Share

Sebelas

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. 

Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. 

Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. 

"Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. 

Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membawa barang belanjaan untuk keperluan selamatan. Wah, cepat sekali belanjanya. 

Orang-orang membantu menurunkan barang belanjaan dan siap mengerjakan semua seperti dikomando. Rumah itu seketika menjadi seperti pasar dadakan. Namun, untuk memasak tidak di rumah duka melainkan di rumah tetangga yang ada di samping dan kirinya. Sepertinya semua warga desa datang ke sini tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan. 

Para ibu sibuk di dapur dan para bapak memasang tenda dan memasang meja kursi serta mengambil perkakas makan yang berupa toples, piring, dan gelas milik persatuan desa. 

Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang hanya berpangku tangan di sini. Aku dan ibu membantu mengupas bawang, ada juga yang mengupas kentang. Sampai di sini aku paham kenapa semua  orang membawa pisau saat datang. Ya, mereka sudah siap dengan pisau di tangan masing-masing karena pisau adalah benda paling dibutuhkan saat ini. 

Di sebuah dapur milik tetangga ini, semua orang memotong bahan dan di sebelah sana ada yang sedang menghaluskan bumbu, ada juga yang langsung menyalakan api dan siap untuk menggoreng kentang yang sudah dipotong kecil-kecil. Kentang yang tadi masih ada di dalam plastik itu sudah selesai dipotong hanya dalam hitungan menit. Amazing. Bukan hanya kentang, tetapi semua bahan seperti ayam, tahu, dan lainnya juga sudah selesai dikerjakan tinggal mengeksekusi menjadi makanan matang. Nanti yang memasak sudah ada sendiri dan hanya tinggal memasukkan ke dalam wajan saja karena semua sudah siap mulai dari bumbu hingga santan. 

Saat bapak meninggal, aku tidak tahu suasana dapur seperti ini karena tuan rumah tentu saja fokus dengan yang meninggal dan setelah itu fokus dengan para tamu yang datang melayat dan hanya tahu tiba-tiba makanan sudah siap di atas meja. 

"As, tolong buatkan santan dari kelapa yang sudah diparut itu," titah ibu setelah selesai mengupas bawang. 

"Baik, Bu." 

"Kalau sudah selesai, antar ke sebelah sana, ya?" Ibu menunjuk ke sebuah tempat yang terdapat beberapa orang ibu yang sedang berada di depan sebuah tungku dengan api besar yang menyala. 

Aku mengangguk dan mengambil air hangat untuk memeras kelapa agar mendapatkan santan, setelah itu membawanya ke tempat yang sudah ditunjuk ibu. 

"Permisi, Bu. Ini santannya ditaruh di mana, ya?" tanyaku pada seorang wanita setengah baya yang sedang menggoreng emping melinjo. 

Ia mengernyitkan dahi dan berpikir sejenak. 

"Dibawa ke Bu Winda yang sedang memasak sambal goreng kentang," jawab seorang wanita berbaju biru dengan celemek hitam serta kerudung instan yang sudah disingkap. Suasana di dapur ini sangat panas karena ada banyak tungku yang semuanya menyala. 

"Maaf, Bu Winda itu yang mana, ya?" 

Wanita itu menoleh lalu tersenyum," Oh, baru sadar kalau kamu bukan orang sini. Bu Winda itu yang sedang memasak di tungku paling ujung." 

Wanita itu menunjuk seorang wanita yang sedang sibuk dengan spatula di tangannya yang sedang menumis bumbu. Ia berlagak layaknya seorang koki professional yang harus bekerja cepat. 

Setelah memberikan santan, aku berbalik, tetapi dipanggil oleh wanita yang gemuk berbaju merah. 

"Tolong buatkan santan lagi untuk dan bawa ke sini," pintanya dengan tersenyum ramah. 

Dengan cekatan aku membuat santan lagi. Memang tidak ada yang berpangku tangan di sini. Setelah itu aku ke dapur lagi dan menyerahkan santan itu pada wanita yang tadi. 

"Bu, yang membuat wajik siapa, ya, tadi?" tanya wanita yang sedang menggoreng ayam. 

