Enjoy reading. jangan lupa tap like dan komemtarnya ya. salam sehat selalu. makasih sudah mengikuti cerita ini.
Bab 23A***** "Mbak Ema duduk aja, biar aku bantu Bi Sumi. Nanti kalau sudah selesai kita cek kandungannya, ya." "Oke." "Ya Rabb, ucapan Irsyad benar adanya. Ini berat dijalani. Tapi aku harus bisa melewatinya dengan kepala tegak." Hubungan Syifa dan Ema terlihat baik-baik saja. Syifa bersyukur akan hal itu. Pun Zein tidak pernah mengusiknya lagi. Laki-laki itu terlihat bahagia karena Alea akan punya teman. "Kamu pintar masak juga, Fa?" "Nggak, Mbak. Saya terpaksa harus belajar, karena...." Ucapan Syifa menggantung. Ia tidak mau mengingatkan masa lalunya di depan Ema. "Karena itu makanan kesukaan Ze, ya?" sahut Ema benar adanya sesuai isi pikiran Syifa. Namun, Syifa segera mengalihkan topik. Ema hanya mengulum senyum dalam hati ada rasa tidak rela, tapi segera dienyahkannya. "Bunda, Al beli es krim enak," seru Alea yang baru datang bersama Zein. "Eh, Mama juga di sini." "Iya, Al. Mama mau memeriksa Bunda." "Wah, sepertinya ayah mencium bau wangi masakan enak, Al. Bi Sumi ma
Bab 23B"Tunggu! Alea sayang! Jangan bersedih, meski papamu belum datang kan ada ayah." Syifa dan Zein memang sepakat untuk tidak memberitahu dulu kalau Zein adalah ayah Alea. Pun Ema menyetujui hal itu. "Tapi ayah sudah sama bunda. Mama sendirian nggak ada temannya. Mama sering nangis kalau malam." Syifa terbelalak mendengar pengakuan putrinya. Pun Zein yang merasakan sesuatu menusuk tepat di dadanya. Nyeri dan menyesakkan. "Alea!" Syifa sedikit membentak membuat gadis kecil itu terisak sambil menunduk. "Fa. Jangan membuatnya menangis!" Zein mendekat sambil menghibur Alea. "Ze, masuklah! Mb Ema membutuhkanmu. Ingat kesehatannya!" "Tapi Fa?" Syifa segera memeluk anaknya sambil satu tangan memegang tas medis. "Maafkan Mama, Sayang. Mama nggak marah. Ayo kita pulang! Nanti kita beli es krim sama Om Irsyad dan Tante May!" "Beneran, Ma?" Alea berhenti terisak. Menatap sang mama yang berkaca-kaca. "Mama menangis?" "Mama terharu, Sayang." Syifa lalu beranjak menggendong Alea dan
Bab 24 "Dok, jangan katakan hal buruk menimpa istri saya!" tolak Zein "Maaf, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Allah berkehendak lain. Istri Bapak nyawanya tidak tertolong." Bagaikan sebuah mimpi, Zein ingin segera bangun dari mimpi buruknya. Ia butuh seseorang menyadarkannya dari mimpi buruk itu. Untuk ketiga kali dalam hidupnya ia kehilangan wanita yang berstatus istri baginya. Pertama, Sania yang berjuang melahirkan anak. Kedua, Syifa yang berusaha diperjuangkan profesinya dan terakhir Ema yang sedang mengandung anaknya. Ia merasa wanita yang didekatnya selalu mendapat kemalangan. Memilukan. "Tidak mungkin. Ema tidak mungkin pergi. Bayi kami tidak mungkin meninggal." Zein mengerang frustasi sambil meremas rambutnya. Ia terduduk pilu di kursi di lorong rumah sakit. Bi Sumi hanya bisa menatap sedih suami majikannya. Saatnya kembali telah tiba. Bagi orang yang pergi, bahagia telah menanti. Namun, bagi yang ditinggalkan sedihnya tidak akan terganti. Yakinlah, Allah se
Bab 24B*****Suasana duka menyelimuti rumah besar milik Ema. Kabar duka itu akhirnya sampai juga ke telinga Umi Hira dan Abi Ilyas. Syifa meminta izin pada Zein untuk mengabari mertuanya. Kedua orang tua yang kehilangan kontak itu pun merasa bahagia sekaligus sedih bersamaan. Senang karena mereka bisa menemukan anak kebanggaan mereka. Sedih karena putranya kehilangan istri untuk kesekian kali. Alhasil, Umi Hira segera terbang ke Yogyakarta. Selain itu, ada saudara kembar Zein---Refan yang sedang berkunjung di rumah mertuanya. Begitu tahu berita tentang kakaknya di Yogya, ia bergegas mencari alamat Zein bersama Syila istrinya yang sedang hamil besar. "Terima kasih Syifa sudah menemani Zein di saat hatinya sedang terpuruk. Meskipun kalian sudah berpisah, kamu tetap putri kami." "Iya, Mi. Syifa di Yogya baru beberapa bulan. Takdir yang mempertemukan kami, Alea bisa bertemu dengan papanya. Meski keadaan kami berbeda sari sebelumnya. Ze sudah menikah dengan Mbak Ema. Saya bersyukur bisa
