Pagi itu, Rania dan Yoga menikmati sarapan bersama Adam dan Arka yang tampak riang dengan cerita-cerita lucu mereka tentang sekolah. Namun, di tengah tawa itu, pikiran Rania melayang pada perbincangan dengan Hana. Semakin hari, ia merasa semakin yakin untuk mengejar kembali minatnya dalam seni, tapi keraguan tetap menggantung. Apakah ia bisa menyeimbangkan semuanya?Selesai sarapan, Rania memberanikan diri untuk berbicara lagi dengan Yoga, memastikan bahwa niatnya tidak mengganggu hubungan mereka."Mas," Rania memulai dengan hati-hati, "Aku berpikir untuk mengambil beberapa kelas seni. Mungkin di akhir pekan, jadi nggak mengganggu jadwalku dengan anak-anak."Yoga yang sedang merapikan piring menoleh. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi keberatan, tapi Rania bisa melihat ia sedang mencerna apa yang barusan ia katakan."Aku hanya ingin menyalurkan sesuatu yang membuatku bahagia, Mas," lanjutnya, berharap Yoga benar-benar memahami.Yoga terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Aku bisa lihat ka
Pagi itu, Rania dan Yoga menikmati sarapan bersama Adam dan Arka yang tampak riang dengan cerita-cerita lucu mereka tentang sekolah. Namun, di tengah tawa itu, pikiran Rania melayang pada perbincangan dengan Hana. Semakin hari, ia merasa semakin yakin untuk mengejar kembali minatnya dalam seni, tapi keraguan tetap menggantung. Apakah ia bisa menyeimbangkan semuanya?Selesai sarapan, Rania memberanikan diri untuk berbicara lagi dengan Yoga, memastikan bahwa niatnya tidak mengganggu hubungan mereka."Mas," Rania memulai dengan hati-hati, "Aku berpikir untuk mengambil beberapa kelas seni. Mungkin di akhir pekan, jadi nggak mengganggu jadwalku dengan anak-anak."Yoga yang sedang merapikan piring menoleh. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi keberatan, tapi Rania bisa melihat ia sedang mencerna apa yang barusan ia katakan."Aku hanya ingin menyalurkan sesuatu yang membuatku bahagia, Mas," lanjutnya, berharap Yoga benar-benar memahami.Yoga terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Aku bisa lihat ka
Rania duduk termenung di ruang kerjanya, membiarkan suara ketukan jam yang berulang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Perkataan Yoga tadi malam terus menghantui pikirannya, menimbulkan perasaan bersalah yang sulit diabaikan.Sementara itu, Yoga mencoba melanjutkan hari-harinya seperti biasa, tapi ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang kini membebani hatinya. Adam dan Arka, meskipun belum benar-benar memahami permasalahan di antara orang tua mereka, mulai menyadari perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari yang sering kali mereka abaikan. Mereka bahkan sempat bertanya pada Rania, "Mama, kenapa Papa sedih?"Pertanyaan sederhana itu membuat hati Rania makin teriris. Anak-anak mereka mulai merasakan dampaknya, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Keputusan untuk mengejar impiannya terasa begitu egois, tetapi di saat yang sama, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.Rania memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tahu b
Keesokan harinya, Rania tidak bisa menghilangkan rasa bimbang yang muncul sejak membaca pesan tadi malam. Kenangan tentang masa lalunya bersama orang itu kembali menyeruak, membawa perasaan asing yang ia pikir telah lama terkubur. Rania berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak lelah. Apakah keputusan untuk hadir di reuni akan memperumit semuanya, atau justru memberinya kejelasan?Di meja makan, Yoga tampak sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan kerja yang terus berdatangan. Suasana di antara mereka dingin dan penuh kecanggungan, seolah ada dinding tak terlihat yang semakin tinggi di antara mereka.Saat Yoga bersiap untuk pergi bekerja, ia menoleh pada Rania. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada yang terdengar peduli, meski matanya tampak letih.Rania mengangguk pelan, mencoba tersenyum. "Ya, hanya sedikit lelah, mungkin," jawabnya, meski ia tahu jawaban itu tidak sepenuhnya jujur.Yoga memandangnya sejenak, lalu menghela napas. "Aku tahu akhir-akhir ini banya
