Salju baru saja turun, terlalu awal di bulan November tahun ini.Udara dingin dari luar apartemen Sean mulai merangsak masuk melalui celah kecil.Princes merapatkan tubuhnya, mengusel di dada Sean.Sean tengah termenung, matanya menerawang menatap langit kamar dengan satu tangan ia lipat ke belakang kepala sementara satu tangannya lagi menjadi bantalan kepala Princes dan mengait di pundak gadis yang baru saja ia ambil kegadisannya.Pria itu mengeratkan pelukan ketika tubuh Princes bergerak gelisah.Ditariknya selimut hingga menutupi pundak Princes yang terbuka.Mereka belum memakai pakaian kembali, terlalu lelah usah pergulatan luar biasa beberapa jam lalu. Sean tidak tahu apakah Princes sudah sadar dari pengaruh obat atau belum karena tangan sang gadis masih melingkar di pinggangnya. Dia sempat mendengar nafas Princes berubah teratur, mungkin tadi dia terlelap tapi sekarang tidak lagi karena kulit dadanya merasakan belaian lembut bulu mata setiap kali Princes mengerjap. Sean penas
Sean duduk di sisi ranjang, dia mengusap pipi Princes menghasilkan kerjapan mata dengan bulu mata lebat itu sebelum akhirnya terbuka lebar.Princes menegakan tubuhnya sambil mengapit selimut di ketiak, dia masih dalam keadaan polos dan juga tampak bingung.Princes memegangi kepalanya dengan kedua tangan."Pusing?" Sean bertanya, tangannya menarik tangan Princes. "Iya." Suara serak Princes menjawab pelan."Kamu ada kuliah pagi ini?" Sean menggantikan tangan Princes memijat kepalanya."Jam sembilan." "Mau bolos?" Sean memang pengaruh buruk bagi Princes."Aku mau pulang." Princes mengulurkan tangan, meraih pakaian dari lantai dan mengenakannya.Dia turun dari atas ranjang lantas mulai melangkah, baru satu langkah terdengar ringisan disertai kedua kaki Princes yang merapat."Sakit?" Sean memegangi lengan Princes."Iya." Kening Princes mengkerut, dia merasakan ngilu dan perih pada bagian intinya."Kamu bisa jalan?" Sean tampak khawatir."Bisa." Princes mencoba melangkah lagi, meski teras
"Apa yang kamu masukan ke dalam minumanku?" Suara Princes membuat Mario mendongak dari layar MacBook di atas meja perpustakaan.Pria itu tidak menjawab malah sibuk memasukan buku ke dalam tas juga MacBook yang tadi langsung dia tutup layarnya."Mario!" seru Princes mengejar Mario yang melengos begitu saja usai menatap wajahnya sebentar.Beberapa delikan sebal harus Princes dapatkan dari pengunjung Perpustakaan karena suaranya yang mengganggu.Princes tidak peduli, dia terus melangkah mengejar Mario hingga keluar Perpustakaan."Mario! Tunggu! Kamu harus jelaskan padaku!" Dengan bagian pangkal paha yang masih ngilu, Princes memaksakan kakinya bergerak mengejar Mario.Bugh!Princes menghentikan langkah, matanya membulat begitu juga dengan mulut yang ia tutup dengan kedua tangan.Dia syok melihat Mario terkapar oleh hantaman kepalan tangan Zyandru."Zyan!!!!" Prince
