Victor mencoba mengelus rambut Callie dengan lembut walaupun Callie beberapa kali mencoba menyingkirkan tangan Victor dari rambutnya. “Kau tidak akan melupakannya karena pikiran negatif yang ada di kepala cantikmu itu.”
“Lepaskan aku, Victor.”
Victor menyeringai. “Apa aku harus melakukan ini agar kau kembali menyebut namaku dan kembali hidup?” tanya Victor dengan kekehan di mulutnya. Pasalnya, sejak kejadian itu, Callie tidak pernah lagi menyebut nama Victor.
“Aku sudah memanggil namamu, jadi enyahlah dari atasku.”
***
Callis menyeduh teh di pantry untuk menenangkan hati dan pikirannya. Setelah kegugurannya itu, Callis seperti tidak memiliki semangat untuk hidup. Rasanya, semua yang dilakukannya hanya akan menyakitinya. Sepertinya, tidak ada tempat untuknya bahagia di dunia ini. Bahkan Reis, satu-satunya harapan Callis sekarang sudah direbut oleh keluarga Barnett. Sejak dirinya keluar dari rumah sakit
Terdengar isakan yang tertahan di seberang sana. [Aku menyerah, Dave.] Dave dan Meghan dapat mendengar suara Callis yang serak karena tersendat tangis.“Callis, apa yang terjadi? Kau di mana sekarang? Aku akan menjemputmu,” ujar Dave dengan khawatir.[Aku di kantor. Aku mohon segera kemarilah.]“Tunggu aku, Callis. Aku akan ke sana.” Setelah itu, Dave mematikan panggilannya.“Apakah Callis akan baik-baik saja?” tanya Meghan pada Dave dengan nada khawatir.Dave memegang pundak Meghan agar lebih tenang. Kondisi Meghan saat ini mengharuskan Meghan untuk tenang di setiap saat. “Aku akan memastikannya. Tenanglah.”***Callis memasuki rumah Dave dengan langkah gontai. Entah benar atau salah keputusannya saat ini, tetapi Callis tetap akan melakukannya. Hatinya sudah tidak lagi kuat untuk menahan rasa sakit yang ditorehkan oleh Victor. Walaupun Callis mencintai Victor dengan sangat, nyatanya Vic
Tangan Victor mengepal erat. Dirinya tidak pernah bisa mentoleransi orang yang menghina Callie. Baginya, Callie adalah bukti dari kata sempurna. “Jangan membuatku membencimu, Olive. Jaga ucapanmu jika kau membahas Callie,” peringat Victor. “Cintaku padamu lebih besar dari pada cintanya padamu, Victor.” Olive masih tidak menyerah untuk meyakinkan Victor. Lama kelamaan, Victor merasa muak dengan Olive yang terlalu keras kepala. “Rasa cintaku pada Callie lebih besar dari rasa cintamu kepadaku.” *** Victor keluar dari ruangannya beberapa saat setelah Olive meninggalkannya. Victor hanya bisa berharap jika Olive akan bertemu dengan lelaki yang lebih baik darinya. Walau bagaimanapun, Olive sudah menjadi temannya beberapa bulan terakhir. Victor tidak menemukan Callie di kubikelnya. Anehnya, kubikel Callie terasa lapang. Victor segera menghampiri kubikel itu dengan perasaan gundah. Dan firasatnya benar. Barang-barang pribadi Callie sudah tidak ada. Di
“Apa kau sedang memerasku?” tanya Victor dengan kesal.[Siapa aku hingga berani memeras seorang Victor Barnett. Aku hanya sedang memperhitungkan keselamatan nyawaku. Apakah harga yang kau berikan kepadaku setara dengan nyawaku nantinya.]“Lalu apa yang kau inginkan?”“Bugatti La Voiture Noire. Aku mau itu.] Victor dapat mendengar nada girang dari seberang sana.“Sialan! Aku tidak akan memberikan mobil itu,” ujar Victor dengan kesal. Pasalnya, mobil itu adalah mobil yang sangat diinginkan Victor. Bahkan, Victor harus merogoh kocek yang sangat dalam agar mendapatkan mobil itu saat dilelang.[Oke. Kalau begitu, aku matikan panggilan ini. Sepertinya, kita tidak ada urusan lain.]“Deal! Aku akan memberikannya jika kau menemukan wanita itu.”***Olive menatap lelaki yang berasal dari masa lalunya dengan mata memanas. Sekuat tenaga, dia menahan air matanya agar tidak lagi terjatuh
