Sehabis salat isyak aku berhias, aku memoles wajahku dengan bedak dan lipstik. Entah mengapa aku ingin tampil maksimal padahal Pak Willi hanya mengajakku makan malam bersama."Kinan, kamu mau ke mana?" tanya Mas Arfan."Oh itu, Pak Willi mengajakku makan malam di rumah Putra," jawabku."Hanya kamu sendiri yang diundang?" tanya Mas Arfan. Dia terlihat tidak suka dengan adanya makan malam ini."Kalau tidak aku sendiri siapa lagi, Mas. Masa iya ngajak kamu," ucapku."Siapa tahu Kiara juga disuruh ikut," kata Mas Arfan."Tidak, mungkin mau bicara masalah pekerjaan jadi hanya aku yang diundang," kataku.Mas Arfan terdiam, aku pamit padanya. Setelah itu aku pamit pada Kiara.***Sampai di rumah Putra, aku melihat mobil Pak Willi sudah parkir di sana. Aku langsung saja memencet bel. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu."Sudah di tunggu tuan, Non," kata wanita itu.Aku di bawa ke ruang keluarga. Di sana ada Pak Willi, Bu Kamila istri Pak Willi dan Putra."Selamat malam," sapaku."Malam
Hari kedua Putra memaksa untuk menjemputku. Aku sudah menolak tapi kata Putra dia tidak menerima menolakan."Bu, ada Pak Putra jemput ibu," kata Bibik saat kami tengah sarapan."Kamu di jemput?" tanya Mas Arfan. "Kenapa Putra harus jemput segala, lalu gimana dengan Kiara?" tanya Mas Arfan."Dia tetap berangkat denganku, sebenarnya aku sudah menolak tapi nyatanya Putra tetap jemput aku," jawabku."Mama, Om Putra ke sini? Asyik bisa bareng Om Putra," sahut Kiara."Kiara jangan dekat sama Putra. Dia itu orang lain," tegur Mas Arfan.Aku dan Kiara berpamitan, Mas Arfan mengantar kami sampai depan."Putra, awas saja kamu macam-macam dengan Kinan," ucap Mas Arfan."Jangan khawatir, Pak Arfan! Saya bukan tipe pebinor," balas Putra.Kami berangkat mengantar Kiara dulu, Kiara terlihat senang bisa bersama Putra. Entah, Putra punya pesona apa sehingga Kiara nempel padanya."Sepertinya kamu sayang dengan anak kecil. Kenapa gak menikah aja?" tanyaku."Belum ada yang cocok, kan gak harus menikah ju
"Eh Kinan, belum tidur ya," kata Mas Arfan mengalihkan pembicaraan."Siapa Mas yang dimanfaatkan?" tanyaku."Oh itu temanku, bisa aja di manfaatnya," jawabnya. "Sudah malam, ayo kita tidur!" ajak Mas Arfan merangkulku.Mas Arfan mendadak aneh dan bersikap sok manis. Apa karena aku sudah meminjami dia uang? Mungkin saja.Kami tidur bersama, Mas Arfan mencoba menggodaku. Tapi aku malah memutuskan untuk tidur terlebih dulu.Esoknya, aku berangkat di jemput Putra. Aku melewati kantor Mas Arfan. Aku ingin coba mendatanginya sebentar."Putra, boleh aku mampir ke tempat kerja Mas Arfan?" tanyaku pada Putra yang tengah menyetir."Boleh, di mana kantornya?" tanya Putra."Itu depan sana," jawabku."Oh dia perusahaan Adijaya?" tanya Putra."Iya, kamu tahu perusahaan itu?" tanyaku."Iya, dia teman baik papa," jawab Putra. "Sudah sampai, silahkan kalau mau ketemu Arfan!" perintah Putra.Aku ke luar dari mobil sementara Putra masih menunggu di parkiran. Aku mencari Mas Arfan, ku lihat dia sedang m
