Rania tiba di rumah orang tuanya dengan perasaan campur aduk. Setelah meninggalkan Yoga dan rumah mereka, ia merasakan campuran antara kelegaan dan kesedihan yang mendalam. Keputusan untuk pulang ke rumah orang tuanya bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu bahwa ia membutuhkan waktu dan jarak untuk berpikir jernih. Hubungan mereka sudah berada di titik kritis, dan Rania tidak bisa lagi menunggu dalam ketidakpastian.Saat tiba di depan pintu rumah, Rania menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Pintu dibuka oleh ibunya, yang tampak terkejut melihat putrinya muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya. Namun, satu pandangan pada wajah Rania sudah cukup untuk memberi tahu ibunya bahwa ada sesuatu yang tidak beres."Rania, ada apa sayang?" tanya ibunya dengan suara penuh kekhawatiran.Rania mencoba tersenyum, tetapi air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia langsung masuk ke pelukan ibunya, menangis dalam diam. Ia merasa rapuh, bingung, dan penuh dengan pertanyaan tentang ma
Sore itu, Yoga mengemudi dengan perasaan berdebar. Setelah mengirim pesan kepada Rania beberapa hari yang lalu, ia tidak mendapatkan jawaban yang jelas, dan ketidakpastian membuatnya semakin gelisah. Dia memutuskan untuk menjemput Rania di rumah orang tuanya, berharap bisa berbicara langsung dan menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.Namun, saat Yoga melintasi jalan menuju rumah orang tua Rania, pandangannya tidak sengaja tertuju pada sebuah mobil di sebelahnya. Mobil itu terlihat begitu familiar, mobil orang tua Rania. Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa Rania duduk di kursi penumpang, berbicara dengan seseorang di dalam mobil.Di lampu merah, mobil mereka kebetulan berhenti sejajar. Yoga memperlambat laju mobilnya dan melihat ke arah mobil tersebut. Jantungnya serasa berhenti sejenak ketika ia melihat Rania, tampak tenang, duduk di samping seorang pria. Pria itu sepertinya mengemudikan mobil dengan nyaman sambil sesekali berbicara dengan Rania.Yog
Esok harinya, Rania memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Mereka duduk bersama di meja makan, dengan Rania perlahan menceritakan perasaannya. Ibunya mendengarkan dengan tenang, memberikan nasihat tanpa menghakimi. "Nak, kepercayaan itu memang sulit dibangun kembali setelah dirusak," ucap ibunya lembut. "Tapi kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah kamu masih ingin memberikan kesempatan pada pernikahan ini? Atau apakah kamu merasa lebih baik jika kalian berpisah dan masing-masing memulai lembaran baru?"Rania terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Di satu sisi, ia merasa sudah terlalu lelah untuk terus berjuang sendirian. Namun di sisi lain, ia masih ingin percaya bahwa pernikahan mereka bisa diperbaiki. "Aku tidak tahu, Bu," jawab Rania akhirnya. "Aku ingin memberinya kesempatan, tapi aku takut. Aku takut kalau semua ini hanya sementara, dan nanti aku akan terluka lagi."Ibunya tersenyum lembut dan meraih tangan Rania. "Itu wajar, Nak. Tidak ada yang salah dengan meragu
Malam itu, setelah berhari-hari menghindari satu sama lain, Yoga dan Rania akhirnya terlibat dalam pembicaraan yang lama tertunda. Suasana rumah yang sunyi terasa semakin tegang ketika Yoga, yang sudah lelah mengabaikan masalah, akhirnya duduk di meja makan menunggu Rania. Rania tahu, ini adalah saatnya mereka berbicara dari hati ke hati, meskipun ia tidak siap dengan apa yang akan terjadi.Rania memulai percakapan, suaranya tenang namun jelas menyimpan banyak emosi. "Mas, kenapa kita jadi seperti ini? Aku sudah berusaha sabar, tapi kamu semakin menjauh. Aku butuh penjelasan, kenapa kamu berubah? Apa karena Elena?"Yoga, yang tadinya tenang, langsung tegang mendengar nama itu. Elena adalah masa lalunya, seseorang yang pernah dekat sejak sebelum menikah dengan Rania. Meski hubungan itu sudah lama berakhir, Rania selalu merasa ada bayangan Elena yang masih menghantui pernikahan mereka. "Elena?" Yoga mendengus. "Rania, itu sudah lama selesai. Kamu tahu aku nggak ada urusan lagi dengan d