Victor menyerah pada rasa ingin tahunya. Dia langsung menyalakan laptopnya dan langsung menguhubngkan chip itu kepada laptopnya. Di sana, berisi banyak data, foto, dan video. Dengan sabar, Victor membuka satu persatu data yang ada di sana. “Dokter itu bekerja sama dengan Olive?” *** Sudah satu bulan sejak kepergian Callie. Victor memilih untuk tidak lagi mencari keberadaannya. Bukannya menyesal, Victor sangat yakin jika sebentar lagi Callie akan kembali kepadanya. Beberapa hari yang lalu, sejak dia mengatakan pada Dave jika Reis sakit, Dave selalu menghampirinya dengan membawa hal-hal yang Reis butuhkan. Mulai dari obat, hingga bubur sumsum yang Victor sangat kenali rasanya. Dave telah melakukan kecerobohan dengan nelakukan panggilan dengan orang, yang diyakini oleh Victor adalah Callie, pada saat merawat Reis yang sakit. “Reis sudah tidur, aku akan pulang.” Dave keluar dari kamar Reis dan menemui Victor yang menunggunya di ruang tamu. Victor
Callis menolehkan kepalanya agar dapat melihat Dave. Otaknya memproses maksud dari ucapan Dave. “Sudah tidak ada tempat bagiku untuk kembali ke sisi Victor, Dave,” ujar Callis begitu dirinya dapat mencerna ucapan Dave.“Aku sama sekali tidak menyebut nama Victor sebelumnya.”Callis mengatupkan bibirnya dan membuang wajahnya menghadap jendela. Wanita berdarah Indonesia itu malu kepada Dave. Dia kira, maksud dari “kembali” yang diucapkan Dave tadi adalah kembali ke pada Victor.“Kau sepertinya berharap untuk bisa kembali bersama Victor.” Dave kembali bersuara setelah tidak mendapati jawaban apapun dari Callis.“Dave, sudah ku bila-”“Jika kau meragukan cinta Victor padamu, aku akan menunjukkan padamu sebesar apa cinta yang Victor miliki untukmu.”***“Aku tidak ingin mendapati kebohongan lagi, Dave. Kisahku sengan Victor sudah selesai sejak lama.” Callis
Victor melempar laporan yang mungkin tadi dibawa oleh Leo ke arah Adam. Dengan sigap, Adam menangkapnya. Walaupun Adam sudah tahu apa isi laporan itu, Adam tetap membacanya. Ada banyak foto candid yang dicetak di sana. Selain itu, ada juga tangkapan layar tentang berita yang sedang banyak diperbincangkan saat ini. SUDAH MEMILIKI ANAK? DAVID TANAKA BESERTA KEKASIHNYA MEMBELI PERLENGKAPAN ANAK. DAVID TANAKA MULAI MEMPUBLIKASIKAN KISAH ASMARANYA, KAPAN MENIKAH? Masih banyak lagi tangkapan layar yang tertera di sana. Sepertinya, berita itu ada untuk membakar emosi dari Victor. Adam sangat curiga jika semua ini memang rencana Dave. “Batalkan meetingku, aku akan memberi pelajaran pada Dave.” *** Victor merapikan jasnya yang kusut. Dirinya hendak menemui Dave. Penampilannya tentu saja tidak boleh kacau. Dave bisa saja menertawakannya melihat kekalahan Victor. Gengsi Victor terlalu tinggi untuk terlihat sebagai pihak yang kalah. “Victo
Olive berdiri dari duduknya dan bersimpuh di dekat tempat duduk Callis. Tentu saja tindakan tiba-tiba itu membuat Callis terkejut. Callis segera berdiri dan menarik Olive untuk berdiri. Olive menolak dan tetap bersikukuh untuk tetap bersimpuh.“Callis, Victor sungguh mencintaimu. Hanya kau yang dapat membuat Victor tidak dapat mengontrol emosi dan perasaannya. Tolong kembali kepada Victor agar aku tidak terkecik dengan rasa bersalah.”***Callis menjadi bimbang setelah pembicaraannya bersama Olive tadi siang. Di dalam taksi, Callis mencoba untuk menemukan pilihan terbaik yang harus dilakukannya. Sejujurnya, di dalam hati Callis, dirinya menginginkan untuk kembali ke sisi Victor. Setelah apa yang dilaluinya, nyatanya Callis masih saja menaruh rasa kepada Victor.“Dave? Kau di sini?” tanya Callis karena menemukan Dave yang sedang duduk santai di ruang tamu saat Callis memasuki rumah Meghan.“Bagaimana pertemuanmu dengan