Pagi itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Rania duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin. Pikirannya melayang ke percakapan dengan Yoga tadi malam. Ada sesuatu dalam tatapan Yoga yang membuat dadanya terasa sesak, campuran kekecewaan, cinta, dan ketakutan.Namun, sebelum ia sempat larut lebih jauh, suara Adam memecah keheningan."Mama... Papa ke mana?" tanyanya dengan wajah polos, sementara Arka sibuk memoles mainan mobil-mobilannya."Papa sudah pergi kerja, sayang. Kenapa?" Rania mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih berat.Adam menatap Rania dengan mata bulatnya. "Papa kelihatan sedih tadi pagi. Apa Mama marah sama Papa?"Pertanyaan itu menusuk tepat di hatinya. Rania menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan kegelisahan yang tak ingin ia tunjukkan pada anak-anak."Enggak, sayang. Mama dan Papa cuma sedang banyak pikiran," jawabnya lembut.Arka yang biasanya lebih tenang, kini ikut bersuara. "Kalau Mama dan Papa nggak bahagia, kenapa kita nggak libu
Pagi itu, Adam dan Arka duduk di meja makan, sibuk dengan sarapan mereka, sementara Rania dan Yoga hampir tidak saling menatap. Suasana dingin yang menyelimuti keduanya semakin sulit diabaikan.Ketika Yoga selesai menyiapkan tas kerja, ia berjalan ke arah Adam dan Arka, memberikan kecupan di kepala masing-masing. "Papa berangkat dulu, ya," katanya sambil tersenyum lembut kepada mereka.Namun, sebelum melangkah keluar, ia berhenti di depan Rania. "Kita nggak bisa terus seperti ini. Kalau kamu punya sesuatu yang ingin diomongin, aku akan dengar," ujarnya tanpa emosi, lalu berbalik meninggalkan rumah tanpa menunggu jawaban.Rania menatap punggung Yoga yang menjauh. Kata-katanya terasa seperti ultimatum. Dia tahu bahwa ada keputusan besar yang harus dia buat untuk dirinya, untuk anak-anaknya, dan untuk Yoga.---Hari itu, Rania mengantar Adam dan Arka ke sekolah. Saat perjalanan pulang, pikirannya melayang-layang. Ia teringat percakapan dengan Rendy di acara reuni, tentang bagaimana dia d
Yoga menatap layar ponselnya, seakan tidak percaya dengan nama yang muncul. Rendy. Nama itu adalah bagian dari masa lalunya, masa yang sudah lama ia tinggalkan, atau setidaknya ia pikir begitu.Tangannya bergetar saat membuka pesan tersebut. Isinya singkat, tapi cukup untuk membuat pikirannya kacau:"Aku ada di kota ini sekarang. Kita perlu bicara."---Sementara itu di rumah Mama Rania, suasana berbeda terasa hangat, tapi sarat keheningan. Rania mencoba terlihat tenang di depan anak-anak, tetapi hatinya masih kacau. Ia duduk di ruang tamu sambil memandangi Adam dan Arka yang bermain dengan nenek mereka.Mama Rania, yang peka terhadap perubahan putrinya, mendekat dan duduk di sampingnya. "Kamu kelihatan capek, Nak. Apa kamu mau cerita?"Rania menunduk, air matanya jatuh sebelum sempat ia tahan. "Aku cuma... lelah, Ma. Aku nggak tahu apa ini akan baik-baik saja. Yoga dan aku... rasanya kami terlalu jauh sekarang."Mama Rania mengusap punggung putrinya lembut. "Hubungan memang nggak per
Malam itu, setelah menerima pesan balasan dari Siska, Yoga tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laptop yang menyala. Wajah anak laki-laki di foto itu terus membayang di pikirannya, seolah-olah menghantuinya.Ia tahu hanya ada satu cara untuk menemukan kebenaran, ia harus menyelidiki masa lalu Siska, dan mengapa dia muncul di saat seperti ini.---Keesokan harinya, Yoga meminta izin untuk bekerja dari rumah. Setelah memastikan Rania dan anak-anak pergi ke rumah Mama Rania, ia mulai mencari informasi tentang Siska.Ia membuka media sosialnya, menggali akun-akun lama yang pernah terhubung dengannya saat kuliah. Butuh beberapa jam, tapi akhirnya ia menemukan profil Siska. Foto-fotonya memperlihatkan kehidupan yang cukup nyaman, tapi tanpa ada jejak jelas tentang anak laki-laki yang disebut sebagai putranya.Yoga memutuskan untuk menelpon Rendy."Ren, aku butuh bantuanmu lagi," katanya dengan nada serius."Apa lagi sekarang, Yo?" Rendy
