Malam itu, Rania duduk sendirian di tepi ranjang, memandangi jendela dengan pikiran yang kacau. Semuanya terasa semakin berat. Hatinya seperti terpecah, terombang-ambing antara pernikahan yang kian rapuh dengan Yoga dan perasaan nyaman yang terus tumbuh bersama Rendy. Setiap kali Yoga mencoba mendekatinya, Rania hanya merasa semakin jauh. Rasa bersalah yang dia pendam kian menyiksanya.Teleponnya bergetar lagi, pesan dari Rendy masuk, mengingatkannya bahwa dia selalu ada untuk mendengarkan. Rania terdiam sejenak, mempertimbangkan pilihan yang dia punya. Akhirnya, tanpa banyak berpikir, dia mengetik balasan singkat."Aku butuh bicara. Bisa ketemu sekarang?"Tak butuh waktu lama bagi Rendy untuk merespons, setuju dengan segera. Dalam hatinya, Rania tahu ini bukan keputusan yang bijak, tapi dia sudah terlalu lelah menahan semuanya sendiri.---Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sepi, jauh dari keramaian kota. Suasana dingin malam itu seakan mencerminkan kegundahan hati Rania. Duduk
Malam itu, suasana di kafe terasa sunyi. Hanya suara denting gelas dan gemericik hujan di luar yang menemani pertemuan mereka. Rania duduk di sudut meja, menatap kosong pada cangkir kopinya yang hampir tak tersentuh. Jantungnya berdebar keras, tak sanggup menahan kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Di depannya, Rendy menatapnya serius, tak ada lagi senyum ramah yang biasa dia tunjukkan."Ran," Rendy memecah kesunyian, suaranya pelan namun tegas. "Aku nggak bisa terus begini."Rania menatap Rendy dengan bingung, meski sebenarnya dia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Namun, mendengar langsung dari mulut Rendy membuatnya semakin sulit bernapas. Dia mencoba menahan perasaannya, namun suara Rendy yang begitu pasti menusuk hatinya."Apa maksudmu, Ren?" Rania bertanya, walau dia tahu jawabannya tak akan mudah diterima.Rendy menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, matanya tak pernah lepas dari wajah Rania. "Aku butuh kepastian, Ran. Aku nggak bisa terus berada di posi
Rania duduk di sudut sofa, tangannya menggenggam erat kain rok yang dipakainya. Di depannya, Yoga berjalan mondar-mandir seperti harimau yang terperangkap, matanya merah menyala penuh amarah yang ditahan. Suasana di dalam rumah itu terasa tegang, seakan udara pun enggan bergerak."Kamu nggak bisa terus diam seperti ini, Rania. Kamu pikir semua ini bisa selesai tanpa bicara?" suara Yoga bergetar, penuh kemarahan yang jelas-jelas ditahannya selama ini.Rania menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya. Dia tahu bahwa pertengkaran ini tak terelakkan lagi, tapi dia belum siap menghadapi semuanya."Aku nggak bermaksud menyakitimu, Mas…" Rania memulai dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan."Tidak bermaksud?" Yoga tersenyum pahit, memotong ucapannya. "Kamu bilang nggak bermaksud, tapi kamu tetap melakukannya! Kenapa, Ran? Apa yang kurang dariku? Apa aku terlalu sibuk, terlalu dingin, terlalu... apa!" suaranya pecah dengan nada frustasi.Rania menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia tidak ing
Rania berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis, dan wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya, terbebani oleh dilema besar yang terus menghantui pikirannya."Aku harus memilih," bisiknya kepada bayangan dirinya. "Tapi siapa yang akan benar-benar membahagiakanku?"Pikirannya berkelana, merenungi segala hal yang telah terjadi. Ia teringat bagaimana awal mula pernikahannya dengan Yoga. Tidak sempurna, tapi ada rasa aman dalam hubungan mereka. Mereka membangun sesuatu yang tampak kuat di luar, meskipun mungkin tidak begitu di dalam. Pernikahan mereka adalah komitmen yang didasarkan pada pilihan keluarga, sesuatu yang sulit dibangun tanpa dasar cinta yang kuat sejak awal.Namun, di tengah pernikahan yang terasa kering, Rendy datang. Dia membawa kehangatan yang telah lama hilang dari hidup Rania. Bersama Rendy, Rania merasa hidup kembali, seperti ada bagian dari dirinya yang telah lama terabaikan. Tapi, apakah rasa ny