"Kinan...Kinan...," panggil Mas Arfan.Aku berjalan menyeret koperku dan koper Kiara ke luar rumah."Maksud kamu apa? Kamu mau minggat?" tanya Mas Arfan marah."Kenapa tidak? Untuk apa bertahan dengan suami pelit dan tukang poligami? Di tambah lagi tukang nipu istri. Anggap saja uang hasil jual mobil adalah untuk biaya hidup Kiara nanti," ucapku. "Sebenarnya tak cukup sih, tapi dari pada aku dimanfaatkan terus," kataku."Siapa yang memanfaatkan kamu, Kinan?" tanya Mas Arfan mengikuti aku yang sudah ke luar rumah. Ana mengikuti Mas Arfan."Aku dengar sendiri saat kamu berbicara dengan temanmu. Kamu memanfaatkan aku agar bisa mendapatkan uangku. Apalagi kamu tahu aku sudah naik jabatan," jawabku."Kamu salah faham," sanggah Mas Arfan."Mbak Kinan, tolong dibicarakan baik-baik. Jangan ambil keputusan dalam keadaan emosi," kata Ana."Aku tidak emosi, Ana. Tapi aku kesal karena aku ditipu suamiku sendiri. Sekarang aku serahkan Mas Arfan padamu, Ana," ucapku."Sekarang kamu jujur, Mas. Apa
Pagi sekali Mas Arfan datang ke rumah mama. Dia membujukku agar mau pulang lagi. Alasannya karena dia tidak mau Kiara tidak punya papa dan jadi korban broken home."Ayolah Kinan! Kita rujuk kembali!" ajak Mas Arfan. "Jangan kamu pentingkan perasaan kamu saja. Pikirkan Kiara juga," kata Mas Arfan.Mama hanya diam, tapi aku malas sekali rujuk dengan pria pelit seperti Mas Arfan."Maaf, Mas. Lima tahun rasanya udah cukup buat aku hidup sama kamu. Aku yakin bisa membahagiakan Kiara meskipun tanpa kamu," ucapku."Kinan, kamu jangan egois. Itu menurut kamu, tapi pada kenyataannya Kiara tetap butuh aku sebagai papanya," bantah Mas Arfan."Kalau dia butuh kamu, tinggal datang dan menginap di rumah kamu. Tapi maaf untuk kembali aku tak bisa," kataku tegas."Mbak, Tolong kembali pada Mas Arfan!" pinta Ana."Apa kalau aku kembali pada Mas Arfan, kamu mau meninggalkan Mas Arfan? Tidak, kan?" tanyaku sinis. "Harusnya kamu senang karena bisa menjadi istri satu-satunya Mas Arfan," ucapku."Kinan, ka
Aku pagi ini sengaja izin untuk masuk setengah hari pada Putra. Aku akan mengurus pengajuan cerai ke pengadilan.Aku bingung saat menyiapkan berkasnya, ternyata buku nikah yang sudah aku siapkan tidak ada. Padahal saat aku pergi dari rumah Mas Arfan aku sudah menaruhnya di dalam tas baju."Kinan, kamu kenapa bingung?" tanya Mama."Buku nikahku hilang, Ma," jawabku. "Padahal aku udah taruh di tas baju," sambungku."Mungkin udah kamu ambil, tapi kamu lupa naruh," kata mama.Seingat aku, buku nikah itu belum aku ambil dari tas. Aku menjadi takut jika aku gagal ngajuin cerai karena buku nikah hilang.Aku tetap berangkat ke pengadilan agama. Dan mereka memintaku untuk mengurus duplikat akta perkawinan ke kantor KUA. Jadi aku segera ke kantor KUA.Setelah mendapatka duplikat akta perkawinan dari KUA, aku kembali ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan.Aku bahkan sudah menyenangkan hasil visum, ya aku pernah melakukan visum secara diam-diam saat Mas Arfan melakukan KDRT."Syarat penga
Seterah hinaan mama pada Mas Arfan di rumah sakit. Dia tak lagi berani menampakkan batang hidungnya lagi. Bahkan Anapun tak menghubungiku lagi.Surat mediasi dari pengadilan sudah datang. Aku di temani mama dan pengacara mendatangi proses mediasi.Mas Arfan datang bersama Ana. Dia pasti tak berani memberitahu keluarganya."Apa kalian memang yakin akan bercerai?" tanya pegawai pengdilan yang ada di acara mediasi."Yakin, Pak. Saya sudah tidak bisa bertahan dengan pria kasar seperti dia. Bahkan nafkas saja dia