Sean mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.Princes yang kedua tangannya berpegangan pada seatbelt di dada kemudian menoleh dan mendapat raut wajah panik Sean yang kentara.Sean mengatakan tidak mencintai Kanaya tapi pria itu terlihat begitu cemas akan kondisi Kanaya saat ini meski tidak dipungkiri jika Princes juga khawatir namun dia masih sadar untuk tidak melakukan tindakan bodoh yang bisa merenggut nyawa diri sendiri misalnya kebut-kebutan seperti yang Sean lakukan sekarang.Princes jadi ingat kejadian beberapa waktu lalu ketika ia dilarikan ke rumah sakit karena alergi.Sean tiba-tiba datang bersama Kanaya, pria itu juga memberitahu Princes bahwa dia tidak jadi bercinta dengan Kanaya karena mendengar Princes dilarikan ke rumah sakit dan malah memilih pergi menjenguknya.Jadi ini yang dirasakan Kanaya waktu itu, cemburu melihat Sean begitu mengkhawatirkan perempuan lain di saat pria itu mengatakan mencintainya.Setibanya di rumah sakit, Sean langsung
"Sean?" Kanaya melirih, suaranya nyaris tidak terdengar.Ada perasaan bahagia saat membuka mata dan dia melihat pria yang dicintainya.Sean mengusap kepala Kanaya lembut, pria itu beranjak dari sofa yang dia tarik ke samping ranjang lalu duduk di sisi ranjang Kanaya."Kamu haus?" Sean bertanya dan langsung mendapat anggukan Kanaya.Tidak perlu beranjak, Sean cukup mengulurkan tangan ke meja kecil samping ranjang Kanaya karena sebelumnya dia telah menyiapkan air untuk Kanaya di sana.Sean membantu Kanaya minum, memegangi sedotan juga gelasnya.Kanaya kembali berbaring setelah merasa cukup dan Sean mengembalikan gelas itu ke meja."Apa yang ada dalam pikiran kamu sampai berani menyayat nadi kamu sendiri?" tegur Sean seraya melirik pergelangan tangan kiri Kanaya yang dibalut perban.Kanaya ikut melirik ke sana kemudian mendengkus."Iseng aja, ingin tahu rasanya."Sean berdecak lidah kesal, sorot matanya tampak tidak suka mendengar jawaban Kanaya."Kamu bisa mati, Kanaya."Sean meraih tan
Tok ...Tok ...Princes menoleh pada pintu kamarnya yang diketuk dari luar.Detik berikutnya benda tersebut terbuka memunculkan sosok Sean.Princes yang sedang duduk di sisi ranjangnya tertegun tidak membalas senyum Sean yang merekah untuknya."Lagi apa?" Pria itu bertanya dengan suara rendah sembari melangkah masuk lalu menutup pintu.Princes mengerjap, dia memutus tatap dengan Sean memalingkan wajah ke arah lain sambil berpikir harus menjawab apa karena sedari tadi dia meratapi hatinya yang hancur karena Sean menjenguk Kanaya.Pria itu begitu perhatian kepada Kanaya setelah menyatakan cinta padanya dan merenggut kesuciannya.Princes sendiri benci pada dirinya yang selalu bimbang.Di satu sisi Princes mencintai Sean, rasa itu belum hilang malah semakin kuat setelah mereka bertukar cairan tubuh.Tapi di sisi lain, Princes tahu kalau Kanaya juga mencintai Sean bahkan rela mati karena dicampakkan pria itu.Princes menyayangi Kanaya, dia tidak ingin Kanaya bersedih apalagi dia yang turut
"Princes ...." Suara Zyandru membuat Princes membuka mata.Cowok itu masuk kemudian duduk di sisi ranjang Princes."Hey ... are you oke?"Zyandru meringis melihat Princes yang lemah, lesu dan pucat.Princes menganggukan kepala sambil memaksakan senyum."Udah dua hari kamu kaya gini, kamu yakin enggak mau ke dokter? Atau aku panggil dokter ke sini ya?"Princes menggelengkan kepala."Aku cuma masuk angin," kata Princes pelan nyaris tidak terdengar."Masih mual?" Zyandru mengusap kepala Princes."Enggak ... tapi lemes banget, pengen rebahan aja."Princes menarik selimut hingga pundak, di luar sana salju mulai lebat membuat udara dingin begitu pekat hingga terasa ke dalam ruangan dan penghangat ruangan menjadi seakan tidak berfungsi.Zyandru mengembuskan napas."Kamu stress juga kayanya, Ces ...." Zyandru berpendapat."Mungkin," sahut Princes bergumam. Dia sependapat karena masalahnya dengan Sean dan Kanaya terjadi sebelum ujian dan itu sangat menguras pikiran."Ada party malam ini di r
