"Siapa Seruni, Mas?"
Pertanyaanku membuatnya terhenyak.
Kukeluarkan ponsel dan menampakkan semua foto yang terambil semalam saat di rumah sakit.
"Kenapa diam, Mas? Aku butuh kejujuran. Kita menikah bukan sehari, tapi dua tahun. Apa selama itu kamu tidak sedikitpun menganggapku sebagai istri, hingga tega memeluk dan mengusap pipi wanita lain?"
Aku tak dapat menahan ego yang seketika melonjak, kutumpahkan segala sakit yang membelenggu di dada. Air mata kubiarkan merebak dari kedua sudut.
Mas Ardi yang mendengar amukanku seketika bangkit dan meminta agar aku memelankan suara.
"Tenang Ze, kita memang perlu bicara. Tapi Mas harap kamu bisa mengontrol emosimu. Ada Mamaku yang harus kita jaga perasaannya di rumah ini."
Aku menarik napas dan memilih duduk di atas ranjang. Mas Ardi ikut duduk di sebelahku. Kedua tangannya saling menyatu lalu meremas.
"Dia wanita yang pertama Mas cintai dari dulu sampai detik ini, Ze."
Seketika tubuh seolah kehilangan kekuatan, seluruh tulang seperti terlepas dari persendian. Aku sakit, hati hancur berserakan mendengarnya. Bisakah kuberharap jika semua ini hanya mimpi?
"Dua tahun lebih Mas terus mengirimnya pesan, tapi tak pernah dia tanggapi. Kemarin akhrinya yang Mas tunggu-tunggu terjawab juga. Dia kembali. Seruni datang dan mengatakan bahwa dia sudah bercerai dari suaminya. Dan itu membuat sebuah harapan yang sempat terhempas seperti menemukan kembali tujuannya, Ze. Kita sama-sama tahu, bukankah pernikahan ini terjadi atas perjodohan. Dan sampai detik ini, Mas sudah berusaha untuk melupakannya dan menggantikan dengan posisimu di hati? Tapi maaf Ze, Mas belum bisa mencintaimu."
Napasku tersengal. Dada naik turun menahan sesak yang sedemikian merajai hati.
Jadi selama ini, apa yang kulakukan tidak berarti apapun di matanya? Bahkan untuk sekedar belas kasih saja dia tak punya.
"Apa yang Mas inginkan?"
"Ze, kamu cantik dan shalihah. Mas yakin di luar sana pasti ada lelaki lain yang lebih pantas mendampingimu, tentunya yang sholih dan mencintai serta siap membahagiakanmu seumur hidupnya. Bukan Mas, lelaki yang tidak bisa menjaga perasaanmu bahkan tidak sempurna ibadahnya."
Aku mengusap air mata yang merembes di kedua pipi. Padahal menikah adalah untuk menyempurnakan ibadah. Tapi dia mengatasnamakan kekurangannya untuk mewujudkan tujuannya bersama wanita lain.
"Mas ingin kembali padanya," lanjutnya dengan suara bergetar dan pandangan yang tertunduk.
Aku menelan ludah, seperti inikah yang dia mau?
"Lalu bagaimana denganku? Juga Mama?" Suaraku melemah seiring dengan degup di dada yang ikut lemah.
Dia terdiam. Mas Ardi mengusap wajah, mungkin dia mulai goyah ketika mendengar nama mama tersebut.
"Apa wanita itu juga sangat ingin kembali padamu?"
Mas Ardy mengangguk.
"Tapi dia hanya mau bersamaku ... jika kita sudah bercerai."
Aku terperangah, benar-benar kehilangan kata. Beberapa detik hening membalut suasana diantara kami.
"Jadi Mas mau menceraikanku?" tanyaku dengan suara bergetar, antara sakit dan pasrah.
Rasanya tak percaya, padahal tadi mama baru saja meminta agar kami segera memberinya momongan. Tapi ternyata, hanya berselang menit, kami telah memutuskan untuk berpisah.
"Maafkan Mas, Ze. Mas benar-benar tidak adil padamu. Tapi ini adalah cita-cita yang yang sangat ingin Mas capai. Menikahi Seruni adalah impian terbesar dalam hidup Mas."
Aku menari napas dalam.
