Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya.
Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedang makan di sini, kalau tidak makan sekarang kapan lagi, nanti malu kalau makan sendiri, apalagi nanti kita harus bekerja lagi." Wanita dengan rambut dikuncir itu memaksaku agar menerima makanan itu.Aku mengamati sekeliling dan memang benar, semua orang yang tadi masak, saat ini sedang makan. Bukan hanya kaum wanita, para pria juga sedang makan semua, bahkan kini ada anak-anak. Ya, para ibu yang sedang masak, saat makan seperti ini anaknya akan diajak ikut serta.
Aku menelan ludah, lauk yang tadinya ada di baskom besar itu sekarang sudah habis tidak bersisa dan setelah selesai makan nanti masih memasak lagi untuk acara tahlilan nanti malam.
Untuk makan orang-orang yang di dapur saja sudah menghabiskan berapa kilo beras dan ayam. Pantas saja kalau sampai tujuh hari bisa habis puluhan juta meski yang banyak orangnya hanya hari ini. Hari pertama orang satu desa datang semua tanpa kecuali, setelah hari kedua hingga tujuh hari hanya para tetangga dekat dan kerabat saja yang masih datang.
Wanita itu terus memaksaku untuk menerima makanan yang sudah diracik itu. Aku mengamati sekeliling, semua orang sedang makan dan terdengar bunyi berisik dari sendok dan piring yang saling beradu. Beberapa orang juga ada yang makanannya sudah habis, ada juga yang sedang menyuapi anaknya yang masih kecil. "Rida, ayo makan." Aku menerima makanan itu setelah dipaksa dan meletakkan di pangkuan Rida.Rida menggeleng.
"Kamu saja yang makan. Aku yakin dari tadi belum makan, kan?" Aku menolak. Melihat kondisi Rida membuatku tidak berselera makan meski makanan yang ada di depanku baunya harum dan menggoda apalagi sambal goreng kentang itu terdapat petai yang merupakan makanan favoritku.
Aku heran melihat orang-orang itu makan dengan lahapnya. Apakah mereka tidak berpikir bahwa di balik makanan yang enak ini ada orang yang sedang pusing tujuh keliling memikirkan utangnya yang kuyakin tidak sedikit? Aku juga melihat Mbak Sindi yang sedang makan seolah tanpa beban sambil menyuapi anaknya, pun dengan Mbak Vita yang tidak jauh beda, ia sedang menyuapi Aru. Hanya Mbak Nurma yang tidak kulihat batang hidungnya, tetapi ia juga ada di sini, mungkin ia ada di rumah yang lainnya lagi. Ya, untuk memasak memang tidak cukup di satu rumah saja. "Ayo, Da, dimakan saja." Aku membujuknya lagi setelah ia tidak menyentuh makanannya sama sekali karena aku benar-benar merasa tidak ingin makan di sini. "Bagaimana aku bisa makan dalam keadaan seperi ini? Aku selalu ingat dengan suamiku dan anak-anakku." Rida terisak. "Bagaimana pun keadaannya, kamu harus makan agar tidak sakit. Anak-anak kamu tadi mana? Apakah mereka juga belum makan?" tanyaku celingukan. Wanita itu mengangguk," Mereka tidur karena lelah setelah menangis terus. Entahlah, bagaimana dengan masa depannya nanti." Rida seperti bermonolog dan air mata yang tadi sudah berhenti kini menetes lagi. "Sekarang makan aja dulu." Aku kembali menyodorkan piring yang tadi sempat ia tolak tadi. "Maaf, aku tidak kenal kamu siapa?" Rida mendongak. Aku tersenyum, tadi aku sudah jawab kalau namaku Asty, tetapi belum sempat menjelaskan sudah ada yang datang memberikan makanan itu. "Aku temanmu saat SMP dan tadi sudah kubilang kalau namaku Asty, kan?" Aku tersenyum sambil mengusap pundaknya lembut. "As--Asty temanku saat SMP dan sering kuhina?" Matanya membulat sempurna lalu kembali mengamatiku dengan seksama. Aku mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata." Lupakan saja apa yang sudah terjadi di masa lalu." "Aku punya banyak salah padamu, As." Rida memelukku erat dan menangis tersedu-sedu. Ingatanku kembali melayang di masa lalu saat Rida mem-bully tubuhku yang berisi. Ya, saat kelas dua SMP, aku memang gemuk karena setelah menstruasi tubuhku melar seolah balon yang ditiup. Wajahku juga penuh dengan jerawat sehingga tidak ada seorang pun yang mau dekat denganku terutama para cowok. Hal itu membuatku menjadi jomlo sehingga selalu dihina oleh Rida and the genk. "Mbak Rida, ada yang