"Belum ada." 

"Mbak, bisa buat wajik?" tanya wanita itu tanpa berhenti dari pekerjaannya yang sedang menumis bumbu dan di depannya sudah siap dengan mie yang sudah direbus dan dicampur kecap. 

"Coba cari teman yang lain untuk membuatnya jika tidak sanggup sendiri." Belum sempat aku menjawab wanita itu sudah berkata lagi. 

Ternyata di sini tidak ada orang yang khusus harus masak ini atau itu. Semua bekerja layaknya mesin yang otomatis mengerjakan semua pekerjaan yang ada. Jika yang ini sudah selesai langsung ganti dengan pekerjaan yang lain. 

Aku menyingsingkan lengan baju dan tanpa ragu mengambil wajan besar dan meletakkan di atas tungku api, menuangkan air dan memasukkan gula merah lalu menunggu hingga mendidih dan menjadi seperti karamel. 

Terjawab sudah rasa penasaranku dari kemarin. Saat bapak meninggal, sebelum azan Zuhur, makanan sudah siap semuanya padahal baru mulai memasak pagi hari kira-kira pukul tujuh karena bapak meninggal menjelang pagi. Bagaimana tidak cepat selesai jika yang mengerjakan sebanyak ini dan semuanya seolah sadar dengan tugas masing-masing. 

Saat membuat wajik, Aku dan dua orang yang lain tinggal menunggu gula merah siap dan setelah itu memasukkan beras ketan yang sudah dikukus dan yang mengukus ketan juga sudah ada sendiri. 

Badanku panas dan berkeringat setelah bergelut dengan wajan besar ini, tetapi aku harus tetap melanjutkan pekerjaan ini sampai selesai. 

Tidak lama kemudian wajik sudah matang dan orang itu memintaku membawanya ke sebuah tempat yang sudah disediakan. 

Di ruangan ini juga masih banyak orang, mereka sedang memasukkan makanan ke dalam toples. 

"Ini wajiknya, Mbak." Aku menurunkan wajik yang berada di dalam baki. 

Seorang wanita yang sedang memasukkan roti kering ke dalam toples menoleh." Potong aja sekalian dan letakkan ke dalam piring." 

Awalnya aku ingin segera istirahat karena membuat wajik ini cukup menguras tenagaku ditambah lagi dengan suasana di dapur tadi yang sangat panas membuatku ingin menanggalkan kerudung yang kupakai lalu merebahkan tubuh ini. Akan tetapi, setelah mendengar permintaan orang itu, aku pun melakukannya juga. 

Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya masuk ke ruangan dan mengatakan kalau para tamu sudah mulai berdatangan. Ia menanyakan apakah makanan sudah siap atau belum. Sudah pasti, siap. Di sebuah meja sudah ada beberapa baskom besar dengan lauk yang masih mengepul serta satu wadah besar berisi nasi  yang juga baru saja matang. Selain itu toples juga sudah terisi semua. 

Ya, selain menyuguhkan nasi beserta pelengkapnya berupa daging sapi yang bisa diganti dengan daging ayam, mie goreng, sambal goreng tahu plus kentang dan krecek kulit sapi, serta telur bumbu kecap, di sini juga menyuguhkan aneka makanan ringan yang ada di dalam toples seperti emping melinjo, rempeyek kacang, dan kue kering. Untuk jenis makanan basah ada wajik dan agar-agar, terkadang bisa juga bolu kukus atau krasikan.

Dalam sekejap, depan rumah duka itu sudah terpasang tenda lengkap dengan meja kursi dan aneka makanan di atasnya. 

Hatiku berdesir perih melihat wanita yang kini sudah memakai gamis dan berkerudung panjang itu terduduk lemah dan tiada henti menangis setelah jenazah suaminya dikuburkan. 

Ia juga tadi pingsan berkali-kali. Wanita itu selain sedih karena ditinggal suaminya, mungkin ia juga bingung melihat aneka makanan yang sudah berjejer di atas meja dan sangat banyak. Bagaiman jika ia tidak punya uang untuk membayar utangnya nanti? 

