Gema takbir terus berkumandang. Kami sedang menikmati hidangan khas lebaran berupa ketupat plus opor dan kawan-kawannya. Kulirik ibu yang seperti tidak berselera makan. Aku tahu, bukan makanannya yang tidak enak, tetapi pikirannya yang sedang tidak tenang memikirkan anak-anaknya di desa. Iya, ini untuk pertama kalinya ibu merayakan hari raya tanpa mereka."Ibu masuk ke kamar dulu, ga, As?" Ibu mengambil tissue dan mengusap bibirnya. "Enggak dihabiskan makanannya, Bu?" tanya Mas Ubay. "Ibu sudah kenyang." Ibu mengusap perutnya. Aku tersenyum dan mengangguk meski dalam hati menyangkal. Dari mana ia bisa kenyang kalau makanannya saja masih separuh. Rasa rindu pada seseorang memang terkadang membuat kita kehilangan selera makan. "Kenapa, Dek?" tanya Mas Ubay setelah kami selesai makan dan aku kembali melihat status Mbak Nurma dengan motor barunya. Kutimang-timang ponselnya dan aku masih termenung memikirkan dari mana Mas Karim mendapatkan uang untuk beli motor itu. Aku bahkan tidak
Mas Karim yang sudah terlihat segar dan tampan dengan baju koko berwarna hijau tua plus peci hitam itu matanya terlihat berkaca-kaca. Ia tersenyum sehingga lesung pipinya kelihatan jelas. Saat melihat Mas Karim, bayangan bapak tiba-tiba melintas. Perawakannya yang tinggi tegap memang mewarisi bapak. Kata ibu, Mas Karim sangat mirip dengan bapak saat masih muda. "Sepertinya kamu sangat senang, Rim? Ada kejutan apa untuk Ibu?" tanya ibu. "Adnan sudah besar, Bu, sehingga kalau naik motor rasanya sesak jika bertiga." Mas Karim memulai pembicaraan. Ia menjeda napasnya sebelum melanjutkan ucapannya."Iya, terus?""Bu, aku sudah punya motor baru di hari raya ini. Rencananya buat Adnan nanti agar ia bawa motor sendiri saat keliling silaturahim nanti," kata Mas Karim. "Apa nggak terlalu dini memberi motor pada Adnan. Bahaya, lho, Mas, anak kecil seperti dia sudah bawa motor sendiri?" sahut Mas Ubay. "Mau bagaimana lagi, Bay. Motor kami sudah terlalu berat kalau buat bonceng tiga apalagi
Aku masih tidak habis pikir, kenapa Rida bisa berada di dalam mobil Mbak Vita dengan anak-anaknya yang terdengar berisik. Padahal biasanya ia paling anti memberikan tebengan pada sembarang orang. "As, aku telepon kamu karena ada yang ingin kubicarakan," ucap Mbak Vita serius. "Iya, Mbak. Ada apa?" tanyaku dengan memutar bola mata malas. "Kamu pasti heran kenapa aku memberi tumpangan pada Rida dan anak-anaknya yang berisik ini, kan? Lihat! Betapa berisiknya suasana di dalam mobilku ini padahal aku suka dengan ketenangan." Mbak Vita sesekali mengarahkan ponselnya ke arah anak Rida yang terus saja berceloteh saat di dalam mobil yang belum berjalan itu. Haish. Kenapa Mbak Vita bertele-tele begitu? "Tadi aku lihat Rida begitu kerepotan saat di jalan bersama dua anaknya itu padahal mobilku kosong. Sebagai tetangga yang baik dan cantik serta ramah, aku bertanya, dia mau ke mana, kan?" ucap Mbak Vita. Kukorek telingaku dan mengembuskan napas kasar. Mendengarkan ucapan Mbak Vita yang ti
PoV VitaKukipas-kipas wajahku dengan uang yang kudapatkan dari Rida. Ternyata punya mobil sangat menguntungkan. Kalau tidak punya mobil, tentu tidak akan tahu kalau ada uang nganggur seperti ini. Akan tetapi tunggu dulu! Benarkah uang ini ada tiga juta seperti yang Rida katakan? Kuhitung dengan seksama lembaran uang merah dan kujejer di atas meja setelah kuperiksa dengan teliti apakah uang ini asli atau enggak karena aku tidak mau rugi nanti. Setelah memastikan uangnya genap tiga juta dan asli semua, kembali aku mengipasi wajah dengan cara menghamparkannya. Hm, rasanya sejuk dan semilir memakai kipas dari uang ini. "Uang dari mana itu, Dek?" tanya Mas Danang yang tiba-tiba masuk tanpa permisi. "Ish, kebiasaan kamu, Mas, masuk nggak pakai permisi atau ketuk pintu dulu. Aku, kan, jadi kaget?" Aku berhenti mengipasi wajah dan duduk tegak setelah tadi menyenderkan tubuh di kursi. "Duit siapa itu, Dek?" Mas Danang kembali bertanya dan duduk di sampingku. Spontan aku menutup hidung