ingin bertemu." Seorang laki-laki datang menghampiri kami dan membuyarkan lamunanku. "Kita lanjutkan nanti, ya." Rida berdiri dan mengikuti lelaki itu. Aku menghela napas perlahan, kulirik makanan di piringku yang masih utuh sedangkan yang lain sudah pada tandas, habis tidak bersisa. Pekerjaan sudah menanti, setelah makan, acara selanjutnya adalah cuci piring bersama yang sudah menumpuk. Para tamu mulai banyak yang berdatangan. Terdapat sebuah kotak tempat memasukkan amplop dan ada juga yang datang membawa kardus--biasanya yang masih punya hubungan kerabat. Ternyata benar, ada orang yang mencatat siapa saja yang datang membawa kardus maupun beras. Untuk warga desa, setiap ada orang yang meninggal, ada iuran sebesar 25 ribu rupiah dan iuran ini semuanya tanpa kecuali. Nanti yang punya hubungan keluarga dengan yang tertimpa musibah akan menyumbang lagi dengan sembako maupun uang dengan kisaran seratus sampai lima ratus ribu. Meskipun ada sumbangan tetap saja yang namanya terkena musibah pasti biayanya masih kurang banyak seperti bapak. Semoga Rida tidak sebanyak kami karena di sini tidak ada daging sapi. Hari sudah malam, tetapi tamu masih banyak yang datang sehingga aku juga masih di rumah Rida. Aku merasa sangat lelah karena tadi hanya istirahat untuk salat saja, bahkan sampai lupa kalau rencananya mau pulang ke kota hari ini. Ya, sepertinya aku harus menunda satu hari lagi. Hari ini aku juga tidak bertemu Mas Ubay sama sekali karena begitu banyaknya orang di sini, ia juga pasti mengerti. Di malam hari ada tahlilan yang mengundang seluruh warga desa. Acara ini disebut dengan 'ngesur tanah' atau hari pertama mengadakan tahlilan. Setelah tahlilan selesai, aku ingin pulang, tetapi saat aku hendak melangkahkan kaki, Tiba-tiba ada yang memanggil namaku sehingga aku menoleh dan ternyata Rida yang memanggilku. "As, sekali lagi aku mau minta maaf atas perbuatanku di masa lalu yang sudah membuatmu malas untuk datang ke sekolah." Rida menepuk pundakku. "Sudah kubilang kalau aku sudah melupakan semuanya. Sudah, ya, aku harus pulang, sudah malam. Kamu yang sabar, ya. Kamu harus kuat demi anak-anak." Aku menepuk pundaknya dan memaksakan untuk tersenyum meski sebenarnya mata ini terasa panas karena menahan air mata yang sudah berjejalan ingin keluar dari tempatnya. "Melihat penampilanmu ini, aku yakin kau sudah menjadi orang sukses di sana, ya? Lihat, wajah kamu saja bersih, tangan kamu juga mulus. Ke mana perginya jerawat itu, As." Rida menggenggam erat tanganku. Aku tersenyum," Alhamdulillah, hidup kami sudah berkecukupan di kota." "Kita memang tidak pernah tahu dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Asty yang dulu kuhina malah hidup bahagia sedangkan aku yang dulu populer saat sekolah malah hanya mempunyai suami orang biasa dan sekarang aku sudah menjadi janda dengan dua orang anak yang masih kecil. Saat suamiku masih hidup saja, kehidupan kami tidaklah mewah, apalagi sekarang ia sudah meninggal dunia. Saat ini aku juga masih bingung dengan biaya selamatan yang harus kutanggung." Rida menghela napas perlahan untuk menjeda ucapannya sebelum ia melanjutkan ucapannya lagi. Matanya tampak berkaca-kaca. "Aku tidak tahu harus bagaimana, As." Ia menangis tergugu. "Rida, mengenai biaya selamatan suamimu ini tidak mungkin kamu tanggung sendiri, kan? bukankah kamu masih punya kedua orang tua? Lalu mertuamu bagaimana? Ia juga pasti akan bertanggung jawab saat anaknya meninggalkan, kan?" Rida menggeleng." Mertuaku sudah tiada dua-duanya sedangkan orang tua kandungku tidak pernah peduli padaku karena dulu pernah menentang nasihatnya. Ya, dulu mereka tidak setuju aku menikah dengan suamiku ini. Jadi, untuk biaya selamatan suamiku, aku belum ada gambaran. Mungkin satu-satunya jalan adalah dengan menjual sawah yang kupunya, tetapi jika sawah itu dijual, lalu aku dan anakku bagaimana? Sedangkan sawah itu adalah satu-satunya sumber penghasilan kami?"Aku meraih tangannya dan memeluknya."Aku benar-benar sendiri, As. Orang tuaku bahkan belum ke sini meski sudah kuberi tahu kalau menantunya meninggal dunia."
