Pagi, mungkin lebih tepatnya jam 10-an. Papah dan seorang pengacara, datang menjengukku. "Pah, Dinda bebas karena apa?" tanyaku, ketika papah mengatakan, bahwa aku akan ikut dia pulang."Nanti kamu juga akan tahu. Ini pengacara keluarga Raharja. Setelah dari kantor polisi ini, kamu bersiaplah. Karena kita, akan mengadakan pertemuan penting, dengan keluarga Raharja."Sebenarnya aku penasaran, pertemuan penting apa yang sedang ingin papah adakan. Tapi papah terlihat begitu banyak pikiran, membuatku urung melempar banyak pertanyaan.Aku pulang bersama papah ke rumahku. Rumah yang khusus palah belikan untukku, sebelum aku melanjutkan pendidikan keluar negeri saat itu.Saat mobil papah, sampai di halaman rumahku. Nampak seorang wanita, yang sangat aku kenali, menunggu di depan teras rumah."Sesil," gumamku. Papah juga nampak terkejut, ketika melihat wanita itu."Ngapain dia kesini," batinku. Sesil melihat ke arah mobil kami, yang mulai papah parkirkan.Wanita itu berdiri dari duduknya dan
Bab63Tanpa bisa aku tolak lagi, akhirnya pernikahan itu pun terjadi. Meskipun papah akhirnya mau, kalau pernikahan itu tidak dirayakan. Biar bagaimana pun juga, ini bukan pernikahan yang aku mau.Diacara sakral itu pun, tiada senyum tercipta di wajah tante Amara, yang tersirat hanyalah aura kekesalan, yang dia balut dalam diamnya.Oh Tuhan, entah apa salahku di dalam dunia ini, sehingga harus memiliki mertua yang perangai nya tidak jauh berbeda, dari yang pertama.Tapi aku juga tidak mungkin, mengorbankan papah, perusahaan dan nama baik keluarga, gara- gara kelakuanku sendiri.Papah memelukku berkali- kali, dan mengucapkan kata maaf, karena tidak bisa sepenuhnya menolongku dari semua ini. Bahkan, om Kustomi pun diam seribu bahasa, seakan tidak terlihat ada powernya lagi.3 tahun, hanya 3 tahun, sudah begitu banyak yang berubah. Bahkan perangai kak Adam, semakin angkuh.Setelah semua keluarga besar berpamitan pulang. Menyisakan aku, papah dan kak Adam.Sedangkan om Kustomi, dia pulang
Pernikahan ini benar- benar sangat tidak nyaman. Bahkan di dalam mobil pun, kami hanya saling diam. Kak Adam benar- benar berubah, tidak seperti dulu lagi. Entah apa tujuannya, menikah denganku.Disaat keheningan menyelimuti kami berdua, tiba- tiba pesan masuk di ponselku. Aku pun membukanya, yang ternyata berasal dari pak Anwar.[Dinda, meskipun sudah menikah, apakah kamu akan tetap mau, kembali ke perusahaan Darmawangsa?]Aku terdiam, membaca pesan dari pak Anwar. Aku bahkan masih cukup syok, dengan kejutan- kejutan semacam ini dalam hidupku. Semua sungguh diluar dugaan."Kamu tidak boleh bekerja lagi ...." tiba- tiba kak Adam bersuara. Aku menoleh ke arahnya."Kenapa?""Karena kamu, harus mengurus aku. Dan ketika Maura sadar, maka kamu juga harus mengurus dia," ujar kak Adam, dengan wajah yang datar, menatap lurus ke jalanan."Kamu mau jadikan aku pembantu kamu, kak?" Aku bertanya dengan tatapan tidak percaya. Seakan masa lalu bersama mas Aditya, kini terulang lagi di kak Adam."K
Tidak ada sahutan sama sekali, ketika aku meminta tolong untuk diambilkan handuk. Percuma memang sih, untuk apa aku terlalu berharap dia akan baik padaku. Sebab pernikahan ini terjadi, bukan karena kami saling suka, tetapi karena dia dendam padaku.Aku mendongakkan wajah dari dalam kamar mandi ke luar kamar, memindai sekitar. Nampak sepi dan tidak terdengar suara siapapun atau gerakkan apapun.Sepertinya, kak Adam tidak ada lagi di kamar ini. Aku keluar dengan pakaian yang masih basah, berjalan ke arah koperku yang isinya belum aku keluarkan sama sekali.Kutarik koper menuju arah kamar mandi, dan membukanya. Entah kak Adam kemana, dia sudah tidak ada di kamar lagi. Setelah kuambil handuk, aku kembali masuk kamar mandi, dan mulai membersihkan diri. Setelah selesai mandi, aku berpakaian dan mulai merapikan baju- bajuku, dengan niatan, mau aku masukan ke lemari.Namun setelah aku ingin membuka lemari, tiba- tiba pintu kamar terbuka."Ngapain kamu?" Suara kak Adam begitu keras, membuatku