Mas Danang merebut ponsel dari tanganku. "Buat apa pakai hubungi Asty segala? Sudah jelas kalau memang ini rumahnya."Klik. Lalu Mas Danang memutus sambungan telepon yang tadi memang belum diangkat, baru berdering saja. "Enggak, Mas, kita tetap harus telepon Asty dulu karena kenyataan yang tidak sesuai ekspetasi ini. Bagaimana kalau ternyata ini rumah orang lain? Bisa malu tujuh turunan nanti," ucapku. Aku kembali merebut benda pipih dari tangannya dan menekan nomor Asty lagi. Panggilan pertama tidak diangkat dan baru diangkat panggilan yang kedua. "Halo, As?" sapaku. "Halo, Mbak. Assalamu'alaikum," sapa Asty dari seberang telepon. "Aku jadi ke rumahmu, ya?" "Iya, Mbak, dengan senang hati aku akan menunggu kedatangan Mbak di sini. Mas Ubay pasti senang kalau kalian datang. Apalagi ibu." Aku tidak akan bilang pada Asty kalau kami sudah ada di depan rumahnya saat ini. "Aku datang tidak sendirian, ada Mas Danang, Aruna, dan ibu serta bibiku. Kamu nggak keberatan?" Terdengar tawa
Aku meringis dan berusaha berdiri setelah terjengkang akibat hempasan tangan ibu. "Tolong, dong, Bu!" Tanganku terulur dan ibu membantuku berdiri lalu memapahku untuk duduk di sofa dan bergabung dengan yang lain. "Kamu ini, Vit, Vit, ada ada saja pipi sendiri kok ditampar? Cara namparnya gimana, kok, sampai kemerahan gitu?" Ibu menyodorkan minuman berwarna kuning padaku yang segera kutenggak sampai habis. Aku meletakkan gelas yang sudah kosong dan menatap ibu. "Ibu ingin tahu bagaimana aku menampar pipiku sendiri?" Wanita yang sudah melahirkanku itu mengangguk. Tanpa ragu aku segera melayangkan tamparan ke pipinya, tentu saja ibu kaget setengah mati. "Apa-apaan kamu, Vit? Kenapa kamu tampar Ibu?" Ibu memegangi pipinya yang kemerahan. "Tadi Ibu mau tahu gimana caraku nampar pipiku, kan? Ya udah, seperti itu caranya. Salahku di mana coba?" kataku santai, lalu mengambil kue nastar yang Asty sediakan. "Tapi ini sakit banget, Vit. Kamu namparnya pakai tenaga dalam?" Ibu melotot. "
Drama pakaian basah Aruna sudah usai. Saat ini kami sedang makan di sebuah meja makan dengan makanan yang begitu melimpah. Kuletakkan sendok dan memilih makan langsung dengan tangan agar lebih nikmat dan lebih cepat pastinya. "Kamu ini lapar atau doyan, Vit?" Ibu menggeleng saat melihat aku mengambil satu piring penuh nasi dan dua potong ayam krispi berukuran besar. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu karena mulutku penuh saat ini. Makanan di piringku sudah habis dan aku merasa sangat kenyang. Kuelus perutku yang terasa semakin besar setelah menghabiskan satu piring nasi plus dua paha ayam, dan dua buah pisang untuk cuci mulut. Tidak lupa satu gelas besar jus jeruk. "Aku sedang hamil, jadi wajar kalau porsi makanku lebih banyak dari yang lain karena aku tidak makan sendiri melainkan ada makhluk lain yang harus kubagi makanan di dalam sini." Aku menjawab pertanyaan ibu setelah sekian lama kami terdiam. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Kulirik Mas Danang yang sedang menyuapi Arun
Drama pakaian basah Aruna sudah usai. Saat ini kami sedang makan di sebuah meja makan dengan makanan yang begitu melimpah. Kuletakkan sendok dan memilih makan langsung dengan tangan agar lebih nikmat dan lebih cepat pastinya. "Kamu ini lapar atau doyan, Vit?" Ibu menggeleng saat melihat aku mengambil satu piring penuh nasi dan dua potong ayam krispi berukuran besar. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu karena mulutku penuh saat ini. Makanan di piringku sudah habis dan aku merasa sangat kenyang. Kuelus perutku yang terasa semakin besar setelah menghabiskan satu piring nasi plus dua paha ayam, dan dua buah pisang untuk cuci mulut. Tidak lupa satu gelas besar jus jeruk. "Aku sedang hamil, jadi wajar kalau porsi makanku lebih banyak dari yang lain karena aku tidak makan sendiri melainkan ada makhluk lain yang harus kubagi makanan di dalam sini." Aku menjawab pertanyaan ibu setelah sekian lama kami terdiam. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Kulirik Mas Danang yang sedang menyuapi Arun
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.