Awalnya aku kesal saat melihat wanita yang ada di hadapanku ini adalah orang yang sudah membuatku malas ke sekolah karena perbuatannya. Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru. "Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?" Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan l
Kusam? Iya, kulit dan wajah Rida memang kusam, tidak bersih seperti yang ia banggakan dulu. Kata ibu, Rida sering ikut suaminya ke sawah meski harus membawa serta anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yang tidak pernah ke sawah saja tidak bisa membayangkan betapa repotnya ke sawah bersama anak kecil. "Maafkan aku, As, kalau malah curhat sama kamu. Habis aku bingung mau curhat sama siapa lagi. Aku tidak tahu harus membagi beban ini pada siapa? Tidak ada yang peduli denganku, bahkan ibuku sendiri. " Ia mulai sesenggukan. "Iya, enggak apa-apa. Aku juga nggak keberatan, kok. Jadi, kamu sudah bayar utang buat selamatan suami kamu? Kenapa terlihat sedih begitu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. "Iya, mau tidak mau aku harus membayar utang ini karena aku kasihan dengan suamiku jika utangnya tidak segera dibayar, tapi untuk bayar utang itu aku harus_," Wanita yang memakai kerudung panjang itu mendongak dengan tatapan menerawang. Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Segera ku usap pun
Aku menatap lekat mata Mbak Sindi yang telah dikuasai amarah yang tidak kutahu apa penyebabnya. Aku yang memberi pinjaman dan sama sekali tidak merugikannya, kenapa harus dia yang marah? "Duduk dulu, Mbak, Mas. Syukurlah kalian berdua datang ke sini. Ibu sudah sangat merindukan kalian." Kupaksakan diri untuk tersenyum setelah sekian detik kami saling tatap tanpa mengucap sepatah kata pun. "Aku ke sini bukan karena mau ketemu ibu, tetapi hanya ingin meminta agar kamu tidak usah ikut campur dengan urusan utangnya si Rida. Biarkan saja ia punya utang dengan menggadaikan sawah miliknya, toh, kamu juga tidak rugi!" Mbak Sindi berjalan dengan angkuh. Ia kini menunjuk mukaku dengan jari telunjuknya hingga jarak wajah dan jari tangannya hanya beberapa inci saja. Aku menggeleng, dia bilang aku tidak boleh ikut campur, tetapi ia sendiri juga ikut campur dengan masalah ini. "Mbak, aku memang tidak rugi jika Rida menggadaikan sawahnya pada juragan yang entah siapa namanya itu," "Namanya jur
Ibu bilang, Mas Gani dan Mbak Sindi bekerja di sawah milik Juragan Jaya karena saking luasnya sawah yang ia garap. Ya, Juragan Jaya menggarap sawah yang sangat luas dari hasil menggadai dari orang-orang yang membutuhkan uang. Jika Rida menggadaikan sawah padanya, tentu garapan Mas Gani semakin luas. Kira-kira seperti itu lah yang membuat Mbak Sindi marah. "Ya udahlah nggak apa-apa. Aku juga nggak mungkin sanggup menggarap sawah itu. Mungkin dengan uang ini aku bisa jualan, tetapi jualan apa, ya, Kira-kira yang belum ada di desa ini?" Rida menopang dagunya dengan tangan kanannya. Matanya bergerak ke kiri dan kanan sebagai tanda kalau ia sedang berpikir keras. "Aku tadi sudah bilang kalau kamu nggak boleh jualan karena mulai hari ini aku juga mau jualan dan aku paling anti dengan yang namanya saingan. Yah, kalian harus tahu kalau aku adalah tipe orang pekerja keras sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berpangku tangan atau ongkang-ongkang kaki karena akan banyak waktu yang terbuang.