"Apa Mama akan setuju?"
"Kita bercerai, tapi Mas minta kamu tidak keluar dari rumah. Anggap saja kamu sedang menjalani masa iddahmu di rumah mantan suami. Aku akan memenuhi semua kewajibanku selama masa Iddah ini berlangsung. Ze, aku tahu kamu sangat menyayangi Mama. Jika sekarang aku sampaikan keinginan ini, entah bagaimana kondisi Mama. Sebab itu kita tunda, jika keadaan Mama telah sehat, aku akan segera menyampaikan padanya tentang perceraian kita."
Kuusap kembali air mata yang berderai. Mama mertua sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Jika ia sakit, tentu hati ini juga terluka.
Aku pasti kuat. Tidak lama, In Syaa Allah bisa kulalui dengan mudah.
"Tapi dengan satu syarat, Mas."
Wajahnya kini menatapku.
"Jika di rumah, aku tidak ingin melihatmu berhubungan dengan wanita itu. Baik itu telpon atau bahkan dia yang datang berkunjung. Hormati aku."
"Baik, Mas janji."
Aku berbalik dan mengambil dua buah bantal dari atas ranjang.
"Kamu mau kemana?"
"Kita sudah bukan suami istri lagi, Mas. Jadi tidak boleh seranjang lagi. Aku akan tidur di kamar yang lain."
"Tidak jangan, tetaplah di sini. Kamu tidur di atas dan aku tidur di bawah. Hanya untuk malam ini, setelah di rumah kita akan tidur di kamar yang berbeda."
"Baik."
Kuabaikan rasa perih lalu mengacuhkannya dan memilih naik ke atas ranjang untuk tidur.
*
Ternyata setelah dicerai tapi tetap memilih serumah itu tak mudah. Apalagi sebagai pihak yang dalam hal ini tersakiti. Aku harus lebih banyak menyiapkan stok ikhlas dan sabar.
Kuat, kuat. Meski tadi pagi saat wudhu aku sudah lebih dulu menumpahkan kembali air mata di kamar mandi.
Tapi aku yakin, Allah menetapkan sebuah syariat tentu ada hikmah yang bisa diambil disebaliknya. Jadi apapun yang terjadi, aku tak lupa minta dikuatkan dan diberi yang terbaik.
Keesokan harinya, Mas Ardi meminta ijin pamit pada mama. Wanita itu tentu belum tahu apa yang telah terjadi pada pernikahan kami. Ia bahkan masih sempat memberiku perhiasan miliknya yang sudah lama disimpan, sebuah kalung emas seberat sepuluh gram.
Mama memintaku mengenakannya dan tidak mengijinkan untuk kujual kecuali jika sudah sangat membutuhkan uang.
Hati kembali teriris. Bagaimana jika suatu saat Mas Ardi jujur mengatakan bahwa kami sudah berpisah? Jika memang saat itu tiba, aku hanya berharap mama tidak sakit jantung mendapati keadaan ini.
Menaiki mobil, aku mengeluarkan ponsel dan menelpon salah satu teman yang tak lama kukenal melalui I*. Aku mengikutinya karena suka dengan ceramah-ceramah singkat yang dia bagikan di status I* maupun storynya.
[Hallo Assalamualaikum.]
[Waalaikum salam. Ukhty Ze, apa kabar?]
[Alhamdulillah, baik Ustadzah. Ustadzah sendiri apa kabar?]
[Alhamdulillah sangat sehat. Ada apa gerangan ukhty menelpon?]
[Begini Ustadzah, kemarin 'kan Ustadzah sempat ngajak saya ikut kajian. Kebetulan waktu itu saya masih sangat sibuk, tapi sekarang Alhamdulillah sudah punya banyak waktu. Saya ingin bergabung dalam kajian tersebut, bagaimana caranya ustadzah?]
Mas Ardy memalingkan wajahnya menatapku, tampak dari kaca samping yang kini menjadi arah pandanganku.
[Hari ini bisa Ukhty, di tempat biasa. Pukul dua nanti selepas shalat dhuhur. Saya tunggu kehadirannya ya.]
[Baik Ustadzah. Syukran terima kasih.]
[Awfan ukhty.]
Aku menutup telpon. Tiba-tiba,
"Siapa?"