Aku menghela napas dan mengembuskannya. Di sini, saat ada orang meninggal, tidak ada bedanya antara orang mampu atau tidak. Mungkin hanya lauknya yang berbeda yaitu daging ayam dan sapi sedang yang lainnya tetap sama. 

Bapak sudah punya anak yang sudah besar sehingga untuk biaya selamatan ditanggung anak-anaknya, lalu bagaimana dengan ibu itu yang anaknya yang masih tergolong yatim ini? 

Aku memberanikan diri untuk menyapa sekadar menghibur. 

"Rida?" Aku memekik saat melihat wanita yang dari tadi terus menunduk itu adalah teman sekolahku saat masih SMP. Setelah kuperhatikan dengan seksama wanita yang kini sudah berstatus menjadi janda itu memang temanku. Tadi aku sempat tidak mengenalinya karena ia sudah banyak berubah. 

Ya, setelah lulus SMA aku bekerja di kota sehingga jarang pulang sehingga tidak  tahu dengan apa yang terjadi dengan teman-temanku di sini termasuk Rida yang sudah menikah dengan lelaki yang satu desa denganku, apalagi ini desa luas, kadang dengan satu desa saja tidak saling mengenal. 

Related chapters

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Dua Belas

    Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedan

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Tiga Belas

    Awalnya aku kesal saat melihat wanita yang ada di hadapanku ini adalah orang yang sudah membuatku malas ke sekolah karena perbuatannya. Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru. "Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?" Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan l

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Empat belas

    Kusam? Iya, kulit dan wajah Rida memang kusam, tidak bersih seperti yang ia banggakan dulu. Kata ibu, Rida sering ikut suaminya ke sawah meski harus membawa serta anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yang tidak pernah ke sawah saja tidak bisa membayangkan betapa repotnya ke sawah bersama anak kecil. "Maafkan aku, As, kalau malah curhat sama kamu. Habis aku bingung mau curhat sama siapa lagi. Aku tidak tahu harus membagi beban ini pada siapa? Tidak ada yang peduli denganku, bahkan ibuku sendiri. " Ia mulai sesenggukan. "Iya, enggak apa-apa. Aku juga nggak keberatan, kok. Jadi, kamu sudah bayar utang buat selamatan suami kamu? Kenapa terlihat sedih begitu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. "Iya, mau tidak mau aku harus membayar utang ini karena aku kasihan dengan suamiku jika utangnya tidak segera dibayar, tapi untuk bayar utang itu aku harus_," Wanita yang memakai kerudung panjang itu mendongak dengan tatapan menerawang. Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Segera ku usap pun

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima belas

    Aku menatap lekat mata Mbak Sindi yang telah dikuasai amarah yang tidak kutahu apa penyebabnya. Aku yang memberi pinjaman dan sama sekali tidak merugikannya, kenapa harus dia yang marah? "Duduk dulu, Mbak, Mas. Syukurlah kalian berdua datang ke sini. Ibu sudah sangat merindukan kalian." Kupaksakan diri untuk tersenyum setelah sekian detik kami saling tatap tanpa mengucap sepatah kata pun. "Aku ke sini bukan karena mau ketemu ibu, tetapi hanya ingin meminta agar kamu tidak usah ikut campur dengan urusan utangnya si Rida. Biarkan saja ia punya utang dengan menggadaikan sawah miliknya, toh, kamu juga tidak rugi!" Mbak Sindi berjalan dengan angkuh. Ia kini menunjuk mukaku dengan jari telunjuknya hingga jarak wajah dan jari tangannya hanya beberapa inci saja. Aku menggeleng, dia bilang aku tidak boleh ikut campur, tetapi ia sendiri juga ikut campur dengan masalah ini. "Mbak, aku memang tidak rugi jika Rida menggadaikan sawahnya pada juragan yang entah siapa namanya itu," "Namanya jur