Bab 25AHidup ini bisa berubah hanya dalam sekejap mata. Jika Allah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menentangnya. Sudah sepantasnya sebagai manusia bertawakal dan pasrah pada ketentuan dan ketetapanNya. Namun, Adam masih terpaku pada musibah yang menimpanya tidak cukup sekali. Ia lupa Allah memberikan cobaan pastilah tidak melebihi kemampuan hambaNya. Syifa meneguk ludahnya. Setitik nyeri hadir karena teringat ucapan Irsyad. "Bisa saja Zein menyalahkanmu, Fa. Jika sesuatu hal buruk menimpa istrinya." "Sudahlah, Bi. Sekarang kita siapkan saja, ya. Bibi nggak usah khawatir, Pak Zein masih berkabung." Syifa mengabaikan sikap Zein yang menurut Bi Sumi bisa menyakitinya. Ia fokus dengan tanggung jawabnya tentang permintaan Ema. Hampir empat puluh menit masakan sudah tersaji di meja. Syifa bernapas lega seolah hutangnya terlunasi. "Mama! Baunya harum." Tiba-tiba ada Alea yang datang masih dengan seragam sekolah. Gadis kecil itu diantar Irsyad. "Fa, Alea minta ke sini." "Ya, Sy
Bab 25 BSyifa betah melipatkan kedua tangan di meja. Lalu merebahkan kepalanya dengan tumpuan tangannya yang dilipat. Ia memandang jauh ke langit dengan menoleh ke kiri. Tidak ada bintang yang berkelip di sana. Seolah semesta turut merasakan kesedihannya. "Fa. Apa yang terjadi?" Irsyad membawa dua cangkir coklat untuk Syifa dan dirinya. Ia duduk seperti biasa di kursi sebelah Syifa yang terhalang meja."Apa ucapanku kemarin-kemarin sungguh terjadi?" tanya Irsyad dengan hati teriris. Setiap melihat Syifa menangis sedih, ia seolah ikut merasakannya. "Mungkin memang salahku, Syad. Aku tidak mendengarkan ucapanmu." "Benar, Pak Zein menyalahkanmu atas kematian istrinya?" tebak Irsyad. Syifa masih setia menunduk seraya bertumpu di kedua lengannya. "Ya, Syad. Mungkin ini akhir cerita kami. Aku menyerah." "Lalu apa yang mau kamu lakukan, Fa?" Syifa menegakkan tubuhnya. Ia menghirup oksigen sepuasnya. "Aku mau ambil cuti ya. Kamu jaga di klinik sama May. Nanti aku carikan ART untuk ba
Bab 26ADi rumahnya, Zeinmerasakan harinya berbeda. Sejak pagi, rumahnya terasa sepi. Di dapur tidak ada suara denting alat masak. Gegas Zein melongok ke belakang rumah. Ada Bi Sumi yang menjemur pakaian. Zein kembali ke dalam rumah lalu duduk di meja makan. Ia membuka tudung saji hanya ada makanan yang tidak spesial seperti biasa. Sedikit kecewa dirasakan Zein. Selama seminggu kemarin berturut-turut Syifa datang ke rumahnya dan rela memasakkan makanan spesial untuknya. Namun, ia sendiri mengabaikan makanan itu hingga teronggok di kulkas. "Pak Zein Maaf, Bibi baru selesai menjemur pakaian. Apa Pak Zein mau dimasakkan menu lain?" tawar Bi Sumi dengan suara rendah. Ia masih was-was kalau majikannya dalam mood buruk. Bisa jadi dia akan kena semprot seperti Syifa. "Oh, tidak, Bi. Ini Bi Sumi yang masak?" "Iya, tadi pagi bibi masaknya. Kalau Pak Zein mau makanan yang hangat bisa saya panasi atau saya masakkan ulang," lagi bibi menawarkan diri. Ia masih ingat pesan Syifa tentang menu ma
Bab 26BBerbeda dengan Zein yang pikirannya justru kalut. Jantungnya berdebar kencang, pikiran buruk melintas berulang. "Bagaimana keselamatan Syifa? Apa dia akan baik-baik di sana? Aku yakin, Syifa tidak mungkin ke sana." "Pak Zein. Ada apa?" "Eh, nggak, By. Apa Dokter Syifa pernah menyinggung beliau menjadi salah satu anggota tim relawan?" "Saya pikir tidak, Pak. Dokter Syifa tidak mengatakan akan bergabung. Lagipula biasanya yang bergabung kan dokter-dokter baru. Sedangkan Dokter Syifa sudah senior." "Semoga, By."Bobby mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan bosnya. Tiba-tiba saja Zein pamit keluar kantor membawa proposalnya. Melajukan mobilnya dengan kencang, Zein kembali pulang. Sepanjang perjalanan pikirannya tertuju pada kepastian Syifa ikut atau tidak di tim relawan itu. Ia menghubungi ponsel Syifa pun hanya nada operator yang menjawab. Setengah jam, Zein sampai. Ia bukan memarkirkan mobil di depan rumahnya melainkan di depan rumah Syifa. Zein k