Aku meliriknya yang setelah semalaman diam hingga pagi kini membuka suara.
"Teman," jawabku santai.
"Mau kemana?"
"Mau kemana aja, sekarang udah nggak ada lagi kewajiban untuk lapor kamu 'kan, Mas?"
Dia terdiam, dua alisnya bertaut. Detik berikutnya kembali menatap ke depan. Ah, bukankah dia punya kebahagiaan tersendiri dengan wanita itu. Aku juga akan mencari sisi bahagiaku dalam menjalani masa iddah ini.
Tapi tentunya dengan tidak melanggar syariat. Aku akan lebih sering berkumpul dengan akhwat-akhwat yang akan menyejukkan pikiran.
*
Sampai di rumah, aku langsung menuju kamar lain yang ada di rumah ini selain kamar kami. Membersihkan dan mengganti sprei lalu mengetuk kamar Mas Ardi.
Lelaki itu membuka pintu.
"Aku mau ambil pakaianku, Mas."
"Ya silahkan masuk."
Kukeluarkan beberapa pakaian lalu memasukkan ke dalam tas. Kuambil semua alat kosmetik lalu memasukkan juga ke kamar. Kembali lagi ke kamar itu untuk mengambil perlengkapan shalat, bantal dan handuk.
Dia hanya menatap tanpa suara.
"Aku pergi lebih awal, karena sekalian dhuhuran di sana."
Setelah menyampaikan hal itu, diri lekas keluar dari kamarnya. Menarik napas dalam lalu membuang perlahan.
Sebenarnya masih jelas terasa sakit, tapi aku mencoba bertahan. Satu jam lebih merapikan kamar, kini jam sudah menunjukkan pukul sebelas.
Bukankah tadi aku sudah mengatakan jika akan pergi lebih cepat. Sebaiknya aku pergi sekarang saja, sekalian makan siang di luar.
Tanpa pamit, aku keluar dari rumah itu. Tidak memasak, apalagi menyuci pakaiannya yang kemarin dibawa ke Bandung. Biarlah dia kerjakan sendiri semuanya.
***
Bersambung.
POV ArdiAku mengenal cinta, tepatnya ketika duduk di bangku kuliah. Namanya Seruni. Cantik dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di kampus. Dia juga punya segudang prestasi, mulai dari olimpiade antar kampus hingga penghargaan bergengsi lainnya yang diadakan baik di dalam maupun di luar universitas.Banyak yang kagum padanya, tapi entah kenapa dia memilihku sebagai kekasih. Tapi semua hancur saat kedua orang tua Seruni justru menjodohkannya dengan lelaki lain.Aku seperti kehilangan arah hidup. Melihatnya bersanding di pelaminan bersama lelaki lain rasanya begitu menyesakkan dada.Tapi berselang beberapa bulan setelah itu, Mama yang khawatir aku bakalan kehilangan semangat hidup segera mencari pengganti Seruni.Namanya Zearetha Bilbis. Gadis shalihah dengan latar belakang agama yang kuat. Dia memang menantu idaman, tapi tidak bisa menjadi istri idaman untukku. Semua ini
"Apa Ardi ada di rumah Ze? Soalnya tadi Om lihat dia ada di salah satu rumah makan di Bandung sama perempuan, Om kira sama kamu. Tapi Om nggak bisa berhenti soalnya lagi antar bos."***"Dalam agama Islam, pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan suci. Untuk itu, menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan.Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk rumah tangga saja. Ada beberapa tujuan pernikahan yang seharusnya dipahami oleh umat muslim. Salah satu diantaranya adalah membentengi diri dan menundukkan pandangan.Pernikahan merupakan ibadah yang bertujuan untuk menjaga kehormatan diri dan terhindar dari hal-hal yang dilarang agama. Menikah juga dapat membuat kita lebih mudah untuk menundukkan pandangan sehingga lebih mudah terhindar dari zina. Sebagaimana yang terse