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam belas

    Ibu bilang, Mas Gani dan Mbak Sindi bekerja di sawah milik Juragan Jaya karena saking luasnya sawah yang ia garap. Ya, Juragan Jaya menggarap sawah yang sangat luas dari hasil menggadai dari orang-orang yang membutuhkan uang. Jika Rida menggadaikan sawah padanya, tentu garapan Mas Gani semakin luas. Kira-kira seperti itu lah yang membuat Mbak Sindi marah. "Ya udahlah nggak apa-apa. Aku juga nggak mungkin sanggup menggarap sawah itu. Mungkin dengan uang ini aku bisa jualan, tetapi jualan apa, ya, Kira-kira yang belum ada di desa ini?" Rida menopang dagunya dengan tangan kanannya. Matanya bergerak ke kiri dan kanan sebagai tanda kalau ia sedang berpikir keras. "Aku tadi sudah bilang kalau kamu nggak boleh jualan karena mulai hari ini aku juga mau jualan dan aku paling anti dengan yang namanya saingan. Yah, kalian harus tahu kalau aku adalah tipe orang pekerja keras sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berpangku tangan atau ongkang-ongkang kaki karena akan banyak waktu yang terbuang.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Tujuh belas

    Selama beberapa hari berada di sini, aku sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel meski kuota internet masih ada. Untung Rida memberi tahu kalau di area makam biasanya ada jaringan. Benar saja, aku hanya bisa mengirim maupun menerima pesan saat berada di makam. Makam itu posisinya memang lebih tinggi dari desa ini sehingga masih ada jaringan di sana meski tidak 4G, tetapi lumayan dari pada tidak ada sekali seperti di rumah. "Jangan bilang kalau kamu mau balas dendam karena aku tidak mau menyambungkan wifi padamu, ya, As? Bukankah Mas Gani pernah menyambungkan wifi pada Ubay? Ya, aku masih ingat Ubay menyambung wifi untuk menelepon orang kepercayaan di toko khayalan kalian itu, kan?" seru Mbak Sindi. Ibu menggeleng dan berdecak, pun denganku. Baru sekali menyambung wifi itu pun langsung ganti sandi lagi, masih saja diingat sampai sekarang. Aku malah jadi bersyukur karena selama ini tidak nebeng wifi padanya. Kalau iya, pasti sudah diungkit-ungkit terus. Aku tersenyum," Tidak ada

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Delapan belas

    Dua orang wanita yang berstatus kakak ipar bagiku itu masuk lalu duduk di samping ibu dan sama sekali tidak menyapaku. Apa mungkin aku tidak kelihatan di mata mereka berdua? Ah, bodo amat. "As, sini, kamu?" Mbak Sindi melambaikan tangan padaku yang sedang berjalan dengan piring kotor yang hendak kubawa ke wastafel. Aku menghentikan langkah dan menatap sang kakak ipar yang menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. "Apa maksudmu memberi makanan pada Rida? Mau dianggap wah oleh orang-orang? Kamu haus akan pujian sehingga harus melakukan berbagai macam cara termasuk dengan memberinya makanan yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan?" tanya Mbak Sindi. Mbak Vita tampak menyenggol lengan Mbak Sindi lalu mengedipkan mata untuk memberinya kode yang entah apa. Lalu, ia mendekati Mbak Sindi dan berbisik di telinganya, entah apa yang dikatakan oleh sesama ipar itu, aku tidak bisa mendengarnya. "Ibu sudah sehat?" tanya Mbak Sindi sesaat kemudian, kini ini ia tersenyum ramah. Aku memutar bo

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Sembilan belas

    Mbak Vita yang tadi bersemangat untuk membuat kopi mendadak mengkerut mendengar ucapanku. Ia berhenti, berbalik lalu menatapku dan tepuk jidat," Oh, iya, aku lupa. Yang suka kopi minum buatanku itu bapak bukan ibu."Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan salah tingkah, mukanya sudah memerah seperti kepiting rebus, tetapi bukan Vita namanya kalau tidak bisa berimprovisasi. "Iya, As, aku tahu kalau ibu memang tidak suka kopi sejak dulu karena setiap kali kubuatkan tidak pernah diminum, tetapi maaf, tadi aku lupa karena tanpa sengaja kepalaku terbentur tembok." Mbak Vita terus mencerocos. Terbentur tembok bisa membuat hilang ingatan bagi seorang Vita. Aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. "Vita, sudahlah. Memangnya kapan kamu membuatkan bapak kopi? Bapak itu punya darah tinggi sehingga tidak boleh minum kopi. Sepertinya kamu habis kena sawan. Memangnya kamu dari mana tadi? Apa jangan-jangan habis bepergian terus belum mandi sehingga ngomongnya ngelantur kayak gitu?"