Jika dulu Victor sangat ingin tahu keberadaan adik angkatnya, saat ini Victor sama sekali tidak ingin mengetahuinya. Bukan dirinya tidak sayang kepada adik yang baru beberapa bulan hidup bersamanya sebelum menghilang. Namun, Victor sama sekali belum menyiapkan dirinya dengan kenyataan bahwa wanita yang dicintainya ialah adiknya sendiri.Setelah jeda cukup lama, Victor memejamkan matanya. dirinya mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri jika apa yang dikatakannya sebentar lagi adalah hal yang terbaik. Dirinya juga meyakinkan kepalanya untuk tidak menarik kembali kata-katanya. “Lupakan penawaran itu. Kau bisa mengambil mobil itu tanpa membawa Callis kepadaku. Aku sudah melepaskannya.”Ada hening sebelum Leo kembali bersuara. [Apa kau bercanda, Mr. Barnett. Kau tidak akan menyesal jika melepaskannya?]“Jika kau bertemu dengannya, katakan padanya jika dirinya bisa mengambil Reis kapan saja di mansion keluargaku. Aku akan tetapa memberikan tanggung
“Jangan sungkan, Callis. Tidak mungkin kalian selamanya tinggal di unit. Suatu saat kalian pasti membutuhkan rumah. Oleh karena itu, lebih baik kalian memilih rumah secepatnya. Aku akan merasa sangat sedih karena kalian menolak hadiah pernikahan dariku.” Callis semakin merasa bersalah saat mendengar ucapan terakhir Abraham. Bukannya ingin menolak, Callis hanya merasa sangat tidak enak jika menerima hadiah semahal itu. “Aku akan mendiskusikannya dengan Victor terlebih dahulu, Mom, Dad.” “Aku selalu setuju dengan pilihanmu, Callie. Semua keputusanmu adalah keputusanku juga.” Callis ingin mencakar mulut Victor yang tersenyum usil di sebelah sana. Bukannya membantu, Victor malah semakin mendorongnya. Lihat saja nanti, Callis pastikan bahwa Victor akan tidur di luar. *** Victor beserta keluarganya memasuki rumah yang menjadi kado pernikahannya. Rumah ini sangat luas bagi Callis. Namun, jika dibandingkan dengan mansion milik keluarga Abraham tentu tidak ada apa-apanya. Callis memang mem
“Yow! Kedua sahabatku sedang bercengkrama tanpa mengajakku.” Nick menyenggolkan bahunya kepada Victor dan Dave dengan wajah cengengesan.“Sudah lama kita tidak bertemu,” ujar Dave pada sahabatnya itu.“Yah, Si Diktaktor itu memaksaku untuk mengurus cabang di Indonesia setelah dia memaksa untuk mengambil alih cabang itu sebelumnya,” sindir Nick pada Victor. “Aku membutuhkan banyak adaptasi saat di sana,” keluhnya.Victor hanya meliriknya malas. Dia sangat paham bahwa Nick sangat suka mendramatisir semua hal. “Wow! Siapa wanita cantik yang sedang bersama istrimu itu, Bro?” tunjuk Nick pada Meghan.“Alihkan tatapanmu dari kekasihku, atau akan ku keluarkan bola matamu dari tempatnya, Nick.”***Callis dan Victor saat ini sudah berada di kamar pengantin. Tubuh Callis terasa sangat lelah, namun Callis merasa sangat puas. Pesta pernikahan yang dijalani nyatanya sangat jauh lebih menyenangkan dibandingkan yang pernah diimpikannya. Victor sangat bersungguh-sungguh saat dirinya berkata bahwa a
