"Pak Anwar," lirihku. "Kamu hebat, kamu wanita kuat. Izinkan saya untuk melindungi kamu, Dinda." "Pak Anwar terimakasih, tapi Dinda akan pulang sama saya!" Kini mas Aditya menyahut dan mendekat ke arah kami.Aduh, situasi macam apa ini? Masih di dalam room begini, apa mereka nggak malu. Bahkan, sudah banyak pasang mata, yang kini terarah ke arah kami."Saya atasan Dinda, saya berhak menjaga keselamatan Dinda," kata pak Anwar, yang tidak senang dengan ucapan mas Aditya."Pak Anwar, mas Aditya. Biarkan saya pulang sendiri, oke." Kini aku berusaha menengahi mereka."Nggak bisa. Mas takut kamu kenapa- kenapa, Din. Tolong, mas khawatir sama kamu," jawab mas Aditya."Pak Aditya, bukannya anda ini sudah punya istri? Dan istrinya sempat ngamuk sama Dinda kan sebelumnya. Ini pak Aditya gimana sih? Sudah punya istri, malah gangguin mantan istri," protes pak Anwar, membuatku ingin sekali tertawa."Kami berencana rujuk, Pak. Jadi tolong, jangan ganggu calon istri saya ini," kata mas Aditya deng
Di rapat para pemegang saham, pak Hanung memperkenalkan aku secara resmi sebagai anaknya. Dan kemungkinan besar, aku juga sebagai penerusnya. Begitulah yang dia ucapkan. Akan tetapi, ada yang tidak terima begitu saja, banyak dari mereka yang meragukan kemampuanku.*****Sebelum pulang, pak Hanung memintaku masuk ke ruangannya. Ada om Kustomi dan pengacara mendiang Abba dan Umma juga."Saham perusahaan yang akan diwariskan kepada Dinda, akan sah Dinda terima, ketika dia sudah menikah," jelas pengacara Abba."Dan itu, sudah menjadi ketentuan yang sah," lanjutnya."Sebelum Dinda menikah lagi, sebaiknya kamu melanjutkan pendidikan dulu, Din." Kini pak Hanung menimpali."Saya mungkin bukan ayah yang baik. Harta, tahta juga tidak saya bawa mati. Kamu anak kandung saya satu- satunya. Saya berharap, kamu bisa menggantikan saya kelak. Maafkan semua kesalahan saya, Din." Pak Hanung menatap penuh sesal kepadaku.Raut wajahnya menggambarkan perasaan yang cukup dalam. Dan sorot matanya, ada ketu
Aku terdiam, mendengar pengakuannya. Pintu ruangan ini tiba- tiba terbuka lebar, aku terkejut luar biasa, begitu juga dengan kak Adam."Tidak bisa! Ibu tidak akan merestui kamu, Adam. Apakah di dunia ini tidak ada wanita lain? Kenapa harus wanita janda seperti dia, Nak?" Ucapan tante Ammara sangat melukai hati ini.Seakan, status janda yang aku sandang, begitu hina di matanya."Bu. Tolong jangan begitu," pinta kak Adam."Cukup! Ibu tidak akan toleransi kamu lagi, Nak. Kamu tidak boleh mencintai wanita pembawa sial ini. Liat keadaan kamu, Nak. Gara- gara dia, kamu nyaris mati," lirih tante Amara.Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus membela diri seperti apa. Faktanya, kak Adam berkali- kali dalam bahaya karena aku."Lebih baik kamu pergi dari sini, Dinda! Saya tidak akan sudi, memiliki menantu seperti kamu," tegas tante Amara."Ini hidup Adam, Bu. Biarkan Adam yang tentukan," pinta kak Adam."Diam kamu! Kamu ngelawan ibu, Dam? Demi wanita sialan ini?" bentak tante Amara, sembari me
Memasuki ruangan pak Hanung, nampak Beliau sedang terbaring lemah, dengan om Kustomi yang berada di sampingnya."Lama sekali kamu datangnya, Din," protes om Kustomi."Ah maaf." Perasaan aku sudah berusaha secepat mungkin datang ke rumah sakit."Gimana kondisi Papah?" tanyaku sembari meraih kursi yang ada di dekat brankar."Seperti yang kamu lihat," jawab Papah dengan suara pelan.Aku hanya bisa menghela napas berat, dan menatap nanar ke arahnya."Umur tidak ada yang tau. Papah sudah tua, Din. Kapan, Din?""Kapan apa, Pah?"Pak Hanung menarik napas berat."Kapan kamu mau menikah lagi?" tanya pak Hanung, menatap sendu ke arahku."Ya ampun, Papah. Dinda nggak mau mikirin itu dulu, Pah. Jika bisa hidup sendiri, dan bahagia, untuk apa Dinda menikah?" ujarku yang merasa lelah, setiap kali ditanyakan tentang pernikahan.Bagaimana mau menikah? Hingga detik ini saja, aku mengabaikan siapapun, lelaki yang berusaha mendekatiku, termasuk pak Anwar.Parahnya lagi, mas Aditya yang terus menerorku.
