Bab 26BBerbeda dengan Zein yang pikirannya justru kalut. Jantungnya berdebar kencang, pikiran buruk melintas berulang. "Bagaimana keselamatan Syifa? Apa dia akan baik-baik di sana? Aku yakin, Syifa tidak mungkin ke sana." "Pak Zein. Ada apa?" "Eh, nggak, By. Apa Dokter Syifa pernah menyinggung beliau menjadi salah satu anggota tim relawan?" "Saya pikir tidak, Pak. Dokter Syifa tidak mengatakan akan bergabung. Lagipula biasanya yang bergabung kan dokter-dokter baru. Sedangkan Dokter Syifa sudah senior." "Semoga, By."Bobby mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan bosnya. Tiba-tiba saja Zein pamit keluar kantor membawa proposalnya. Melajukan mobilnya dengan kencang, Zein kembali pulang. Sepanjang perjalanan pikirannya tertuju pada kepastian Syifa ikut atau tidak di tim relawan itu. Ia menghubungi ponsel Syifa pun hanya nada operator yang menjawab. Setengah jam, Zein sampai. Ia bukan memarkirkan mobil di depan rumahnya melainkan di depan rumah Syifa. Zein k
Bab 27A"Senang bertemu kembali dengan Dokter Syifa. Dokter cantik dan profesional di rumah sakit ternama." Tangan Helan terulur di depan Syifa yang memandang tak acuh. "Terima kasih," balas Syifa dengan nada dingin disertai senyum kaku. Syifa tidak membalas jabat tangan. Ia justru menangkupkan kedua tangannya hingga laki-laki itu menarik tangannya dengan senyum masam. "Sepertinya kita berjodoh, Dokter." Helan tersenyum hingga dua sudut bibirnya terangkat membentuk bulan sabit. "Sebaiknya buang angan-angan jauh itu, Dok. Di sini bukan tempatnya kasmaran. Kita perlu bekerja sama untuk mencapai satu tujuan." "Tentu saja, Dokter Syifa. Kalau tugas kemanusiaan bisa dibarengi dengan hal itu, kenapa tidak? Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui." Helan mengerlingkan mata sambil beranjak pergi meninggalkan Syifa yang mematung di tempatnya. Ia merasa dongkol karena sampai tidak tahu ada laki-laki itu di tim relawan kali ini. "Halo, Dokter Syifa. Kenalkan saya Rosi, perawat yang dituga
Bab 27B"Bekerjalah dengan senang hati, Dokter. Supaya lelahmu terganti sebagai ibadah," bisik Helan yang duduk di samping Syifa. Sontak saja, Syifa membuang muka ke arah lain sambil ngedumel. "Ishh, bisa-bisanya situasi begini bersikap manis, hufh." Syifa memilih melihat ke arah luar. Pemandangan gunung dan jurang di sekitar jalan yang mereka lewati merupakan tempat yang memicu adrenalin. Sebab di sana merupakan lokasi yang butuh keamanan ketat dari anggota TNI. Selain sikap waspada, di sana Syifa setidaknya bisa terhibur oleh pemandangan yang menakjubkan. Ketegangan pun berkurang. Satu jam, rombongan Syifa sampai di posko 1. Gegas tim medis pimpinan Helan turun dari mobil dan bersiap memeriksa satu persatu anggota TNI. Pengendara mobil jeeb memberi salam pada lelaki berbaju loreng yang pangkatnya terlihat lebih tinggi. "Lapor. Tim medis siap melaksanakan tugas!" "Laksanakan!" "Siap Laksanakan! Mari silakan masuk ke tenda yang disiapkan, Dok!" "Terima kasih," jawab Helan dan S
Bab 28"Ini teh gingseng dari Korea. Sebelum ke sini saya ikut kegiatan di sana. Teh khusus untuk kesehatan. Lihat nyamuk di sini berbeda dengan nyamuk di kota tinggal kita, Fa." Helan sedikit khawatir melihat wajah lelah Syifa. Beberapa kali menepuk tubuh untuk menghalau nyamuk. "Ingat kan di sini suka ada wabah malaria. Jangan sampai kita tim medis justru dirawat." "Ya, terima kasih Dokter Helan sudah mengingatkan saya." "Saya yakin kamu masih sendiri kan, Fa?" "Maksud, Dokter Helan?" "Kamu belum balikan sama mantan suamimu, kan? Kamu pasti juga belum menikah lagi." "Jangan mencoba merayu saya, Dok." Helan tergelak, sikapnya sudah bisa ditebak Syifa. "Saya cuma menebak. Jika memang tebakan saya salah, tidak mungkin Dokter Syifa sampai sini. Suamimu tidak mungkin mengizinkan." "Apa Dokter Helan memang merencanakan semua ini. Dokter mengikuti saya sampai sini?" tanya Syifa dengan wajah serius. "Menurutmu?" ungkap Helan dengan senyum mengembang. "Ckkk, sudah saya duga." "Ti