Harusnya aku tak di sini, entahlah hati jadi kepikiran Ze. Ingin rasanya memberi kabar, tapi bukankah kami sudah bercerai. Padahal serapapun cueknya aku selama ini. Jika terlambat pulang selalu memberi tahu. Itu sesuai permintaan Ze. Alasan simple banget, supaya makanan bisa hangat saat dihidangkan dan yang paling penting supaya dia Ze terus melek menanti kepulangan suami tercinta.Benak Ardi terus meracau.Jujur, selama ini wanita itu cukup memberi perhatian. Hanya saja Ardi sendiri yang berusaha menolak segala perhatian itu. Dengan satu tujuan untuk menjaga cinta kepada Seruni. Ah, mungkin lebih tepatnya untuk menghindari jatuh cinta pada Ze.Dan jika biasa Ze lah yang selalu khawatir, maka malam ini sempurna kekhawatiran itu dirasakan Ardi. Tapi kenapa?"Ponselku diambil mantan suamiku, Mas. Dia kejam banget, maksa aku nerima dia
Ardi tersentak dari tidur, dia melirik jam."Astaghfirullah, jam tujuh?"Dengan bersegera lelaki itu beranjak dari atas ranjang, lalu berlari cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Padahal hari ini adalah hari penting dimana dia akan menjadi pemimpin upacara dalam rangka memperingat Hari Kelahiran Pancasila. Tapi kenapa bisa terlambat?Ardi mendesah sebal.Usai membersihkan diri, dia menggelar sajadah. Semenjak menikah, bertemu sang khalik selalu rutin dilakukan. Meski terlambat, rasanya aneh jika dahi belum menyentuh sajadah saat bangun tidur."Assalamualaikum warahmatullah. Assalamualaikum warahmatullah."Walau sebentar harus menyempatkan diri menengadahkan tangan."Ya Allah-"Ucapan Ardi terhenti. Jika biasa dia kerap meminta agar Allah membuka kesempatan agar suatu saat
"Hallo.""Hallo Mas, kamu dimana?""Aku di sekolah, lagi banyak kerjaan. Kenapa?""Mas bisa ke hotel nggak?"Suara Seruni terdengar terengah-engah."Kamu kenapa?"Kini wanita itu justru terisak."Mantan suamiku mau ketemu sama kamu, Mas. Kamu bisa kemari 'kan?"Perasaan Ardi langsung tak enak."Dia sudah tahu keberadaanmu?""Sudah, Mas. Dia menunggumu di hotel ini."Ardi menarik napas dalam. Seruni akan dalam bahaya, jika ia abaikan dan mengikuti kata hati untuk menemui Ze. Mungkin mengabaikan mantan istri saat ini adalah jalan keluar terbaik."Iya, katakan aku akan datang sesaat lagi."Segera Ardi membanting setir menuju hotel. Lima belas menit perjalanan, dia sampai di parkiran. Pelan menarik napas dan bers
Ze berjalan memasuki rumah, sejenak melirik mobil Ardi yang sudah terparkir di garasi.Ucapan Ustadzah di kajian kemarin kembali terngiang."Perempuan yang beriddah dari talak raj‘i (bisa dirujuk), wajib diberi tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in, wajib diberi tempat tinggal tanpa nafkah kecuali sedang hamil. Namun, selain mendapatkan hak, perempuan yang dalam menjalani masa iddah juga punya kewajiban.Salah satunya adalah yang berlaku untuk perempuan yang ditinggal wafat suami maupun perempuan yang telah putus dari pernikahan, yaitu keharusan untuk selalu berada di rumah. Hal ini berlaku bagi perempuan yang dicerai baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh selama masa iddahnya. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk mengeluarkannya dari rumah tersebut.Selain itu, dia juga tidak boleh keluar dari rumah itu w