Malam itu, setelah Yoga dan Rania sepakat untuk memberi waktu bagi diri masing-masing, suasana di antara mereka masih terasa tegang. Keduanya duduk di ruang tamu, terdiam dalam pikiran masing-masing. Namun, di tengah kebisuan itu, Rania akhirnya angkat bicara."Mas...," panggil Rania dengan suara lembut tapi sedikit ragu, matanya menatap ke lantai seolah mencari keberanian. "Aku pikir, kalau kita mau benar-benar mencoba memperbaiki hubungan ini... kita butuh bantuan."Yoga yang sedang termenung, mengangkat wajahnya, menatap Rania dengan serius. "Maksud kamu bantuan dari siapa, Ran?"Rania menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku rasa, kita nggak bisa selesaikan ini sendiri. Mungkin kita bisa... coba konseling pernikahan? Aku dengar banyak pasangan yang terbantu dengan konselor. Dia bisa bantu kita untuk bicara lebih terbuka, tanpa harus saling menyalahkan."Yoga terdiam sejenak, memikirkan usul Rania. Ada keraguan di hatinya. Sebagai lelaki, ia selalu merasa bahwa masalah p
Setelah beberapa hari mencari tempat konseling yang baru, Rania dan Yoga akhirnya bertemu dengan konselor yang mereka anggap benar-benar netral. Konseling tersebut berlangsung selama beberapa sesi, di mana keduanya diminta untuk mengungkapkan segala perasaan dan keluh kesah yang selama ini terpendam. Konselor membantu mereka mendalami akar masalah, memberikan sudut pandang baru, dan mencoba membangun kembali komunikasi yang rusak di antara mereka.Namun, meskipun konselor membantu mereka memahami masalah dari berbagai sudut pandang, Rania dan Yoga masih merasa bahwa hubungan mereka belum menemukan titik terang. Ada banyak luka dan kesalahpahaman yang belum terselesaikan, dan mereka berdua sadar bahwa pernikahan ini mungkin sudah berada di ujung tanduk.Pada sesi terakhir konseling, mereka duduk berhadapan di ruangan yang sejuk. Konselor mengamati wajah keduanya yang menunjukkan kelelahan emosional setelah sekian lama mencoba menemukan solusi."Aku rasa... kita butuh waktu," kata Rania
Yoga akhirnya tak kuasa menahan tekanan yang dilancarkan Elena. Setelah ancaman dari telepon itu, hati kecilnya diliputi kecemasan. Meskipun dia tahu bahwa Elena sering menggunakan manipulasi emosional untuk menarik perhatiannya, rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap keselamatan Elena memaksa Yoga untuk menyerah dan datang ke apartemen.Malam itu, Yoga akhirnya memutuskan untuk pergi, berharap bisa meredakan situasi dan menyelesaikan masalah sekali untuk selamanya. Ia tiba di apartemen Elena, mengetuk pintu dengan perasaan bercampur aduk antara marah, cemas, dan perasaan bersalah terhadap Rania.Elena membuka pintu dengan ekspresi seolah-olah ia sedang dalam krisis. Mata sembabnya dan sikapnya yang terlihat rapuh membuat Yoga terhenti di ambang pintu. "Yoga, aku nggak tahu harus bagaimana lagi..." Suaranya serak dan penuh kesedihan, membuat Yoga semakin merasa terjebak.Yoga melangkah masuk dengan ragu-ragu. "Elena, kamu nggak seharusnya melakukan ini. Kita harus bicara, tapi in
Rania menatap bayangannya di cermin, memperhatikan setiap detail penampilannya yang kini terlihat berbeda dari biasanya. Gaun putih sederhana dengan sulaman halus membalut tubuhnya, namun matanya memancarkan keraguan yang dalam. Hari ini adalah hari yang mengubah hidupnya, ia akan menikah dengan seorang laki-laki yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Hatinya bergejolak, antara menerima takdir dan ketidakpastian masa depan."Apa aku bisa melewati semua ini?" bisiknya dalam hati, sambil menyentuh ringan riasannya. Ini bukan pernikahan impiannya, tidak ada cinta, tidak ada persahabatan, hanya komitmen yang disusun oleh keluarga. Rania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, dan melangkah keluar dari kamar dengan langkah yang terasa semakin berat.Sedetik kemudian, Mama Rania datang menghampiri dengan langkah pelan. Matanya berkaca-kaca, menahan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tanpa bicara, beliau meraih tangan putrinya dan menggenggamnya erat."Rania, Nak ...