Kedua wanita yang berstatus kakak ipar itu saling berpandangan saat ibu menunjuk tempat mesin cuci yang kini sudah kosong. "Di mana mesin cucunya, Vit, Sin? Ada di salah satu rumah kalian, kan?" tanya ibu. "Katakan, Mbak. Ibu tidak marah, kok.""Niatku baik, lho, Bu. Tahu sendiri, kan, kalau yang namanya mesin itu akan rusak jika dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama. Kalau tetap berada di rumah ini, itu namanya mubazir. Yah, aku tahu kalau yang namanya mubazir itu adalah temannya setan. Betul, Bu?" Mbak Sindi mencerocos dan aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata malas. Apalagi ia berbicara dengan bergaya seperti ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Ibu menggangguk. "Di rumah ini tidak ada saluran listrik karena tidak ada yang membayar tagihannya, makanya aku bawa pulang, deh. Salahku di mana coba? Ngak ada, kan? Lah wong maksudku baik, merawat mesin cuci itu agar tidak berkarat,"Aku menghela napas perlahan. "Bilang saja kalau mesin cuci itu ada pada Mbak
PoV Asty"Buat apa kita masih membawa banyak barang seperti ini, As?" tanya ibu saat aku memasukkan sembako ke dalam mobil berupa gula pasir, teh, mintak goreng, dan tepung terigu. "Kita butuh ini semua untuk acara seratus hari bapak, kan, Bu?" jawabku. "Kita beli di sana saja, As.""Bu, acaranya tinggal dua hari lagi, pasti capek kalau sudah sampai sana dan kita masih belanja."Ibu tersenyum. "Kamu lupa kalau untuk acara seratus hari bapak ini uangnya sudah ada pada Karim dari hasil panen cabai yang lumayan banyak?"Aku tepuk jidat. "Oh, iya, aku lupa, Bu. Tadinya, sih, aku pikir biar lebih hebat kalau kita bawa dari sini karena harganya sudah pasti lebih murah, kan?"Ibu mengangguk. "Iya, tetapi kalau kita belanjanya cash, harganya beda, As, tentu saja lebih murah."Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang memasukkan kardus ke dalam mobil. "Maksud ibu, harga barang saat bayar cash dengan yang ditangguhkan itu berbeda? Wah, seharusnya nggak boleh seperti itu, Bu. Kalau begitu jat
Aku kembali menekuri galeri foto di ponsel Vita yang jumlahnya ratusan itu. Iya, Vita memang mengambil semua gambar di setiap kegiatan. Mulai dari saat berangkat, dalam mobil, hingga setelah sampai di sana pun tidak ada satu detik pun yang tertinggal dari jepretannya. Ku hela napas panjang saat hati ini panas melihat betapa bahagianya mereka. Apalagi saat moment mereka makan bersama dengan hidangan yang beraneka ragam dan semuanya terlihat enak. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu apalagi memakannya. Air liurku menetes tanpa bisa ku cegah saat melihat mulut Vita yang belepotan. Kulihat foto ibu mertua yang begitu terlihat bahagia, bahkan aku merasa kalau perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu terlihat cerah wajahnya dan tubuhnya lebih berisi. Pantas kalau Vita bilang ibu kerasan tinggal bersama anak perempuannya itu. Siapa yang enggak betah tinggal di rumah bagus dan setiap hari ada makanan enak. Ah, seandainya aku punya sayap untuk terbang, sudah pasti aku akan ke s