Setelah kepergian Ratih, suasana kembali tegang. Rania berusaha keras menata pikirannya, sementara Yoga berdiri di hadapannya dengan wajah yang terlihat letih. Sisa percakapan yang tertunda tadi kembali menghantui, dan keduanya tahu, kali ini tak ada lagi yang bisa menghentikan perbincangan yang mendesak untuk diungkapkan."Ran," Yoga mulai bicara lagi, kali ini suaranya lebih berat, hampir seperti bisikan. "Aku nggak bisa terus begini. Kita berdua sama-sama tahu ada sesuatu yang salah."Rania hanya diam, menunduk, merasa bebannya semakin berat. Hatinya penuh dengan keraguan, antara rasa bersalah dan ketertarikannya yang semakin dalam kepada Rendy."Aku juga ngerasa begitu, Mas," jawab Rania akhirnya, suaranya parau. "Tapi... aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang."Yoga menatapnya lama, mencari jawaban di balik mata istrinya. Dia bisa merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Ada sesuatu yang sudah berubah, dan itu bukan hanya tentang kesibukan atau masalah ko
Perpisahan yang disepakati Yoga dan Rania ternyata membawa mereka ke dalam momen-momen refleksi mendalam. Waktu yang mereka habiskan terpisah menjadi kesempatan bagi keduanya untuk merenungi arti pernikahan mereka dan apa yang mereka inginkan di masa depan.Yoga, di apartemen kecilnya, menghabiskan malam-malam panjang memikirkan semua yang terjadi. Dia merasakan penyesalan mendalam. Selama ini, dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dengan pekerjaannya, dan kadang-kadang lupa bahwa ada seseorang yang selalu menunggunya di rumah. Namun, selama masa perpisahan ini, dia menyadari betapa berharganya Rania dalam hidupnya."Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri," bisik Yoga pada dirinya sendiri suatu malam, sambil menatap langit-langit. "Aku lupa bahwa Rania butuh kehadiranku. Dia butuh cinta dan perhatian, bukan hanya status sebagai suami."Yoga memutuskan untuk berubah. Dia tak mau lagi membiarkan hubungannya hancur tanpa perjuangan. Mungkin perpisahan ini adalah sebuah ujian, tapi i
Rania duduk di sofa, matanya menatap kosong ke dinding. Pikirannya melayang jauh, kembali ke momen-momen bahagia yang pernah ia lalui bersama Yoga. Namun, bayangan pertengkaran mereka yang baru saja terjadi terus menghantuinya. Saat ini, mereka berdua telah memutuskan untuk mengambil langkah seriusserius, menghadiri sesi konseling pasangan lagi.Yoga masuk ke ruang tamu, terlihat canggung dengan sedikit kerutan di keningnya. "Kita siap, Ran?" tanyanya, suara sedikit ragu.Rania mengangguk, meski jantungnya berdebar. "Aku harap ini bisa membantu kita," ujarnya pelan. Meskipun dia merasa tertekan, dia juga merasakan harapan yang kecil.Di kantor konselor, suasana terasa formal namun hangat. Mereka duduk berhadapan, dan konselor mulai berbicara. "Hari ini, saya ingin kalian berdua saling berbagi tentang perasaan masing-masing. Mari kita mulai dari apa yang kalian rasakan ketika ada konflik."Rania menatap Yoga, kemudian menunduk sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa kita ser
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rania tahu bahwa keputusan yang akan ia buat hari ini akan menentukan masa depannya. Pikirannya terus berputar tentang segala hal yang telah terjadi, pertengkaran dengan Yoga, perasaannya terhadap Rendy, dan harapan akan kehidupan yang lebih bahagia. Di satu sisi, ia tak bisa mengabaikan hubungan emosional yang telah ia bangun dengan Rendy, namun di sisi lain, sejarah dan cinta yang pernah ia bagikan dengan Yoga tak bisa begitu saja dihapus.Rania berdiri di depan cermin di kamar tidurnya, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting yang akan segera berlangsung. "Aku harus memutuskan hari ini," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Dan apa pun yang kupilih, itu harus kutanggung dengan sepenuh hati."Saat Rania tiba di kafe tempat dia dan Rendy sering bertemu, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Rendy sudah duduk di sana, menatap kosong pada cangkir kopinya. Ketika