"Din, si ceweknya itu sering tantrum tau," ujar Iren lagi, membuatku nyaris tersedak."Apaan sih, Ren. Kamu ada- ada saja kalau cerita. Emangnya dia anak kecil apa?" kataku sambil terkekeh."Eh beneran tau. Entahlah, nggak paham juga aku. Kasihan kak Adam, bisa- bisanya punya istri modelan kalem tapi kuat kalau tantrum." Iren bercerita sambil mengacak- acak tangannya, memperlihatkan kekesalannya. "Gedek ya, Ren," tanyaku sambil terkekeh."Ih banget tau. Nanti deh kalau kamu ketemu lagi, pasti kamu bakal tahu, rasanya dipaksa sabar tapi pengen banget ninju," jelas Iren, membuatku hanya geleng- geleng kepala.Sejenis manusia seperti Sesil kayaknya.Lama tidak tahu kabar Sesil dan Justin, mereka kemana ya? Aku lupa nanya sama papah tadi.Selesai makan, aku dan Iren pun, memutuskan untuk jalan- jalan sebentar di alun- alun kota."Kamu tadi kesini naik apa, Ren?" tanyaku, ketika kami sudah memasuki mobilku."Naik taksi online aja, Din. Malas bawa mobil," jawabnya sambil membenarkan make
"Keadaan pasien laki- lakinya sudah sadarkan diri, dan hanya mengalami luka ringan. Tetapi pasien perempuannya yang cukup parah. Kondisinya masih tidak sadarkan diri, dan kemungkinan, pasien akan mengalami kelumpuhan," jelas dokter, membuat kami semua syok."Apa?" pekik tante Ammara."Kami juga membutuhkan tanda tangan orang tua pasien, untuk segera melakukan operasi," lanjut dokter yang meminta kedua orang tua kak Adam, untuk ikut ke ruangannya."Operasi apa ya," gumam Iren. Aku hanya terdiam, syok rasanya. Tidak tahu lagi, harus menanggapinya seperti apalagi."Ren," lirihku. Iren berbalik ke arahku dan langsung memeluk."Maafin tante Amara, Din. Pasti sakit ya, dipukul tadi," tanya Iren, sembari melerai pelukannya dan melihat pipiku yang memerah."Sakit pipiku, sakit pula hatiku, Ren. Tapi perasaan aku semakin takut, Ren. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Maura," ungkapku dengan suara bergetar."Kita doain saja, Din. Semoga, Maura baik- baik saja," jawab Iren, membesarkan ha
Pagi, mungkin lebih tepatnya jam 10-an. Papah dan seorang pengacara, datang menjengukku. "Pah, Dinda bebas karena apa?" tanyaku, ketika papah mengatakan, bahwa aku akan ikut dia pulang."Nanti kamu juga akan tahu. Ini pengacara keluarga Raharja. Setelah dari kantor polisi ini, kamu bersiaplah. Karena kita, akan mengadakan pertemuan penting, dengan keluarga Raharja."Sebenarnya aku penasaran, pertemuan penting apa yang sedang ingin papah adakan. Tapi papah terlihat begitu banyak pikiran, membuatku urung melempar banyak pertanyaan.Aku pulang bersama papah ke rumahku. Rumah yang khusus palah belikan untukku, sebelum aku melanjutkan pendidikan keluar negeri saat itu.Saat mobil papah, sampai di halaman rumahku. Nampak seorang wanita, yang sangat aku kenali, menunggu di depan teras rumah."Sesil," gumamku. Papah juga nampak terkejut, ketika melihat wanita itu."Ngapain dia kesini," batinku. Sesil melihat ke arah mobil kami, yang mulai papah parkirkan.Wanita itu berdiri dari duduknya dan
Bab63Tanpa bisa aku tolak lagi, akhirnya pernikahan itu pun terjadi. Meskipun papah akhirnya mau, kalau pernikahan itu tidak dirayakan. Biar bagaimana pun juga, ini bukan pernikahan yang aku mau.Diacara sakral itu pun, tiada senyum tercipta di wajah tante Amara, yang tersirat hanyalah aura kekesalan, yang dia balut dalam diamnya.Oh Tuhan, entah apa salahku di dalam dunia ini, sehingga harus memiliki mertua yang perangai nya tidak jauh berbeda, dari yang pertama.Tapi aku juga tidak mungkin, mengorbankan papah, perusahaan dan nama baik keluarga, gara- gara kelakuanku sendiri.Papah memelukku berkali- kali, dan mengucapkan kata maaf, karena tidak bisa sepenuhnya menolongku dari semua ini. Bahkan, om Kustomi pun diam seribu bahasa, seakan tidak terlihat ada powernya lagi.3 tahun, hanya 3 tahun, sudah begitu banyak yang berubah. Bahkan perangai kak Adam, semakin angkuh.Setelah semua keluarga besar berpamitan pulang. Menyisakan aku, papah dan kak Adam.Sedangkan om Kustomi, dia pulang
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.