berikan secara pas-pasan. Apalagi sejak dia memutuskan poligami, dia tidak pernah adil padaku," jawabku mantap."Bagaimana dengan Pak Arfan?" tanyanya."Saya juga sudah yakin, Pak. Saya tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak bisa menghargai suaminya," jawab Mas Arfan.Aku sedikit terkejut saat Mas Arfan bilang seperti itu. Namun, gak masalah asal perceraian cepat selesai."Jika kalian bercerai, bagaimana dengan hak asik anak?" tanyanya."Saya akan membesarkan anak saya sendiri,
Sidang pertama perceraianku dengan Mas Arfan telah ditetapkan tanggalnya. Aku berharap semua berjalan lancar."Bagaimana apa kamu sudah siap dalam persidangan nanti?" tanya Mama."Sudah, Ma. Semoga semua berjalan lancar," jawabku."Mama selalu berdoa yang terbaik buat kamu dan Kiara," kata mama.Kiara sudah tahu bahwa papanya tidak akan memberinya uang sama sekali. Jadi dia tidak akan menemui papanya."Terima kasih, Ma," ucapku memeluk mama.Pernikahan yang kami lalu hanya bertahan sampai lima tahun saja. Kini semua harus ku akhiri."Kamu orang yang kuat, kamu pasti bisa membesarkan Kiara sendiri," kata mama.Aku bekerja seperti biasa, toko milik Putra sudah beroperasi jadi tidak sampai sebulan aku membantunya. Aku harus kembali ke kantor Pak Willi lagi.Bertemu Erina setiap hari, curhat, makan bareng bahkan ngegosip bareng. Sudah banyak yang tahu jika aku mengajukan gugatan cerai pada Mas Arfan. Mereka sangat mendukung, teman kekantor juga ada yang single parent dan sekarang anaknya
Ternyata Allah menjawab doa anak-anak selang dua bulan kemudian aku hamil lagi. Mereka bergembira saat tahu aku tengah mengandung adiknya."Hore... hore punya adik," seru Kiara diikuti dengan Marvel sambil lompat-lompat.Kehamilan aku dan Dina beriringan, tentu aku tak akan bisa menemani dia lahiran. Namun, keluarga Brian sudah siap menemani Sofia lahiran.Papa senang melihat aku bahagia bersama Mas Ilham. Rasa sakit hati yang dulu diciptakan Mas Arfan seketika hilang sudah. Digantikan dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Ilham.Tak hanya diriku, Ana juga merasakan hal yang sama. Dia mencurahkan semuanya padaku. Bahkan dia sempat menangis saat kami bercerita dan ingat saat-saat masih bersama Mas Arfan."Semua hanya masa lalu," kataku. "Sekarang kebahagiaan kita sudah di depan mata, meskipun bukan dengan Mas Arfan," kataku."Iya, Mbak. Hanya saja aku masih merasa bersalah pernah masuk dalam rumah tangga Mbak Kinan," katanya."Semua sudah berlalu, dulu memang aku sempat membencimu. Nam
Ku lihat banyak orang berkerumun, bahkan orang yang berada di dalam gedung pernikahan Sofia ada yang ikut melihat.Ku dengar dari beberapa orang bahwa yang kecelakaan adalah orang yang tadi diusir di pesta pernikahan Sofia."Aduh dia pasti kena karma," kata seseorang.Aku kembali ke gedung, ku lihat Mas Ilham sedang bersama Brian."Ada apa, Mbak?" tanya Sofia."Wanita itu kecelakaan sepertinya," jawabku. "Ku lihat tadi mereka bertengkar," ucapku."Ya ampun!" ucap Sofia.Acara pernikahan Sofia telah selesai. Kini Sofia akan tinggal di rumah ibu. Rumahku kembali sepi, karena hanya kami sekeluarga yang tinggal di sana.Rumah kembali seperti semula, hanya ada aku, Mas Ilham dan anak-anak."Mas, sepi ya?" tanyaku."Ya memang begitu, kan mereka udah punya keluarga sendiri-sendiri," jawab Mas Ilham. "Bagaimana kalau kita liburan?" tanya Mas Ilham."Liburan kemana, Mas?" tanyaku."Ke tempat yang sederhana saja," jawab Mas Ilham. "Nanti aku akan siapkan semua," ucapnya.Kamu akhirnya pasrah de