Setelah kepergian Ratih, suasana kembali tegang. Rania berusaha keras menata pikirannya, sementara Yoga berdiri di hadapannya dengan wajah yang terlihat letih. Sisa percakapan yang tertunda tadi kembali menghantui, dan keduanya tahu, kali ini tak ada lagi yang bisa menghentikan perbincangan yang mendesak untuk diungkapkan."Ran," Yoga mulai bicara lagi, kali ini suaranya lebih berat, hampir seperti bisikan. "Aku nggak bisa terus begini. Kita berdua sama-sama tahu ada sesuatu yang salah."Rania hanya diam, menunduk, merasa bebannya semakin berat. Hatinya penuh dengan keraguan, antara rasa bersalah dan ketertarikannya yang semakin dalam kepada Rendy."Aku juga ngerasa begitu, Mas," jawab Rania akhirnya, suaranya parau. "Tapi... aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang."Yoga menatapnya lama, mencari jawaban di balik mata istrinya. Dia bisa merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Ada sesuatu yang sudah berubah, dan itu bukan hanya tentang kesibukan atau masalah ko
Perpisahan yang disepakati Yoga dan Rania ternyata membawa mereka ke dalam momen-momen refleksi mendalam. Waktu yang mereka habiskan terpisah menjadi kesempatan bagi keduanya untuk merenungi arti pernikahan mereka dan apa yang mereka inginkan di masa depan.Yoga, di apartemen kecilnya, menghabiskan malam-malam panjang memikirkan semua yang terjadi. Dia merasakan penyesalan mendalam. Selama ini, dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dengan pekerjaannya, dan kadang-kadang lupa bahwa ada seseorang yang selalu menunggunya di rumah. Namun, selama masa perpisahan ini, dia menyadari betapa berharganya Rania dalam hidupnya."Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri," bisik Yoga pada dirinya sendiri suatu malam, sambil menatap langit-langit. "Aku lupa bahwa Rania butuh kehadiranku. Dia butuh cinta dan perhatian, bukan hanya status sebagai suami."Yoga memutuskan untuk berubah. Dia tak mau lagi membiarkan hubungannya hancur tanpa perjuangan. Mungkin perpisahan ini adalah sebuah ujian, tapi i
Rania duduk di sofa, matanya menatap kosong ke dinding. Pikirannya melayang jauh, kembali ke momen-momen bahagia yang pernah ia lalui bersama Yoga. Namun, bayangan pertengkaran mereka yang baru saja terjadi terus menghantuinya. Saat ini, mereka berdua telah memutuskan untuk mengambil langkah seriusserius, menghadiri sesi konseling pasangan lagi.Yoga masuk ke ruang tamu, terlihat canggung dengan sedikit kerutan di keningnya. "Kita siap, Ran?" tanyanya, suara sedikit ragu.Rania mengangguk, meski jantungnya berdebar. "Aku harap ini bisa membantu kita," ujarnya pelan. Meskipun dia merasa tertekan, dia juga merasakan harapan yang kecil.Di kantor konselor, suasana terasa formal namun hangat. Mereka duduk berhadapan, dan konselor mulai berbicara. "Hari ini, saya ingin kalian berdua saling berbagi tentang perasaan masing-masing. Mari kita mulai dari apa yang kalian rasakan ketika ada konflik."Rania menatap Yoga, kemudian menunduk sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa kita ser
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rania tahu bahwa keputusan yang akan ia buat hari ini akan menentukan masa depannya. Pikirannya terus berputar tentang segala hal yang telah terjadi, pertengkaran dengan Yoga, perasaannya terhadap Rendy, dan harapan akan kehidupan yang lebih bahagia. Di satu sisi, ia tak bisa mengabaikan hubungan emosional yang telah ia bangun dengan Rendy, namun di sisi lain, sejarah dan cinta yang pernah ia bagikan dengan Yoga tak bisa begitu saja dihapus.Rania berdiri di depan cermin di kamar tidurnya, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting yang akan segera berlangsung. "Aku harus memutuskan hari ini," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Dan apa pun yang kupilih, itu harus kutanggung dengan sepenuh hati."Saat Rania tiba di kafe tempat dia dan Rendy sering bertemu, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Rendy sudah duduk di sana, menatap kosong pada cangkir kopinya. Ketika