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rania tahu bahwa keputusan yang akan ia buat hari ini akan menentukan masa depannya. Pikirannya terus berputar tentang segala hal yang telah terjadi, pertengkaran dengan Yoga, perasaannya terhadap Rendy, dan harapan akan kehidupan yang lebih bahagia. Di satu sisi, ia tak bisa mengabaikan hubungan emosional yang telah ia bangun dengan Rendy, namun di sisi lain, sejarah dan cinta yang pernah ia bagikan dengan Yoga tak bisa begitu saja dihapus.Rania berdiri di depan cermin di kamar tidurnya, menatap bayangannya dengan tatapan kosong. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting yang akan segera berlangsung. "Aku harus memutuskan hari ini," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Dan apa pun yang kupilih, itu harus kutanggung dengan sepenuh hati."Saat Rania tiba di kafe tempat dia dan Rendy sering bertemu, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Rendy sudah duduk di sana, menatap kosong pada cangkir kopinya. Ketika
Beberapa tahun telah berlalu. Setelah berbagai ujian dan perjalanan panjang, Yoga dan Rania kini menjalani kehidupan sebagai orang tua dari putra kembar mereka, Adam dan Arka, yang telah menginjak usia 5 tahun. Keseharian mereka penuh dengan canda tawa anak-anak, rutinitas yang tak pernah sepi, dan perjuangan untuk menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan. Pagi itu, seperti biasa, Rania sibuk menyiapkan sarapan sambil sesekali mengawasi Adam dan Arka yang sedang bermain di ruang tengah. Rutinitas pagi yang berulang ini terkadang terasa melelahkan, tetapi Rania selalu berusaha menghadapinya dengan senyum demi anak-anaknya. Namun, di balik senyuman itu, Rania menyimpan kerinduan pada kehidupannya dulu, saat ia masih memiliki waktu untuk diri sendiri dan menikmati hal-hal yang sederhana. Kini, dengan Yoga yang semakin sibuk di kantor, Rania merasa semakin sering sendirian di rumah, menjalani semua kesibukan ini tanpa dukungan langsung dari suaminya. Di sisi lain, Yoga juga merasakan te
Rania dan Yoga saling menatap dalam kebisuan, merasakan bobot dari percakapan yang baru saja terjadi. Di depan kamar, Adam dan Arka sudah kembali tertidur, wajah mereka damai, tak tahu akan ketegangan yang menyelimuti orang tua mereka.Malam itu, Yoga menggenggam tangan Rania lebih erat. "Aku nggak mau kita terus-terusan begini, Sayang. Anak-anak butuh kita. Kamu butuh aku," ujarnya pelan. Ada kejujuran dalam suaranya, dan Rania merasakan harapan kecil yang selama ini terasa hampir padam kembali menyala.Namun, saat kata-kata itu masih terasa di udara, ponsel Yoga tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Yoga menatap layar teleponnya dengan ekspresi tegang. Nama kantor tertera jelas, dan Rania langsung tahu ini bukan panggilan biasa."Aku harus angkat, Sayany," ucapnya pelan.Rania menatap Yoga dengan ekspresi bercampur antara lelah dan kecewa. "Benarkah harus sekarang? Bukankah kamu baru saja bilang mau lebih ada buat kita?"Yoga terdiam, berjuang antara kewajibannya sebagai pekerja
Yoga dan Rania saling berpandangan sesaat, lalu mengangguk seolah menyetujui untuk menjelaskan semuanya dengan cara yang lembut. Yoga menarik Adam ke pangkuannya dan tersenyum hangat, berusaha menenangkan putra kecilnya yang masih tampak bingung."Adam, Mama sama Papa nggak berantem, kok," kata Yoga dengan suara pelan namun tegas. "Kami cuma lagi ngobrol, ngomongin hal-hal yang penting buat keluarga kita, supaya kita bisa jadi keluarga yang lebih bahagia."Rania mengangguk, lalu mengusap kepala Adam dengan penuh kasih sayang. "Kadang Mama sama Papa memang perlu ngobrol panjang supaya bisa saling ngerti, nak. Jadi nggak usah khawatir, ya. Semua baik-baik saja."Adam terlihat sedikit lega, tapi masih memandang mereka dengan penasaran. "Kalau ngobrol aja, kenapa Mama sama Papa kelihatan sedih?"Yoga dan Rania saling menatap lagi, merasa tersentuh oleh kepolosan anak mereka. Yoga menarik napas dalam-dalam, mencoba memilih kata yang tepat."Kadang-kadang, orang dewasa bisa merasa sedih mes