Sean sedang sibuk denagn pekerjaannya di luar kota jadi beberapa hari ini harus menahan rindunya pada Princes.Dia berdecak lidah kesal karena tidak bisa menghubungi Princes, di lemparnya ponsel ke atas meja kerja.Princes memblokir nomornya sampai ke seluruh akun sosial media yang dia miliki.Sean jadi gelisah, dia tidak mengerti apa kesalahannya padahal sebelum dia pergi ke luar kota—mereka sempat bercinta dengan penuh hasrat.Setiap kali Sean memejamkan mata, bayangan tentang betapa bergairahnya mereka malam itu selalu terlintas di benaknya membuat Sean semakin merindukan Princes. Sean meraih ponselnya kembali untuk menghubungi Zyandru.Lama bunyi panggilan berdering tapi tidak ada jawaban.Apa pria itu sedang kuliah?Tapi masa ujian telah selesai, atau mungkin sedang melakukan remedial?Karena terkadang ada beberapa profesor yang berbaik hati memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memperbaiki nilainya.Sean berhenti menghubungi Zyandru, dia beralih pada Kanaya karena tid
"Kamu saja yang datang ... ah, tidak ... aku saja ...." Kanaya berulang kali mengatakan hal tersebut sambil mondar-mandir di kamarnya yang luas.Ryley sudah terbiasa melihat pemandangan ini jadi dia hanya bisa meluruskan kakinya di sofa kemudian bersandar nyaman dengan kedua tangan di lipat di belakang kepala. "Ryley!" seru Kanaya menghentikan langkah."Yes Babe." Ryley menegakan punggung juga menurunkan kakinya."Bantu aku memikirkan apakah aku atau kamu yang datang ke Baby shower anaknya Princes? Atau kita tidak perlu datang saja sekalian?" Kanaya menghentakan kakinya kemudian duduk menyamping di atas pangkuan Ryley.Kedua tangannya melingkar di leher Ryley namun sayangnya wajah cantik itu terus memberengut. "Bagaimana kalau kita berdua datang ... kamu dan Princes adalah sepupu, kita sudah mendapat kebahagiaan kita sendiri ... kamu tidak perlu cemburu lagi dengan Princes dan aku juga tidak akan mengungkit masa lalu kamu dengan Sean."Tentu saja Ryley bisa dengan mudah mengatakan
Kanaya memang tega, tanpa perasaan melarang Ryley untuk mengundang Princes ke pesta pernikahan mereka yang dirayakan di New York."Bagaimana aku mengatakannya kepada Sean, Babe?" Ryley mengesah, dia stress karena tidak berhasil membujuk Kanaya, meluluhkan hatinya selama seminggu ini."Kamu tinggal mengatakan kalau Sean boleh datang tapi istrinya tidak," jawab Kanaya santai tanpa beban.Kanaya sedang memoles blushon di pipinya.Hari ini mereka akan pergi memilih kue dan mencicipi catering untuk pesta pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi."Dia sepupumu." Ryley mengingatkan."Betul, dan dia merebut priaku." Kanaya mengarahkan ujung blushon pada Ryley yang duduk di kursi di bagian kaki ranjang.Ryley mengesah panjang. "Aku tidak tega mengatakannya kepada Sean... Princes pasti akan sakit hati...." Ryley menggantung kalimatnya."Memangnya kamu belum bisa melupakan Sean?" tanya Ryley hati-hati tidak ingin si ibu hamil dengan hormon yang membuat mood berubah-ubah itu mengamuk."