Karena rasa penasaran, akhirnya Ze memutuskan untuk meninggalkan meja kasir dan membuntuti kedua wanita itu. Berdiri agak jauh hingga bisa mendengar percakapan mereka lebih jelas."Iya, Mas Ardi yang minta aku ke Jakarta. Dia memang lelaki terbaik yang pernah aku kenal, Za. Ternyata dari dulu dia memang nggak pernah lupakan aku.""Maksudmu?""Kamu tahu nggak, tiap bulan dia rutin ngirim inbox hanya untuk menanyakan kabar, bahkan tak jarang mengungkapkan perasaannya. Tapi selama ini ya memang aku nggak pernah nanggapi. Karena dari awal menikah aku sudah meyakinkan diri untuk setia sama Mas Chandra. Tapi setelah kami bercerai, entah kenapa hati ini terketuk untuk membalas pesan dari Mas Ardi.""Tapi aku dengar Mas Ardi 'kan udah nikah?""Iya, dia memang udah nikah. Tapi sekarang udah bercerai.""Cerai? Kok bisa? Jangan bilang gara-gara kamu dia ceraikan istrinya?"Hati Ze berdenyut. Sakit mendengar penuturan itu. Memang kenyataan perceraiannya dan Ardi terjadi karena Seruni kembali di k
"Aku telah salah melangkah, Seruni," ucap Ardi kembali seraya menghempaskan diri ke sandaran kursi.Seruni yang merasa bagai terpental jatuh dari atas gedung ikut menyandarkan diri pada kursi. Sudah sekian angan tercipta, ribuan harapan terukir. Kini lelaki yang katanya siap melayarkan bahtera bersamanya ternyata memilih memutar haluan."Mas bilang cinta padaku?" ucapnya lirih seraya memandang keluar mobil. Terasa ada yang menghangat pada kedua kelopak mata.Ardi memilih bergeming atas pertanyaan itu. Sementara di luar, rintik hujan mulai turun perlahan. Seolah menggambarkan hati Seruni yang tengah berderai karena sikap dingin Ardi."Lantas sekian banyak inbox yang isinya kalimat rindu dan ungkapan cinta itu, maksudnya apa, Mas? Hanya bercanda?"Wajahnya kini menatap sang lelaki."Seruni, aku minta maaf padamu. Aku telah salah menempatkan rindu. Selama ini aku terus menghindar dari Ze tapi apa yang kudapat. Aku kalah. Aku telah jatuh cinta padanya. Bahkan semenjak-"Ardi menghentikan
Tidak ada ketaatan seorang istri kepada suami, melainkan telah Allah janjikan surga untuknya.***Tiga tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa kini di hidupku sudah ada buah cintaku dan Mas Han yang hari ini genap berusia dua tahun. Tak banyak yang berubah, selain kualitas bahagia yang semakin jauh biduk rumah tangga mengarungi semakin bertambah pula kadar rasanya.Aku membelalak menatap test pack bergaris dua yang subuh tadi telah kupakai ini. Antara terkejut dan bahagia, entahlah. Mungkin ini terlalu cepat, tapi dengan penuh kesadaran kuiyakan saat Mas Han membujuk untuk bersedia kembali menambah jumlah keluarga ini.Oya berbicara tentang usaha, kini suamiku dan Abi sukses merintis usaha jual beli mobil klasik. Usaha ini membuat Mas Han tidak lagi mencoba melamar pekerjaan sesuai dengan kemampuannya di luaran sana. Mengingat hasil yang didapat melebihi target yang diperkirakan. Menurutku ini adalah sebuah anugerah untuk keluarga kecil kami ini yang sangat kusyukuri.Sambil menunggu M
Kedua kaki Seruni tiba-tiba kehilangan kekuatan, ia seketika terjatuh ke lantai. Bersyukur, Han dengan segera menangkap dan berhasil mendudukkan ibundanya di atas sofa."Ambilkan segelas teh hangat," pinta Ze pada ART nya."Baik, Bu."Mereka semua mendekati Seruni yang sudah ditidurkan Han di atas sofa."Maaf ya Abi, Umi. Padahal tadi di rumah, Ibu terlihat cukup sehat. Tapi kenapa tiba-tiba jadi pingsan begini, ya?" tanya Han khawatir. Ze dan Ardi terkejut bukan main mendengar ucapan Han tersebut."Dia ibu kandung kamu, Han?" tanya Ze yang masih tak percaya dengan kenyataan tersebut.Sementara Han, tanpa ada perasaan apapun seketika mengangguk yakin. Membuat Ardi dan Ze saling bertatapan."Kapan kamu menemukannya? Dan bagaimana kamu sangat yakin jika dia ibumu?"Ze kembali melempar pertanyaan."Menurut pengakuan Ibu sendiri, Mi. Tapi Han sudah mengirim sampel rambut untuk diuji DNA lagi. Supaya lebih pasti.""Hasilnya udah keluar?"Han menggeleng."Tapi kenapa kamu seyakin itu?"Ze