Selama beberapa hari berada di sini, aku sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel meski kuota internet masih ada. Untung Rida memberi tahu kalau di area makam biasanya ada jaringan. Benar saja, aku hanya bisa mengirim maupun menerima pesan saat berada di makam. Makam itu posisinya memang lebih tinggi dari desa ini sehingga masih ada jaringan di sana meski tidak 4G, tetapi lumayan dari pada tidak ada sekali seperti di rumah. "Jangan bilang kalau kamu mau balas dendam karena aku tidak mau menyambungkan wifi padamu, ya, As? Bukankah Mas Gani pernah menyambungkan wifi pada Ubay? Ya, aku masih ingat Ubay menyambung wifi untuk menelepon orang kepercayaan di toko khayalan kalian itu, kan?" seru Mbak Sindi. Ibu menggeleng dan berdecak, pun denganku. Baru sekali menyambung wifi itu pun langsung ganti sandi lagi, masih saja diingat sampai sekarang. Aku malah jadi bersyukur karena selama ini tidak nebeng wifi padanya. Kalau iya, pasti sudah diungkit-ungkit terus. Aku tersenyum," Tidak ada
Dua orang wanita yang berstatus kakak ipar bagiku itu masuk lalu duduk di samping ibu dan sama sekali tidak menyapaku. Apa mungkin aku tidak kelihatan di mata mereka berdua? Ah, bodo amat. "As, sini, kamu?" Mbak Sindi melambaikan tangan padaku yang sedang berjalan dengan piring kotor yang hendak kubawa ke wastafel. Aku menghentikan langkah dan menatap sang kakak ipar yang menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. "Apa maksudmu memberi makanan pada Rida? Mau dianggap wah oleh orang-orang? Kamu haus akan pujian sehingga harus melakukan berbagai macam cara termasuk dengan memberinya makanan yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan?" tanya Mbak Sindi. Mbak Vita tampak menyenggol lengan Mbak Sindi lalu mengedipkan mata untuk memberinya kode yang entah apa. Lalu, ia mendekati Mbak Sindi dan berbisik di telinganya, entah apa yang dikatakan oleh sesama ipar itu, aku tidak bisa mendengarnya. "Ibu sudah sehat?" tanya Mbak Sindi sesaat kemudian, kini ini ia tersenyum ramah. Aku memutar bo
Mbak Vita yang tadi bersemangat untuk membuat kopi mendadak mengkerut mendengar ucapanku. Ia berhenti, berbalik lalu menatapku dan tepuk jidat," Oh, iya, aku lupa. Yang suka kopi minum buatanku itu bapak bukan ibu."Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan salah tingkah, mukanya sudah memerah seperti kepiting rebus, tetapi bukan Vita namanya kalau tidak bisa berimprovisasi. "Iya, As, aku tahu kalau ibu memang tidak suka kopi sejak dulu karena setiap kali kubuatkan tidak pernah diminum, tetapi maaf, tadi aku lupa karena tanpa sengaja kepalaku terbentur tembok." Mbak Vita terus mencerocos. Terbentur tembok bisa membuat hilang ingatan bagi seorang Vita. Aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. "Vita, sudahlah. Memangnya kapan kamu membuatkan bapak kopi? Bapak itu punya darah tinggi sehingga tidak boleh minum kopi. Sepertinya kamu habis kena sawan. Memangnya kamu dari mana tadi? Apa jangan-jangan habis bepergian terus belum mandi sehingga ngomongnya ngelantur kayak gitu?"