Tanpa bantahan, Callis bergerak ke arah Victor dan menyandarkan kepalanya ke dada Victor. Tangan Victor juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus rambut wanitanya. “Tadi katanya ingin membahas tentang pernikahan kita?” tanya Victor untuk membuka percakapannya. “Sebentar.” Callis segera beranjak dan mengambil tabnya yang dia simpan di meja yang berada di sudut kamar. Setelah mendapatkannya, Callis kembali ke posisi awal. “Tanpa mengingat pilihanku, aku ingin kau memilih dekorasi serta hal lain yang kita butuhkan untuk pernikahan kita.” Cassie menyodorkan tab yang sudah menayangkan beberapa pilihan itu pada Victor. Malam itu dihabiskan oleh sepasang suami istri, yang akan kembali menikah, dengan diskusi. *** Waktu berlalu dengan cukup baik. Baik Callis maupun Victor, mereka akhirnya menyiapkan pernikahan ini dengan bersungguh-sungguh. Hari besar yang dinantikan akhirnya datang juga. Saat ini, Callis sedang mempersiapkan dirinya untuk pemberkatan. Isabella, sang ibu, serta
Dengan pelan, Callis menggerakkan kepalanya hingga tatapan mata mereka saling berbalas. “Tidak perlu meminta maaf, Vic. Yang terpenting, tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Callis mengucapkannya dengan nada bergetar karena harus menahan tangisannya.“Aku ingin memulai semuanya dengan benar, Callis.”Ucapan Victor membuat Callis harus mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud Victor.“Ayo kita melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Mulai dari persiapan pernikahan, pemberkatan, hingga resepsi. Aku ingin melakukan semuanya denganmu. Aku ingin merasakan menjadi kekasih yang menunggu pasangannya untuk fitting baju. Aku ingin melakukan foto pra-nikah, aku ingin mengucapkan janji untuk selalu menjadi saksimu di hadapan Tuhan dan aku ingin memiliki foto pernikahan yang dapat dipajang di ruang tamu. Bahkan jika kau mau, aku juga ingin melakukan rangkaian budaya pernikahan seperti yang biasanya Mom ceritakan padaku saat aku kecil. Aku ingin m
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa ketiganya. Namun, hanya Callis yang membalas sapaan mereka. Baik Victor maupun Reis hanya diam dan berjalan lurus. Callis menggelengkan kepalanya melihat Victor dan Reis yang bergandengan tangan meninggalkannya di belakang. Callis sengaja memperlambat jalannya dan benar dugaannya. Victor dan Reis terlalu fokus pada jalan di depannya tanpa mempedulikan sekitar. Begitu kedua lelaki berbeda generasi itu hendak mencapai lift, Callis mempercepat langkahnya agar keduanya tidak sadar bahwa dirinya sempat terhindar.Dasar dua lelaki sok keren, gumam Callis dengan sedikit kekehan.Adam yang sudah menunggu di samping lift para petinggi segera menekan tombol pada lift agar terbuka. “Selamat siang, Tuan Barnett, Tuan Muda Barnett… dan Nyonya Barnett.”Callis berdecih dan masuk ke lift bersama ketiganya–Victor, Reis, dan Adam. Callis sangat tahu bahwa Adam sedang mengejeknya dan itu membuatnya kesal. Callis ingin sekali memukul lengan Adam. Nam
Callis masih setia mengelus punggung Reis yang masih sesenggukan di dadanya. Bahkan, Reis duduk di pangkuan Callis karena masih tidak ingin lepas dari ibunya. “Nangisnya udahan dong, sayang.” Callis mencoba melepaskan pelukan Reis padanya.Pelukan Reis terlepas. Callis akhirnya dapat melihat wajah Reis yang memerah sebab tangis. Bahkan, mata Reis masih basah karena air mata yang belum kering. Air mata Reis kembali menetes saat menatap wajah ibu yang sangat dirindukannya.“Gantengnya Mommy jadi jelek soalnya nangis mulu,” ledek Callis dengan mengelap wajah Reis yang basah karena air mata dan keringat. “Reis kangen banget sama Mommy,” rengek Reis dengan kembali memeluk Callis, tapi tidak seerat tadi. “Mommy juga kangen banget sama anak Mommy yang paling ganteng ini.”“Mommy, aku laper banger,” rengek Reis yang dijawab dengan kekehan oleh Callis.***Callis dan Reis sampai di Four Season, salah satu restoran yang berkolaborasi dengan TBGroup. Sejak mereka hidup dengan Victor, lelaki it