Bab 29A "Siapa tahu kamu takut padaku, jadi pisau itu untuk mempertahankan diri," celetuk Helan. "Astaga, Dok. Jangan bercanda di saat genting begini!" bentak Syifa. "Ini nggak lucu." "Iya-iya maaf. Astaga, mereka hampir mendekati mobil kita. Ayo, cepat, Fa!" "Tunggu, Dok!" Syifa membetulkan tali sepatunya. Keduanya bergegas lari masuk ke hutan. Senja mulai menyapa, suasana hutan mulai sunyi. Cahaya dari sang surya yang menembus pepohonan mulai meredup. "Dok. Dokter Helan." Syifa merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh ke kanan kiri dan belakang tidak mendapati Helan di sana. "Dokter Helan! Dokter di mana?" Syifa panik, pikirannya justru melayang kalau Helan tertangkap pemberontak. Gegas ia menelusuri kembali jalan tadi. "Syukurlah. Dokter Helan menakuti saya? Kenapa malah berhenti di situ?" ungkap Syifa dari jarak sekitar 50 meter. Ia hendak mendekat, tetapi Helan berteriak. "Awas, Fa! Jangan mendekat! Kamu pergilah mencari pertolongan. Saya tetap di sini berjaga
"Syad, katakan di mana kantor relawan tempat Syifa bergabung?" tanya Zein sedikit memaksa. "Buat apa? Bukannya Anda tidak peduli pada mantan?" balas Irsyad sinis. "Tolong beritahu saya! Saya bukannya tidak peduli, tapi saya...." Zein menyugar kasar rambutnya. Situasi buruk begini akan susah menjelaskan pada Irsyad. "Saya ingin mencari kabar Syifa. Saya ingin dia selamat." "Buat apa? Supaya bisa Anda sakiti lagi, huh? Saya tidak akan mengatakan infonya. Saya yang akan memastikan Syifa selamat tanpa melibatkan Anda." Irsyad meninggalkan Zein yang duduk termangu di sofa ruang tamu. Bi Sumi menatap sedih majikannya. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Di saat pikirannya kalut, Zein teringat proposal yang ditunjukkan Bobby. Gegas ia mencari proposal yang disimpannya. Zein membaca informasi tentang kantor relawan yang memberangkatkan Syifa. Tanpa pikir panjang, malam ini juga Zein meluncur ke kantor tersebut. "Hati-hati Pak Zein! Semoga Dokter Syifa baik-baik saja." "Terimakasih, B
Bab 30"Saya tidak menyangka Syifa menangis setiap malam semakin larut. Saya tidak berani bertanya. Hanya saya tunggu sampai ia bercerita. Ternyata ia memikirkan ayahnya Alea. Ia merasa bersalah hingga membuat gadis kecil itu kehilangan kasih sayang ayahnya." Zein menghela napas panjang, disusul matanya berembun. Namun, ia harus menjaga konsentrasi berkendaranya. "Saya tidak tahu alasan apa yang membuat Pak Zein berpisah dengan Syifa dulu. Namun, alasan Pak Zein saat ini menjauhi Syifa, saya tidak bisa menerimanya. Setiap tenaga kesehatan melakukan tugasnya sesuai prosedur. Kenapa Anda menyalahkannya atas kematian Mbak Ema. Saya benar-benar tidak habis pikir. Saya hanya berharap dia mendapatkan kebahagiannya." "Saya berjanji akan membahagiakannya. Saya pikir dengan membencinya, dia tidak akan mendapat kemalangan seperti istri saya yang lain. Saya takut Syifa bernasib sama seperti mereka berdua." "Pak Zein sungguh konyol. Takdir milik Allah, kenapa orang seperti Anda berpikiran semp
Bab 31A"Astaghfirullah. Tubuhnya demam tinggi. Dia sampai mengigau nama laki-laki itu." Helan mencoba membangunkan Syifa, tetapi wanita itu tidak kunjung sadar. Ia menyentuh pergelangan tangan. Seketika Helan dilanda panik. "Ya Tuhan, nadinya melemah. Syifa, bertahanlah. Tolong! Adakah orang di sini?!" Helan berteriak lantang dengan suasana hati yang kalut. Hampir setengah jam, ia tidak berhenti menyadarkan Syifa sambil berteriak minta tolong. Tenggorokannya pun hampir kering. Sebab tidak ada air mineral darurat yang tersisa di kantong mereka. "Ada suara siapa di sana komandan!" teriak seorang petugas berpakaian seragam dengan senjata sigap ditangan kanan. "Hati-hati. Kita selidiki dulu!" titah Laki-laki yang dipanggil komandan. "Tolong! Tolong!" "Sepertinya suaranya dari sana. Ayo ikuti saya!" "Siap!" Beberapa orang bertugas mencari dua relawan medis yang hilang. Mereka mulai memasuki wilayah hutan dengan hati-hati. Wilayah itu mereka tanam ranjau untuk menghalau musuh. Mer