Malam itu, hujan turun dengan deras. Raka duduk di balik meja kerjanya dengan wajah yang kusut. Berkas-berkas hasil penyelidikan Rey berserakan di hadapannya. Semua petunjuk, semua bukti, mengarah pada satu hal yang tak pernah ia duga, Elina.Rey masuk dengan jas basah kuyup, napasnya terengah-engah. "Raka, gue udah nemuin semuanya. Tapi lo harus siap denger ini."Raka menatap Rey dengan mata penuh kecemasan. "Katakan, Rey."Rey menarik napas panjang sebelum berbicara. "Elina bukan orang yang lo kira. Dia bukan sekadar gadis biasa yang lo temui di restoran itu. Dia… adalah adik kandung dari seseorang yang selama ini lo hindari. Dia adik kandung Rian."Raka terdiam. Kepalanya terasa berputar, jantungnya berdegup kencang. "Apa maksud lo, Rey? Rian udah lama pergi. Kenapa Elina nggak pernah bilang apa-apa sama gue?""Karena Rian meninggalkan pesan untuk Elina sebelum dia pergi. Pesan itu adalah… untuk mendekati lo. Untuk memastikan lo tidak pernah menemukan satu kebenaran penting yang Ri
Langit malam masih pekat ketika Raka tiba di salah satu kafe kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari keramaian, cocok untuk sebuah pertemuan yang bersifat rahasia. Lampu temaram dan musik jazz pelan menambah kesan misterius pada suasana malam itu.Seorang pria dengan jaket kulit hitam duduk di sudut ruangan, wajahnya sedikit tertutup oleh topi. Raka langsung mengenalinya dan berjalan mendekat."Rey?" panggil Raka pelan.Pria itu menoleh, senyum kecil terukir di wajahnya. "Raka. Lama kita nggak ketemu, ya."Rey, sahabat lama Raka saat SMA, kini adalah seorang detektif swasta. Raka tahu jika ada seseorang yang bisa ia percaya untuk mengusut masalah ini, orang itu adalah Rey.Mereka bersalaman erat sebelum duduk berhadapan."Gue nggak nyangka lo bakal jadi detektif, Rey," ucap Raka dengan senyum kecil.Rey mengangkat bahu santai. "Hidup membawa gue ke jalan ini. Jadi, masalah apa yang bikin lo sampai manggil gue jam segini, Raka?"Raka mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto
Malam itu, Raka baru saja keluar dari kantor setelah lembur menyelesaikan proyek besar yang sudah mendekati tenggat waktu. Jalanan sudah lengang, hanya beberapa mobil berlalu lalang di depan gedung kantor tempatnya bekerja.Ia berjalan menuju mobilnya di area parkir basement. Langkahnya terhenti sejenak ketika mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Raka menoleh, namun hanya melihat barisan mobil yang terparkir rapi."Mungkin cuma perasaanku," gumamnya sambil membuka pintu mobil.Namun, sebelum ia masuk, matanya menangkap sesuatu yang aneh di kaca spion, sebuah amplop kecil terselip di wiper mobilnya. Raka meraihnya dengan hati-hati dan membuka amplop itu di dalam mobil."Berhati-hatilah, Raka. Tidak semua orang yang tersenyum padamu benar-benar tulus. Aku selalu memperhatikanmu."Raka mengernyit. Tulisan tangan itu tampak rapi tapi memberi kesan misterius. Siapa yang menulis ini? Kenapa ada kesan mengancam?Ia meletakkan surat itu di dashboard dan menyalakan mesin mobil, mencoba
Sore itu, Raka mengantar Elina pulang. Mereka berpisah dengan senyum di wajah masing-masing, tanpa menyadari bayang-bayang misterius yang terus mengawasi mereka.Raka melajukan mobilnya menuju rumah dengan pikiran yang dipenuhi kehangatan dari pertemuannya dengan Elina. Namun, di persimpangan jalan, sebuah motor besar melaju cepat dan memotong jalannya secara tiba-tiba. Raka terpaksa menginjak rem mendadak, tubuhnya terdorong ke depan bersama suara decitan ban yang memekakkan telinga.Pengendara motor itu berhenti sejenak di depan mobil Raka. Helm hitam pekatnya menutupi wajahnya, membuat Raka tidak bisa melihat siapa sosok di balik helm tersebut. Mereka saling berhadapan beberapa detik sebelum motor itu melaju kencang dan menghilang di tikungan."Apa-apaan itu?" gumam Raka sambil memukul setirnya pelan. Jantungnya masih berdetak cepat akibat kejadian barusan.---Sesampainya di rumah, Rania menyambut Raka dengan wajah penuh kekhawatiran."Raka, kamu kenapa? Mukamu pucat banget!" ujar
