang menyebabkan wanita di hadapannya ini masuk penjara? Benar-benar Bu Margareth ingin segera keluar dari rumah itu.Seruni yang mendapati wajah Ibu Margareth tiba-tiba berubah, segera menjelaskan perkara yang menimpanya dahulu. Tentang kenapa ia sampai mendekam di balik jeruji besi.Panjang lebar Seruni bercerita membuat Ibunda Han menarik napas berat."Sangat berat beban yang menimpa Ibu, tapi saya salut karena Ibu bisa bertahan sejauh ini."Seruni menyunggingkan selarik senyum dengan terpaksa. Nyatanya ia memang kelihatan tegar, tapi sebenarnya dirinya cukup rapuh. Siang malam yang ada di pikiran selama sepuluh tahun di penja