Otakku masih berpikir keras, apa yang membuat ia bisa berubah secara mendadak? Mbak Vita menadahkan tangannya," Ayo, As. Mana ponselmu." Aku tersenyum dan mengangguk lalu bergegas ke kamar untuk mengambil benda pipih persegi itu. Namun, saat kuambil ternyata mati karena kehabisan baterai. Ya, di sini benda canggih sejuta umat itu berubah menjadi barang tidak berguna. Apapun merk ponselnya kalau tidak ad jaringan, ya percuma, kan? Segera kuambil pengisi saya dan menghubungkannya degan stop kontak, tidak lama ponsel itu bisa berkedip kembali. "Mana, As, ponselnya?" tanya Mbak Vita saat aku keluar dengan tangan kosong. "Sedang ku--charge karena baterainya habis. Nanti saja, ya?" "Sekarang saja, bawa sini ponselnya." Mbak Vita mengulurkan tangan. "Sudah kubilang kalau ponselnya sedang di-charge, Mbak?" ucapku. Ish, kenapa dia ngeyel banget, seolah ingin agar aku segera pergi dari rumah ini. "Ambil aja nggak apa-apa. Kalau sudah terisi sekian persen sudah bisa nyala, kan?" Aku tid
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.
Kedua wanita yang berstatus kakak ipar itu saling berpandangan saat ibu menunjuk tempat mesin cuci yang kini sudah kosong. "Di mana mesin cucunya, Vit, Sin? Ada di salah satu rumah kalian, kan?" tanya ibu. "Katakan, Mbak. Ibu tidak marah, kok.""Niatku baik, lho, Bu. Tahu sendiri, kan, kalau yang namanya mesin itu akan rusak jika dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama. Kalau tetap berada di rumah ini, itu namanya mubazir. Yah, aku tahu kalau yang namanya mubazir itu adalah temannya setan. Betul, Bu?" Mbak Sindi mencerocos dan aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata malas. Apalagi ia berbicara dengan bergaya seperti ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Ibu menggangguk. "Di rumah ini tidak ada saluran listrik karena tidak ada yang membayar tagihannya, makanya aku bawa pulang, deh. Salahku di mana coba? Ngak ada, kan? Lah wong maksudku baik, merawat mesin cuci itu agar tidak berkarat,"Aku menghela napas perlahan. "Bilang saja kalau mesin cuci itu ada pada Mbak
PoV Asty"Buat apa kita masih membawa banyak barang seperti ini, As?" tanya ibu saat aku memasukkan sembako ke dalam mobil berupa gula pasir, teh, mintak goreng, dan tepung terigu. "Kita butuh ini semua untuk acara seratus hari bapak, kan, Bu?" jawabku. "Kita beli di sana saja, As.""Bu, acaranya tinggal dua hari lagi, pasti capek kalau sudah sampai sana dan kita masih belanja."Ibu tersenyum. "Kamu lupa kalau untuk acara seratus hari bapak ini uangnya sudah ada pada Karim dari hasil panen cabai yang lumayan banyak?"Aku tepuk jidat. "Oh, iya, aku lupa, Bu. Tadinya, sih, aku pikir biar lebih hebat kalau kita bawa dari sini karena harganya sudah pasti lebih murah, kan?"Ibu mengangguk. "Iya, tetapi kalau kita belanjanya cash, harganya beda, As, tentu saja lebih murah."Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang memasukkan kardus ke dalam mobil. "Maksud ibu, harga barang saat bayar cash dengan yang ditangguhkan itu berbeda? Wah, seharusnya nggak boleh seperti itu, Bu. Kalau begitu jat
Aku kembali menekuri galeri foto di ponsel Vita yang jumlahnya ratusan itu. Iya, Vita memang mengambil semua gambar di setiap kegiatan. Mulai dari saat berangkat, dalam mobil, hingga setelah sampai di sana pun tidak ada satu detik pun yang tertinggal dari jepretannya. Ku hela napas panjang saat hati ini panas melihat betapa bahagianya mereka. Apalagi saat moment mereka makan bersama dengan hidangan yang beraneka ragam dan semuanya terlihat enak. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu apalagi memakannya. Air liurku menetes tanpa bisa ku cegah saat melihat mulut Vita yang belepotan. Kulihat foto ibu mertua yang begitu terlihat bahagia, bahkan aku merasa kalau perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu terlihat cerah wajahnya dan tubuhnya lebih berisi. Pantas kalau Vita bilang ibu kerasan tinggal bersama anak perempuannya itu. Siapa yang enggak betah tinggal di rumah bagus dan setiap hari ada makanan enak. Ah, seandainya aku punya sayap untuk terbang, sudah pasti aku akan ke s