Tidak, aku tidak boleh lemah. Tujuannya membuatku ada di rumah ini, adalah sebagai pelampiasannya balas dendam. Jika aku lemah, maka dia dan keluarganya, akan semakin seenaknya.Aku beringsut turun dari kasur, dan menyeka air mataku. Aku harus kuat, apapun keadaannya, aku harus hadapi.Kubuka pintu, dan kupasang wajah datar, menatap lelaki di depanku dengan tajam."Ada apa?" tanyaku."Aku lapar," ujarnya. Ingin rasanya aku memaki. Tapi sadar, aku memang adalah istrinya. Aku tidak ingin, dibayangi kegagalan dimasa lalu terus.Meskipun berat hati, akhirnya aku melangkah keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Dan di dapur, aku bertemu dengan tante Amara, wanita yang kini berstatus ibu mertuaku."Ngapain kamu kesini?" tanyanya dengan ketus. Wanita itu bertanya sembari menarik kursi makan."Mau bikin makanan untuk kak Adam," jawabku."Tidak perlu! Saya khawatir, anak saya akan sakit perut, jika makan masakan kamu," sahutnya."Masakan pelayan lebih bisa dipercaya. Lagi pula, tadi pagi kam
Aku memegang pipi kananku yang terasa sakit, akibat tamparan yang cukup keras di wajahku."Berani sekali, kamu bersikap tidak sopan pada ibuku!" bentaknya. Aku membenarnya posisi berdiriku dan menatapnya dengan tajam."Minta maaf dengannya sekarang!!" titah kak Adam."Aku tidak sopan pada ibumu, kamu tampar aku! Tapi ibumu tidak sopan padaku, menghina orang tuaku, siapa yang harus kutampar?" teriakku, sambil menghentakkan kakiku ke retakkan piring yang pecah berserakkan di lantai."Karena dia ibumu! Jadi dia berhak menghinaku, menghina orang tuaku. Begitu?" lanjutku, meskipun rasa pedih dikaki mulai begitu terasa.Beberapa pelayan meringis, melihat ke arah kakiku yang mulai mengalir darah segar."Kakimu terluka, ayo kita obati," kata kak Adam dengan nada lembutnya."Mundur! Jangan menyentuhku," bentakku sembari mendorongnya."Kamu memiliki hak apa, kamu berjasa apa dalam hidupku, sehingga begitu berani menampar wajahku, demi membela ibumu. Meskipun dia ibumu! Seharusnya kamu cari tahu
Perasaanku sudah tidak karuan lagi, memikirkan nasib yang selalu kurang beruntung ini.Aku menarik infus yang terpasang ditanganku, hingga darah segar meluncur lancar dari tangan."Shiit." Aku merasa semakin kesal dan langsung mengambil tisu, yang ada diatas nakas.Bawaan perasaan yang kacau, membuatku menjadi kasar pada diri sendiri. Aku membuka kamar, membuat Ira terkejut. Rupanya wanita ini masih berada di depan kamar inap.Aku pun memintanya masuk."Lepaskan pakaian kamu! Saya mau mengenakannya," ujarku, ketika dia masuk ke dalam kamar inapku."Nyonya, masa anda mau mengenakan pakaian pelayan," lirih Ira sedang wajah yang keheranan."Cepatlah, Ra. Saya ada urusan, saya mau keluar," titahku."Astagfirullah, tangan anda." Ira reflek mengambil tisu, dan melap tanganku."Nyonya, anda apakan infusnya, jadi tangannya luka begini," lirihnya semakin khawatir."Tidak apa- apa, Ra. Cepatlah, saya buru- buru ini," pintaku lagi sambil menarik tanganku dan meminta Ira bergegas melepaskan pakai
[Masuk rumah sakit mana? Apa yang terjadi?][Astaga ....] Om Kustomi nampak kesal dan mematikan sambungan telepon."Ada apa, Kus?" "Ini semua gara- gara kamu, Hanung. Baru beberapa hari, Dinda menjadi keluarga mereka, Dinda sudah nyaris mati," bentak om Kustomi."Ingat saja kamu, Hanung. Akan kubuat Justin hancur di perusahaan," ancam om Kustomi, yang terlihat sangat emosi.Papah terlihat tegang dan serba salah."Kamu sabar dulu, Kus. Tolong jelaskan dulu, apa yang terjadi sam Dina. Dan kenapa, Dinda masuk rumah sakit?""Informanku bilang, terjadi keributan di keluarga Raharja, antara Dinda dan Amara, mertua Dinda. Dan Dinda terluka parah, kehabisan banyak darah. Sekarang Dinda, sedang dirawat di rumah sakit," jelas om Kustomi.Mereka ketinggalan beberapa jam berita ini mah. Aku sudah keluyuran begini, meskipun luka dikaki masih sangat terasa sakit.Papah nampak hanya terdiam tanpa suara. "Lebih baik kalian pulang! Saya rasa semua sudah jelas. Saya tidak akan memberikan dukungan pad