Yoga akhirnya tak kuasa menahan tekanan yang dilancarkan Elena. Setelah ancaman dari telepon itu, hati kecilnya diliputi kecemasan. Meskipun dia tahu bahwa Elena sering menggunakan manipulasi emosional untuk menarik perhatiannya, rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap keselamatan Elena memaksa Yoga untuk menyerah dan datang ke apartemen.Malam itu, Yoga akhirnya memutuskan untuk pergi, berharap bisa meredakan situasi dan menyelesaikan masalah sekali untuk selamanya. Ia tiba di apartemen Elena, mengetuk pintu dengan perasaan bercampur aduk antara marah, cemas, dan perasaan bersalah terhadap Rania.Elena membuka pintu dengan ekspresi seolah-olah ia sedang dalam krisis. Mata sembabnya dan sikapnya yang terlihat rapuh membuat Yoga terhenti di ambang pintu. "Yoga, aku nggak tahu harus bagaimana lagi..." Suaranya serak dan penuh kesedihan, membuat Yoga semakin merasa terjebak.Yoga melangkah masuk dengan ragu-ragu. "Elena, kamu nggak seharusnya melakukan ini. Kita harus bicara, tapi in
Setelah beberapa hari mencari tempat konseling yang baru, Rania dan Yoga akhirnya bertemu dengan konselor yang mereka anggap benar-benar netral. Konseling tersebut berlangsung selama beberapa sesi, di mana keduanya diminta untuk mengungkapkan segala perasaan dan keluh kesah yang selama ini terpendam. Konselor membantu mereka mendalami akar masalah, memberikan sudut pandang baru, dan mencoba membangun kembali komunikasi yang rusak di antara mereka.Namun, meskipun konselor membantu mereka memahami masalah dari berbagai sudut pandang, Rania dan Yoga masih merasa bahwa hubungan mereka belum menemukan titik terang. Ada banyak luka dan kesalahpahaman yang belum terselesaikan, dan mereka berdua sadar bahwa pernikahan ini mungkin sudah berada di ujung tanduk.Pada sesi terakhir konseling, mereka duduk berhadapan di ruangan yang sejuk. Konselor mengamati wajah keduanya yang menunjukkan kelelahan emosional setelah sekian lama mencoba menemukan solusi."Aku rasa... kita butuh waktu," kata Rania
Malam itu, setelah Yoga dan Rania sepakat untuk memberi waktu bagi diri masing-masing, suasana di antara mereka masih terasa tegang. Keduanya duduk di ruang tamu, terdiam dalam pikiran masing-masing. Namun, di tengah kebisuan itu, Rania akhirnya angkat bicara."Mas...," panggil Rania dengan suara lembut tapi sedikit ragu, matanya menatap ke lantai seolah mencari keberanian. "Aku pikir, kalau kita mau benar-benar mencoba memperbaiki hubungan ini... kita butuh bantuan."Yoga yang sedang termenung, mengangkat wajahnya, menatap Rania dengan serius. "Maksud kamu bantuan dari siapa, Ran?"Rania menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku rasa, kita nggak bisa selesaikan ini sendiri. Mungkin kita bisa... coba konseling pernikahan? Aku dengar banyak pasangan yang terbantu dengan konselor. Dia bisa bantu kita untuk bicara lebih terbuka, tanpa harus saling menyalahkan."Yoga terdiam sejenak, memikirkan usul Rania. Ada keraguan di hatinya. Sebagai lelaki, ia selalu merasa bahwa masalah p
Malam itu, setelah berhari-hari menghindari satu sama lain, Yoga dan Rania akhirnya terlibat dalam pembicaraan yang lama tertunda. Suasana rumah yang sunyi terasa semakin tegang ketika Yoga, yang sudah lelah mengabaikan masalah, akhirnya duduk di meja makan menunggu Rania. Rania tahu, ini adalah saatnya mereka berbicara dari hati ke hati, meskipun ia tidak siap dengan apa yang akan terjadi.Rania memulai percakapan, suaranya tenang namun jelas menyimpan banyak emosi. "Mas, kenapa kita jadi seperti ini? Aku sudah berusaha sabar, tapi kamu semakin menjauh. Aku butuh penjelasan, kenapa kamu berubah? Apa karena Elena?"Yoga, yang tadinya tenang, langsung tegang mendengar nama itu. Elena adalah masa lalunya, seseorang yang pernah dekat sejak sebelum menikah dengan Rania. Meski hubungan itu sudah lama berakhir, Rania selalu merasa ada bayangan Elena yang masih menghantui pernikahan mereka. "Elena?" Yoga mendengus. "Rania, itu sudah lama selesai. Kamu tahu aku nggak ada urusan lagi dengan d
Esok harinya, Rania memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Mereka duduk bersama di meja makan, dengan Rania perlahan menceritakan perasaannya. Ibunya mendengarkan dengan tenang, memberikan nasihat tanpa menghakimi. "Nak, kepercayaan itu memang sulit dibangun kembali setelah dirusak," ucap ibunya lembut. "Tapi kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah kamu masih ingin memberikan kesempatan pada pernikahan ini? Atau apakah kamu merasa lebih baik jika kalian berpisah dan masing-masing memulai lembaran baru?"Rania terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Di satu sisi, ia merasa sudah terlalu lelah untuk terus berjuang sendirian. Namun di sisi lain, ia masih ingin percaya bahwa pernikahan mereka bisa diperbaiki. "Aku tidak tahu, Bu," jawab Rania akhirnya. "Aku ingin memberinya kesempatan, tapi aku takut. Aku takut kalau semua ini hanya sementara, dan nanti aku akan terluka lagi."Ibunya tersenyum lembut dan meraih tangan Rania. "Itu wajar, Nak. Tidak ada yang salah dengan meragu