Perut buncit Princes menjadi daya tarik sendiri bagi Sean, dia suka sekali mengusap perut Princes dan menurutnya dengan kehamilan itu—Princes tampak berkali-kali lipat lebih seksi.Selama resepsi berlangsung, Sean mati-matian menahan gairahnya.Dan akhirnya sekarang dia bisa berdua saja dengan Princes melewati malam pertama setelah mereka resmi menjadi suami istri."Aku bantu," ujar Sean menahan tangan Princes yang tengah membuka sleting di belakang punggung.Princes mengumpulkan rambutnya di pundak agar Sean mudah membuka sleting.Perlahan tangan pria itu menurunkan resleting lalu menarik bagian atas gaun ke bawah namun tertahan di pinggang karena perut Princes yang besar.Princes harus menggunakan kedua tangan dan menggoyangkan sedikit bokong agar bisa menurunkan gaun itu melewati perutnya."Bisa?" tanya Sean perhatian."Bisa ...." Princes menjawab setelah berhasil melepas gaun menyisakan camisol sebagai dalaman.Dia membalikan badan mengajadap Sean."Aku bantu buka kemejanya ya?""
Princes seringkali menonton film di Netflix yang menceritakan tentang hubungan calon mempelai pengantin yang sering kali tidak sependapat ketika mempersiapkan pernikahan sampai berujung dibatalkannya pernikahan tersebut.Awalnya ketika Sean mengatakan dia mengambil cuti untuk membantu mempersiapkan pesta pernikahan—jujur, Princes khawatir kalau kisahnya dan Sean akan berakhir seperti film di Netflix.Tapi nyatanya yang terjadi pada Princes, mempersiapkan pernikahan bersama orang dicintai menjadi pengalaman paling seru dan menarik.Karena Sean selalu mendukung keinginan Princes tapi terkadang dia juga memberikan masukan yang tidak mendapat penolakan dari Princes.Malah selisih paham terjadi antara Princes dengan ayahnya, tapi Papa Juna segera mengalah.Shamika Princes benar-benar menjadi seorang Princes yang keinginannya selalu diikuti oleh Raja dan Ratu juga semua orang.Dan hari yang dinanti-nanti oleh Princes juga Sean telah tiba.Princes dan Sean tentu menjadi orang paling bahagia
Hari pernikahan semestinya menjadi hari yang paling bahagia bagi pasangan pengantin tapi tidak dengan Kanaya yang sejak pagi buta mengalami morningsick hingga siang hari bahkan berlanjut di malam hari saat acara resepsi berlangsung.Dia juga mengusir MUA yang hendak mendandaninya tanpa alasan.Entah kenapa Kanaya tidak menyukai wajah MUA dan asistennya jadi dia tidak mau didandani oleh wanita itu.Akhirnya pihak Wedding Organizer harus mencari MUA pengganti detik itu juga.Kanaya lebih menyukai terbaring di atas ranjang di dalam kamar hanya menggunakan camisol panjang dan mengusir semua orang yang masuk ke dalam kamar termasuk ayah dan bunda.Kanaya belum siap menghadapi ayah.Menghadapi bunda saja tadi malam yang tidak sengaja mengetahui kehamilannya membuat dia kesulitan untuk terlelap dan tidak berhenti mual muntah karena stress.Sekalinya acara besar itu dimulai, Kanaya tidak mau di foto, padahal momen ini adalah momennya yang mengharuskan dirinya mendapatkan banyak dokumentasi.