Suasana pusat perbelanjaan siang itu cukup ramai. Elina berjalan santai di lorong toko, ditemani seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja biru muda yang tampak rapi. Mereka sesekali tertawa kecil sambil berbincang.Di sudut lain, Raka yang kebetulan datang untuk membeli hadiah ulang tahun Adam berhenti sejenak. Pandangannya terpaku pada sosok Elina yang sedang tersenyum cerah di hadapan pria asing itu. Detak jantungnya berpacu lebih cepat."Siapa dia…?" gumam Raka lirih.Pria itu tampak mengambil tas belanjaan Elina dengan sigap, lalu berjalan bersamanya menuju kafe terdekat. Raka mengepalkan tangannya, napasnya terasa berat. Ia ingin mendekat, tapi kakinya seperti terpaku di tempat."Elina… Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia?" desisnya dengan nada kecewa.Tanpa pikir panjang, Raka berbalik arah dan melangkah pergi dengan cepat.---Elina duduk sambil menyeruput segelas kopi di hadapan pria bernama Rendi, seorang sepupunya yang baru saja pulang dari luar negeri. Mereka memb
Ruang tamu rumah keluarga Raka terasa lebih hangat malam itu. Semua anggota keluarga telah berkumpul, termasuk orang tua Elina. Yoga dan Rania duduk berdampingan, sementara ayah dan ibu Elina, Pak Arman dan Bu Ratna, duduk di seberang mereka. Raka dan Elina duduk di tengah, keduanya tampak cemas namun saling menggenggam tangan untuk saling menenangkan.Suasana terasa tegang sebelum akhirnya Pak Arman memecah keheningan."Terima kasih sudah mengundang kami malam ini, Yoga. Aku pikir ini memang saatnya kita bicara terbuka."Yoga mengangguk pelan, sorot matanya tajam namun penuh kehati-hatian. "Terima kasih sudah datang, Arman. Kita sudah terlalu lama membiarkan rahasia ini membebani kita. Ini saatnya kita biarkan anak-anak kita berjalan di jalan yang mereka pilih sendiri."Rania menatap suaminya dengan penuh dukungan. Sementara itu, Elina menatap ayahnya dengan wajah bingung. "Papa, maksudnya apa? Apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga kita dan keluarga Raka?"Pak Arman menarik nap
Sudah lewat tengah malam ketika Raka duduk di balkon kamarnya. Angin malam dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasakan udara yang menusuk tulang. Ponselnya bergetar pelan di genggaman tangannya, pesan dari Elina."[Kita harus bicara. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.]"Raka memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan tiba. Hubungannya dengan Elina selama ini berjalan di antara rahasia besar yang membentang seperti jurang di antara mereka.---Keesokan Harinya, di Sebuah Taman Kota, Raka menunggu di bangku kayu di tengah taman yang sepi. Daun-daun berguguran, menandakan musim berganti. Elina datang dengan langkah cepat dan wajah penuh tanda tanya."Raka... apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Aku merasa ada sesuatu yang belum kamu katakan."Raka menatap mata Elina dengan dalam, mencoba mencari kekuatan di sana."Elina, mungkin setelah ini kamu akan membenciku, atau mungkin malah pergi meninggalkanku. Tapi aku harus jujur."Elina menggigit bibirn
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Elina. Nama ayahnya, Yoga, disebut dengan begitu santai dalam cerita Elina. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?"Pak Yoga? Maksudmu... ayahmu mengenal Papa-ku?" tanya Raka dengan hati-hati.Elina mengangguk pelan sambil mengaduk kopinya. "Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi dulu waktu aku kecil, aku pernah dengar percakapan antara Papa dan Mama tentang bisnis mereka dengan seseorang bernama Yoga. Tapi setelah itu, nama itu jarang disebut lagi."Raka mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. "Apakah ada masalah di antara mereka?"Elina menggeleng. "Aku nggak yakin. Papa jarang cerita hal-hal seperti itu. Tapi... sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik di akhir-akhir."Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Raka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah Elina ternyata memiliki hubungan dengan ayahnya. Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Apakah ada
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r
Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah Yoga perlahan berubah. Rania yang semula canggung dengan kehadiran Raka kini mulai terbiasa. Bocah itu, meski pendiam, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Kelembutannya mulai mengisi celah-celah dalam hati Rania yang sempat tertutup oleh rasa bimbang.Pagi itu, Rania sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Raka datang menghampiri."Mama, aku bantu ambil piring, ya," ucap Raka sambil tersenyum.Rania tertegun sejenak. Kata "Mama" terdengar begitu alami keluar dari mulut bocah itu. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, sayang. Kamu bisa letakkan piringnya di meja, ya," balas Rania dengan suara lembut.Di ruang makan, Adam dan Arka sudah duduk menunggu. Ketika melihat Raka membawa piring-piring, Arka berseru, "Wah, Kak Raka sudah jadi bagian tim, nih!"Raka tertawa kecil. "Iya dong. Tim kita harus kompak."Yoga yang baru turun dari tangga menyaksikan pemandangan itu dengan hati y
Malam terasa dingin ketika Yoga tiba di rumah. Keheningan menyelimuti ruang tamu, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak jantungnya yang tak beraturan. Rania belum kembali, dan ia tahu alasan kepergiannya adalah dirinya sendiri.Di kamar, anak-anak sudah tertidur. Namun, di meja makan, Raka masih duduk dengan wajah bingung, menatap segelas susu yang sudah dingin."Om Yoga, kenapa Tante Rania pergi?" suara Raka memecah keheningan.Yoga terdiam sesaat, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia berjalan mendekati Raka, duduk di samping keponakannya, atau mungkin, anak kandungnya."Raka, dengar ya," suara Yoga pelan, tetapi mengandung kepedihan yang sulit disembunyikan. "Kadang orang dewasa harus menghadapi sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Tante Rania pasti kembali."Raka memiringkan kepalanya, mencoba memahami. "Om, tadi aku dengar Tante Rania bilang ‘kamu harus jujur sama anak-anak’. Maksudnya apa?"Yoga menelan ludah. Ia tahu, cepat atau
Yoga menarik napas panjang sebelum mendekati Adam dan Arka yang berdiri di ambang pintu. Rania masih terduduk di lantai, memeluk map cokelat erat-erat. Ia menatap Yoga dengan mata yang mengisyaratkan dukungan, meskipun hatinya masih bergejolak."Adam, Arka, duduk sini dulu sama Papa," kata Yoga dengan suara selembut mungkin, sambil mengulurkan tangannya.Kedua anak kembar itu berjalan mendekat dengan raut bingung, lalu duduk di sofa kecil di ruang tamu. Mata mereka masih melirik Rania, seakan mencari jawaban dari wajah ibunya.Yoga berjongkok di depan mereka, sehingga pandangannya sejajar dengan anak-anaknya. "Kalian tahu, Papa dulu punya adik laki-laki yang namanya Om Fandy, kan?"Adam mengangguk cepat. "Om Fandy yang suka cerita lucu pas kita kecil, kan, Pa? Tapi dia udah lama nggak kelihatan."Arka menambahkan dengan suara kecil, "Kakek bilang Om Fandy tinggal di surga sekarang."Yoga tersenyum tipis mendengar ingatan polos mereka. "Betul sekali. Om Fandy sudah di surga. Dan sebelu
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Yoga duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Di sampingnya, Rania sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Namun, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan canggung."Mas Yoga, kamu baik-baik saja?" tanya Rania sambil menyiapkan bekal untuk Adam dan Arka.Yoga tersentak dari lamunannya. "Iya, aku baik. Hanya... sedikit kepikiran pekerjaan," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.Rania mengerutkan dahi. "Kamu sering terlihat melamun belakangan ini. Kalau ada sesuatu, lebih baik kamu cerita."Namun, Yoga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencari keberanian untuk menghadapi kenyataan.Setelah Rania berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, Yoga menerima telepon dari Armand."Yo, aku tahu kamu pasti masih bingung, tapi kita harus bicara lagi," kata Armand di ujung telepon."Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mand. Rania bahkan sudah curiga," jawab Yoga dengan suara lelah."Kamu nggak bisa terus menyembun