Tidak, aku tidak boleh lemah. Tujuannya membuatku ada di rumah ini, adalah sebagai pelampiasannya balas dendam. Jika aku lemah, maka dia dan keluarganya, akan semakin seenaknya.Aku beringsut turun dari kasur, dan menyeka air mataku. Aku harus kuat, apapun keadaannya, aku harus hadapi.Kubuka pintu, dan kupasang wajah datar, menatap lelaki di depanku dengan tajam."Ada apa?" tanyaku."Aku lapar," ujarnya. Ingin rasanya aku memaki. Tapi sadar, aku memang adalah istrinya. Aku tidak ingin, dibayangi kegagalan dimasa lalu terus.Meskipun berat hati, akhirnya aku melangkah keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Dan di dapur, aku bertemu dengan tante Amara, wanita yang kini berstatus ibu mertuaku."Ngapain kamu kesini?" tanyanya dengan ketus. Wanita itu bertanya sembari menarik kursi makan."Mau bikin makanan untuk kak Adam," jawabku."Tidak perlu! Saya khawatir, anak saya akan sakit perut, jika makan masakan kamu," sahutnya."Masakan pelayan lebih bisa dipercaya. Lagi pula, tadi pagi kam
Aku memegang pipi kananku yang terasa sakit, akibat tamparan yang cukup keras di wajahku."Berani sekali, kamu bersikap tidak sopan pada ibuku!" bentaknya. Aku membenarnya posisi berdiriku dan menatapnya dengan tajam."Minta maaf dengannya sekarang!!" titah kak Adam."Aku tidak sopan pada ibumu, kamu tampar aku! Tapi ibumu tidak sopan padaku, menghina orang tuaku, siapa yang harus kutampar?" teriakku, sambil menghentakkan kakiku ke retakkan piring yang pecah berserakkan di lantai."Karena dia ibumu! Jadi dia berhak menghinaku, menghina orang tuaku. Begitu?" lanjutku, meskipun rasa pedih dikaki mulai begitu terasa.Beberapa pelayan meringis, melihat ke arah kakiku yang mulai mengalir darah segar."Kakimu terluka, ayo kita obati," kata kak Adam dengan nada lembutnya."Mundur! Jangan menyentuhku," bentakku sembari mendorongnya."Kamu memiliki hak apa, kamu berjasa apa dalam hidupku, sehingga begitu berani menampar wajahku, demi membela ibumu. Meskipun dia ibumu! Seharusnya kamu cari tahu
Perasaanku sudah tidak karuan lagi, memikirkan nasib yang selalu kurang beruntung ini.Aku menarik infus yang terpasang ditanganku, hingga darah segar meluncur lancar dari tangan."Shiit." Aku merasa semakin kesal dan langsung mengambil tisu, yang ada diatas nakas.Bawaan perasaan yang kacau, membuatku menjadi kasar pada diri sendiri. Aku membuka kamar, membuat Ira terkejut. Rupanya wanita ini masih berada di depan kamar inap.Aku pun memintanya masuk."Lepaskan pakaian kamu! Saya mau mengenakannya," ujarku, ketika dia masuk ke dalam kamar inapku."Nyonya, masa anda mau mengenakan pakaian pelayan," lirih Ira sedang wajah yang keheranan."Cepatlah, Ra. Saya ada urusan, saya mau keluar," titahku."Astagfirullah, tangan anda." Ira reflek mengambil tisu, dan melap tanganku."Nyonya, anda apakan infusnya, jadi tangannya luka begini," lirihnya semakin khawatir."Tidak apa- apa, Ra. Cepatlah, saya buru- buru ini," pintaku lagi sambil menarik tanganku dan meminta Ira bergegas melepaskan pakai
[Masuk rumah sakit mana? Apa yang terjadi?][Astaga ....] Om Kustomi nampak kesal dan mematikan sambungan telepon."Ada apa, Kus?" "Ini semua gara- gara kamu, Hanung. Baru beberapa hari, Dinda menjadi keluarga mereka, Dinda sudah nyaris mati," bentak om Kustomi."Ingat saja kamu, Hanung. Akan kubuat Justin hancur di perusahaan," ancam om Kustomi, yang terlihat sangat emosi.Papah terlihat tegang dan serba salah."Kamu sabar dulu, Kus. Tolong jelaskan dulu, apa yang terjadi sam Dina. Dan kenapa, Dinda masuk rumah sakit?""Informanku bilang, terjadi keributan di keluarga Raharja, antara Dinda dan Amara, mertua Dinda. Dan Dinda terluka parah, kehabisan banyak darah. Sekarang Dinda, sedang dirawat di rumah sakit," jelas om Kustomi.Mereka ketinggalan beberapa jam berita ini mah. Aku sudah keluyuran begini, meskipun luka dikaki masih sangat terasa sakit.Papah nampak hanya terdiam tanpa suara. "Lebih baik kalian pulang! Saya rasa semua sudah jelas. Saya tidak akan memberikan dukungan pad
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.