Latest chapter

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh delapan

    Kedua wanita yang berstatus kakak ipar itu saling berpandangan saat ibu menunjuk tempat mesin cuci yang kini sudah kosong. "Di mana mesin cucunya, Vit, Sin? Ada di salah satu rumah kalian, kan?" tanya ibu. "Katakan, Mbak. Ibu tidak marah, kok.""Niatku baik, lho, Bu. Tahu sendiri, kan, kalau yang namanya mesin itu akan rusak jika dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama. Kalau tetap berada di rumah ini, itu namanya mubazir. Yah, aku tahu kalau yang namanya mubazir itu adalah temannya setan. Betul, Bu?" Mbak Sindi mencerocos dan aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata malas. Apalagi ia berbicara dengan bergaya seperti ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Ibu menggangguk. "Di rumah ini tidak ada saluran listrik karena tidak ada yang membayar tagihannya, makanya aku bawa pulang, deh. Salahku di mana coba? Ngak ada, kan? Lah wong maksudku baik, merawat mesin cuci itu agar tidak berkarat,"Aku menghela napas perlahan. "Bilang saja kalau mesin cuci itu ada pada Mbak

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh tujuh

    PoV Asty"Buat apa kita masih membawa banyak barang seperti ini, As?" tanya ibu saat aku memasukkan sembako ke dalam mobil berupa gula pasir, teh, mintak goreng, dan tepung terigu. "Kita butuh ini semua untuk acara seratus hari bapak, kan, Bu?" jawabku. "Kita beli di sana saja, As.""Bu, acaranya tinggal dua hari lagi, pasti capek kalau sudah sampai sana dan kita masih belanja."Ibu tersenyum. "Kamu lupa kalau untuk acara seratus hari bapak ini uangnya sudah ada pada Karim dari hasil panen cabai yang lumayan banyak?"Aku tepuk jidat. "Oh, iya, aku lupa, Bu. Tadinya, sih, aku pikir biar lebih hebat kalau kita bawa dari sini karena harganya sudah pasti lebih murah, kan?"Ibu mengangguk. "Iya, tetapi kalau kita belanjanya cash, harganya beda, As, tentu saja lebih murah."Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang memasukkan kardus ke dalam mobil. "Maksud ibu, harga barang saat bayar cash dengan yang ditangguhkan itu berbeda? Wah, seharusnya nggak boleh seperti itu, Bu. Kalau begitu jat

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh enam

    Aku kembali menekuri galeri foto di ponsel Vita yang jumlahnya ratusan itu. Iya, Vita memang mengambil semua gambar di setiap kegiatan. Mulai dari saat berangkat, dalam mobil, hingga setelah sampai di sana pun tidak ada satu detik pun yang tertinggal dari jepretannya. Ku hela napas panjang saat hati ini panas melihat betapa bahagianya mereka. Apalagi saat moment mereka makan bersama dengan hidangan yang beraneka ragam dan semuanya terlihat enak. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu apalagi memakannya. Air liurku menetes tanpa bisa ku cegah saat melihat mulut Vita yang belepotan. Kulihat foto ibu mertua yang begitu terlihat bahagia, bahkan aku merasa kalau perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu terlihat cerah wajahnya dan tubuhnya lebih berisi. Pantas kalau Vita bilang ibu kerasan tinggal bersama anak perempuannya itu. Siapa yang enggak betah tinggal di rumah bagus dan setiap hari ada makanan enak. Ah, seandainya aku punya sayap untuk terbang, sudah pasti aku akan ke s

DMCA.com Protection Status