Kamu semua terkejut saat pria itu menyatakan niatnya untuk menikahi Sofia di atas panggung.Sofia mengangguk pelan," Ya aku menerima kamu," ucap Sofia.Ku lihat kedua mempelai merasa malu melihat Sofia mendapatkan jodohnya di depan mata mereka. Padahal baru satu menit yang lalu dia diejek."Nah, lihat kan kalau aku bisa dapat yang lebih baik," kata Sofia.Sofia lalu mengajak aku dan pria itu keluar dari acara tersebut. Aku terheran-heran, aku kira pasti Sofia tengah membuat drama."Akting kalian bagus," ucapku setelah sampai di tempat parkir."Akting, siapa yang akting Mbak?" tanya pria itu. "oh ya aku Brian, teman SMA nya Sofia," jawab Brian memperkenalkan diri."Jadi kamu beneran melamar Sofia?" tanyaku."Iya benar," jawab Brian."Sofia, Mbak gak mau kejadian kemarin ke ulang lagi. Lebih baik kamu pikirkan matang-matang, setidaknya sebelum menikah kalian memantapkan hati kalian dulu," kataku.
Sofia dan suaminya langsung pamit pulang. Kami tak bisa mencegahnya. Kamu hanya mendoakan kehadiran teman Sofia tidak membuat rumah tangga Sofia yang baru seumur jagung menjadi hancur."Aku jadi Sofia gak mau gantiin," kata Dina. "Sekarang dia kembali, bagaimana kalau sampai dia tidak terima dan merebut suami Sofia lagi?" tanya Dina."Kita berdoa saja semoga tidak seperti itu," jawab Mas Ilham.Aku merasa kasihan pada Sofia, dia harus menjalani asmara yang begitu rumit.Seharian Dina main di rumah, dia sedang libur. Dia bermain dengan anak-anak. Sorenya dia pulang di jemput Seno."Loh katanya Sofia ada di sini kok udah sepi," kata Seno."Udah pulang waktu aku datang," kata Dina."Mereka baik-baik saja, kan?" tanya Seno."Kamu tidak tahu, Sen," ucapku.Dina hendak pulang tapi dia melihat Sofia datang naik taksi."Loh katanya mau tinggal sama mertua kamu," kataku."Suamiku diminta sama t
Siang itu ku lihat Sofia pulang dengan wajah kusut. Dia terlihat memikirkan sesuatu."Ada apa, Dek? Temanmu sudah pulang?" tanyaku.Dia menggeleng, sepertinya masalahnya semakin rumit."Kak, aku mau nikah," kata Sofia."Hah," aku terkejut mendengar apa yang barusan dia katakan."Menikah dengan siapa?" tanyaku."Aku disuruh menggantikan pengantin perempuan besok, Mbak," jawabnya."Bukankah itu keinginan kamu, menikah dengan orang yang kamu cintai?" tanyaku heran melihat sikap dia yang justru lemas."Justru itu, aku merasa hanya sebagai tempat pelarian saja karena pengantin wanitanya kabur,' jawab Sofia. "Kak Ilham pasti kaget kalau aku akan menikah besok," kata Sofia."Itu sih tentu, nanti aku bantu bicara sama Mas Ilham," ucapku.Aku segera menelfon Mas Ilham, agar dia pulang lebih awal. Biar bagaimanapun, kami harus menemui keluarga calon mempelai putra."Mas, pulang sekarang! Ada hal