Seruni menatap Han yang sudah tampak rapi dan ingin memimpin shalat subuh pagi itu, sungguh rasa syukur tak henti ia langitkan kepada Rabb semesta alam. Betapa hal ini tidak terbayangkan dalam pikirannya, tapi Allah telah menjadikan semua itu nyata.Sementara di hadapan, Han menyunggingkan selarik senyum ke arah ibu dan istrinya lalu mengambil posisi di depan. Dia memang bukan lelaki dengan tingkat keimanan yang tinggi, tapi setidaknya Han pernah beberapa kali memimpin shalat saat masih duduk di bangku kuliah dahulu.Usai shalat, mereka membaca doa bersama, dilanjutkan duduk berzikir. Selesai semuanya pukul enam. Han mengajak sang ibu ke taman belakang, sementara Syarifa memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Duduk di taman, Han mengajak ibundanya berbicara."Bu, pagi ini aku akan berangkat kerja. Nanti di rumah, Ibu akan ditemani Syarifa. Boleh 'kan, Bu?" tanya Han seraya memegang jemari sang ibu.Seruni menatap snag anak, entah kenapa perasaannya tidak enak."Pergilah, lakukan a
Han berlari memeluk ibundanya. Ada rasa sedih dan haru yang melebur menjadi satu, jika mengingat semenjak lahir tak pernah tahu siapa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.Tapi Allah Maha Baik, menampakkan semuanya meski waktu telah bergulir sedemikian lama.Kini, ia tak mau lagi kehilangan ibundanya. Setiap waktu, akan ia pergunakan untuk menggantikan semua detik yang telah berlalu. Ia benjanji untuk itu.*Setelah beberapa waktu terlalui, Seruni melerai pelukan lalu ia memerhatikan wajah sang anak dengan seksama. Wanita itu menggerakkan tangannya untuk mengusap wajah Han mulai dari rambut, alis, mata, hidung, pipi lalu membingkai wajah Han dengan kedua tangan yang tampak kotor tak terurus.Dua netra yang sedari tadi berkaca kini menumpahkan cairannya. Isak tangis menghiasi hari paling bersejarah tersebut."Sudah habis cara kuberdoa pada Allah. Tidak lain aku meminta Allah panjangkan umur agar bisa bertemu denganmu, Anakku."Hana kembali memeluk sang Ibu. Seperti halnya Serun
"Seruni?"Degup di dada Han menyentak kuat. Telah lama bahkan setelah kepindahan ke Qatar pun, ia terus mencari keberadlaan ibunya melalui seseorang yang ia percayai untuk hal itu. Tapi sampai detik ini, tak ada kabar apapun yang ia fapatkan.Dan, apa ini? Apa benar dialah wanita yang ia cari selama bertahun-tahun?"Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki?"Han kembali melempar pertanyaan untuk mematahkan tanya dalam hatinya. Sementara itu, wajah Seruni seketika tertuju Han."Kenapa kamu bertanya sangat detail tentang hidup saya? Apakah penting untukmu?""Penting Bu. Sangat penting, tolong jawab dengan jujur. Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki ke dunia ini?"Seruni yang merasa pertanyaan itu menganggu ketenangan batinnya, mencoba memaksakan diri untuk menjawab."Iya, pernah.""Apa Ibu melahirkan anak itu di penjara?"Dua netra Seruni melotot, lalu menunduk. Ia terdiam beberapa waktu."Bu."Sentuhan tangan Han di pundaknya membuat Seruni tercekat."Iya."Seruni tampak