"Om mau ketemu sama Anwar dulu, kami ada urusan. Kamu mau om antar ke rumah sakit lagi atau bagaimana?" tanya om Kustomi padaku. Aku ingin sekali tahu, ada masalah apa om Kustomi ini. Tapi nampaknya Beliau enggan bercerita."Mau uang aja, Om. Biar Dinda naik taksi lagi," jawabku."Kamu yakin, Din?"Aku terkekeh."Yakin, dong. Aku gak punya uang, Om. Tas sama ponsel aku ada di rumah.""Bisa- bisanya, kamu kesana kemari tanpa uang dan ponsel." Om Kustomi berkata sambil geleng- geleng kepala, kemudian mengeluarkan dompet dan memberikan aku uang tunai berwarna merah cukup banyak."Kebanyakan, Om." Aku berniat hanya mengambil 2 lembar."Ambil semua. Om tinggal potong dari uang jatah kamu," katanya sambil terkekeh. "Jangan dong! Gak gendut- gendut nanti rekening Dinda," sahutku yang juga ikutan terkekeh."Sudah ambil, gratis. Om mau buru- buru ini," ujarnya yang langsung menggenggamkan uang ditelapak tanganku."Ah baiklah, karena om yang maksa." Aku mengambil uangnya dan om pun bersamaku
"Baik kalau begitu. Aku akan urus sendiri kepulanganku hari ini.""Nggak perlu. Langsung saja, saya sudah mengurusnya," ujar kak Adam. Tatapannya dingin dan menekan.Aku pun berjalan tertatih, menuju ke arah pintu, tepat di depan lelaki itu berdiri. Melihat perbanku yang kini nampak berdarah, kak Adam langsung menggendongku."Turunin aku, Kak!!" pintaku dengan kesal.Lelaki itu mengabaikan ucapanku dan membawaku ke atas brankar."Obati dulu lukanya, perbanmu berdarah," kata kak Adam."Nggak usah! Biarkan saja, aku mati juga nggak masalah.""Tentu itu masalah. Kalau kamu mati, siapa yang bertanggung jawab pada Maura. Ingat Dinda, dia sekarang bergantung dengan kursi roda. Sedangkan kamu masih bisa jalan kesana kemari. Maka dari itu, jadilah manusia yang tahu diri dan bertanggung jawab," tegas kak Adam sambil memencet tombol.Aku terhenyak, mendengar ucapannya."Memangnya dengan kamu berkata mau mati, saya akan perduli dan mengatakan saya tidak bisa hidup tanpa kamu, begitu?" ejeknya, m
Aku mengangguk, dan mau berjalan ke arah dapur. Aku mulai menyiapkan makanan, yang ingin kubawa ke lantai 2.Namun saat makanan telah siap diatas nampan, tiba- tiba Ira masuk ke area dapur.Wanita itu nampak terlihat lesu."Ira," lirihku. "Maafkan saya, ya." Aku memegang tangannya, merasa bersalah pada wanita itu."Nggak apa- apa, Nyonya. Nyonya, kaki anda begitu banyak meninggalkan jejak darah di lantai. Sebaiknya anda beristirat di dalam, biar saya yang mengantarkan makanan ini."Belum sempat aku menyahut, sudah terdengar teriakkan tante Amara."Aduh, menjijikan sekali wanita pembawa sial itu! Darahnya berbekas dilantai. Cepat kalian lap dan bersihkan lantai rumah saya!" teriak tante Amara, kepada para pelayan rumah."Nah, nyonya besar sudah ngamuk," lirih Ira."Yaudah, Ra. Saya ke kamar saja, makasih sudah bantuin saya, Ra. Di rumah ini, cuma kamu yang perduli sama saya," ujarku sambil reflek memeluk Ira.Rasanya aku jadi rindu dengan Iren, entah dimana kini sahabatku itu. Aku kel
Ketika aku membuka mata, lagi- lagi aku mendapati diri sudah berada di rumah sakit. Tangan diinfus lagi, dan hanya ada 3 orang yang ada di dalam ruanganku."Akhirnya kamu sadar," lirih wanita itu. Wanita yang duduk dikursi roda, Maura.Dengan kondisi seperti itu, dia malah berada di rumah sakit, meskipun ditemani pelayannya."Akhirnya nyonya Sadar," lirih Ira, yang langsung mendekatiku."Ra, jangan panggil dia nyonya. Nyonya di rumah itu, hanya ada saya, sama nyonya besar. Sedangkan dia, sama seperti kalian, pelayan," sahut Maura, yang mendekat ke arahku dan Ira. Inem hanya diam, sambil mendorong kursi roda."Saya sebenarnya kasihan sama kamu, sekaligus jijik. Tapi karena suami saya yang begitu baik dan perhatian, dia sengaja memenjarakan kamu di rumah besar kami, untuk menyiksa mental si perusak masa depan istri tercintanya," kata Maura sambil terkekeh, menatap jijik ke arahku.Padahal sebelumnya, dia begitu bersikap lembut dan terlihat begitu baik orangnya. Tapi ternyata, dia berwa
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.