"Jaga diri ya, aku pulang."Sean mengusap kepala Princes, mengecup keningnya lalu berlutut mengecup perut Princes di mana ada anaknya yang sedang berjuang hidup di dalam sana."Hati-hati ya Sean, aku tunggu bulan depan di pesta pernikahan kita." Princes memeluk Sean setelah pria itu bangkit berdiri."Minggu depan aku datang." Sean memberitahu kalau Princes tidak perlu menunggu hingga bulan depan untuk bertemu dengannya.Karena dia juga kesulitan menghabiskan weekend tanpa Princes."Jangaaaan, kamu ke sini lagi bulan depan aja ... ketika kita akan menikah." Princes mendongak dan dia mendapat kecupan di kening dari Sean."Aku enggak tahu mau ngapain weekend nanti, sayang.""Kita bisa video Call seharian ...." Princes memberi ide."Kita akan menikah Sean, kita akan hidup selamanya ... jadi aku minta beberapa minggu sebelum pernikahan kita—kamu pikirkan kembali tentang ini ... bukan hanya kamu tapi juga aku ...." Raut wajah Sean berubah tegang mendengar ucapan Princes.Jangan bilang kala
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Kanaya menggeram tertahan, matanya juga melotot menatap Ryley."Menjemput tunanganku." Ryley menjawab dengan santai."Aku bisa pulang sendiri." Kanaya mendorong dada Ryley agar menyingkir dari jalannya."Ayolah Babe, jangan mengusirku ... aku ayah dari anak yang ada di rahimmu."Kanaya menghentikan langkah kemudian membalikan badan."Ssssttt!" Dia mendesis sambil menempelkan telunjuknya di bibir.Matanya menatap nyalang Ryley yang malah cengengesan membuatnya dua kali lipat lebih kesal.Sungguh sangat menyebalkan."Sekalian saja kamu umumkan di media cetak kalau aku hamil anak kamu." Kanaya bersarkasme."Ide bagus, aku akan suruh sekertarisku me—""Ryley!!" Jeritan Kanaya menghentikan jemari Ryley yang hendak menghubungi sekertarisnya."Yes baby." Ryley mendekat, mengangkat kedua tangan untuk memeluk Kanaya.Kanaya menghela tangan Ryley kasar, dia membalikan badan dan kembali melangkah."Apa kamu mual muntah tadi pagi?" Ryley bertanya lagi sambil meran
"Sean ...." Princes beranjak dari kursi, bibirnya tersenyum lebar dan matanya juga berbinar.Princes langsung memburu Sean yang tengah berjalan mendekat bersama keluarganya kemudian memeluk pria itu erat."Aku kangen, anak kita juga." Princes mengurai pelukan kemudian mengusap perutnya.Sean berlutut dengan satu kaki dia mengecup perut Princes setelah mengusapnya lembut.Dan semua itu tertangkap jelas oleh indra penglihatan Papa Juna.Ada cemburu yang menyelinap namun tidak bisa ia pungkiri kalau hatinya menghangat melihat kebahagiaan di wajah Princes ketika bertemu Sean.Sekeras apapun Papa mencari alasan untuk tidak merelakan Princes bersama Sean namun selalu menemukan jalan buntu.Papa selalu luluh dengan kenyataan kalau putrinya bahagia bersama Sean.Satu persatu keluarga Sean memperkenalkan diri.Papa sudah pernah bertemu beberapa kali dengan tuan Maverick-daddynya Sean.Papa Juna menghargai kedatangan beliau dan menyambut dengan ramah.Mama bersalaman dengan Mommy Jeniffer, mere
"Aku tidak ingin Mom bersedih bertemu dengan Dad," kata Sean sambil menggenggam tangan Mom Jeniffer. Mom malah terkekeh, beliau balas menggenggam tangan Sean dan melingkupinya dengan tangan yang lain. "Tadinya justru Mom senang akan bertemu istri papamu, Mom selalu tenang setiap kali bertemu dan berbincang dengannya ... tapi kamu bilang Laura tidak ikut ke Jerman, Mom jadi sedih." Mom mengesah. "Mom ... aku yang mengatakan kepada Kenzo agar aunty Laura tidak perlu datang, selain aku tidak ingin menyakiti Mom ... aku juga tidak ingin kedua orang tua Princes berpikir yang tidak-tidak." "Baiklah, kamu atur saja ... kamu sudah dewasa." Tapi Mom mengulurkan tangannya mengusap kepala Sean di depan banyak orang di ruang tunggu Bandara. Sean mengangguk-anggukan kepala dan saat dia menoleh ke samping, dia mendapati sosok sang ayah sedang berjalan mendekat diikuti adik tirinya. Sean beranjak berdiri. "Dad," sapanya dengan mata merah dan dada bergemuruh haru. Ada rindu yang mendesa