Udah siap mandi ya, Bi?" tanya Ze pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Udah Sayang, kenapa?""Tolongin Umi bentar. Pasang kancing bagian belakang ini."Ze menunjuk punggungnya. Dia kini memakai gamis dengan model kancing di belakang."Iya, Sayang. Bentar, ya."Abi meletakkan handuk pada gantungan dan berjalan mendekati sang istri. Ia mengepaskan dua sisi baju Ze yang terbuka untuk memudahkan mengancingnya. Tapi pemandangan di depan mata, membuatnya berhenti bergerak."Kok nggak dikancing, Bi?" tanya Ze melihat suaminya tak melakukan apa yang dia pinta."Nggak, Abi cuma sedang mengagumi kemulusan kulit istri Abi ini."Ze tersenyum melihat suaminya suka sekali memuji padahal usia sudah tak lagi muda."Pandainya Abi merayu, ayo katakan Abi pengen apa?""Abi nggak sedang merayu, Sayang. Kenyataannya memang begitu."Sang suami sudah selesai memasang kancing. Dia kini memeluk sang istri dari belakang."Coba Umi lihat wajah di cermin."Pandangan mereka saling bertemu pada cermin
"Dia bukan anak kami, Bu. Han adalah anak yang kami adopsi."Inilah nasibku menikah dengan lelaki yang tidak jelas siapa ibu dan ayah kandungnya. Tapi beginilah takdir, tidak boleh menyerah apalagi membatalkan karena ijab Qabul sudah terlanjur diucapkan.Dari awal, aku memang sempat menolak menikah dengan suamiku sekarang karena pertama aku tahu di masa mudanya dia bukan pemuda baik-baik. Dia bahkan pernah kedapatan sedang bercumbu dengan pacarnya di dalam mobil. Kedua, karena aku punya kriteria calon suami yang sangat kuidamkan semenjak dahulu. Seminimal Gus Ahmad, dosen Bahasa Arab atau Ustadz Rafiq yang memegang mata kuliah hadist.Tapi kenyataannya, yang menjadi suamiku hanya seorang Han. Yang pernah bersekolah di Al Azhar, tapi kemudian berhenti dan pindah ke jurusan lain di fakultas lain pula.Tapi Umi bilang Han yang sekarang sudah lebih baik, ia bahkan lulusan fakultas terbaik yang ada di Malaysia. Mau menolak gimanapun juga nggak mungkin, perjodohan ini bahkan sudah terjadi s
Bu Margareth mengemasi semua pakaian, esok adalah hari keberangkatan mereka sekeluarga ke negeri Arab. Wanita itu membuka lemari pakaian suaminya. Tak semua pakaian di bawa ke Qatar sewaktu keberangkatan pertama Albert, dan rencananya kali ini lelaki itu meminta sang istri untuk memasukkan semua pakaiannya tanpa menyisakan satu pun.Wanita paruh baya tersebut sudah selesai melakukan pekerjaannya, hanya bersisa berkas di dalam laci lemari. Sebenarnya Pak Albert tak meminta istrinya untuk membereskan laci tersebut, tapi entah kenapa Bu Margareth justru tak enak hati menyisakan satu tempat di dalam lemari.Hingga tangaannya ia gerakkan untuk membuka tempat itu.Tidak banyak berkas, hanya beberapa kartu ucapan dari Bu Margareth dulu setiap kali mereka merayakan anniversary dan ulang tahun. Selebihnya cuma kertas tak jelas dan sebuah amplop kecil yang membuat wanita itu sedikit penasaran.Ia mengulurkan tangan untuk membuka amplop tersebut. Dua netra Bu Margareth mendelik. Isinya adalah se
"Anak Ibu diculik?" tanya Bu Margareth penasaran.Seruni terdiam sejenak, rasanya enggan jujur. Sebab ini adalah masalah yang begitu privasi untuk ia bagi pada siapapun. Tapi melihat ketulusan Ibu Margareth, rasanya tak adil Seruni menipunya."Saya ini mantan narapidana, Bu."Bu Margareth terhenyak, sedikit ketakutan karena pikiran buruk seketika menerpa. Apa yang menyebabkan wanita di hadapannya ini masuk penjara? Benar-benar Bu Margareth ingin segera keluar dari rumah itu.Seruni yang mendapati wajah Ibu Margareth tiba-tiba berubah, segera menjelaskan perkara yang menimpanya dahulu. Tentang kenapa ia sampai mendekam di balik jeruji besi.Panjang lebar Seruni bercerita membuat Ibunda Han menarik napas berat."Sangat berat beban yang menimpa Ibu, tapi saya salut karena Ibu bisa bertahan sejauh ini."Seruni menyunggingkan selarik senyum dengan terpaksa. Nyatanya ia memang kelihatan tegar, tapi sebenarnya dirinya cukup rapuh. Siang malam yang ada di pikiran selama sepuluh tahun di penja