Callis! Ini bukan pengalaman pertamamu! Jangan berlaga seperti orang suci! Teriak Callis dalam hatinya.Akan tetapi, tidak bisa. Callis tidak bisa mengontrol dirinya. Victor dan posisi mereka yang terbilang cukup intim membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya. Kaki Callis terasa sangat lemas seperti jeli. Namun, dirinya tidak akan terjatuh dan membuatnya malu.Tuhan! Tolong hamba, jerit Callis.“I love you, Baby Girl.” Belum sedetik Callis mencerna ucapan Victor, bibir Callis langsung menjadi sasaran Victor.***Callis terbangun saat dirinya merasa pelukan hangat yang semalaman telah memanjakannya menghilang. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang ternyata sudah terang. Callis terlambat bangun!Callis segera beranjak dari tidurnya begitu sadar bahwa dirinya sudah sangat terlambat untuk bangun. Kepala Callis sontak terasa pening karena berdiri dengan cepat dari tidurnya.“Hi, dear. Jangan terburu-buru. Reis sudah berangkat ke sekolah diantar oleh ma
Callis dan Victor berjalan beriringan. Setelah sampai di unitnya, Victor segera memasuki kamar pribadinya untuk membersihkan tubuh. Callis berdiri di tengah ruang tamu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Callis ingin membersihkan dirinya. Namun, kamar yang digunakan selama di sini adalah kamar utama, dengan kata lain kamar Victor. Rasanya, Callis akan merasa canggung jika masuk ke kamar tersebut tanpa permisi. Lama tidak tinggal di unit Victor membuat Callis menjadi asing padahal tidak ada yang berubah dari tempat tinggal Victor tersebut.Tak lama, Victor keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Callis. Victor sudah mengganti tuksedonya dengan pakaian yang lebih santai. Rambut Victor terlihat sedikit basah dan berantakan. Ketampanan Victor meningkat berkali-kali lipat dengan penampilan tersebut.“Kau tidak ingin membersihkan diri?” tanya Victor dengan heran.“Aku… Um… Aku.” Callis bingung harus bagaimana untuk menyuarakan kecanggungannya.“Aku akan keluar sebentar.” Victor men
Callis menitipkan belanjaannya di tempat penitipan. Setelah itu, dirinya bergerak untuk menuju ke tempat di mana Victor menunggunya. Di sana, terdapat Victor yang sedang menikmati ice cream dengan tenang, sangat kontras pemudi yang menatap Victor dengan menunjukkan ekspresi tertarik yang ketara.“Cih.” Callis berdecih melihat segerombolan pemudi itu. Di umur segitu, mereka harusnya fokus belajar. Bukannya malah nongkrong tidak jelas di kafe. Lagi pula, apakah mereka tidak sadar jika Victor terlihat jauh lebih tua dibandingkan mereka. Atau malah mereka mencari lelaki seumur Victor untuk dijadikan ayah gula?Sebelum menghampiri Victor, Callis memasang senyum yang sangat manis. Dirinya lalu bergerak dengan riang mendekati Victor. “Ah, maaf sekali, Sayang. Karena menungguku, kau harus menunggu di sini dengan bosan,” ujar Callis dengan manja. Tak lupa, Callis juga membubuhkan satu kecupan di pipi kanan Victor.***Victor mengernyitkan alisnya saat melihat gelagat aneh dari Callis. “Apa yan