Suasana pusat perbelanjaan siang itu cukup ramai. Elina berjalan santai di lorong toko, ditemani seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja biru muda yang tampak rapi. Mereka sesekali tertawa kecil sambil berbincang.Di sudut lain, Raka yang kebetulan datang untuk membeli hadiah ulang tahun Adam berhenti sejenak. Pandangannya terpaku pada sosok Elina yang sedang tersenyum cerah di hadapan pria asing itu. Detak jantungnya berpacu lebih cepat."Siapa dia…?" gumam Raka lirih.Pria itu tampak mengambil tas belanjaan Elina dengan sigap, lalu berjalan bersamanya menuju kafe terdekat. Raka mengepalkan tangannya, napasnya terasa berat. Ia ingin mendekat, tapi kakinya seperti terpaku di tempat."Elina… Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia?" desisnya dengan nada kecewa.Tanpa pikir panjang, Raka berbalik arah dan melangkah pergi dengan cepat.---Elina duduk sambil menyeruput segelas kopi di hadapan pria bernama Rendi, seorang sepupunya yang baru saja pulang dari luar negeri. Mereka memb
Ruang tamu rumah keluarga Raka terasa lebih hangat malam itu. Semua anggota keluarga telah berkumpul, termasuk orang tua Elina. Yoga dan Rania duduk berdampingan, sementara ayah dan ibu Elina, Pak Arman dan Bu Ratna, duduk di seberang mereka. Raka dan Elina duduk di tengah, keduanya tampak cemas namun saling menggenggam tangan untuk saling menenangkan.Suasana terasa tegang sebelum akhirnya Pak Arman memecah keheningan."Terima kasih sudah mengundang kami malam ini, Yoga. Aku pikir ini memang saatnya kita bicara terbuka."Yoga mengangguk pelan, sorot matanya tajam namun penuh kehati-hatian. "Terima kasih sudah datang, Arman. Kita sudah terlalu lama membiarkan rahasia ini membebani kita. Ini saatnya kita biarkan anak-anak kita berjalan di jalan yang mereka pilih sendiri."Rania menatap suaminya dengan penuh dukungan. Sementara itu, Elina menatap ayahnya dengan wajah bingung. "Papa, maksudnya apa? Apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga kita dan keluarga Raka?"Pak Arman menarik nap
Sudah lewat tengah malam ketika Raka duduk di balkon kamarnya. Angin malam dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasakan udara yang menusuk tulang. Ponselnya bergetar pelan di genggaman tangannya, pesan dari Elina."[Kita harus bicara. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.]"Raka memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan tiba. Hubungannya dengan Elina selama ini berjalan di antara rahasia besar yang membentang seperti jurang di antara mereka.---Keesokan Harinya, di Sebuah Taman Kota, Raka menunggu di bangku kayu di tengah taman yang sepi. Daun-daun berguguran, menandakan musim berganti. Elina datang dengan langkah cepat dan wajah penuh tanda tanya."Raka... apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Aku merasa ada sesuatu yang belum kamu katakan."Raka menatap mata Elina dengan dalam, mencoba mencari kekuatan di sana."Elina, mungkin setelah ini kamu akan membenciku, atau mungkin malah pergi meninggalkanku. Tapi aku harus jujur."Elina menggigit bibirn
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Elina. Nama ayahnya, Yoga, disebut dengan begitu santai dalam cerita Elina. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?"Pak Yoga? Maksudmu... ayahmu mengenal Papa-ku?" tanya Raka dengan hati-hati.Elina mengangguk pelan sambil mengaduk kopinya. "Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi dulu waktu aku kecil, aku pernah dengar percakapan antara Papa dan Mama tentang bisnis mereka dengan seseorang bernama Yoga. Tapi setelah itu, nama itu jarang disebut lagi."Raka mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. "Apakah ada masalah di antara mereka?"Elina menggeleng. "Aku nggak yakin. Papa jarang cerita hal-hal seperti itu. Tapi... sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik di akhir-akhir."Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Raka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah Elina ternyata memiliki hubungan dengan ayahnya. Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Apakah ada
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r