Ruang tamu rumah keluarga Raka terasa lebih hangat malam itu. Semua anggota keluarga telah berkumpul, termasuk orang tua Elina. Yoga dan Rania duduk berdampingan, sementara ayah dan ibu Elina, Pak Arman dan Bu Ratna, duduk di seberang mereka. Raka dan Elina duduk di tengah, keduanya tampak cemas namun saling menggenggam tangan untuk saling menenangkan.Suasana terasa tegang sebelum akhirnya Pak Arman memecah keheningan."Terima kasih sudah mengundang kami malam ini, Yoga. Aku pikir ini memang saatnya kita bicara terbuka."Yoga mengangguk pelan, sorot matanya tajam namun penuh kehati-hatian. "Terima kasih sudah datang, Arman. Kita sudah terlalu lama membiarkan rahasia ini membebani kita. Ini saatnya kita biarkan anak-anak kita berjalan di jalan yang mereka pilih sendiri."Rania menatap suaminya dengan penuh dukungan. Sementara itu, Elina menatap ayahnya dengan wajah bingung. "Papa, maksudnya apa? Apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga kita dan keluarga Raka?"Pak Arman menarik nap
Sudah lewat tengah malam ketika Raka duduk di balkon kamarnya. Angin malam dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasakan udara yang menusuk tulang. Ponselnya bergetar pelan di genggaman tangannya, pesan dari Elina."[Kita harus bicara. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.]"Raka memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan tiba. Hubungannya dengan Elina selama ini berjalan di antara rahasia besar yang membentang seperti jurang di antara mereka.---Keesokan Harinya, di Sebuah Taman Kota, Raka menunggu di bangku kayu di tengah taman yang sepi. Daun-daun berguguran, menandakan musim berganti. Elina datang dengan langkah cepat dan wajah penuh tanda tanya."Raka... apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Aku merasa ada sesuatu yang belum kamu katakan."Raka menatap mata Elina dengan dalam, mencoba mencari kekuatan di sana."Elina, mungkin setelah ini kamu akan membenciku, atau mungkin malah pergi meninggalkanku. Tapi aku harus jujur."Elina menggigit bibirn
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Elina. Nama ayahnya, Yoga, disebut dengan begitu santai dalam cerita Elina. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?"Pak Yoga? Maksudmu... ayahmu mengenal Papa-ku?" tanya Raka dengan hati-hati.Elina mengangguk pelan sambil mengaduk kopinya. "Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi dulu waktu aku kecil, aku pernah dengar percakapan antara Papa dan Mama tentang bisnis mereka dengan seseorang bernama Yoga. Tapi setelah itu, nama itu jarang disebut lagi."Raka mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. "Apakah ada masalah di antara mereka?"Elina menggeleng. "Aku nggak yakin. Papa jarang cerita hal-hal seperti itu. Tapi... sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik di akhir-akhir."Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Raka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah Elina ternyata memiliki hubungan dengan ayahnya. Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Apakah ada
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r
Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah Yoga perlahan berubah. Rania yang semula canggung dengan kehadiran Raka kini mulai terbiasa. Bocah itu, meski pendiam, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Kelembutannya mulai mengisi celah-celah dalam hati Rania yang sempat tertutup oleh rasa bimbang.Pagi itu, Rania sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Raka datang menghampiri."Mama, aku bantu ambil piring, ya," ucap Raka sambil tersenyum.Rania tertegun sejenak. Kata "Mama" terdengar begitu alami keluar dari mulut bocah itu. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, sayang. Kamu bisa letakkan piringnya di meja, ya," balas Rania dengan suara lembut.Di ruang makan, Adam dan Arka sudah duduk menunggu. Ketika melihat Raka membawa piring-piring, Arka berseru, "Wah, Kak Raka sudah jadi bagian tim, nih!"Raka tertawa kecil. "Iya dong. Tim kita harus kompak."Yoga yang baru turun dari tangga menyaksikan pemandangan itu dengan hati y