Sore itu, Yoga mengemudi dengan perasaan berdebar. Setelah mengirim pesan kepada Rania beberapa hari yang lalu, ia tidak mendapatkan jawaban yang jelas, dan ketidakpastian membuatnya semakin gelisah. Dia memutuskan untuk menjemput Rania di rumah orang tuanya, berharap bisa berbicara langsung dan menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.Namun, saat Yoga melintasi jalan menuju rumah orang tua Rania, pandangannya tidak sengaja tertuju pada sebuah mobil di sebelahnya. Mobil itu terlihat begitu familiar, mobil orang tua Rania. Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa Rania duduk di kursi penumpang, berbicara dengan seseorang di dalam mobil.Di lampu merah, mobil mereka kebetulan berhenti sejajar. Yoga memperlambat laju mobilnya dan melihat ke arah mobil tersebut. Jantungnya serasa berhenti sejenak ketika ia melihat Rania, tampak tenang, duduk di samping seorang pria. Pria itu sepertinya mengemudikan mobil dengan nyaman sambil sesekali berbicara dengan Rania.Yog
Rania tiba di rumah orang tuanya dengan perasaan campur aduk. Setelah meninggalkan Yoga dan rumah mereka, ia merasakan campuran antara kelegaan dan kesedihan yang mendalam. Keputusan untuk pulang ke rumah orang tuanya bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu bahwa ia membutuhkan waktu dan jarak untuk berpikir jernih. Hubungan mereka sudah berada di titik kritis, dan Rania tidak bisa lagi menunggu dalam ketidakpastian.Saat tiba di depan pintu rumah, Rania menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Pintu dibuka oleh ibunya, yang tampak terkejut melihat putrinya muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya. Namun, satu pandangan pada wajah Rania sudah cukup untuk memberi tahu ibunya bahwa ada sesuatu yang tidak beres."Rania, ada apa sayang?" tanya ibunya dengan suara penuh kekhawatiran.Rania mencoba tersenyum, tetapi air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia langsung masuk ke pelukan ibunya, menangis dalam diam. Ia merasa rapuh, bingung, dan penuh dengan pertanyaan tentang ma
Malam itu terasa begitu panjang dan penuh keheningan yang menyakitkan. Setelah percakapan penuh emosi di kamar mereka, Rania dan Yoga terpaksa mengambil keputusan yang tak terhindarkan untuk tidur terpisah malam itu. Meski mereka berada di bawah atap yang sama, tapi jarak emosional yang semakin besar di antara mereka membuat segalanya tampak jauh.Rania, dengan hati yang masih terluka, mengambil selimut dan bantal dari tempat tidur mereka, lalu dengan langkah pelan menuju ruang tamu. Ia merasa dadanya sesak, penuh oleh berbagai emosi yang saling bertabrakan, kesedihan, marah, dan rasa tak berdaya. Saat ia merebahkan diri di sofa, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah. Ia terisak dalam diam, tidak ingin Yoga mendengar tangisannya. Meski sudah memutuskan untuk memberikan jarak, hatinya masih sakit oleh kenyataan bahwa pria yang kini menjadi suaminya belum sepenuhnya miliknya.Sementara itu, di kamar, Yoga duduk di tepi ranjang, menatap ke arah pintu yang baru saja ditinggalk
Beberapa hari telah berlalu sejak Yoga sembuh dari sakit, tapi suasana di rumah terasa berbeda. Meski Yoga sudah kembali beraktivitas seperti biasa, ada jarak yang semakin nyata antara dirinya dan Rania. Keduanya jarang berbicara, dan jika pun ada percakapan, hanya sekadar basa-basi tentang hal-hal sepele.Rania berusaha menahan diri dan tetap menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Namun, di dalam hatinya, rasa sakit dan keraguan masih membayangi. Pertemuan dengan Elena telah meninggalkan luka yang belum sembuh, dan setiap kali Rania melihat Yoga, ia teringat bahwa ada bagian dari suaminya yang masih terikat dengan wanita lain.Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam bersama, Rania memutuskan untuk membuka pembicaraan. Ia sudah terlalu lama memendam perasaannya. "Mas Yoga," panggilnya dengan lembut, suaranya penuh ketenangan yang dipaksakan. "Kita perlu bicara."Yoga menghentikan sendoknya di tengah-tengah suapan, menatap Rania sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.