Dua hari setelah pernikahan Dina dan Seno, mereka akan pindah ke rumah baru Seno. Kami mengantar Dina ke sana dengan membawa barang-barang Dina."Aku pasti akan sering kangen kak Kinan," kata Dina."Kalau kangen ya datang kemari lah," ucapku."Insyaallah ya, Kak," ucap Dina.Sampai di rumah Seno, di sana sudah ada keluarga Seno. Pembantu Seno membantu membawakan barang milik Dina ke kamar.Aku ikut melihat kamar Dina, kamarnya sangat luas hampir sama dengan kamarku di rumah. Rumahnya juga bagus dan sangat modern."Wah bakal betah nih kalau rumahnya sebagus ini," pujiku.Dina hanya tersenyum, setelah itu kami ke ruang tamu menyusul yang lain. "Dina, sekarang kamu udah sah istrinya Seno. Jadi mama harap kamu harus saling jaga sama Seno," kata Mama Seno."Iya, Ma," kata Dina.Anak-anak bermain, mereka suka karena rumah Seno ada kolam renangnya. Mereka bermain air di sana."Seno,kamu udah
Pagi itu Dina tampak pergi dengan terburu-buru. Aku melihat ada wajah kecemasan pada dirinya."Kamu kenapa?" tanyaku."Tadi keluarga Mas Seno menelfon, katanya Mas Seno kecelakaan, Mbak," jawab Dina."Ya sudah kalau gitu aku ikut," ucapku.Aku dan Dina ke rumah sakit di mana Seno di rawat. Pernikahan mereka tinggal satu Minggu lagi tetapi Seno malah kecelakaan.Sampai di rumah sakit, kami bertemu dengan keluarga Seno."Dina, Seno belum sadar," kata Mama Seno.Dina langsung lemas, ku ajak dia duduk. Aku tahu Dina pasti terpukul."Din, sepertinya pernikahan kalian harus ditunda kalau Seno tidak sadar juga," kata Papa Seno.Dina Kembali lemas, harapannya segera menikah pupus. Dia harus menunggu Seno sembuh dulu.**Dina menunggui Seno di rumah sakit, selang satu jam kemudian Seno sadar. Lukanya tidak terlalu parah hanya saja dia perlu waktu untuk dirawat beberapa saat."Sayang, a
Pagi itu Mas Ilham membangunkan diriku, setelah pertempuran semalam aku sampai bangun kesiangan."Sayang, bangun!" Perintahnya.Di tak lupa mengecup keningku dengan penuh kasih sayang. Aku yang baru setengah sadar dari tidurku hanya tersenyum melihat perlakuan Mas Ilham."Hari ini aku antar kamu ke salon ya," ucap Mas Ilham."Ngapain ke salon?" tanyaku heran. Mas Ilham tak pernah mengantarku ke salon sama sekali. Tapi pagi ini dia ingin mengantarku ke salon."Cepat mandi!" Suruhnya.Aku segera mandi, setelah itu sarapan berdua saja dengan Mas Ilham. Ternyata yang lain sudah sibuk dengan urusan masing-masing."Mbak, nitip Marvel ya. Aku mau ajak mamanya ke salon," kata Mas Ilham saat melihat baby sitter Marvel."Baik, Pak," ucapnya lalu berlalu meninggalkan kami.Selesai makan kami berangkat ke salon, Mas Ilham memilihkan perawatan terlengkap untuk diriku."Mas, ini perlu waktu beberap
"Apa Pak Willi tersangka utamanya?" tanya Sofia saat mendengar jawabanku.Aku mengangguk, mereka sangat marah karena apa yang dilakukan Pak Willi sudah diluar batas."Dia harus dihukum," ucap Sofia."Mas Ilham tidak akan membiarkan dia hidup tenang," kataku.Pagi itu kami tengah sarapan, Mas Ilham belum pulang dari kantor polisi. Aku meminta Bi Sri pesan makanan untuk acara tahlilan nanti malam."Kinan...Kinan...keluar kamu!" Suara Vira terdengar.Setelah aku membuka pintu, Vira menyerang ku. Dia langsung saja menjambak rambutku."Aku sudah peringatkan kamu, kan. Kalau Mas Willi punya rencana kamu sih gak mau dengar. Sekarang aku mau kamu bujuk Ilham untuk mencabut laporannya," ucap Vira."Maaf gak bisa, yang salah harus tetap mendapat hukuman," balasku.Dina dan Sofia langsung menyusulku, melihat yang datang Vira, emosi mereka meluap."Masih gak punya malu kamu, udah jelas suami kamu salah mas