Malam terasa dingin ketika Yoga tiba di rumah. Keheningan menyelimuti ruang tamu, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak jantungnya yang tak beraturan. Rania belum kembali, dan ia tahu alasan kepergiannya adalah dirinya sendiri.Di kamar, anak-anak sudah tertidur. Namun, di meja makan, Raka masih duduk dengan wajah bingung, menatap segelas susu yang sudah dingin."Om Yoga, kenapa Tante Rania pergi?" suara Raka memecah keheningan.Yoga terdiam sesaat, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia berjalan mendekati Raka, duduk di samping keponakannya, atau mungkin, anak kandungnya."Raka, dengar ya," suara Yoga pelan, tetapi mengandung kepedihan yang sulit disembunyikan. "Kadang orang dewasa harus menghadapi sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Tante Rania pasti kembali."Raka memiringkan kepalanya, mencoba memahami. "Om, tadi aku dengar Tante Rania bilang ‘kamu harus jujur sama anak-anak’. Maksudnya apa?"Yoga menelan ludah. Ia tahu, cepat atau
Yoga menarik napas panjang sebelum mendekati Adam dan Arka yang berdiri di ambang pintu. Rania masih terduduk di lantai, memeluk map cokelat erat-erat. Ia menatap Yoga dengan mata yang mengisyaratkan dukungan, meskipun hatinya masih bergejolak."Adam, Arka, duduk sini dulu sama Papa," kata Yoga dengan suara selembut mungkin, sambil mengulurkan tangannya.Kedua anak kembar itu berjalan mendekat dengan raut bingung, lalu duduk di sofa kecil di ruang tamu. Mata mereka masih melirik Rania, seakan mencari jawaban dari wajah ibunya.Yoga berjongkok di depan mereka, sehingga pandangannya sejajar dengan anak-anaknya. "Kalian tahu, Papa dulu punya adik laki-laki yang namanya Om Fandy, kan?"Adam mengangguk cepat. "Om Fandy yang suka cerita lucu pas kita kecil, kan, Pa? Tapi dia udah lama nggak kelihatan."Arka menambahkan dengan suara kecil, "Kakek bilang Om Fandy tinggal di surga sekarang."Yoga tersenyum tipis mendengar ingatan polos mereka. "Betul sekali. Om Fandy sudah di surga. Dan sebelu
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Yoga duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Di sampingnya, Rania sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Namun, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan canggung."Mas Yoga, kamu baik-baik saja?" tanya Rania sambil menyiapkan bekal untuk Adam dan Arka.Yoga tersentak dari lamunannya. "Iya, aku baik. Hanya... sedikit kepikiran pekerjaan," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.Rania mengerutkan dahi. "Kamu sering terlihat melamun belakangan ini. Kalau ada sesuatu, lebih baik kamu cerita."Namun, Yoga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencari keberanian untuk menghadapi kenyataan.Setelah Rania berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, Yoga menerima telepon dari Armand."Yo, aku tahu kamu pasti masih bingung, tapi kita harus bicara lagi," kata Armand di ujung telepon."Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mand. Rania bahkan sudah curiga," jawab Yoga dengan suara lelah."Kamu nggak bisa terus menyembun
Rania duduk termenung di ruang kerjanya, membiarkan suara ketukan jam yang berulang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Perkataan Yoga tadi malam terus menghantui pikirannya, menimbulkan perasaan bersalah yang sulit diabaikan.Sementara itu, Yoga mencoba melanjutkan hari-harinya seperti biasa, tapi ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang kini membebani hatinya. Adam dan Arka, meskipun belum benar-benar memahami permasalahan di antara orang tua mereka, mulai menyadari perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari yang sering kali mereka abaikan. Mereka bahkan sempat bertanya pada Rania, "Mama, kenapa Papa sedih?"Pertanyaan sederhana itu membuat hati Rania makin teriris. Anak-anak mereka mulai merasakan dampaknya, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Keputusan untuk mengejar impiannya terasa begitu egois, tetapi di saat yang sama, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.Rania memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tahu b